Saturday, May 24, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 15

Foto : Anggrek16/hensa

EPISODE 15
 KITA MULAI MELANGKAH

Minggu sore itu aku sudah berada ditengah-tengah kesibukan Bandara Juanda untuk menjemput Bunga. Saat itu aku berdiri di depan Pintu Kedatangan Dalam Negeri yang penuh dengan lalu lalang orang-orang yang baru saja tiba di Surabaya. Mataku kini tertuju kepada seorang gadis semampai yang sedang menarik tas dengan langkah tegap dan pasti. Ya Bunga dari jauh sudah kelihatan memasuki pintu keluar. Gadis ini cantik sekali wajah yang tegas tapi lembut dengan pandangan matanya yang tajam serta cara berfikirnya yang cerdas. Sungguh dia seorang gadis yang sempurna, cantik dan pintar. Kudengar ketika namaku dipanggil Bunga maka aku menoleh ke arahnya. Dari jauh Bunga melambaikan tangannya kemudian segera kubalas.
“Herman bagaimana kabar?”.
“Alhamdulillah baik-baik. Kamu sendiri?”.
“Baik dong karena sudah melepas kangen sama Papa dan Mama he he he!”, kata Bunga sambil tertawa. Kami berjalan beriringan menuju Tempat Parkir. Udara cerah Surabaya sore itu benar-benar sangat mengesankan. Keluar dari Bandara lalu lintas agak sedikit macet karena volume kendaraan yang mau keluar harus antrian di Pintu pembayaran parkir namun setelah memasuki Tol Bandara menuju Waru semua berjalan lancar.
“Selama liburan aku selalu menerima kabar gembira dari Mutiara!”, kata Bunga. Aku hanya tersenyum dan ini sudah aku duga sebelumnya antara Bunga dan Mutiara memang tidak bisa dipisahkan. Mereka selalu berhubungan melalui hand phone.
“Iya Bunga. Sabtu kemarin bahkan aku sudah menemui Ibu dan Bapak di Pasuruan!”.
“Tadi malam Mutiarapun bercerita seperti itu. Herman aku bias rasakan betapa saat ini Mutiara sangat bahagia!”, kata Bunga.
“Alhamdulillah Bunga. Ibu sudah merestui demikian juga Bapak namun ada syarat yang harus kupenuhi!”.
“Apa syarat dari Bapak?”, tanya Bunga.
“Beliau sebenarnya tidak menyampaikan secara tersurat namun hanya tersirat dan aku sudah tahu maksud Bapak!”.
“Maksud Bapak bagaimana Her!”, tanya Bunga.
“Kata beliau bahwa aku harus mampu menghadapi tantangan demi tantangan yang ada di depan nanti!”.
“Ya Herman aku juga mengerti betapa banyak risiko yang harus kau hadapi nanti. Namun aku tetap kagum kepadamu betapa cintamu tulus kepada Mutiara!”, suara Bunga.
Aku juga kagum kepada Bunga. Gadis ini sungguh berjiwa besar. Bunga selalu mendukungku memberikan semangat dan nasihat. Semakin lama justru aku semakin merasakan keterbukaan hati Bunga. Semakin terbuka hatinya maka semakin aku kagum kepadanya.
Aku sengaja dari Bandara mengambil rute pulang lebih dulu ke tempat kost kemudian mobil baru aku serahkan  kepada Bunga.
“Herman terima kasih sudah menjemputku di Bandara!”, kata Bunga kemudian membuka pintu dan duduk di belakang kemudi. Aku hanya mengangguk.
“Oh ya Herman besok sore pulang dari Rumah Sakit, kamu bisa ke rumah ?”, kata Bunga.
“Ada hal penting nih!?”, tanyaku.
“Tentu saja sangat penting!”.
“Insya Allah, besok sore aku langsung ke sana!”, kataku.
“Assalaamualaikum!”, kata Bunga memberi salam untuk berpamitan.
“Wa alaikum salaam!”, kataku membalas salam Bunga dan mobil sedan Jepang itupun meluncur meninggalkanku.
Senin pagi kesibukan rutin Rumah Sakit sebenarnya biasa saja namun bagiku rasanya begitu banyak yang harus aku lakukan. Setelah jam istirahat ada jadwal menemani operasi di Ruang Operasi bersama dokter Wijaya spesialis penyakit dalam. Entah mengapa menghadapi pekerjaan hari ini aku benar-benar dalam kondisi yang kurang fokus. Pada saat makan siang itu aku mencoba menelpon Mutiara.
“Hallo Mas Herman!”, suara Mutiara di ujung sana.
“Tiara sudah makan siang?”.
“Belum Mas. Ini tanggung sekali masih ada dua sampel yang harus segera aku selesaikan!”, kata Mutiara.
“Baiklah Tiara, jangan lupa makan siang. Rasa pusingnya sudah hilang?”.
“Lumayan Mas hanya badanku ini masih demam sejak kemarin!”.
“Kalau masih demam sebaiknya Tiara izin pulang awal saja!”, kataku.
“Semoga saja tidak perlu pulang awal karena pekerjaan Laboratorium masih banyak!”.
“Okey Tiara kalau begitu jaga kesehatan ya!”.
“Ya Mas Herman terima kasih!”, suara Mutiara lembut sekali.
Setelah kontak dengan Mutiara ada perasaan semangat untuk mulai lagi bekerja. Setelah istirahat ini aku harus menemani jadwal operasi bersama dokter Wijaya spesialis penyakit dalam. Sungguh Mutiara sudah menjadi spirit yang sangat manjur dalam diriku. Begitu cinta aku kepadanya. Maka saat  di Ruang operasi itu aku begitu semangat penuh dengan dedikasi membantu kelancaran operasi Pasiennya dokter Wijaya. Selama 4 jam operasi akhirnya selesai dengan baik. Alhamdulillah. Satu tugas lagi sudah kutunaikan. Aku benar-benar merasa lega bisa menyelesaikan tugas-tugas hari ini.
Pulang dari Rumah sakit aku langsung meluncur menuju Rumah Tantenya Bunga di Kertajaya. Bunga rupanya sudah menungguku di teras samping rumah. Aku bisa melihat Bunga dari sisi kiri jalan komplek Perumahan itu.
“Herman pintu gerbang tidak di kunci masuk saja!”, suara Bunga. Akupun memarkir sepeda motor di dalam pagar lalu menghampiri Bunga yang sudah duduk menunggu.
“Bagaimana acaramu hari ini?. Sukses?”.
“Alhamdulillah tadi ada jadwal menemani operasi pasien!”, kataku.
“Wah pantesan kamu kelihatan masih tegang dan kelelahan !”, kata Bunga sambil tersenyum.
“Iya dong aku tadi sangat fokus menyelesaikan tugas dengan baik !”.
“Okey Herman sekarang saatnya santai. Sebentar lagi secangkir kopi kesayanganmu akan disajikan Si Mbok agar kamu kembali segar!”, kata Bunga sambil tertawa. Memang tidak lama kemudian Si Mbok sudah membawa hidangan minum sore lengkap beserta kue basah yang sangat lezat.
“Bunga ada berita penting apa nih?”.
“Tentang Mutiara tentu saja!”.
“Ada apa dengan Mutiara?”.
“Malam Minggu itu Tiara benar-benar menumpahkan isi hatinya tentang kejadian di Plaza itu!”.
“Malam itu aku sudah menghiburnya agar melupakan peristiwa itu!”, kataku.
“Herman ada hal yang serius yang harus kau perhatikan baik-baik!”, kata Bunga.
“Apa itu Bunga?”, tanyaku penasaran.
“Mutiara berkata kepadaku bahwa dia merasa tidak pantas untukmu. Mutiara ingin berpisah denganmu!”.
“Dia mengatakan begitu?”.
“Iya. Tiara tidak mau beban masa lalunya harus kamu tanggung pula!. Mutiara ingin agar Hermansyah bisa melupakannya!”, kata Bunga. Kemudian Bunga juga menceritakan bahwa dalam dialog telepon tersebut Mutiara berkata sambil terisak. Bunga tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya bisa menghibur Mutiara.
Mendengar ini aku hanya terdiam. Benar kata Bapak hal ini adalah tantangan bagiku. Aku baru saja mulai mau melangkah namun di depan sudah menghadang semak penuh dengan duri dan onak. Apakah aku harus mundur?. Pada saat aku sedang kebingungan memikirkan Mutiara tiba-tiba terdengar seseorang membunyikan klakson mobilnya. Di depan aku lihat sebuah Mobil Jeep parkir lalu seorang Pria tampan melambaikan tangannya ke arah Bunga. Aku lihat Bunga tidak bereaksi sedikitpun. Pria itu masuk melalui pintu gerbang menuju meja tempat kami.
“Sore Bunga!”, sapa Pria tersebut.
“Sore Arman. Oh ya kenalkan ini dokter Hermansyah Al-Buchari !”, kata Bunga sambil tangannya menunjuk kea rahku. Kami berjabat tangan sambil menyebut nama masing-masing. Aku kaget juga ketika Bunga menyebut namaku lengkap dengan atribut profesi. Seharusnya tidak seperti itu. Lalu aku jadi bertanya-tanya Arman ini siapanya Bunga?.
“Herman lupa aku belum memberitahu bahwa Arman ini teman kuliahku di Pasca Sarjana !”, kata Bunga seakan tahu apa yang menjadi pertanyaan dalam hatiku.

“Oh begitu. Okey mari Mas Arman kita gabung bincang di sini !”, ajakku kepada Arman. Pria bernama Arman ini hanya bilang terima kasih. Lalu aku lihat Arman mengajak Bunga ingin membicarakan sesuatu, dia minta maaf kepadaku. Maka aku hanya mengangguk. Aku lihat di sudut teras yang lain itulah Arman dan Bunga berbincang serius. Aku hanya bisa melihat mereka dari jauh. Ah entahlah apa yang mereka bicarakan, aku sendiri saat ini sedang berfikir tentang Mutiara. Tidak lama rupanya Arman segera berpamitan kepada Bunga. Aku lihat Bunga mengantar Arman sampai gerbang depan itu. Aku mulai berfikir apakah Arman adalah calon kekasih Bunga?. Ataukah memang sudah kekasihnya?. Oh Tuhan andaikata Arman memang kekasih Bunga lalu mengapa aku harus kecewa seperti ini?. Rasa kecewa ini seperti sebuah firasat bahwa aku akan kehilangan Mutiara sekaligus juga kehilangan Bunga?. Benarkah demikian?. Padahal kita baru saja mulai melangkah.

BERSAMBUNG

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 14

Foto : Anggrek14/hensa

EPISODE 14
 TATAPLAH KE DEPAN
  
Suasana makan siang itu sangat berbeda dengan suasana makan siang sebelumnya. Mutiara telah menjadi pembedanya. Ibu kelihatan gembira hanya Bapak saja yang tetap tenang bak air danau yang dalam namun airnya cukup bening sehingga dasar danau itu masih bisa dilihat dari tepiannya. Aku mencoba menebak isi hati Bapak. Aku yakin beliau merestui hubungan kami seperti halnya Ibu, namun ada satu hal yang selalu Bapak tekankan kepadaku bahwa aku akan memiliki tugas yang berat bagaimana aku harus bisa membawa Mutiara menuju pintu RidhoNya. Walaupun itu tidak mudah namun tak mengapa biarlah paling tidak diawal perjalanan ini aku sudah memulai dengan sesuatu yang baik.
Selesai makan siang, kami mengobrol di Ruang keluarga. Ibu begitu riang menyambut Mutiara seolah-olah sudah seperti menantunya saja. Bapak juga sesekali ikut nimbrung bercanda dengan mereka. Sementara aku sendiri lebih banyak diam dan hanya tersenyum diantara dialog-dialog mereka yang lucu. Ramah tamah itu ternyata harus di akhiri dulu karena aku dan Mutiara harus segera kembali ke Surabaya. Kami berpamitan kepada Bapak dan Ibu untuk kembali ke Surabaya.
“Hati-hati Herman, jangan ngebut!”, pesan Bapak.
“Tia hati-hati di jalan ya!”, kata Ibu dan Mutiara mengangguk sambil tersenyum. Pertemuan yang singkat memang, namun penuh dengan arti, penuh dengan harapan. Sepanjang perjalanan Pasuruan – Surabaya aku melihat betapa Mutiara merasakan kebahagiaan. Wajahnya berseri penuh keceriaan. Aku merasakannya seolah Mutiara kini sudah menemukan kembali kebahagiaannya yang dulu pernah hilang. Kini saat Mutiara tersenyum maka senyum itu terasa lebih menampakkan aura wajahnya jauh lebih cantik. Wajahnya yang teduh tidak lagi dirundung mendung. Alhamdulillah ya Allah, aku selalu bersyukur kepadaMu.
Kami tiba di Surabaya belum begitu sore. Setelah mengantar Mutiara ke Jalan Bali itu aku langsung menuju tempat kost dan masih sempat sholat Ashar. Hari yang melelahkan namun melegakan. Sore itu aku benar-benar bersantai di Kamarku sambil membuka netbook menelusuri dunia maya. Facebook, Twitter, berita terbaru media online, semua kujelajahi. Ada secangkir kopi panas dan makanan kecil dalam kemasan yang selalu setia menemaniku. Di atas meja itupun sebenarnya sudah menumpuk kertas-kertas yang berisi bahan untuk laporan kerja selama Jaga Malam tempo hari, namun belum aku sentuh sama sekali. Biarlah hari ini untuk sementara aku ingin terbebas dari rutinitas dan menikmati kebahagiaan. Apalagi nanti adalah malam Minggu yang rencananya aku akan pergi bersama Mutiara.
Selesai sholat Magrib itu aku sudah meluncur menuju kediaman Mutiara. Aku pijit bel di samping pintu ruang tamu itu. Tidak lama kemudian Mutiara sudah berdiri membukakan pintu ruang tamu itu. Aku memandang Mutiara tidak berkedip, hatiku berkata Maha Besar Allah Maha Pencipta mahluk cantik ini. Aku memang terpukau melihat kecantikan Mutiara di depan mataku ini. Gaun malam berwarna gelap dengan corak yang sopan, rambutnya yang hitam terurai dengan wajah berseri dan sorot mata tajam serta senyum ramah penuh kebahagiaan.
“Mas Herman kenapa memandangku seperti itu?. Aku jadi malu!”, suara Mutiara telah menyadarkanku dari rasa terpesona.
“Eh iya enggak apa-apa. Aku seperti sedang berhadapan dengan Bidadari cantik dari Surga!”, kataku sekenanya saja.
“Mas Herman ah rayuan gombal!”, kata  Mutiara pura-pura cemberut lalu mencubit lenganku. Aku hanya mengaduh sambil tertawa. Untuk pertama kalinya dalam hidupku bermalam Minggu dengan seorang wanita adalah dengan Mutiara. Dulu saat masih bersama Bunga memang sering bermalam Minggu namun saat itu selalu rame-rame bersama teman-teman yang lainnya. Saat ini sungguh-sungguh malam Minggu yang spesial bagiku karena hanya bersama Mutiara.
Kami habiskan malam ini di food corner sebuah Plaza terbesar di Surabaya yang ada di jalan Basuki Rahmat. Suasana Plaza yang begitu ramai dengan para Pengunjung. Sambil menikmati santap makan malam kami mengobrol ringan sesekali diselingi dengan tawa karena ada hal-hal yang lucu. Waktu sudah menunjukkan pukul 21, namun suasana masih meriah seperti ini. Plaza terbesar di Surabaya ini memang surganya orang-orang berduit. Tiba-tiba aku dikejutkan ada seseorang menghampiri menuju meja, tempatku bersama Mutiara.
“Hai cantik rupanya ada di sini. Lama tidak berjumpa!”, seorang lelaki menyapa Mutiara. Dia gagah dengan dandanan perlente dari apa yang dikenakannya sudah bias memperlihatkan bahwa dia adalah orang kaya. Seorang Pengusaha kelas kakap. Aku lihat Mutiara begitu gugup bertemu dengan lelaki ini. Aku sebenarnya tersinggung dengan caranya menyapa Mutiara dan hampir saja emosiku terpancing andai tidak dicegah Mutiara.
“Kok tidak bersama Ricki. Boleh aku gabung cantik ?”, kembali suara Lelaki itu dengan pandangan nakal.
“Maaf saya tidak punya waktu!”, kata Mutiara sambil menarik tanganku untuk segera berlalu meninggalkan lelaki itu yang kelihatan terbengong-bengong. Mutiara akhirnya mengajakku untuk pulang saja.  Sepanjang perjalanan itu Mutiara lebih banyak diam dan aku tidak berani lebih jauh mengusiknya. Namun akhirnya tangis itupun terjadi juga di saat kami sudah tiba di Rumah.
“Sudahlah Tiara. Lupakan saja kejadian tadi!”, kataku menenangkannya. Mutiara masih terisak. Aku hanya membiarkan saja dia menangis agar bisa membuat hatinya menjadi lega.
“Mas Herman aku sebenarnya tidak mau lagi membicarakan ini!”, kata Mutiara.
“Ya Tiara sudahlah lupakan saja!. Saat ini sebaiknya tataplah ke depan”, kataku. Mendengar ini kulihat Mutiara sudah bisa tenang.
“Aku selalu dibayangi ketakutan masa laluku yang kotor dan nista!”, kata Mutiara.
“Masa lalu itu tidak akan kembali. Jadi untuk apa ditakutkan. Sudah, sebaiknya Tiara tersenyumlah dunia ini akan jauh lebih indah dengan senyummu!”, kataku sambil menatap wajah Mutiara yang masih tertunduk.  Kulihat kemudian Mutiarapun memandangku.
“Ayo tersenyumlah untukku Mutiara !”, kataku sambil tersenyum memandangnya. Mutiarapun akhirnya tersenyum dan matanya kembali berbinar walaupun masih ada sisa airmata dipipinya.
“Nah begitu dong. Tiara kita harus menatap ke depan. Masa lalu yang kelam buang saja karena sudah tidak berguna. Di depan banyak harapan yang bisa kita raih!”.
“Mas Herman terima kasih. Aku selalu merasa tenang mendengar kalimat-kalimat itu. Mas Aku sangat bahagia bersamamu!”, kata Mutiara terharu.
“Ya kita wajib bersyukur kepadaNya sebagai sumber semua kebahagiaan!”, kataku.
Aku bisa merasakan rasa galau Mutiara ketika dia harus bertemu dengan salah satu mantan ‘pelanggannya’ tentunya mempertimbangkan apa yang aku rasakan saat itu. Ketika aku mengajaknya untuk menatap masa depan barulah aku lihat kegalauan Mutiara sirna begitu saja. Mutiara merasa lega dengan sikapku.  Sampai aku berpamitan untuk pulang aku masih melihat senyum Mutiara terukir dengan manis mudah-mudahan itu menandakan bahwa dia sudah mau menatap ke depan. Aku bisa membayangkan betapa berat beban masa lalu yang harus dirasakan Mutiara disaat dia sudah mulai mencintaiku. Tataplah ke depan. Kalimat yang begitu mudah diucapkan. Bagiku sendiri kalimat ini adalah tantangan terberat dalam hidupku. Aku mempunyai tugas suci membawa Mutiara menuju pintu RidhoNya.

BERSAMBUNG