Wednesday, July 2, 2008

TAFAKUR

Kita mungkin sering mendengar kata-kata “Tafakur” diucapkan oleh para Dai, Ulama, Khatib atau orang-orang bijak. Tafakur mempunyai arti renungan. Dalam Al-Quran, ALLAH berkali-kali menyuruh kita untuk bertafakur. Rasulullahpun bersabda melalui hadistnya bahwa kita diharapkan untuk lebih banyak merenungkan ciptaan-ciptaan ALLAH namun jangan sekali-kali merenungkan Dzat ALLAH karena kita tidak akan mampu berfikir kearah sana.
Menurut Aisyah, istri Nabi, setelah turun sebuah ayat yang menyebutkan bahwa tanda-tanda penting bagi seseorang sehingga seseorang tersebut mempunyai iman yang kokoh dan mantap yaitu dengan cara merenungkan ciptaan-ciptaan ALLAH. Tafakur adalah inti pikiran karena jika seorang pandai berfikir maka segala sesuatu selalu mengandung pelajaran baginya. Diapun akan selalu berkata-kata dengan perkataan yang penuh hikmah karena baginya berbicara tanpa hikmah adalah omong kosong yang hampa tak bermakna. Jika ia terdiam, maka diamnyapun adalah penuh dengan tafakir karena berdiam diri tanpa tafakur berarti lengah. Seorang bijak pernah berkata bahwa andaikata orang yang bertaqwa selalu memikirkan apa yang diakhirat nanti niscaya mereka tidak akan membiarkan hidup di dunia ini menjadi lengah walau hanya sekejap. Tafakur merenungkan nikamt ALLAH adalah salah satu ibadah yang utama. Jika pengalaman hidup akan menambah ilmu pengetahuan maka dzikir akan menambah rasa cinta dan tafakur akan menambah rasa taqwa.
Kita simak apa yang dikatakan Imam Syafi’I : “Lawanlah nafsu bicara dengan diam, hadapilah soal pelik dengan tafakur. Berfikir cermat berarti selamat, penyesalan dan keinsyafat menyebabkan kita menjadi waspada, musyawarah dengan orang-orang budiman akan memperkuat keyakinan”. Dikatakan pula oleh beliau bahwa keutamaan itu ada empat yaitu (1) kebijaksanaan yang berpokok pada tafakur, (2) kesopanan yang berpokok pada penahanan nafsu, (3) kekuatan yang berpokok pada kekuatan yang sehat dan (4) keadilan yang berpokok pada keseimbangan jiwa. Tafakur adalah cara berfikir yang memiliki spectrum multi dimensi. Marilah kita bertafakur dan kita mulai dari diri kita sendiri.

Pasuruan, Ramadhan 1419 H (1999).

Tuesday, June 24, 2008

CerPenCorner

Episode IV

CERITA PENDEK

Sungguh kini aku tidak tahu dari mana dulu aku memulai membuat cerita pendek ini. Aku tidak bisa memilih bahan yang cocok untuk cerita pendekku kali ini. Daya khayalku nampaknya sudah mulai berkurang. Mungkin hal itu wajar sebab dalam usiaku yang hampir senja ini semua kenangan telah membeku dan aku mengalami kesukaran untuk mencairkan kembali. Apalagi jika harus kujadikan cerita pendek.
Pada usia 25, Melati melangsungkan pernikahannya dengan pria pilihannya. Dulu, Fadli Hadiwijaya, demikian nama pria itu adalah teman sefakultasnya. Mungkin proses percintaan mereka berlangsung di sana, aku tidak pernah tahu. Yang jelas setelah mereka sama-sama sukses meraih gelar sarjana tak begitu lama Fadli cepat-cepat melamar Melati.
“Mama! beginikah rasanya kebahagiaan seorang gadis yang tengah menunggu hari pernikahannya?”, suara Melati memecah heningnya ruang tengah. Aku hanya tersenyum mendengar kata-katanya.
“Bagaimana perasaan Mama dulu waktu menunggu saat pernikahan dengan Papa?”, tanya Melati kemudian.
“Tentu saja penuh harapan kebahagiaan seperti yang kau rasakan sekarang ini”, kataku. Indra Susanto, suamiku meletakkan koran yang tengah dibacanya lalu memberi isyarat kepada anak gadisnya agar duduk mendekat.
“Dengar Mela!. Kau adalah anak Papa yang lembut, anggun, penuh percaya diri. Kelembutan dan keanggunanmu itu adalah kepribadian yang dapat kau pakai sebagai salah satu modal menjadi seorang istri yang baik. Namun jangan lupa kaupun harus sanggup keras hati karena perjalanan hidup yang nanti akan kau lewati penuh jalan-jalan yang terjal dan berliku. Saling pengertian antara kau dan suamimu bekal utama untuk menghadapi tantangan itu. Mendekat kemari Melati sayang. Papa Mama sangat bahagia sekali melihat kau bahagia!”, aku tersenyum penuh haru memandang Indra Susanto mencium kening Melati, anak gadisnya.
Sungguh, itu adalah kenangan manis dan indah namun masih juga aku tak mampu merangkainya menjadi kata apalagi kalimat dalam sebuah cerita pendek. Lonceng jam dinding di ruang tengah berbunyi lima kali. Hujan gerimis yang sejak siang tadi turun membasahi bumi, sore hari ini sudah mulai reda. Rupanya sudah hampir dua jam aku menghadapi layar komputer ini namun masih juga jari-jariku belum mampu menekan sebuah hurufpun pada papan keyboard itu. Telepon berdering di ruang tengah. Lalu kudengar seseorang mengangkatnya. Tidak berapa lama kudengar pintu kamar diketuk.
“Bu, bu, telepon untuk ibu dari Neng Mela!”, suara Bi Inah, pembantu setiaku. Aku bergegas menyambut telepon Melati.
“Mama!”, suara Melati di seberang sana.
“Mama tentu tidak lupa bahwa hari ini tepat hari kematian Papa yang kesepuluh tahun. Tadi, Mela akan menjemput Mama untuk berziarah, namun ternyata hujan baru reda setelah sore begini. Bagaimana jika besok saja Mam?”.
Selanjutnya aku tak mendengar lagi apa yang dikatakan Melati. Aku hanya termenung mengenang semuanya. Hari ini sepuluh tahun yang lalu suamiku meninggalkanku untuk selamanya. Aku belum pernah merasa kehilangan Indra Susanto seperti saat ini. Aku sangat merindukannya. Rasanya seperti baru kemarin. Selorohnya, canda-candanya, kesabarannya, ketabahannya, ketangguhannya, lapang dadanya, maafnya, senyumnya, cerianya dan ketulusan cintanya oh Tuhan semuanya masih terbayang.
Sungguh untuk pertama kali dalam hidupku kerinduanku kepada Indra Susanto adalah kerinduan yang teramat lengkap. Kerinduan yang tidak tergantikan. Namun aku tidak tahu mengapa kerinduan ini tak akan pernah satu katapun menjadi sebuah cerita pendek. Ternyata memang begitu. Sungguh aku tidak tahu mengapa jari-jariku belum juga mampu menyentuh sebuah hurufpun pada keyboard komputer itu sehingga jangankan sebuah cerita pendek ternyata satu katapun begitu sulit tercipta. Entah mengapa.

SELESAI