Thursday, August 9, 2012

NovelCorner Episode 3 (3) : MASIH ADAKAH RUANG DI HATIMU

Episode 3(3) Selamat Berbahagia Bidadariku : Malam itu setelah menerima telpon dari Kinanti aku tidak bisa tidur entah apa yang kupikirkan. Di meja kecil sebelah tempat tidurku aku melihat Undangan Pernikahan Listya. Memang aku sengaja menaruhnya di sana. Listya sedang apa kau disana?. Sabtu pekan depan Listya akan melangsungkan pernikahannya. Apakah ini yang membuatku tidak bisa tidur ?. Aku selalu teringat Listya, gadis kembarannya Diana Faria. Kadang-kadang ada rasa putus asa ketika aku harus menyadari bahwa sebentar lagi Listya sudah menjadi istri orang lain namun hal itu tidak boleh terjadi. Aku harus tetap berfikir baik kepada Allah. Aku harus kenali diri ini yang ternyata hanya seonggok daging dan sebatang tulang plus segaris rambut yang semakin rapuh dan beruban. Jika ada darah mengalir dan air mata yang tumpah itu hanya sebagian kecil saja dari ketidak berdayaan diri ini. Betapa rapuh dan ringkih diri ini sudah seharusnya aku tahu diri. Allah aku bersimpuh bersimbah peluh, berlutut bertekuk takut, aku hanya membawa sepatah dua patah doa. Akhirnya malam itu aku bersujud beralas sajadah tahajudku dan membiarkan diriku tertidur dalam haribaanNya. Aku selalu ingat FirmanNya : “Karena itu ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadaMu dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu!”. Maka pada malam itu aku benar-benar menikmati ketidak berdayaanku sampai malampun menyentuh waktu subuh. Di ruang kerjaku pagi itu aku sudah menghadapi dua mahasiswa untuk konsultasi bimbingan skripsi. Satu seorang mahasiswi dan satunya seorang mahasiswa. Mereka baru saja selesai menyusun proposal penelitian revisi yang mau diajukan untuk seminar proposal Minggu depan. Aku sebenarnya tinggal tanda tangan tapi kepalaku masih terasa penat karena tadi malam tidak bisa tidur maka aku mengusir kedua mahasiswa tersebut dengan halus. “Okey proposal kalian akan saya baca dulu nanti siang kembali kesini !”, kataku dan mahasiswa tersebut berpamitan. Melihat mereka bimbingan skripsi aku teringat ketika pertama kali bertemu Listya. Waktu itu Listya bersama Amelia sahabatnya, mengajukan proposal penelitian. Aku benar-benar terperangah ketika berbincang atau mendengarkan tutur katanya. Ketika dia tersenyum atau tertawa kecil. Gadis ini sangat lembut hatinya. Aku merasakan aura kecantikan hatinya. Hatiku terasa damai tentram karena mendengar tutur kata lembut gadis ini begitu mempesona. Kesan pertamaku tentang Listya selalu terpatri dalam hatiku. “Pak Alan bagaimana kalau metode spektrofotometri saja yang digunakan?”, tanya Listya suatu hari ketika kami berdiskusi tentang metode analisis instrumen yang akan dipakai dalam skripsinya. “Ya Listya bisa dengan spektrofotometri tapi jauh lebih selektif jika menggunakan HPLC!”, kataku menjelaskan. “Baik pak memang HPLC lebih akurat pemisahannya untuk komponen-komponen penting ini. Tapi pak saya belum begitu familiar dengan alat HPLC karena dulu praktikumnya berkelompok!”, kata Listya ragu. “Jangan kuatir Lis nanti bisa kursus kilat sama Profesor Alan Erlangga..!”, kataku bercanda sambil tertawa. Listyapun tertawa. Oh begitu manisnya dia tertawa. Sebaris gigi-giginya jauh lebih rapi dari model iklan pasta gigi apapun di Televisi. Dialog-dialog ringan ditengah-tengah diskusi tentang skripsi yang serius membuat kami begitu akrab. Gadis ini kecerdasannya tidak diragukan lagi. Kursus kilat HPLC benar-benar kursus kilat betulan, karena cukup hanya satu hari Listya sudah mampu menguasai alat canggih itu. “Lis sekarang saya sudah lega melepasmu untuk bercengkrama dengan HPLC ini jangan kuatir berteman dengan alat ini sangat menyenangkan pokoknya bisa lupa waktu!. Bagiku HPLC sudah seperti istri keduaku”, kataku kembali berseloroh ketika saat itu aku memberikan kursus kilat HPLC. “Lho Pak lalu istri pertamanya kok belum pernah dikenalkan kepada saya!?”, kata Listya juga bercanda karena Listya memang tahu aku belum beristri. “Lis jangan begitu ah. Istri pertamanya masih entah dimana mungkin cewek-cewek tidak ada yang berminat menjadi istriku maka kalau begitu berarti HPLC adalah istri pertamaku...!”, kataku sambil tertawa. Kami bersenda gurau ditengah-tengah keseriusan menganalisis sampel-sampel penelitiannya Listya. Aku juga teringat ketika kami berbincang mengenai hoby. “Membaca buku adalah hoby saya. Buku-buku ilmu pengetahuan atau novel!”, jawab Listya ketika aku bertanya tentang hobinya. “Buku apa yang paling berkesan yang pernah kau baca Lis?”, tanyaku. “Buku buku karya Al-Ghazali sangat bagus untuk menjadi renungan. Kalau buku ilmu pengetahuan yang ada hubungannya dengan kimia farmasi!”, kata Listya. “Kalau Novel?”, tanyaku. “Novel yang bersifat religi lebih aku sukai. Oh ya Pak, saya juga ingin mencoba bikin novel. Nanti kalau sudah jadi Bapak mau baca ya...!”, kata Listya. “Wah bagus Lis..aku tunggu novelmu tapi sekarang selesaikan dulu saja skripsimu..!”, kataku mengingatkan. “Okey beres Pak Profesor!”, jawab Listya sambil tertawa. Ternyata Listya memang sedang menulis novel. Aku mengetahui hal ini ketika draft terakhir skripsinya diserahkan padaku. “Pak rasanya lega sekarang skripsi akhirnya ditandatangani Bapak dan saya siap untuk ujian sidang skripsi. Setelah itu saya mau melanjutkan menulis novel saya...!”, kata Listya tersenyum. Aku menyukai senyumnya karena begitu mirip senyum Diana Faria. “Lis novelnya sudah berapa halaman dan judulnya apa?”, tanyaku. “Episode pertama baru saja saya selesaikan tadi malam. Oh ya judulnya adalah “Masih adakah ruang di hatimu”....bagus ya pak?”, tanya Listya meminta pendapatku. “Masih adakah ruang dihatimu. Judul yang membuat penasaran pembacanya. Lis kok kamu pintar memilih judul?”, aku mengomentari judul novel itu. Listya hanya tertawa kecil. “Rupanya calon sarjana Farmasi juga berbakat menjadi seorang novelis. Berikan dong bocoran sinopsis ceritanya !”, kataku penasaran. “Jangan dulu dong, nanti Bapak tidak penasaran lagi...!”, kata gadis itu. Masa-masa gembira bersama Listya yang mungkin tak akan pernah terulang lagi. Mengingat ingat saat itu ada rasa bahagia namun kembali aku harus realistis karena Minggu depan Listya sudah menjadi istri Rizal Anugerah. Ya Allah aku berdoa semoga mereka bahagia menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah warohmaah. Entah seperti apa perasaanku saat ini. Namun aku tidak boleh mengotori ketulusan hati ini dengan hal-hal yang akan merusak jalan untuk datangnya Ridho ALLAH padaku. Saat ini aku seolah merasakan getaran hati Listya ketika aku ingat bagaimana tatapan matanya memandangku sambil berkata : “Sungguh saya sangat terharu kalau ingat cerita Mbak Diana Faria. Bapak harus mulai mendapatkan teman hidup yang menjadi cahaya mata hati bapak sehingga bapak merasa tentram kepadanya. Saya akan bahagia jika bapak segera menemukan gadis tersebut…!”. Suara Listya masih terngiang ditelingaku. Gadis itu berdoa untukku dengan tulus. Aku seperti mampu membaca sesuatu dalam tatapan matanya. Tatapan mata yang pernah aku kenal dalam suatu masa. Tatapan mata ketulusan penuh dengan kasih sayang yang pernah aku dapati dari Diana Faria. Benarkah Daisy Listya?. Jawabannya hanya dia yang tahu. (BERSAMBUNG)

Monday, July 30, 2012

NovelCorner : Episode 3 (2) MASIH ADAKAH RUANG DI HATIMU

Selamat Berbahagia Bidadariku (2). Mendengar ini aku teringat Listya. Kata-kata Listya yang tidak pernah aku lupakan karena kata-kata itu yang telah membuat aku tersadar. Andai kata-kata tersebut bukan Listya yang mengucapkan, apakah hatiku akan tergugah?. Ya hanya Allah yang dapat membuka hati seseorang hanya kebetulan hal itu terjadi melalui Listya. “Hai Al...kok malah melamun. Oh ya aku sekarang tinggal sama Bapak dan Ibu di Arca Manik. Aku sengaja menemani mereka karena aku kan anak satu-satunya. Kamu masih ingatkan rumahku?”, kata Kinanti. . “Ya tentu dong mana mungkin lupa rumahmu dulu kan markas grup kita!”, kataku. Waktu SMA dulu rumah Kinanti biasa digunakan untuk kumpul dengan sahabat-sahabat. Indra, Erika, Aini dan aku kerap juga belajar bersama di rumah Kinanti. “Oh Alan bagaimana khabar Indra Susanto? Apakah dia jadi menikah dengan Erika?”, tanya Kinanti. “Kinan ternyata waktu begitu cepat berubah. Inilah kehidupan. Erika dijodohkan orang tuanya dengan orang lain. Indra bukan jodohnya Erika. Ternyata jodohnya Indra adalah Aini....!”, kataku. Kinanti terperangah tidak percaya. “Mereka bertiga bersahabat hanya karena Allah. Erika dan Aini dua sahabat seperti saudara kandung. Ketika Indra dan Aini menikah Erikapun hadir merestui pernikahan itu. Betapa indah hidup ini jika cinta hanya berdasarkan cinta ALLAH!”, kataku menjelaskan. Sekarang kulihat Kinanti termenung. “Ya betul Alan. Aku kenal Aini dan Erika dua gadis cantik terhormat, pandai dan cerdas serta berhati mulia. Sekarang aku juga semakin yakin bahwa Allah itu sebaik-baik perencana oleh karena itu mari kita sikapi setiap ujian Allah dengan hati yang lapang...!”, kata Kinanti. Kulihat diwajahnya ada rasa muram dan kesedihan yang dalam. Mungkin Kinanti teringat mendiang suaminya. Sementara aku juga hanyut dengan kata-kata Kinanti yang terakhir ini karena tiba-tiba saja aku teringat Listya yang sebentar lagi akan melangsungkan pernikahannya. Allah itu sebaik-baik perencana oleh karena itu mari kita sikapi setiap ujian Allah dengan hati yang lapang. Sebuah rangkaian kalimat yang perlu direnungkan dalam dalam. Kota Bandung kota kelahiranku kembali menorehkan kenangan ketika aku harus bertemu lagi dengan Kinanti. Teringat masa SMA dulu betapa aku suka gonta ganti pacar dan waktu itu Kinanti adalah salah satu gadis yang tidak mampu aku tundukkan. Kinanti adalah gadis yang selalu mengingatkanku untuk tidak bermain-main dengan cinta. Cinta itu sangat luhur dan terhormat jangan dikotori dengan nafsu. Aku masih ingat kata-katanya. Kinanti adalah gadis terhormat berwibawa seperti Erika dan Aini yang mampu menjaga harga dirinya dengan amanah. Mereka adalah gadis-gadis cantik lahir batin waktu itu dan kalau sekarang, mereka adalah wanita-wanita cantik lahir batin. Teringat masa lalu ketika aku sering mempermainkan cinta dan ketika akhirnya cinta itu berlabuh di hati seorang Diana Faria. Betapa kami saling mencintai dengan tulus. Betapa kami punya rencana hidup bersama untuk mengabdi kepadaNya. Namun apa boleh dikata ternyata cinta sejati itu harus diambil oleh yang Maha Memiliki. Memang Dia adalah Pemilik cinta itu. Barangkali inilah mungkin balasan yang setimpal yang harus diterima oleh seorang Alan Erlangga, Si Playboy kurang ajar yang telah banyak menyakiti hati wanita. Bertemu dengan Kinanti seakan masa-masa SMA dulu kembali terbayang. Aku harus banyak istighfar memohon ampun padaMU ya Allah. Mungkin juga ketika aku mengharapkan cintaku berlabuh di hati seorang Daisy Listya ternyata Allah menentukan lain. Listya akan menikah dengan laki-laki lain. Ampunilah diri hamba ya Allah karena kepada siapa lagi aku memohon ampunan selain kepadaMu yang Maha Pengampun. Berikan pula padaku keikhlasan untuk selalu menerima setiap ujianMu dengan lapang dada. Aku mencintai Listya karena itu aku akan bahagia melihat Listya bahagia. Aku mencintainya hanya karena aku mencintaiMu. Mencintai tidak harus memiliki. Aku memang tidak pernah punya apapun yang harus kumiliki. Sejak pertemuan pada simposium itu, aku dan Kinanti sering berhubungan walau hanya melalui hand phone. Hampir setiap hari selalu saja ada sms dari Kinanti bahkan malamnya kadang-kadang Kinanti menelpon hanya untuk sekedar ngobrol dan tertawa-tawa mengenang masa SMA dulu. Seperti pada malam itu Kinanti menelpon menceritakan kebahagiaan bersama suaminya dan sering kali dia merasa rindu bertemu mendiang suaminya. Jika sudah demikian maka Kinanti bercerita sambil terisak. “Kinan sabar dan ikhlas adalah jalan terbaik untukmu!”, kataku menghibur. “Ya terima kasih Alan. Aku bertemu denganmu waktu itu merasa seperti bertemu dengan malaikat. Selama ini aku tidak bisa bercerita seperti ini. Al mudah-mudahan kamu tidak bosan mendengar cerita-ceritaku ini!”, kata Kinanti. “Ya Kin dengan senang hati aku setia mendengarkan cerita-ceritamu..!”, kataku membesarkan hatinya. Kinanti pada usia yang sama denganku ternyata masih memiliki kecantikan yang alami. Wanita berdarah sunda tulen berkulit kuning langsat ini pesonanya masih menebar. Kinanti. Kinanti. Kinanti Puspitasari. Aku juga merasa heran mengapa Kinanti belum menikah lagi. Rasanya tidak percaya jika tidak ada laki-laki yang berusaha mendekatinya.(BERSAMBUNG)