Saturday, April 26, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 13

Foto : Hensa/Anggrek13

EPISODE 13
 TANGISAN DI PELUKAN IBU

Aku masih ingat petuah Bapak saat terakhir bertemu di Pasuruan.  “Hermansyah Al-Buchari sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk menentukan jodohnya. Ilmu agamamu sudah aku anggap cukup untuk bisa menentukan jodohmu sendiri!”, itulah kalimat Beliau yang selalu menjadi tantanganku. Terus terang setelah bertemu Ibu-Bapa di  Pasuruan itu, aku merasa seperti anak sekolah yang punya PR (‘home work’) pelajaran kimia, fisika atau matematik atau kalkulus yang perhitungannya rumit super njelimet, ruwet seperti benang kusut yang tanpa ujung tanpa pangkal. Terus berusaha untuk memahami petuah Bapa namun semakin berusaha malah justru semakin mumet. Bukan karena aku tidak paham ilmunya tapi begitu sulitnya disaat harus aku terapkan pada realita kehidupan.
“Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya dan pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.”
Ilmunya seperti itu semua pasti sudah mengerti namun belum tentu tahu bagaimana cara membawa ilmu itu dalam kehidupan sehari-hari. Aku mencintai Mutiara karena aku ingin mengajaknya dari tempat gelap menuju tempat yang penuh dengan cahayaNya. Cara mencintai yang sangat sederhana namun harus ditempuh melalui jalan yang sangat rumit.
Ketika bertemu Mutiara maka akupun bercerita tentang Ibu. Aku katakan kepadanya bahwa Ibu sangat simpati terhadap kisah kelam dan masa lalu Mutiara. Ibupun ingin segera bertemu langsung dengan Mutiara.
“Benarkah demikian Mas Herman?”, tanya Mutiara seolah tidak percaya dengan semua yang kuceritakan.
“Ya tentu saja benar Tiara. Dalam waktu dekat aku ingin mengajakmu bertemu dengan Ibu!”, kataku.
“Iya Mas, aku juga sudah ingin bertemu dengan Ibu!”, kata Mutiara dengan mata yang berkaca-kaca karena terharu. Aku sudah merasa cukup lega melihat ada rasa bahagia dalam diri Mutiara. Akhirnya kami berencana bertemu Ibu pada hari Sabtu ini adalah waktu yang paling memungkinkan. Hari Senin – Jumat tentu saja hari kerjaku di Rumah Sakit. Apalagi sekarang Mutiara juga sudah mulai bekerja di Laboratorium Medis di sekitar kawasan Jalan Mayjen Sungkono. Sabtu itu hari libur untuk Mutiara sedangkan bagiku malam Sabtu dinas jaga malam sehingga Sabtunya adalah libur.
Kamis sore ini pulang dari Rumah Sakit aku sempatkan mampir ke Rumah kost Mutiara. Sudah dua hari Mutiara menderita demam sehingga dua hari itu pula dia tidak masuk kerja.
“Tiara kelihatan pucat sekali bagaimana demamnya?”, tanyaku saat berbincang di ruang tamu.
“Sudah lumayan Mas. Besok mungkin aku sudah bisa masuk kerja!”, kata Mutiara.
“Syukurlah kalau sudah sehat!”, kataku.
“Harus sehat dong Mas. Hari Sabtu kan mau ketemu Ibu!”, kata Mutiara dengan mata berbinar. Aku tersenyum memandang wanita cantik di depanku ini dan Mutiarapun membalasku dengan senyumnya yang menenteramkan hati.
“Ya Tiara namun harus tetap beristirahat yang cukup jangan sepelekan penyakit flu sekalipun!”, kataku sedikit serius.
“Ya Pak dokter!”, kata Mutiara menggoda.
“Tadi siang sudah minum obat belum?”.
“Sudah Pak dokter…!”, kata Mutiara sambil tertawa.
“Okey bagus!”, kataku sambil mengusap kepalanya seperti seorang Ayah kepada anaknya. Kami tertawa bersama-sama. Alhamdulillah Mutiara hanya flu ringan dan aku lihat sekarang sudah kelihatan segar kembali.
 Jumat sore itu aku kembali berkunjung ke tempat Mutiara. Kebetulan sore itu dia juga baru saja tiba dari tempatnya bekerja di Laboratorium Medis.
“Kita minum teh sore bersama sambil menikmati Mentari senja berwarna jingga!”, kata Mutiara agak sedikit berpuisi romantis. Disitu memang sudah tersedia dua cangkir teh panas manis dengan aroma yang wangi dan tersaji pula pisang goreng keju yang masih hangat. Sungguh nikmat sekali.
“Mas tadi malam, Mbak Bunga telpon aku menanyakan kesehatanku. Mas Herman cerita kepadanya ya?”.
“Oh iya aku cerita kalau Tiara sakit dan sudah dua hari tidak masuk kerja!”, kataku menjelaskan saat aku menelpon Bunga malam itu.
“Aku terharu mbak Bunga begitu baik selalu memperhatikanku!”, kata Mutiara. Mutiara begitu mengagumi Bunga sebagai sosok yang ingin dijadikannya panutan. Karena memang Bunga adalah gadis yang cerdas, cantik, bijak dan dewasa serta mandiri. Sosok seperti ini yang sangat disukai oleh Mutiara dari Bunga. Disisi lain Bungapun sangat kagum kepada Mutiara karena wanita iniadalah seorang wanita yang tangguh memiliki semangat dan pendirian tidak kenal menyerah. Oh Tuhan sesungguhnya dua wanita ini adalah sosok sosok yang menjadi impian dalam kehidupanku.
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini Tiara!?”, tanyaku sengaja mengalihkan pembicaraan.
“Baru saja datang instrument laboratorium yang baru datang dari Jerman Mass spectrophotometer yang harus aku uji kinerjanya!”, kata Mutiara. Alat tersebut adalah alat laboratorium untuk mendeteksi komponen tertentu dari sampel-sampel biologis yang akan diuji.
“Baik Tiara yang penting sekarang aku lihat sudah semakin sehat. Walaupun baru pulang kerja tapi senyumnya masih manis dan segar, tidak kelihatan capek!”, kataku mulai menggoda.
“Rayuan dokter Hermansyah mulai menjebak!”, kata Mutiara sambil tertawa. Mendengar ini aku juga turut tertawa. Sore itu benar-benar kami nikmati bersama penuh keceriaan dan kebahagiaan. Terutama Mutiara kelihatan sekali menunjukkan rasa bahagianya mungkin karena akan bertemu Ibu. Tentu saja pertemuan ini adalah momen yang sangat penting baginya, bukan pertemuan biasa tapi pertemuan yang akan menjadi simbol restu dari Ibuku untuknya.
“Mas Herman. Sungguh aku sudah tidak sabar ingin segera bertemu Ibu. Rasanya tidak percaya kalau Ibu mau bersimpati kepadaku yang penuh dengan dosa ini!”,kata Mutiara sambil tertunduk.
“Besok kita akan ke Pasuruan ketemu Ibu dan juga Bapak, aku sudah memberi kabar kepada beliau. Memang betul Ibu juga ingin segera bertemu denganmu Tiara!”, kataku. Mutiara memandangku dengan tatapan sejuta arti.
“Hei kenapa Tiara memandangku seperti ini ?”.
“Aku seperti mimpi Mas!”, katanya lalu melanjutkan kalimatnya : “Bertemu denganmu adalah anugerah terbaik dalam hidupku. Bertemu dengan mbak Bunga yang selalu mendukungku. Aku seperti sedang bermimpi!”.
“Sudahlah Tiara. Saat ini tidak sedang bermimpi!.kalau tidak percaya biar aku cubit pipimu!”, kataku sambil tanganku pura-pura mau mencubit.
“Eit jangan Mas!”, kata Mutiara menghindari tanganku sambil tertawa. Tawa kami adalah tawa kebahagiaan semoga menjadikan tawa yang penuh dengan barokahNya.
Sabtu pagi itu aku sudah menjemput Mutiara di Jalan Bali. Lalu lintas Surabaya sepagi ini sudah mulai sibuk dengan aktivitas rutin. Menggunakan mobil city car nya milik Bunga aku meluncur dari jalan Bali berbelok menuju arah Kertajaya lurus menuju jalan Sulawesi arah Dr Sutomo melewati perempatan jalan Raya Darmo. Sengaja aku mengambil Tol dalam kota lewat Jalan Mayjen Sungkono. Relatif lancar mungkin karena hari masih pagi sehingga tidak begitu lama akhirnya kami sudah masuk jalan Tol Surabaya – Gempol. Selama dalam perjalanan kulihat Mutiara lebih banyak diam. Aku hanya sesekali saja menegurnya.
“Tiara sedang melamun apa?”.
“Mas, Saat nanti ketemu Ibu rasanya tidak ter-bayangkan betapa malu aku bertemu dengan Beliau!”, kata Mutiara.
“Tidak perlu seperti itu. Ibu sangat sayang padamu Tiara!”, kataku.
“Benarkah Mas?”, tanya Mutiara sambil menatapku. Aku lihat ada air mata di sudut matanya. Aku memaklumi betapa terharunya Mutiara untuk bertemu Ibu kali ini karena baginya ini pertemuan yang sangat istimewa. Rasa haru Mutiara semoga saja merupakan kebahagiaan yang penuh dengan harapannya selama ini.

Alhamdulillah akhirnya aku sudah melihat Gerbang depan Pesantren dan sebentar lagi kami sampailah di Rumah. Aku langsung memarkir mobil seperti biasa di sebelah Selatan Masjid tepat di depan Rumah. Aku lihat Ibu dan Bapak sudah menanti di Teras Rumah. Kamipun turun dari mobil lalu aku menghampiri Bapak dan Ibu sambil mencium tangan beliau. Aku lihat pula Mutiara mencium tangan Bapak dan Ibu kemudian kulihat Ibu memeluk Mutiara dengan erat sekali. Mutiara menangis dalam pelukan Ibu. Tangisan haru yang juga mungkin tangisan kepedihan masa lalu namun bisa juga tangisan harapan kebahagiaan masa depan. Mutiara dalam pelukan Ibu merasakan rasa tenteram yang sesungguhnya yang selama ini ia dambakan. Semoga.

BERSAMBUNG

Thursday, April 24, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 12

Foto : Hensa/Anggrek12

EPISODE 12
 MENAPAK DINDING TERJAL

Tidak seperti biasanya pada libur semester singkat ini dipergunakan oleh Bunga untuk pulang ke Jakarta. Padahal sebelumnya saat libur panjangpun, Bunga lebih betah tetap tinggal di Surabaya atau Pasuruan. Apakah ini ada hubungannya karena aku saat terakhir ini selalu bersama dengan Mutiara?. Memang akhir-akhir ini aku lebih sering bersama Mutiara dan sangat jarang bertemu Bunga. Telepon atau sms pun sudah jarang hanya tadi malam saja aku dikejutkan oleh telpon Bunga bahwa dia mau liburan di Jakarta.
“Kapan ke Jakarta Bunga?”, tanyaku saat itu.
“Minggu pagi!”.
Aku tidak berani bertanya lebih jauh tentang liburan singkat kok harus pulang ke Jakarta.
“Oh ya Herman maukah kau mengantarku ke Bandara Juanda?. Nanti pake mobilku sekalian kamu bawa saja mobil selama aku liburan di Jakarta!”, kata Bunga.
“Ok Bos. Siap!”, kataku biar ada kesan bercanda padahal hati ini sebanarnya masih bertanya-tanya karena seolah sekarang ini Bunga selalu mau menghindar dariku.
“Thanks Herman!”, kata Bunga.  
Pagi itu suasana Bandara Juanda sudah penuh dengan hiruk pikuk. Sepagi ini denyut Bandara ini sudah berpacu dengan waktu. Mungkin juga karena hari Minggu akhir pekan terutama saat liburan sekolah, banyak para Mahasiswa atau Pelajar yang mau bepergian sekedar wisata mengisi liburan mereka. Masih ada waktu satu jam bagi Bunga sebelum check in, kami habiskan di Corner café sambil menikmati minuman hangat dan kue ringan.
“Herman. Semakin lama aku semakin kagum padamu. Bertahun-tahun mengenalmu. Aku tahu luar dalammu dan yang paling membuat takjub ketika kamu mencintai Mutiara!”, kata Bunga. Aku merasakan kata-kata Bunga begitu datar dan wajar tidak ada sedikitpun nada sumbang rasa cemburu.
“Maksudmu kagum bagaimana?”.
“Kamu tahu Her. Semua Pria selalu menginginkan keperawanan seorang gadis. Ya walaupun cukup wajar di Negara kita yang selalu menjunjung tinggi kaidah kesucian seorang gadis dilihat dari keperawanannya!”, kata Bunga.
“Bunga. Aku sendiri heran kenapa aku mencintai Mutiara. Namun yang jelas untuk dicintai, Mutiara tidak perlu harus perawan. Mutiara memiliki ketulusan yang utuh. Cintanya begitu sederhana namun banyak maknanya!”, kataku.
“Mungkin ini yang membuat dokter Hermansyah menjadi seorang luar biasa!”, kata Bunga kali ini ada senyum tersungging di bibir manisnya. Lama rasanya aku tidak melihat senyum manis Bunga seperti ini lagi.
“Alhamdulillah!”, kataku pendek sambil membalas senyumnya.
“Okey Herman terima kasih sudah mengantarku. Aku harus segera check in !”, kata Bunga sambil berdiri dan menyalami tanganku. Bunga berbalik memunggungiku bergegas menuju Pintu Keberangkatan lalu hilang berbaur dengan para penumpang lainnya. Akupun bersiap menuju tempat parkir sambil pikiranku terus menerawang terutama memikirkan bagaimana sikap Ibu kepada Mutiara setelah tahu siapa sebenarnya wanita itu. Dalam perjalanan pulang dari Bandara Juanda itu tiba-tiba saja aku memutuskan untuk ke Pasuruan menemui Ibu dan Bapak. Ya biar aku saja dulu yang bicara tidak perlu Mutiara. Hal ini untuk menjaga andai ada sesuatu yang tidak diharapkan sudah bisa dihindari dari awal. Akhirnya mobil ini mengarah ke Tol Waru – Gempol menuju Pasuruan. Kulihat saat ini baru pukul 9.20 insya Allah sebelum Dhuhur aku sudah tiba di Rumah. Lalu lintas selama perjalanan cukup padat terutama yang menuju arah Kota Malang karena pada hari Minggu biasanya banyak keluarga yang pergi keluar kota hanya untuk mencari suasana segar disekitar Malang. Walaupun lalu lintas cukup ramai namun akhirnya aku sampai juga di kota Pasuruan kemudian menuju ke Desaku arah Selatan dari kota Pasuruan. Hanya 30 menit dari kota Pasuruan sampailah aku di depan Pintu gerbang Pesantren. Mobil aku parkir di halaman Selatan Mesjid persis di depan Rumah kediaman Bapak-Ibu. Aku disambut Ibu di teras depan itu. Aku menghampiri dan mencium tangan Ibu.
“Lho kok kamu sendirian?”, tanya Ibuku.
“Maksud Ibu mestinya sama siapa?”, tanyaku.
“Ya Mutiara lah!”.
“Kok Ibu enggak tanya Bunga padahal Ibu tahu ini mobil yang kupakai punya Bunga?”.
“Ibu kan sudah di kabari Bunga tadi malam, hari ini dia pulang ke Jakarta!”, kata Ibu. Aku hanya garuk-garuk kepala. Rupanya antara Ibu dan Bunga memiliki komunikasi yang baik. Sangat istimewanya Bunga di mata Ibu. Andai saja Mutiara bisa seistimewa itu?. Bahkan aku sendiri hampir saja lupa menelpon Mutiara untuk memberi kabar bahwa hari ini aku ada di Pasuruan. Saat aku menelpon aku pun menjelaskan strategi menghadapi Ibu lalu Mutiara menyetujui langkahku.
Sholat Dhuhur dan makan siangpun usai sudah namun kami rupanya masih duduk di Ruang makan itu. Ibu begitu serius mendengar penjelasanku tentang Mutiara sementara Bapak hanya sesekali saja menyela minta penjelasan. Sungguh saat itu aku benar-benar seperti seorang Mahasiswa yang sedang menghadapi Ujian skripsi dengan para Penguji yang kritis dan cerdas.
“Mutiara, sungguh malang nasibmu nak!”, kata Ibu dengan suara pelan menyerupai bisikan. Ibu sangat menaruh simpati atas kejadian yang menimpa Mutiara. Hal ini yang sangat diluar dugaanku. Ibu tidak berubah sikap terhadap Mutiara. Sebenarnya aku merasa lega namun belum tuntas karena Bapak masih belum memberikan komentar sama sekali.
“Herman, cerita yang sangat tragis. Apakah sekarang Mutiara sudah kembali berhubungan dengan kedua orang tuanya?”, tanya Ibu.
“Belum Bu. Namun sekarang di Surabaya ini Mutiara sudah bertemu dengan Om Franky, adik laki-laki dari Mamanya!”, kataku.
Mutiara pernah bercerita dua minggu yang lalu bahwa dia memutuskan untuk menemui Om Franky. Keputusannya untuk bertemu Om Franky ini ditempuh Mutiara dengan pertimbangan karena kini dia sudah lulus kuliah dan sekaligus juga keluar dari dunia hitam itu, namun demikian Mutiara masih belum siap untuk menemui Mama dan Papa tirinya. Pertemuan mereka sangat dramatis saat itu. Om Franky sebenarnya sudah diminta untuk mencari Mutiara, namun Mutiara demikian pandai bersembunyi dalam setahun terakhir ini. Maka ketika akhirnya mereka bertemu semuanya berakhir dengan haru dan bahagia. 
“Mas Herman, akhirnya aku  harus cerita juga kepada Om Franky tentang peristiwa itu. Tentu sambil berpesan jangan sampai Mamaku tahu!”, kata Mutiara saat itu menjelaskan padaku. Bagiku, keputusan Mutiara ini sangat melegakan karena dia telah kembali ada ditengah-tengah keluarganya. Paling tidak andai nanti aku melamar Mutiara bisa dilakukan melalui Omnya sebagai wakil keluarga.
“Saat itu Om Franky sangat marah dan dengan penuh emosi ingin agar Mamaku bercerai saja dengan Papa tiriku itu!”, kata Mutiara saat itu. Namun untung saja Mutiara bisa membujuk Om Franky agar bersabar untuk kebaikan dirinya.
“Herman!”, kembali suara Ibu memecah keheningan dan membuyarkan lamunanku saat di Ruang makan itu.
“Ya Bu!”.
“Kamu sisihkan waktu untuk mengajak Mutiara ke sini biarlah Ibu dan Bapak bisa berbincang dengan Mutiara lebih akrab lagi!”, kata Ibu.
“Herman!”, kali ini suara Bapak penuh wibawa. Aku terkejut sangat dalam mendengar namaku dipanggil beliau.
“Ya Pa!”, kataku pendek sambil memperhatikan apa yang akan dikatakan beliau pasti hal yang sangat penting sekali.
“Hermansyah Al-Buchari sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk menentukan jodohnya. Ilmu agamamu sudah aku anggap cukup untuk bisa menentukan jodohmu sendiri!”, kembali suara Bapakku, KH Muslim Al-Buchari  dengan kewibawaannya sebagai seorang yang disegani di Pesantren ini. 
Petuah beliau ini adalah tantangan tersendiri bagiku. Aku harus kembali mengingat isi hadist atau ayat dari Kitab Suciku serta penafsirannya yang benar. “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah (wanita yang baik)”. Apakah Mutiara wanita yang baik?. Bagaimana dengan Bunga mana yang lebih baik?. Apakah aku berhak untuk membandingkan kedua wanita ini?. Apakah aku adil menyandingkan Mutiara dan Bunga lalu memilih mana diantara mereka yang terbaik?. Sungguh sangat sulit sekali untuk mendapatkan perhiasan dunia ini karena sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang baik.

 BERSAMBUNG