Sunday, May 25, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 16

Foto : Anggrek15/hensa


EPISODE 16
 PELUKAN MUTIARA

Selama dua Minggu ini kesibukanku semakin menyita waktuku. Senin sampai Sabtu demikian cepat berpacu. Namun demikian aku masih tetap berhubungan via telpon seluler dengan Mutiara dan paling tidak satu kali kunjungan pada malam Minggu. Sedangkan dengan Bunga hanya sekali kontak itu juga saat dia menelponku menanyakan apakah ada rencana pulang kampung ke Pasuruan?. Mungkin Bunga kangen dengan Bapa dan Ibuku sekalian ingin mengajakku bareng. Aku mengatakan kepada Bunga jika saat ini aku sedang sibuk mungkin baru bulan depan aku bisa pulang ke Pasuruan. Aku teringat beberapa hari yang lalu Bunga bercerita tentang keinginan Mutiara untuk berpisah saja denganku karena tidak mau beban masa lalunya menjadi bebanku juga. Ketika hal ini aku tanyakan kepada Mutiara malam Minggu kemarin, Mutiara membenarkan.
“Iya Mas Herman, aku cerita kepada mbak Bunga tapi  dia selalu mendukungku agar aku tetap tabah!”.
“Tiara, insya Allah jangan ragukan cinta kita ini. Semua akan kita hadapi bersama-sama!”, kataku menenteramkan hatinya.
“Mas Herman, aku sangat terharu pada keteguhanmu namun andai nanti kita harus berpisah, harus kita sikapi menjadi satu hal yang terbaik untuk kita!”.
“Tiara jangan berkata seperti itu. Semuanya akan baik-baik saja!”.
Sebenarnya mendengar perkataan Mutiara itu hatiku agak was was juga. Apakah aku sudah siap andai suatu hari nanti aku harus berpisah dengan Mutiara?. Ya andaikata Allah berkehendak untuk memisahkan Mutiara dariku maka tidak ada kekuatan manapun yang bisa mencegahNya. Ya Allah apakah aku sudah siap?.
Pulang dari tugas Rumah Sakit aku langsung mandi kemudian sholat Magrib dan segera meluncur ke sebuah Rumah Makan di kawasan jalan Sulawesi. Ya Om Franky mengajakku untuk bertemu di sana. Pertemuanku dengan Om Franky kali ini adalah yang kedua. Pertama kali diperkenalkan oleh Mutiara dulu saat bertemu di tempat kost Jalan Bali itu. Om Franky adalah adik kandung dari Mamanya Mutiara, orangnya ramah dan baik. Saat ini sebenarnya aku merasakan ada hal yang menunjukkan firasat tidak enak, karena tiba-tiba saja Om Franky memintaku untuk bertemu. Malam itu kami baru saja menyelesaikan makan malam.
“Herman bagaimana kalau kita mulai membicarakan hal-hal yang sangat penting ini !”, kata Om Franky.
“Ya baik Om!”.
“Banyak hal yang terjadi dalam sebulan terakhir ini. Kabar penting pertama adalah Mamanya Mutiara sekarang sudah berpisah dengan suaminya atau Papa tirinya Mutiara!”, kata Om Franky sambil menarik nafas panjang.
“Bagaimanapun juga aku harus membuka cerita pilu ini kepada Mamanya Mutiara agar beban Mutiara menjadi ringan!”, kembali suara Om Franky.
“Bagaimana reaksi Mamanya saat beliau mendengar kisah menyedihkan itu!”, tanyaku.
“Mamanya menangis sambil memanggil manggil Mutiara. Dia sudah lama merindukan ingin bertemu dengan Mutiara. Dia sangat sedih anaknya diperlakukan seperti itu oleh Ayah tirinya sendiri. Sangat biadab !”, kata Om Franky.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancur hati Mamanya Mutiara mendengar kenyataan cerita pilu anak gadisnya waktu itu. Sungguh aku tidak bisa membayangkan. Sangat wajar jika Mamanya Mutiara menceraikan suaminya. Kabar penting berikutnya menurut Om Franky adalah Mutiara akan segera bertemu dengan Mamanya. Hal ini berarti Mutiara akan pulang ke Manado.
“Rencana minggu depan kami akan ke Manado!”, kata Om Franky.
“Om ternyata Mutiara belum cerita kepada saya tentang rencananya ke Manado itu !”.
“Tentu saja Herman, rencana ini dia belum tahu. Jadi kamu yang tahu lebih dulu!”.
Rupanya Om Franky yang mengatur pertemuan Mutiara dengan Mamanya dan rencana ini baru aku yang diberitahukannya. Aku hanya ikut berbahagia karena kini Mutiara sudah bisa kembali berkumpul dengan keluarganya. Ada satu hal penting lagi informasi dari Om Franky yaitu kasus hukumnya tentang Ricki ternyata Mutiara sudah memberikan kesaksian sebagai korban pemerasan. Mutiara melaporkan Ricki kepada pihak yang berwajib karena tindak pemerasan terhadapnya, bukan karena tindakan kekerasan Ricki kepadaku tempo hari.  Belakangan juga terbukti bahwa Ricki juga dilaporkan oleh korban-korban lainnya yang umumnya adalah para Mahasiswi yang pernah dinodainya.
“Itulah Herman begitu banyak beban yang saat ini harus dipikul oleh Mutiara!”, kata Om Franky.
“Iya Om!. Saya juga ikut prihatin namun saya yakin Mutiara adalah wanita yang tegar!”.
“Mutiara pernah bilang yang membuat dia bertahan adalah kamu, Herman!”.
“Alhamdulillah. Dia terlalu berlebihan Om. Mutiara sendiri yang tangguh menghadapi semua cobaan hidupnya!”, kataku mengelak.
“Herman. Bagi Mutiara, kamu itu ibarat Malaikat yang dikirim Tuhan untuk membuatnya merasa tenteram. Setiap yang kau ucapkan selalu membuat hatinya tenang!”, kembali suara Om Franky. Mendengar ini aku hanya terdiam namun dalam hati aku bersyukur kepada kebesaranNya. Sungguh hanya DIA yang Maha Terpuji yang Maha Pemberi segala ketenteraman.
 Esok siangnya saat aku makan siang di Kantin Rumah Sakit itu, aku menerima telpon dari Mutiara.
“Mas aku sangat bahagia bisa kembali bertemu Mama. Namun aku juga sedih harus meninggalkan Mas Herman!”, kata Mutiara diseberang sana mengabarkan rencana pulangnya ke Manado.
“Tiara kan nanti kembali bertemu denganku di Surabaya!”, kataku.
“Ya Mas. Aku nanti harus kerja kembali di Surabaya, tapi rasanya aku sangat sedih harus pergi meninggalkan Mas Herman walaupun hanya sebentar!”, kata Mutiara lagi.
“Sudahlah Tiara hanya beberapa hari saja kita tidak bertemu. Bersabarlah. Sekarang malah kamu bisa melepaskan kerinduanmu terhadap Mama!”,kataku.
“Iya Mas Herman, aku sudah ingin memeluk Mamaku, aku sangat rindu kepadanya!”, kata Mutiara kelihatan riang.
“Oh ya besok Minggu menggunakan penerbangan jam berapa Tiara?”, tanyaku.
“Pukul 8.00 Mas. Aku dijemput Om Franky!”, kata Mutiara.
“Kalau begitu aku langsung menuju Bandara saja nanti bersama Bunga!”, kataku.
“Iya Mas, tadi malam Mbak Bunga juga sudah aku pamiti!”, kata Mutiara.
“Okey Tiara sampai nanti ya!”, kataku.
Aku kadang-kadang heran dengan perasaan wanita. Mutiara pulang ke Manado hanya beberapa hari saja tapi dia begitu berat berpisah denganku. Akhir-akhir ini Mutiara memang sangat peka sekali dengan perasaannya. Selain itu karena pikirannya penuh dengan beban yang cukup berat juga kesehatannya agak menurun. Sering terkena demam dan gejala flu namun hanya sehari sembuh kembali.
Minggu pagi itu aku berjalan beriringan dengan Bunga menuju Pintu Keberangkatan Dalam Negeri Bandara Juanda. Beberapa Penumpang sedang antrian untuk mengambil boarding pass. Sementara aku melihat diantara para penumpang itu adalah Mutiara dan Om Franky.
“Tiara!”, aku memanggil Mutiara.
“Mas Herman!”, pekik Mutiara sambil menghampiriku. Kemudian Mutiara juga menoleh kepada Bunga.
“Kalian akhirnya datang juga. Aku dari tadi menunggu!”, kata Mutiara.
“Om Franky bagaimana kabar?”, aku menyapa Om Franky sementara Bunga hanya mengangguk hormat.
“Baik-baik Herman!”, kata Om Franky. Sementara aku lihat Bunga dan Mutiara berbincang dengan serius dan aku lihat Mutiara seperti menangis mungkin terharu saat harus berpisah dengan Bunga.
“Mudah-mudah perjalanan lancar, selamat sampai di Manado !”.
“Terima kasih Herman ya semoga semua urusan menjadi beres. Aku lihat Mutiara sedih harus meninggalkan Surabaya walaupun hanya beberapa hari !”.
“Tapi mudah-mudahan Mutiara juga bahagia saat kembali bertemu dan berkumpul dengan Mamanya!”, kataku.
“Ya Herman. Terima kasih!”, kata Om Franky. Akhirnya kami berjabat tangan sambil aku ucapkan selamat jalan kepada Om Franky.  Lalu aku lihat Mutiara memeluk Bunga sambil terisak dan Bunga menenangkan wanita ini. Pada saat berpamitan kepadaku, air mata Mutiara masih tergenang di kedua matanya.
“Mas Herman aku pergi dulu!”, kata Mutiara sambil memandangku tak berkedip seolah ini adalah perpisahan terakhirnya. Tiba-tiba aku merasakan rasa haru ketika tiba-tiba saja Mutiara memelukku erat sekali seolah tidak mau melepaskan dirinya dariku. Aku sengaja membiarkan Mutiara memelukku beberapa saat, lalu pelan-pelan Mutiara melepaskan pelukannya.

“Mas Herman jaga dirimu baik-baik!”,kata Mutiara masih dengan mata yang berkaca-kaca. Aku mengangguk pelan sambil memandangnya. Mutiara berjalan menuju Pintu Masuk bersama Om Franky. Aku dan Bunga hanya bisa memandangi punggungnya. Aku lihat rambutnya yang indah terurai sampai di bawah bahunya. Masih juga terbayang kedua matanya yang biasanya berseri seri kini harus berurai air mata. Serta pelukannya yang erat seolah tidak mau melepaskanku. Mutiara mudah-mudahan kau baik-baik saja dan cepatlah kembali kepadaku.

BERSAMBUNG

Saturday, May 24, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 15

Foto : Anggrek16/hensa

EPISODE 15
 KITA MULAI MELANGKAH

Minggu sore itu aku sudah berada ditengah-tengah kesibukan Bandara Juanda untuk menjemput Bunga. Saat itu aku berdiri di depan Pintu Kedatangan Dalam Negeri yang penuh dengan lalu lalang orang-orang yang baru saja tiba di Surabaya. Mataku kini tertuju kepada seorang gadis semampai yang sedang menarik tas dengan langkah tegap dan pasti. Ya Bunga dari jauh sudah kelihatan memasuki pintu keluar. Gadis ini cantik sekali wajah yang tegas tapi lembut dengan pandangan matanya yang tajam serta cara berfikirnya yang cerdas. Sungguh dia seorang gadis yang sempurna, cantik dan pintar. Kudengar ketika namaku dipanggil Bunga maka aku menoleh ke arahnya. Dari jauh Bunga melambaikan tangannya kemudian segera kubalas.
“Herman bagaimana kabar?”.
“Alhamdulillah baik-baik. Kamu sendiri?”.
“Baik dong karena sudah melepas kangen sama Papa dan Mama he he he!”, kata Bunga sambil tertawa. Kami berjalan beriringan menuju Tempat Parkir. Udara cerah Surabaya sore itu benar-benar sangat mengesankan. Keluar dari Bandara lalu lintas agak sedikit macet karena volume kendaraan yang mau keluar harus antrian di Pintu pembayaran parkir namun setelah memasuki Tol Bandara menuju Waru semua berjalan lancar.
“Selama liburan aku selalu menerima kabar gembira dari Mutiara!”, kata Bunga. Aku hanya tersenyum dan ini sudah aku duga sebelumnya antara Bunga dan Mutiara memang tidak bisa dipisahkan. Mereka selalu berhubungan melalui hand phone.
“Iya Bunga. Sabtu kemarin bahkan aku sudah menemui Ibu dan Bapak di Pasuruan!”.
“Tadi malam Mutiarapun bercerita seperti itu. Herman aku bias rasakan betapa saat ini Mutiara sangat bahagia!”, kata Bunga.
“Alhamdulillah Bunga. Ibu sudah merestui demikian juga Bapak namun ada syarat yang harus kupenuhi!”.
“Apa syarat dari Bapak?”, tanya Bunga.
“Beliau sebenarnya tidak menyampaikan secara tersurat namun hanya tersirat dan aku sudah tahu maksud Bapak!”.
“Maksud Bapak bagaimana Her!”, tanya Bunga.
“Kata beliau bahwa aku harus mampu menghadapi tantangan demi tantangan yang ada di depan nanti!”.
“Ya Herman aku juga mengerti betapa banyak risiko yang harus kau hadapi nanti. Namun aku tetap kagum kepadamu betapa cintamu tulus kepada Mutiara!”, suara Bunga.
Aku juga kagum kepada Bunga. Gadis ini sungguh berjiwa besar. Bunga selalu mendukungku memberikan semangat dan nasihat. Semakin lama justru aku semakin merasakan keterbukaan hati Bunga. Semakin terbuka hatinya maka semakin aku kagum kepadanya.
Aku sengaja dari Bandara mengambil rute pulang lebih dulu ke tempat kost kemudian mobil baru aku serahkan  kepada Bunga.
“Herman terima kasih sudah menjemputku di Bandara!”, kata Bunga kemudian membuka pintu dan duduk di belakang kemudi. Aku hanya mengangguk.
“Oh ya Herman besok sore pulang dari Rumah Sakit, kamu bisa ke rumah ?”, kata Bunga.
“Ada hal penting nih!?”, tanyaku.
“Tentu saja sangat penting!”.
“Insya Allah, besok sore aku langsung ke sana!”, kataku.
“Assalaamualaikum!”, kata Bunga memberi salam untuk berpamitan.
“Wa alaikum salaam!”, kataku membalas salam Bunga dan mobil sedan Jepang itupun meluncur meninggalkanku.
Senin pagi kesibukan rutin Rumah Sakit sebenarnya biasa saja namun bagiku rasanya begitu banyak yang harus aku lakukan. Setelah jam istirahat ada jadwal menemani operasi di Ruang Operasi bersama dokter Wijaya spesialis penyakit dalam. Entah mengapa menghadapi pekerjaan hari ini aku benar-benar dalam kondisi yang kurang fokus. Pada saat makan siang itu aku mencoba menelpon Mutiara.
“Hallo Mas Herman!”, suara Mutiara di ujung sana.
“Tiara sudah makan siang?”.
“Belum Mas. Ini tanggung sekali masih ada dua sampel yang harus segera aku selesaikan!”, kata Mutiara.
“Baiklah Tiara, jangan lupa makan siang. Rasa pusingnya sudah hilang?”.
“Lumayan Mas hanya badanku ini masih demam sejak kemarin!”.
“Kalau masih demam sebaiknya Tiara izin pulang awal saja!”, kataku.
“Semoga saja tidak perlu pulang awal karena pekerjaan Laboratorium masih banyak!”.
“Okey Tiara kalau begitu jaga kesehatan ya!”.
“Ya Mas Herman terima kasih!”, suara Mutiara lembut sekali.
Setelah kontak dengan Mutiara ada perasaan semangat untuk mulai lagi bekerja. Setelah istirahat ini aku harus menemani jadwal operasi bersama dokter Wijaya spesialis penyakit dalam. Sungguh Mutiara sudah menjadi spirit yang sangat manjur dalam diriku. Begitu cinta aku kepadanya. Maka saat  di Ruang operasi itu aku begitu semangat penuh dengan dedikasi membantu kelancaran operasi Pasiennya dokter Wijaya. Selama 4 jam operasi akhirnya selesai dengan baik. Alhamdulillah. Satu tugas lagi sudah kutunaikan. Aku benar-benar merasa lega bisa menyelesaikan tugas-tugas hari ini.
Pulang dari Rumah sakit aku langsung meluncur menuju Rumah Tantenya Bunga di Kertajaya. Bunga rupanya sudah menungguku di teras samping rumah. Aku bisa melihat Bunga dari sisi kiri jalan komplek Perumahan itu.
“Herman pintu gerbang tidak di kunci masuk saja!”, suara Bunga. Akupun memarkir sepeda motor di dalam pagar lalu menghampiri Bunga yang sudah duduk menunggu.
“Bagaimana acaramu hari ini?. Sukses?”.
“Alhamdulillah tadi ada jadwal menemani operasi pasien!”, kataku.
“Wah pantesan kamu kelihatan masih tegang dan kelelahan !”, kata Bunga sambil tersenyum.
“Iya dong aku tadi sangat fokus menyelesaikan tugas dengan baik !”.
“Okey Herman sekarang saatnya santai. Sebentar lagi secangkir kopi kesayanganmu akan disajikan Si Mbok agar kamu kembali segar!”, kata Bunga sambil tertawa. Memang tidak lama kemudian Si Mbok sudah membawa hidangan minum sore lengkap beserta kue basah yang sangat lezat.
“Bunga ada berita penting apa nih?”.
“Tentang Mutiara tentu saja!”.
“Ada apa dengan Mutiara?”.
“Malam Minggu itu Tiara benar-benar menumpahkan isi hatinya tentang kejadian di Plaza itu!”.
“Malam itu aku sudah menghiburnya agar melupakan peristiwa itu!”, kataku.
“Herman ada hal yang serius yang harus kau perhatikan baik-baik!”, kata Bunga.
“Apa itu Bunga?”, tanyaku penasaran.
“Mutiara berkata kepadaku bahwa dia merasa tidak pantas untukmu. Mutiara ingin berpisah denganmu!”.
“Dia mengatakan begitu?”.
“Iya. Tiara tidak mau beban masa lalunya harus kamu tanggung pula!. Mutiara ingin agar Hermansyah bisa melupakannya!”, kata Bunga. Kemudian Bunga juga menceritakan bahwa dalam dialog telepon tersebut Mutiara berkata sambil terisak. Bunga tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya bisa menghibur Mutiara.
Mendengar ini aku hanya terdiam. Benar kata Bapak hal ini adalah tantangan bagiku. Aku baru saja mulai mau melangkah namun di depan sudah menghadang semak penuh dengan duri dan onak. Apakah aku harus mundur?. Pada saat aku sedang kebingungan memikirkan Mutiara tiba-tiba terdengar seseorang membunyikan klakson mobilnya. Di depan aku lihat sebuah Mobil Jeep parkir lalu seorang Pria tampan melambaikan tangannya ke arah Bunga. Aku lihat Bunga tidak bereaksi sedikitpun. Pria itu masuk melalui pintu gerbang menuju meja tempat kami.
“Sore Bunga!”, sapa Pria tersebut.
“Sore Arman. Oh ya kenalkan ini dokter Hermansyah Al-Buchari !”, kata Bunga sambil tangannya menunjuk kea rahku. Kami berjabat tangan sambil menyebut nama masing-masing. Aku kaget juga ketika Bunga menyebut namaku lengkap dengan atribut profesi. Seharusnya tidak seperti itu. Lalu aku jadi bertanya-tanya Arman ini siapanya Bunga?.
“Herman lupa aku belum memberitahu bahwa Arman ini teman kuliahku di Pasca Sarjana !”, kata Bunga seakan tahu apa yang menjadi pertanyaan dalam hatiku.

“Oh begitu. Okey mari Mas Arman kita gabung bincang di sini !”, ajakku kepada Arman. Pria bernama Arman ini hanya bilang terima kasih. Lalu aku lihat Arman mengajak Bunga ingin membicarakan sesuatu, dia minta maaf kepadaku. Maka aku hanya mengangguk. Aku lihat di sudut teras yang lain itulah Arman dan Bunga berbincang serius. Aku hanya bisa melihat mereka dari jauh. Ah entahlah apa yang mereka bicarakan, aku sendiri saat ini sedang berfikir tentang Mutiara. Tidak lama rupanya Arman segera berpamitan kepada Bunga. Aku lihat Bunga mengantar Arman sampai gerbang depan itu. Aku mulai berfikir apakah Arman adalah calon kekasih Bunga?. Ataukah memang sudah kekasihnya?. Oh Tuhan andaikata Arman memang kekasih Bunga lalu mengapa aku harus kecewa seperti ini?. Rasa kecewa ini seperti sebuah firasat bahwa aku akan kehilangan Mutiara sekaligus juga kehilangan Bunga?. Benarkah demikian?. Padahal kita baru saja mulai melangkah.

BERSAMBUNG