Thursday, November 14, 2013

Novel Hensa EPISODE AKHIR CINTAKU (Bagian 6)


Foto : Cover Novel Kemarau Panjang Di Kota Hujan by Hensa
Bagian 6
DIALOG KECIL DI SEBUAH KANTIN

Sejak peristiwa fragmen satu babak di Bandung itu, Kinanti sangat jarang lagi berkomunikasi denganku. Sudah sebulan berlalu dan Kinanti hanya dua kali menghubungiku melalui hand phonenya. Satu kali saat dia membalas smsku tentang kapan tanggal pernikahan mereka dan satu lagi saat Kinanti memberitahukan bahwa dia sedang di Surabaya tapi tidak sempat mampir. Sebenarnya semakin jarang berkomunikasi dengan Kinanti semakin baik baginya dan bagiku tentunya. Kinanti bisa fokus mempersiapkan pernikahannya yang hanya tinggal sebulan lagi dari sekarang. Ya bulan depan Kinanti Puspitasari sudah menjadi istri Eko Priotomo. Saat saat seperti ini apa sebenarnya yang kurasakan. Kehampaan hati?. Karena tiadanya cinta dari dambaan hati selama ini?. Ataukah kehampaan hati dari ketiadaan teman hidup?. Hati terasa hampa, kosong akibat dari kesendirian?. Entahlah aku tidak pernah bisa menjawabnya.
Aktivitasku hari ini benar-benar super sibuk. Menjadi Penguji dalam ujian skripsi beberapa Mahasiswa S1. Setelah jam istirahat ada meeting di Gedung Rektorat sampai sore acaranya pembahasan program fakultas dan rencana kerja sama dengan Australia bahkan acaranya masih dilanjutkan besok paginya.  Kesibukan kesibukan seperti itu ternyata tidak juga mampu menghilangkan rasa kesendirianku. Sore itu Kampus sudah mulai sepi sementara aku di Ruang kerjaku masih termangu memegang hand phoneku sambil membaca berulang-ulang sms nya Kinanti yang benar-benar sangat berkesan :
”Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”.
Mungkin hanya sms Kinanti ini yang sekarang bisa menghiburku. Bagiku sms ini sangat berharga karena aku bisa merasakan ternyata Kinanti juga mencintaiku namun Kinanti merasa tidak layak cintanya harus disamakan dengan cinta Daisy Listya  yang dianggapnya jauh lebih tulus dan lebih luhur daripada cintanya. Namun apakah mungkin aku masih bisa meraih cinta Daisy Listya?. Jelas tidak mungkin. Sebenarnya yang paling mungkin adalah aku bisa meraih cinta Kinanti apalagi Listya sudah merestui. Namun kenapa Kinanti masih juga tidak mau membuka hatinya untukku?. Terakhir aku ketahui bahwa Intan, putrinya lebih merestui diriku sebagai teman hidupnya namun kenapa Kinanti memilih Eko?.
Dalam dua hari ini kembali aku ada di Bandung menjadi Pembicara Seminar Farmasi Universitas Pajajaran di Jatinangor. Aku teringat kalau Intan sekarang kuliah di Kampus ini. Mumpung aku masih ada di Kampus ini kucoba menghubunginya melalui nomor selulernya.
”Hallo! Om”, suara seorang gadis menjawab panggilan hand phone ku.
”Intan bagaimana khabar?”, kataku.
”Alhamdulillah baik Om. Bagaimana dengan Om Alan sendiri?. Kok lama gak pernah telpon ke Bandung?”, mendengar ini aku hanya tertawa.
”Sekarang Om Alan justru sedang di Bandung bahkan sedang di Kantin Fakultasmu!”, kataku.
”Ah jangan bercanda Om. Aku kepingin ketemu tunggu disitu ya Om!”, kata Intan penuh gembira. Hanya beberapa menit aku lihat Intan memasuki Kantin Kampus dan langsung menuju mejaku.
”Assalaamu a’laikum Om Alan!”, sapa gadis ini.
”Wa a’laikum salaam. Silahkan duduk Intan!”, kataku mempersilahkan duduk. Aku lama tidak berjumpa dengan Intan. Kecantikan ibunya nampak sekali ada dalam diri gadis berusia 19 tahun ini. Terutama matanya yang indah. Wajah oval dibalut jilbab dengan hidung bangir dan bibir selalu penuh dengan senyum sungguh Intan Permatasari adalah gadis penuh pesona. Intan bagiku seperti Kinanti muda. Melihat Intan aku jadi teringat Kinanti. Anak gadis Kinanti ini benar-benar mewarisi semua kecantikan ibunya termasuk kecerdasannya.
”Om Alan sudah kangen nih sama Intan!”, kataku sungguh sungguh.
”Kangen sama aku apa sama Ibu?”, kata Intan tertawa. Akupun menjelaskan kepada Intan sedang ada acara Seminar selama dua hari ini di Kampusnya.
”Oh ya bagaimana Ibu baik-baik?. Persiapan pernikahannya lancar-lancar saja kan!”, aku memang sengaja bertemu Intan hanya ingin mencari kabar tentang Kinanti, Ibunya.
”Iya Om mudah-mudahan lancar. Sedang mencetak Undangan tapi belum selesai. Tapi Om Alan, akhir-akhir ini Ibu sering murung. Aku juga tidak tahu kenapa. Aku tidak berani bertanya!”, suara Intan pelan.
”Mungkin bukan murung itu karena Ibumu sedang fokus memikirkan acara pernikahan itu!”, kataku mencoba menetralkan anggapan Intan.
”Om pernah suatu hari Ibu bertanya padaku apakah Ibu pantas menerima cinta Om Alan. Lalu aku menjawab tentu saja Bu. Namun aku jadi heran yang terjadi Ibu malah menerima lamarannya Om Eko!”, kata Intan lagi. Mendengar ini aku terdiam. Aku yakin Kinanti memang mencintaiku apalagi jika membaca sms nya tempo hari isinya sudah bernada mengutarakan cintanya. Memang kadang-kadang wanita itu sulit diduga. Begitu sulit diduga walau hanya sekedar ingin tahu saja perasaan hatinya sedang sedih ataukah gembira apalagi menduga perasaan cintanya.
”Hei Om Alan kok melamun!”, suara Intan mengagetkanku. Aku hanya tersenyum.
”Oh ya Om apakah Ibu tahu sekarang Om Alan sedang ada di Bandung?”.
”Tidak Intan. Ibumu tidak tahu, memang Om Alan sengaja tidak memberitahu Ibu ya takut mengganggu kesibukannya!”, kataku. Intan hanya mengangguk tanda setuju. Dialog kecil di sebuah Kantin Kampus itu bagiku sangat berarti. Banyak informasi tentang Kinanti yang aku dapat dari Intan. Ada hal yang menarik dalam pertemuan di Kantin itu, ketika kami berpisah Intan masih sempat berkata :
”Om Alan tetap semangat dong. Cinta sejati harus diperjuangkan!”, kata Intan sambil tersenyum manis. Aku tertawa mendengar kata kata itu.  Akhirnya kamipun berpisah diujung pintu Kantin itu.
Sejak dialog kecil di Kantin Kampus tiga hari yang lalu itu rupanya komunikasi dengan Intan semakin sering saja. Pembicaraan yang diceritakan Intan seputar kemurungan Kinanti, ibunya dan persiapan pernikahannya. Setiap malam ada saja yang diceritakan Intan melalui HP nya. Kadang-kadang aku sendiri yang sengaja telpon Intan untuk mengetahui situasi terkini tentang Kinanti.
”Om, aku pernah cerita sama Ibu bahwa lelaki yang cocok untuk Ibu itu hanya Om Alan. Aku juga bilang bahwa Om Alan pantas menjadi Ayahku!”, kata Intan suatu malam ketika kami berbincang.
”Oh begitu lalu apa jawaban Ibumu?”, tanyaku penasaran.
”Ibu menjawab bahwa Ibu itu tidak layak menerima cinta Om Alan karena ada wanita lain yang cintanya lebih luhur dan tulus!”, begitu kata Ibu.
Mendengar cerita itu aku hanya terdiam. Kinanti tetap sangat menghormati Listya dan anehnya Listya sendiri sudah ikhlas cintanya diambil alih oleh Kinanti. Listya rela jika aku menjadi suami Kinanti. Oh Tuhan harus bagaimana aku menghadapi dua wanita luhur budi ini. Faktanya aku harus merelakan mereka menikah dengan pilihan hatinya masing masing. Listya sudah menjadi istri Rizal Anugerah dan Kinanti sebentar lagi akan menjadi istri dari Eko Priotomo. Kadang aku befikir sebenarnya Allah ini sedang merencanakan apa terhadapku. Rencana bagaimana hidupku. Rencana siapa jodohku. Terbukti ada tiga wanita yaitu Diana Faria, Daisy Listya dan Kinanti Puspitasari yang masih juga belum dizinkan Allah untuk menjadi teman hidupku. Mereka adalah wanita-wanita pilihanNya yang sangat istimewa dalam hatiku. Sementara usiaku semakin lama semakin menuju ujung hari senja. Apakah Allah akan membiarkanku tetap sendiri karena selalu terbelenggu dengan masa laluku.  Aku tidak boleh ragu dengan ketetapanNya yang selalu menjadi yang terbaik. Tetap optimis dan harus menjalani hidup ini apa adanya. Aku jadi  ingat kata-kata Intan : ”Om Alan tetap semangat dong. Cinta sejati harus diperjuangkan!”. Ha ha ha aku jadi tertawa sendiri.
 Malam ini aku baru saja selesai mengoreksi beberapa skripsi dan masih sedang membaca sebuah thesis S3 ketika tiba-tiba Intan menelponku. Intan ingin menyampaikan berita yang sangat penting sekali.
”Om Alan maaf Intan telpon malam-malam begini karena ada berita yang tidak menggembirakan!”, kata Intan diujung telpon. Aku bertanya-tanya berita tentang apa sehingga tidak menggembirakan.
”Ada berita apa Intan?”, kataku penasaran.
”Ibu membatalkan pernikahannya dengan Om Eko!”, kata Intan.
”Apa yang terjadi dengan Ibumu?”, tanyaku terheran heran.
”Ceritanya panjang Om. Ibu sekarang masih menangis di kamarnya!”, kata Intan. Aku sebenarnya ingin bicara dengan Kinanti namun saat ini bukan saat yang tepat untuk bicara dengannya.
”Om Alan mau menolong Intan?”, tanya Intan.
”Tentu saja mau tapi maksud Intan bagaimana?”, tanyaku.
”Temui Ibu di Bandung dan Om Alan harus bisa membuat Ibu tidak bersedih karena peristiwa ini!”, kata Intan.
”Baik Intan. Hanya Om Alan masih belum mengerti penyebab pernikahan ini harus dibatalkan!”, tanyaku.
”Menurut Ibu ada pihak yang berhianat dan Ibu menyaksikannya sendiri penghianatan itu!”, kata Intan.
”Menyaksikan bagaimana maksudnya?”,tanyaku.
”Biar nanti saja ceritanya Om!”, kata Intan.
”Oke Intan besok pagi Om Alan ke Bandung tapi apakah Ibumu mau bertemu dengan Om Alan!”, kataku ragu.
”Tentu saja mau Om. Ini saja Intan disuruh Ibu untuk telpon Om Alan!”, kata Intan.
Batalnya pernikahan Kinanti entah kenapa membuat hati merasa lega. Apakah itu artinya aku kembali memiliki harapan terhadap Kinanti?. Belum tentu. Aku hafal betul siapa Kinanti Puspitasari. Wanita tangguh yang sangat sukar ditundukkan. Bagiku cinta wanita itu harus diperjuangkan sepenuh hati. Semakin sulit perjuangan itu maka semakin tinggi mutu dari cinta yang aku peroleh karena cinta dengan mutu tinggi tidak mudah untuk didapatkan. Apakah aku masih punya harapan pada cinta itu?. Aku harus yakin Allah akan mendatangkan kebahagiaan kepada orang yang harapannya telah terputus. Hal ini agar semua mahlukNya terdorong untuk mengalihkan harapannya kepada Allah dan mensucikan niat untuk bertawakkal kepadaNya. Tiada harapan sebaik baik harapan kecuali selalu mengharapkan cintaNya.  
”Om Alan tetap semangat dong. Cinta sejati harus diperjuangkan!”, nah ini kata kata Intan Permatasari, putri Si mata wayang Kinanti Puspitasari yang membuat aku kembali bersemangat untuk mengejar cintaku yang hilang.

(BERSAMBUNG)



Wednesday, November 13, 2013

Novel Hensa EPISODE AKHIR CINTAKU Bagian 5


Foto : Hensa/Koleksi Pribadi

MENIKMATI HARI INI

Walaupun rasa penat masih terasa namun aku tetap harus berangkat ke Kampus. Banyak yang harus aku kerjakan. Tumpukan skripsi dan thesis yang harus aku revisi dan tentu saja beberapa kertas kerja dan makalah yang dalam dua hari ini masih terbengkalai padahal deadline nya sudah semakin dekat. Seperti biasa setelah berjuang dengan kemacetan lalu lintas Kota Surabaya akhirnya aku tiba di Kampus langsung saja aku menuju ruanganku di lantai 2 Fakultas Farmasi. Aku lihat meja kerjaku berantakan tidak karuan, padahal aku biasanya selalu merapikan meja sebelum pulang kerja namun beberapa hari ini kebiasaan baikku itu entah hilang kemana. Efek psikologis dari hati yang sedang galau telah ditunjukkan oleh kondisi berantakannya meja kerja he he he. Aku merapikan meja kerja itu. Satu demi satu kertas, buku buku dan apa saja yang ada disitu dirapikan atau disingkirkan dan ditempatkan kembali ke dalam laci atau rak buku. Tiba-tiba selembar kertas terjatuh lalu aku pungut kembali. Ternyata sebuah Undangan Peresmian Apotek dari Audray siang ini. Apotek ini berada di di Pucang Adi. Audray Lin salah satu dari Mahasiswiku yang punya prestasi baik. Audray berasal dari Malaysia mempunyai Tante yang menikah dengan Pria Tionghoa kelahiran Surabaya. Selama kuliah di Fakultas Farmasi, Audray tinggal dengan Tantenya. Gadis ini sangat ceplas-ceplos dan agresif. Logat Malaysianya memang sudah hilang karena tinggal di Surabaya paling tidak sudah 4 tahun lebih. Sebenarnya aku paling risi menghadapi Audray ini sejak dia masih mahasiswa dulu sering menggodaku dan Audray adalah tipe gadis yang agresif apalagi dia tahu aku masih bujangan. Aku teringat ketika dia menjadi biang keladi hampir retaknya hubunganku dengan Listya. Ah lupakanlah yang sudah berlalu. Aku lihat kembali Kartu Undangan dari Audray. Mengharap kehadiran Bapak/Ibu/Sdr dalam rangka peresmian APOTEK SENTOSA. Insya Allah aku harus hadir untuk memberikan apresiasi kepada Audray. Bagaimanapun juga dia adalah mahasiswiku yang berprestasi dan patut untuk dihargai.

Siang itu aku sudah berada di Apotek Sentosa. Melihat aku datang, Audray menyambutku dengan senyum dan perasaan gembira. Aku sempat terpana memandang Audray dengan cara berpakaiannya. Audray terlihat anggun dengan rambut terurai. Tidak lagi kulihat rok mini yang ketat yang mempertontonkan keseksiannya. Ternyata Audray Lin bisa juga berdandan anggun seperti ini. Berpakaian tertutup rapi sopan justru memberi kesan kecantikannya yang asli dengan kecantikan wajah khas oriental. Aku memang masih terpana terkagum kagum dan tabiat lamaku akhirnya kambuh juga dengan ceplosnya memuji Audray.
”Ah pak Alan bisa saja. Terima kasih pujiannya!”, kata Audray. Aku juga terperanjat dengan respon jawaban Audray yang sopan penuh kewajaran. Tidak ceplas ceplos seperti biasanya. Aku dipersilahkan duduk di barisan kursi paling depan. Audray masih sibuk melayani tamu-tamu lainnya sementara aku ditemani Omnya mengobrol akrab. Bagi keluarga ini memang aku dikenal baik karena dulu juga sering berkunjung ke rumah keluarga ini. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Kebanyakan tamu-tamu itu adalah rekan-rekan bisnis Tante dan Omnnya. Acara Pembukaan itu singkat saja. Sambutan dari Pak Tanuwijaya, omnya Audray juga singkat. Tak lupa beliau memperkenalkan Apoteker yang menangani Apotek Sentosa yaitu Audray Lin. Acara dilanjutkan dengan ramah tamah dan makan siang. Setelah makan siang itu aku segera berpamitan karena harus mengisi kelas Pasca Sarjana. Audray sempat mengantarku sampai tempat parkir mobil.
”Pak Alan terima kasih kehadiran dan dukungannya!”, kata Audray.
”Sama sama Di. Sekali lagi selamat ya dan semoga sukses dengan bisnismu!”, kataku. Audray hanya mengangguk tersenyum. Akupun segera berpamitan dengan melambaikan tanganku.
Sepanjang perjalanan menuju Kampus aku sempat tidak percaya bahwa Audray Lin ternyata bisa juga seanggun itu. Aku sangat terkesan dengan Audray Lin pada pertemuan siang ini. Hanya sebentar bertemu tapi pertemuan itu sangat berkualitas. Aku jadi teringat sejak peristiwa foto-fotoku dengannya yang membuat Daisy Listya prihatin dan berburuk sangka kepadaku. Sejak itu Audray banyak berubah dan yang lebih terharu bagaimana Audray merasa menyesali semua yang dia lakukan. Saat itu dia sudah minta maaf kepadaku juga kepada Listya atas foto foto rekayasanya. Pada kesempatan lain Audray pun sempat mencurahkan semua isi hatinya kepadaku. Pengakuan seorang gadis masa kini yang tegas  dan jujur.
”Pak Alan. Aku menyadari bahwa aku bukan orang yang menjadi impian bapak selama ini!”, kata Audray ketika kami berbincang bincang di beranda rumahnya.
”Apalagi aku adalah gadis dengan etnis Tionghoa dan seorang Katholik tentu semakin menjadi jauh dari kriteria bapak!”, kata Audray lagi.
”Didi!”, aku memanggil Audray dengan panggilan kecil keluarganya yaitu Didi.
”Jangan berkata seperti itu. Semua manusia itu sama yang membedakan dihadapan Tuhan adalah sejauh mana pengabdian dan kesetiaan kepadaNya..!”, kataku menjelaskan.
”Didi  berbicara mengenai jodoh sebaiknya serahkan kepadaNya. Dialah yang Maha Tahu pilihan teman hidup terbaik untuk kita!. Dia lah sebaik baik Penentu”, kataku.
”Pak Alan kadang kadang aku iri kepada Listya. Dia seorang wanita yang lembut begitu ramah cara bertutur katanya kepada siapapun. Listya adalah wanita rupawan yang juga berhiaskan hati yang cantik!”, suara  curahan hati Audray keluar dari bibirnya dengan wajah yang mendung.
”Di kecantikan itu sangat relatif. Kamu juga cantik. Kau harus banyak bersyukur kepada Tuhan. Memiliki tubuh yang ideal impian bagi kebanyakan gadis-gadis. Pasti banyak gadis-gadis yang iri padamu. Semua lelaki juga pasti suka kepadamu. Kecantikan fisik ini semakin menjadi tinggi nilainya ketika kau mau menutupinya dengan rapi dan menghiasinya pula dengan budi pekerti yang luhur!”, kataku lagi dengan khotbah yang lebih panjang. Namun aku melihat ada secercah bahagia di wajah Audray ketika dia mendengar kata-kataku itu.
”Terima kasih Pak Alan. Memang cinta itu tidak bisa dipaksakan. Cinta harus memiliki frekuensi dan chemistry yang sama!”, kata Audray.
Dialog tadi adalah saat-saat terakhir kami bertemu Audray dan kembali aku berjumpa Audray saat peresmian Apoteknya. Aku melihat Audray yang kujumpai kali ini adalah Audray yang baru terlahir kembali. Audray yang penuh percaya diri. Audray yang sudah tidak lagi mempedulikan apakah dia seorang Tionghoa atau Katholik atau siapapun tapi Audray yang peduli dengan dirinya sendiri sebagai hamba Sang Pencipta. Audray yang memiliki hak yang sama dan kewajiban yang sama. Hak untuk dicintai dan kewajiban untuk mencintai. Selanjutnya Tuhan lah yang menentukan jodoh terbaiknya dan Tuhan Maha Mengetahui serta sebaik-sebaik Penentu.
Tidak sadar rupanya kata-kata itu juga bisa berlaku kepadaku. Alan mempunyai  hak untuk dicintai dan kewajiban untuk mencintai dan Tuhan Maha Mengetahui serta sebaik-sebaik Penentu. He he he lamunan kecil itu aku akhiri ketika aku sudah memasuki pelataran parkir Fakultas. Aku segera begegas menuju ruang kerjaku mengambil laptop dan bahan-bahan untuk memberikan kuliah lalu menuju Gedung Pasca Sarjana yang berada dua blok dari Fakultas Farmasi. Waktu dua jam memberikan kuliah berlalu begitu saja. Ya itu hanya rutinitas biasa. Sudah berapa banyak mahasiswa yang juga menganggap bahwa kuliah kuliah yang mereka terima adalah rutinitas yang harus dilalui semata mata hanya untuk menggapai rutinitas berikutnya. Mungkin dulu ketika aku masih mahasiswa seperti mereka sama saja memiliki pola fikir seperti itu. Memang sangat jarang orang menuntut ilmu untuk ilmu pengetahuan itu sendiri namun kebanyakan mereka menuntut ilmu untuk kepentingan materi. Untuk saat sekarang ini terlalu idealis memiliki sikap seperti itu yang sedikit dimiliki orang banyak. Oh rutinitas mengapa harus membelengguku?. Nanti dulu jangan merasa terbelenggu oleh rutinitas. Aku jadi teringat apa yang dikatakan seorang Filsuf Terkenal Penulis Kitab Ihya Ulumuddin yaitu Imam Al-Ghozali. Simak apa yang dikatakannya.
”Hari ini adalah milikmu. Jika tiba waktu pagi, janganlah engkau menunggu petang datang. Hari ini adalah hari yang sebenarnya engkau menghirup udara, hidup dan membuka mata. Hidupmu adalah hari ini. Hidupmu bukan hari kemarin yang telah meninggalkan kenangan baik maupun kenangan buruk. Janganlah engkau tenggelam dalam mengingat masa lalu. Jangan pula terlena merenungkan keindahan hidup yang pernah dulu kau jalani. Namun hidupmu juga bukan hari esok yang belum tentu engkau akan menjumpainya. Janganlah engkau terlena pada harapan harapan dan angan-angan masa depan. Jangan pula engkau merasa cemas dan takut untuk menghadapi hari esok. Lebih baik fikirkan saja hari ini. Hari ini adalah hidupmu, hari yang telah dinaungi oleh sinar Matahari dan engkau mendapati waktu siangmu adalah harimu yang sebenarnya. Oleh karena itu usiamu hanya sehari yaitu hari ini. Maka tanamkanlah di dalam hatimu sebuah kehidupan yang nyata pada hari ini seakan akan dirimu dilahirkan pada hari ini dan mati pada hari ini pula....”
Sungguh indah ungkapan yang sangat filosofis ini telah membuatku benar-benar menikmati hari ini. Nikmatilah hari ini. Nikmatilah rutinitas. Nimatilah kemacetan lalu lintas. Nimmatilah kegalauan hati. Nikmatilah kesibukan. Nikmatilah skripsi skripsi dan thesis yang menumpuk untuk dikoreksi. Nikmatilah kesepian dan kehampaan hati. Nikmatilah waktu yang membosankan. Nikmatilah kejenuhan. Nikmatilah kesendirian. Nikmatilah rasa kehilangan. Nikmatilah. Sungguh benar-benar aku menimati hari ini. Lalu bolehkah aku menimati hari ini dengan membaca ulang sms Kinanti yang kemarin?. Kubaca kembali sms Kinanti yang satu ini :
”Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”.
Ternyata menikmati hari ini dengan membaca sms Kinanti jauh lebih bermakna daripada merenungi nasib ditinggalkan Kinanti menikah dengan Eko Priotomo. Oleh karena itu untuk sementara lupakanlah hari esok ketika Kinanti akan bersanding dengan calon suaminya. Memang faktanya bahwa kebahagiaan itu adalah ketika orang yang aku cintai mendapatkan kebahagiaannya. Akupun tidak pernah ragu tetap menatap hari esok dengan senyum. Senyum kepedihan. Tersadar dari lamunan ternyata aku masih menikmati hari ini. Alhamdulillah.


(BERSAMBUNG)