Thursday, November 28, 2013

Novel Hensa : Episode Akhir Cintaku (Bagian 9)




Foto : Buku Novel Hensa/Koleksi Pribadi

Bagian 9
BERAKHIR PEKAN DI BOROMEUS

Beberapa malam ini aku sengaja tidak menelpon Kinanti. Sudah tiga malam dan ini malam yang ke empat. Padahal sebelumnya hampir setiap malam aku ngobrol dengan Kinanti melalui hand phone. Aku hanya ingin tahu apakah Kinanti rindu denganku ataukah tidak. Apakah Kinanti merasa kehilangan aku ataukah tidak. He he he metode lamaku kembali aku jalankan. Aku nanti akan tahu apakah Kinanti akan bersikap bagaimana dan dari sana aku bisa menebak isi hatinya?. Sebenarnya saat ini aku tahu Kinanti memang sedang butuh kehadiranku hanya aku tidak mau sekedar dijadikan tempat untuk pelarian kekecewaanya terhadap Eko yang menghianatinya.  Ah benar saja hand phone ku berbunyi. Kulihat siapa yang menelpon. Eh ternyata Audray ada apa gadis ini menelponku malam-malam begini?.
”Maaf pak Profesor malam-malam begini menelpon tapi masih jam sembilan belum terlalu larut!”, suara Audray diseberang sana. Aku melihat jam dinding ternyata baru jam sembilan seperempat. Pantas saja belum jamnya Kinanti menelpon. Kinanti biasanya menelpon diatas jam sepuluh.
”Iya Di tidak apa-apa. Apa yang bisa saya bantu Bu?”, kataku bercanda.
”He he he Pak Alan bisa saja. Hanya ingin mengkonfirmasi apakah Undangan saya sudah bapak terima?”, kata Audray.
”Belum,  Undangan apa nih Di?”, tanyaku pura-pura tidak tahu.
”Undangan Pernikahan Prof!”, kata Audray.
”Alhamdulillah selamat ya Audray. Saya turut merasakan bahagia!”, kataku.
”Terima kasih Pak. Sambil menunggu Undangan yang belum bapak terima, saya ingin mengundang lisan malam ini. Hadir ya Pak hari Minggu pekan depan ini!”, suara Audray penuh rasa bahagia.
”Baik Di!. Insya Allah saya hadir di hari pernikahanmu!”, kataku. Audray kembali mengucapkan terima kasih suaranya terdengar penuh kebahagiaan. Aku juga bersyukur gadis Tionghoa yang cantik ini akhirnya mendapatkan jodohnya. Audray Lin sosok gadis cerdas yang pernah menjadi mahasiswiku mungkin akan memiliki catatan sendiri dalam lembaran lembaran buku hidupku. Andaikan aku harus mencatat biarlah aku akan mencatat yang baik baik saja darinya. Faktanya di lembar akhir buku hidupku Audray adalah gadis yang juga memiliki kepribadian yang kuat. Hari Minggu pekan depan adalah sejarah untuk Audray untuk memulai mengarungi bahtera rumah tangga. Lalu kapan aku sendiri memulai mengarungi bahtera rumah tangga?.  Aku tertawa sendiri di kamar itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Wahai Kinanti kemanakah dirimu?. Waktu terus merayap dan tanpa terasa aku tertidur baru terbangun lagi saat terdengar suara adzan Subuh dari Mesjid Al-Akbar. Astagfirullah aku benar-benar kesiangan untuk kali ini aku terlambat tidak bisa mengikuti sholat Subuh berjamaah. Malam yang melelahkan dan ternyata telepon yang aku tunggu tidak pernah berbunyi.
Jumat pagi ini seperti biasa, lalu lintas Kota Surabaya padat penuh dengan semangat. Motor motor seakan berkejaran dengan waktu sedangkan mobil harus banyak mengalah untuk memberi jalan. Kemacetan seakan sudah menjadi ritual sehari-hari namun Alhamdulillah pagi itu aku sudah tiba di ruang kerjaku. Aku menyusun agenda hari ini. Mengisi kuliah di Pasca Sarjana sampai pukul sebelas siang. Sorenya ada pengamatan data penelitian mahasiswa di Laboratorium HPLC. Ketika aku sedang mempersiapkan bahan untuk mengisi kuliah tiba-tiba hand phone ku berdering. Aku angkat HP ku ternyata Intan yang menelpon.
”Assalaamu alaikum Om Alan!”, suara Intan terdengar khawatir.
”Wa alaikum salam ya Intan!”.
”Om Alan ada khabar buruk, Ibu sedang di rawat di Rumah Sakit!”.
”Lho sakit apa Ibumu!”, kataku terkejut.
”Tekanan darahnya turun drastis namun sekarang sudah ditangani dokter. Ibu sedang beristirahat kondisinya sudah lumayan!”, kata Intan.
”Baik Intan sore ini Om Alan ke Bandung!”.
”Iya Om kelihatannya Ibu sangat membutuhkan Om Alan!”, suara Intan penuh harap. Ya Allah kalimat itu keluar dari anak gadisnya Kinanti. Aku sangat terharu mendengarnya.  
Bandara Juanda sore itu tidak begitu sibuk sehingga aku masih dapat tiket untuk penerbangan ke Bandung. Menjelang Isya aku sudah mendarat di Bandara Husein Santranegara. Aku menggunakan Taksi menuju Rumah Sakit Boromeus di jalan Juanda tempat dimana Kinanti dirawat. Melalui jalan layang Pasupati tidak sampai satu jam akhirnya taksi itu mengantarku ke halaman parkir Rumah Sakit Boromeus. Segera aku menuju kamar rawat di lantai dua. Aku ketuk pintu kamar dan ketika pintu terbuka Intan sudah berdiri di sana.
”Om Alan Bu!”, suara Intan dengan gembira memberitahu ibunya.
”Assalaamu alaikum!”, aku memberi salam.
Aku melihat Kinanti tersenyum padaku sambil membalas salamku. Kinanti terlihat pucat. Memang butuh istirahat untuk mengembalikan kondisi kesehatannya. Tekanan darahnya rendah dan ternyata hasil uji Laboratorium menunjukkan kadar haemoglobinnya juga rendah. Kinanti mungkin terlalu capek. Terutama karena kelelahan tidak hanya secara fisik namun juga psikis.
”Terima kasih Alan sudah mau menjengukku!”, kata Kinanti dengan suara lemah namun wajahnya menampakkan kegembiraan.
”Alhamdulillah Kinan. Tentu saja aku pasti menjengukmu apalagi sedang sakit begini sedang tidak sakitpun aku tetap menjengukmu..!”, kataku.
”Iya Bu. Om Alan menjenguk Ibu sedang sakit karena khawatir. Kalau Om Alan menjenguk Ibu waktu Ibu tidak sakit, itu karena rindu!”, suara Intan menggoda sambil tertawa. Rupanya Intan sudah mulai berseloroh. Mendengar ini aku  tertawa dan Kinanti hanya tersenyum.
”Intan sekarangpun Om Alan menjenguk Ibumu juga karena rindu lho!”, kataku tidak kalah dengan Intan untuk menggoda Kinanti. Ruangan rawat inap itu penuh dengan canda dan tawa. Suasana yang sangat menggembirakan.
”Kinan bagaimana kondisimu sekarang?” tanyaku.
”Alhamdulillah, tensi sudah mulai membaik dan haemoglobin mudah-mudahan juga sudah meningkat dengan transfusi ini!”, kata Kinanti.
”Syukurlah beristirahatlah sampai pulih lagi jangan terlalu banyak pikiran!”, kataku.
”Om Alan sih enggak mau ngerti. Ibu tuh banyak pikiran karena orang Surabayanya nggak mau ngerti!”, kata Intan lag-lagi menggoda Ibunya.
”Intan, jangan macam-macam kamu itu!”, suara Kinanti sambil cemberut. Aku kembali tertawa.  Kinanti benar-benar tidak berkutik ”dikerjain” Intan, anak gadisnya sendiri. Memang suasana ruangan tempat Kinanti dirawat demikian hangat dengan canda dan tawa. Aku melihat Kinanti seperti terlahir kembali.  Wajahnya sudah nampak bersinar. Wanita cantik yang terbaring di ruang perawatan ini seakan sudah pulih. Aku kembali melihat mata yang berbinar jika Kinanti berbicara dan menatapku. Aku juga merasakan ada rindu di hatinya. Iya Kinanti memang merindukanku seperti aku merindukannya.
Besok Sabtunya ketika aku kembali menjenguk, Kinanti sudah kelihatan segar dan bugar. Wajah cantiknya sudah kembali memancar secerah Sabtu pagi ini. Kota Bandung ditemani Matahari yang bersinar dengan langit cerah berwarna biru. Hari ini aku mempunyai kesempatan seharian menemani Kinanti. Intan sendiri hari Sabtu ada kegiatan di Kampusnya sehingga aku benar-benar hanya bersama Kinanti.
”Tadi malam Listya telpon aku menanyakan kondisi kesehatanku!. Dia tahu darimu aku dirawat di Rumah Sakit!”, kata Kinanti.
”Iya tadi malam aku sms Listya memberi khabar tentangmu!”, kataku.
”Oh ya Listya bercerita katanya Audray minggu depan mau melangsungkan pernikahannya!”, kata Kinanti.
”Benar Kinan. Aku berharap minggu depan kau sudah benar-benar pulih sehingga bisa bersamaku ke resepsi pernikahannya Audray!”, kataku.
”Menurut dokter yang memeriksaku pagi tadi, Insya Allah hari Senin besok aku sudah diperbolehkan pulang!”, kata Kinanti.
”Alhamdulillah. Kinan sungguh aku senang mendengarnya. Memang aku melihat wajahnya Kinanti sekarang sudah kembali berbinar seperti biasanya!”, kataku.
”Alan Erlangga mulai kumat!”, kata Kinanti mendelik tapi sambil tersenyum dan aku tertawa lepas.
”Lalu apa pesan dokter tadi pagi untuk menjaga kesehatanmu?”, tanyaku.
”Dokter bilang padaku jangan terlalu banyak pikiran, istirahat cukup dan perhatikan makan!”, kata Kinanti.
”Nah itu terlalu banyak yang dipikirkan sebaiknya Kinanti memikirkan satu hal saja!”, kataku.
”Memikirkan satu hal?. Apa itu?”, tanya Kinanti.
”Cukup memikirkan satu hal yaitu Alan Erlangga yang lain lupakan!”, kataku sambil tertawa. Untuk kali ini sebuah cubitan mendarat di perutku dan aku hanya meng”aduh”.
”Memang dasar Alan Erlangga sifat jeleknya tidak hilang-hilang!”, kata Kinanti pura-pura ketus.
”Astagfirullah sifat jelek yang mana?”, kataku protes.
”Itu yang pintar bikin rayuan gombal!”,kata Kinanti. Aku kembali tertawa sementara Kinanti hanya tersenyum. Aku benar-benar lega karena aku melihat Kinanti sudah pulih, sehat dan gembira.
Menjelang sore aku segera berpamitan sesaat setelah Intan dan Bapak  Ibunya datang menjenguk Kinanti. Kedua orang tua Kinanti mengucapkan terima kasih atas kunjunganku. Bagiku beliau-beliau sudah bukan orang lain tapi sudah seperti orang tuaku sendiri. Terutama Ibunya seakan penuh harap kepadaku agar aku selalu tetap bisa menjaga Kinanti. Aku bisa merasakan dari dialog dialog kecilnya bersamaku. Sebelum aku berpamitan Intan masih sempat bercanda menggoda Ibunya.
”Om ternyata obatnya Ibu itu ada di Surabaya. Buktinya setelah obat itu datang menjenguk sekarang Ibu sudah sehat lagi!”, kata Intan dan kami di ruang itu tertawa sementara Kinanti hanya bisa melotot kepada Intan anak gadisnya.
Malam Minggunya aku habiskan bersama Ibu dengan mengajak makan malam di sebuah Kafe yang dekat dengan rumah. Ibu sekali lagi menanyakan tentang jodohku bahkan ketika tahu Kinanti sedang menyendiri saat ini, Ibu mengharapkan aku menikah dengan Kinanti saja. Memang Ibu dulu juga pernah berkata seperti itu dan kali ini permintaan Ibu dikatakannya lagi. Aku mencoba merenung ada makna apa dan bagaimana aku harus bersikap. Malam itu aku hanya berkata kepada Ibuku agar aku selalu di doakan mendapatkan jodoh yang terbaik.
Minggu pagi itu aku masih sempat menjenguk Kinanti di Rumah Sakit Boromeus karena aku mendapatkan tiket penerbangan yang siang.
”Kinan siang ini aku kembali ke Surabaya. Semoga kau tetap sehat dan kembali ceria jangan murung. Jangan terlalu banyak pikiran cukup pikirkan satu hal saja!”,kataku.
Untuk kali ini Kinanti tersenyum penuh arti dan aku tahu arti dari senyum itu. Senyum yang manis dengan mata indah bercahaya maka lengkaplah kecantikan wanita di depanku ini.
”Alan sungguh aku sangat bahagia memiliki sahabat sepertimu. Sungguh aku merasa nyaman, tenang, tentram berada di sisi sahabat sejatiku ini!”, kata Kinanti.
”Alhamdulillah. Aku juga demikian Kinanti adalah sahabat sejatiku yang selalu membuat aku penasaran. Sahabat yang selalu membuatku bertanya-tanya!”, kataku.
”Mengapa aku membuatmu selalu bertanya-tanya?. Profesor Alan apa sebenarnya yang ingin kau tanyakan?”, kata Kinanti sambil senyum senyum.
”Entahlah saking banyaknya pertanyaan sehingga tidak satupun yang mampu aku ingat!”, kataku juga sambil senyum-senyum.
”Baiklah Profesor jika nanti sudah ingat pertanyaan itu segeralah katakan  kepadaku!”, kata Kinanti.
Dialog-dialog itu akhirnya membuat kami tertawa. Aku merasakan kebahagiaan yang lain terutama ketika Kinanti mengatakan merasa nyaman, tenang, tentram berada di sisiku. Benarkah?. Mudah-mudahan bukan sekedar angin Surga. Ternyata perjuangan masih panjang maka akupun siang itu berpamitan kembali ke Surabaya.
”Hati-hati Alan jaga dirimu baik-baik. Kabari aku jika sudah tiba di Surabaya!”, pesan Kinanti.
”Juga untuk Kinan jaga kesehatan, cukup fikirkan satu hal saja ya!”, kataku. Kinanti mengangguk sambil tersenyum manis.


(BERSAMBUNG)

Sunday, November 24, 2013

Novel Hensa : Episode Akhir Cintaku (Bagian 8)

Foto : Hensa/koleksi pribadi


Bagian 8
INIKAH PELABUHAN AKHIR CINTAKU

Dalam dua pekan ini hampir setiap malam Kinanti selalu menyempatkan menelponku. Setiap itu pula diakhir dialog selalu ditutup dengan isak tangis. Aku dapat merasakan betapa sakit hati Kinanti yang luar biasa menerima perlakuan penghianatan di depan matanya. Sedalam apa luka yang ada dalam hatinya aku bertekad untuk menyembuhkannya. Sebagai sahabat sejatinya, aku selalu setia setiap saat mendengarkan apa yang dirasakan hatinya.
Seperti malam ini aku berdialog dengan Kinanti melalui hand phone.
”Belum tidur Alan?”, tanya Kinanti.
”Belum Kinan nggak tahu nggak bisa tidur nih. Padahal koreksian skripsinya mahasiswa sudah beres semua..!”, kataku.
”Aku juga beberapa hari ini selalu tidur diatas tengah malam walaupun tidak ada yang harus aku kerjakan. Terus terang rasa sakit hati ini begitu sulit hilang!”, suara Kinanti lirih.
”Kinanti yang aku kenal adalah Kinanti yang tegar. Aku yakin Kinanti yang aku kenal ini dengah mudah dapat melupakan Si Penghianat itu!”, kataku.
”Alan kalau Si Penghianat itu sudah aku hilangkan dari hatiku tidak ada satu ruangpun dalam hatiku untuk dia sampai kapanpun!”, kata Kinanti.
”Lalu sekarang ruang hatimu sedang kosong dong!”, tanyaku mulai menggo-da.
”Ruang hatiku sekarang sudah kembali terisi dan jangan harap kepada yang lain untuk mencoba hadir di sana!”, kata Kinanti.
”Oh berarti sudah tidak ada harapan nih!”, tanyaku lagi.
”Entahlah Alan tanya saja kepada dirimu sendiri!”, suara Kinanti sambil tertawa.
Begitulah dialog malam dengan Kinanti berisi percakapan yang hanya sekedar melepas sesak didada bagi Kinanti dan melepas rindu bagiku.
Sebulan sudah peristiwa sangat memilukan itu sudah berlalu. Terakhir aku bertemu Kinanti lagi di Bandung dan aku bersyukur Kinanti sudah mulai kembali pulih. Kegembiraannya, keceriaannya dan wajah bahagianya sudah terlihat dalam sikap sehari harinya. Aku sangat bahagia melihat Kinanti seperti kembali terlahir. Aku memang dari awal sudah yakin Kinanti adalah wanita yang tangguh. Intan, putri Kinanti pernah berkata bahwa ibunya sudah kembali ceria karena banyak dibantu olehku. Menurutku tidak juga mungkin aku hanya sedikit membantu namun yang menolong Kinanti adalah dirinya sendiri yang selalu yakin akan pertolonganNya jauh lebih sempurna. Selama ini aku hanya sering menelpon Kinanti hanya sekedar ingin mendengarkan curahan beban hatinya agar bisa terbagi untukku. Memang aku bisa merasakan setiap Kinanti menerima telepon dariku ada rasa kegembiraan dari nada bicaranya. Kinanti seakan memang selalu menunggu telepon dariku. Apakah ini saatnya aku kembali mengetuk pintu hatinya?. Jangan dulu biarlah waktu terbaik nanti yang akan datang pada saatnya.
Dua hari ini aku harus menghadiri acara workshop tentang Akreditasi untuk Perguruan Tinggi Jawa Timur di sebuah Hotel kota Batu. Jumat sore acarapun sudah selesai namun sebelum aku kembali ke Surabaya aku ingin menikmati sore yang cerah di Kota Malang. Memang fenomena macet sekarang ini sudah dimana-mana. Turun dari Kota Batu sudah dihadang macet di daerah Dinoyo menuju kota bertambah lagi macet di pertigaan Universitas Brawijaya yang tidak ber traffic light. Di pertigaan ini kendaraan yang mau lurus harus belok ke kiri dulu baru berputar balik kanan. Setelah berjuang melepaskan diri dari kemacetan akhirnya aku terdampar di Matos – Malang Town Sequere yaitu sebuah Mall yang cukup terkenal bagi warga Malang yang ada di kompleks Unibraw. Mobil aku parkir di lantai dua karena lantai dasar sudah penuh. Mall besar ini penuh dengan pengunjung. Banyak muda-mudi bahkan pelajar yang masih berseragam mungkin pulang sekolah langsung menuju ke Mall ini. Aku memang hanya sekedar refreshing saja. Melihat-lihat pakaian di sebuah Butik khusus Busana Muslim. Aneka jilbab dengan warna warni dan berbagai model.
”Pak apa yang bisa saya bantu?”, suara karyawati Butik menawarkan bantuannya.
”Oh ya saya hanya lihat-lihat dulu!”, kataku.
”Mbak, mbak yang ini berapa?”, terdengar suara wanita dibelakangku memanggil karyawati Butik itu.
”Maaf Pak silahkan lihat-lihat saya melayani Ibu yang di sana dulu!”, kata Karyawati itu sambil menghampiri wanita yang tadi memanggilnya. Akupun menengok kebelakang. Aku tidak tahu apakah dunia ini sempit atau memang Kota Malang yang sempit. Ternyata wanita itu adalah Daisy Listya. Ah seperti dalam Sinetron di Televisi saja. Aku tersenyum sendiri. Diam-diam aku perhatikan Listya yang sedang memilih busana muslim dan jilbab. Listya sendirian tidak terlihat Rizal, suaminya. Aku segera menghampirinya.
”Assalaamu alaikum Bu Rizal!”, sapaku dengan ramah. Listya menoleh dan nampak dia terkejut.
”Wa alaikum salaam Pak Alan!”, kata Listya setengah berteriak. Aku melihat wajahnya yang cantik itu berbinar. Listya memang benar-benar terkejut bisa bertemu denganku. Bukan dia saja yang terkejut aku juga demikian. Ah dasar seperti Sinetron di Televisi saja he he he.
”Bagaimana khabar Pak Profesor!?”, tanya Listya sambil tersenyum. Ya Allah rasanya lamaaaaa sekali aku tidak menimati senyum wanita yang aku kagumi ini.
”Alhamdulillah baik bagaimana denga Bu Rizal?”, tanyaku balik.
”Alhamdulillah baik juga Pak. Oh ya Bu Kinan baik-baik juga Pak. Saya waktu itu terima kabar dari Bu Kinan tentang batalnya pernikahannya itu. Saya turut prihatin!”, kata Listya.
”Bu Kinan sekarang sudah berangsur baik dan mulai bisa melupakan yang sudah terjadi. Kita doakan saja. Oh ya Listya sendirian?. Mas Rizal tidak ikut menemani?”, tanyaku.
”Mas Rizal sudah dua bulan ini di rumah saja harus istirahat karena cek terakhir adaptasi ginjalnya yang baru mengalami hambatan medis. Setiap Minggu diharuskan cuci darah. Mudah-mudahan bisa pulih kembali!”, kata Listya.
”Iya Listya semoga Mas Rizal kembali pulih!”, kataku. Aku sengaja tidak melanjutkan dialog tentang Rizal karena aku lihat Listya kelihatan murung membicarakan tentang suaminya. Pembicaraan beralih ke bisnis Apotiknya.
”Alhamdulillah Apotik kami lancar lancar saja. Omzetnya lumayan Pak!”, kata Listya.
”Syukurlah Listya. Semoga selalu mendapatkan barokah Allah aamiin!”, kataku mendoakan untuk kemajuan bisnis Apotiknya.
”Oh ya Pak Alan apakah dapat Undangan Pernikahan Audray?”, tanya Listya.
”Audray menikah?. Saya belum dapat Undangannya!”, kataku.
”Saya juga memang belum menerima Undangannya hanya kemarin Audray telepon saya agar bisa hadir dihari Pernikahannya bulan depan!”,kata Listya.
”Mungkin nanti Undangannya baru beredar!. Wah senang sekali akhirnya Audray dapat juga jodoh terbaiknya!”, kataku tanpa ekspresi.
”Lalu Pak Alan kapan mendapatkan jodoh terbaiknya?”, tanya Listya. Pertanyaan yang telak membuatku tidak berkutik dan aku hanya tersenyum tenang.
”Listya insya Allah suatu hari akan hadir jodoh terbaikku doakan ya!”, kataku. Listya hanya terdiam dan aku melihat kembali ada kemurungan di wajahnya. Melihat gelagat ini aku segera mengalihkan pembicaraan ke soal Apotik lagi.
”Lis apakah Apotiknya sudah bisa melayani Askes?”, tanyaku.
”Iya Pak bulan ini sudah mulai kerja sama dengan PT Askes untuk melayani kesehatan bagi rakyat kecil. Keuntungannya kecil juga namun pahalanya besar!”,kata Listya sambil tertawa.
”Kesehatan ini memang menjadi persoalan Nasional yang harus menjadi prioritas utama. Calon Presiden nanti yang ingin terpilih oleh rakyat harus bisa mewujudkan pelayanan kesehatan bagi rakyat kecil!”, kataku.
”Setuju Pak. Kok jadinya seperti kampanye Capres!”, kata Listya kembali tertawa. Tawa Listya yang lepas. Ah rasanya suasana seperti ini begitu aku rindukan bercanda dengan Listya seperti saat dia masih menjadi Mahasiswiku dulu. Namun waktu tidak mungkin diputar kembali ke belakang.
Pertemuan dengan Daisy Listya di Mall itu membuat semua kenangan bersamanya dulu seakan kembali ada di hadapanku. Namun aku harus kembali ke alam nyata. Berpijak di bumi yang nyata. Daisy Listya sudah menjadi masa laluku sama seperti Diana Faria. Sudahlah Alan Erlangga kini masa depanmu adalah Kinanti Puspitasari. Untuk mendapatkan masa depanmu pun Alan Erlangga harus tetap berjuang. Untuk mendapatkan cinta Kinanti Puspitasari tetap harus kau perjuangkan Alan!.  
Perjalanan dari Malang menuju Surabaya melalui jalan Tol baru pengganti jalan raya Porong, lumayan lancar dengan waktu tempuh sekitar dua jam padahal dulu biasanya bisa sampai tiga empat jam saat Tol baru belum selesai. Alhamdulillah aku tiba di rumah dengan sehat dan selamat. Setelah mandi dan sholat akupun menikmati secangkir teh panas yang sudah disediakan Si mbok. Sebenarnya makan malampun sudah tersedia di meja makan tapi rasanya aku masih kenyang sehingga semua menu makan malam di meja makan itu sama sekali tidak aku sentuh. 
Malam ini terasa begitu panjang. Seharusnya rasa lelah yang mendera tubuhku ini segera mengantarkanku tertidur lelap, namun anehnya aku justru merasakan rasa segar dan gembira. Aku tidak tahu mengapa demikian, apakah  mungkin karena faktor bertemu dengan Daisy Listya tadi sore itu. Bisa juga iya karena aku memang tidak bisa menyembunyikan perasaanku ini apalagi ini fakta bahwa Daisy Listya tidak bisa begitu saja harus hilang dari lembaran hidupku. Diana Faria saja yang sekarang sudah tiada masih saja terasa hadir ada dalam hatiku apalagi Daisy Listya. Apakah ini berarti Kinanti Puspitasari tidak memiliki arti bagiku?. Nanti dulu karena ini juga fakta Kinanti adalah satu-satunya wanita saat ini yang sangat realistis menjadi masa depanku. Ya hanya Kinanti yang mungkin saat ini akan menjadi perjuangan cinta terakhirku. Benarkah?. Hanya Allah yang Maha Tahu aku hanya bisa berkata : ”Bismillah......!”.

(BERSAMBUNG)