Sunday, May 25, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 17

Foto : Hensa

EPISODE 17
 MENATA ASA DALAM SEPI

Baru sehari jauh dari Mutiara namun terasa sepi seakan menyelimuti seluruh ruang hatiku. Padahal  baru tadi pagi Mutiara pulang ke Manado namun rasanya sudah seperti bertahun-tahun tidak bertemu. Oh betapa cintaku kepadanya entah sebesar apa sehingga aku harus menanggung rindu seperti ini. Siang tadi aku juga sudah menerima telpon darinya bahwa Mutiara sudah tiba di rumah dengan selamat. Mutiarapun bercerita betapa bahagianya kembali berada ditengah-tengah keluarganya. Terutama saat bertemu Mamanya rasa haru yang tiada terkata dan tangis bahagia tertumpah ruah. Mamanya begitu erat memeluk Mutiara dengan tangisan kepedihan saat mengingat peristiwa tragis yang harus menimpa Mutiara. Aku tidak bisa membayangkan suasana pertemuan mereka, namun dari cerita Mutiara melalui telepon itu betapa mereka begitu bahagia bisa kembali berkumpul.
Menghadapi hari Senin ini aku tidak begitu bersemangat seperti biasanya mungkin sama seperti Senin Senin yang telah lalu bagi sebagian orang yang akan selalu dihadapi dengan kata kata I don’t like Monday. Saat ini sebagian dari orang-orang itu adalah aku. Ini pasti ada hubungannya dengan Mutiara. Ya sungguh aku merasa aneh seakan Mutiara selalu hadir disetiap gerak langkahku. Masalahnya sekarang dia tidak ada di sampingku.
Pagi tadi aku sudah berdialog dengannya melalu telpon seluler untuk sekedar melepas rindu, namun itu tidak cukup menghilangkan keinginanku untuk bertemu dengannya. Ah Hermansyah sekarang sudah mulai lebaaayyyy. Ayo jangan cengeng seperti itu. Tetap fokus pada program-program yang harus dihadapi agar studi bisa cepat selesai. Ayo Hermansyah Al-Buchori. Aku memang hanya bisa tersenyum mendengarkan bisikan hatiku sendiri.
Sore itu pulang dari Rumah Sakit aku sengaja meluncur ke Rumah Bunga sekedar ingin berbincang dan mengisi sepinya hari-hari tanpa Mutiara. Aku juga tidak tahu kenapa harus Bunga tempatku untuk berlabuh. Mungkin karena Bunga selama ini kurasakan sebagai sahabat hatiku. Sepeda motorku meluncur ke kawasan Kertajaya Indah. Tidak begitu lama dari Jalan Dharmawangsa menuju Kertajaya apalagi menggunakan Sepeda motor bisa lebih cepat. Di depan Rumah Tantenya Bunga, aku melihat sebuag Jeep parkir di sana, ya itu milik Arman. Rupanya sekarang sedang ada Arman. Ketika aku mau memparkir motor tiba-tiba Arman keluar bersama Bunga.
“Hei Herman!”, sapa Arman sambil menyodorkan tangan kanannya kemudian kami bersalaman.
“Arman mau kemana?”, tanyaku basa-basi.
“Sory aku pulang duluan tadi baru pulang dari Kampus bersama Bunga!”, kata Arman.
“Oke Arman!”.
Arman pun segera meninggalkan aku dan Bunga. Kulihat Bunga sikapnya biasa saja terhadap Arman, namun aku merasakan bahwa Arman sedang melakukan pendekatan kepada Bunga. Kami duduk di Beranda yang seperti biasanya dan Bunga bersikap seperti wajar saja seolah tidak menganggap suatu hal yang perlu dibicarakan tentang pertemuanku dengan Arman saat itu.
“Tadi siang ada kuliah, aku dijemput Arman dan saat pulangpun dia mengantarku sampai rumah!”, kata Bunga memberikan penjelasan seakan Bunga tahu apa yang aku rasakan.
“Bunga, aku lihat Arman rupanya menaruh hati kepadamu!”, kataku mulai menggoda.
“Ah kamu ngawur saja Herman. Dia Cuma teman biasa!”, suara Bunga dengan mimik wajah cemberut. Aku benar-benar menikmati kecantikan Bunga saat gadis ini cemberut. SubhanAllah.
“Lho kan nggak apa-apa kalau Arman suka padamu apalagi Arman orangnya juga ganteng!”, kataku tambah menggoda.
“Sudahlah jangan membahas Arman!”, kata Bunga dengan rasa kesal. Aku tersenyum. Sebenarnya aku senang dengan penjelasan Bunga tersebut. Entah kenapa aku kok malah senang kalau Arman bukan cowok yang dicintai oleh Bunga. Ah dasar aneh, kok masih ada rasa cemburu jika ada cowok yang sedang mendekati Bunga.
“Oke oke tapi nanti dulu aku suka melihat kamu cemberut seperti itu, malah tambah cantik!”, kataku sambil tersenyum.
“Herman mulai gombal!”, kata Bunga masih sambil cemberut memandangku. Aku hanya tertawa.
Sungguh aneh memang saat ada di samping Bunga aku bisa kembali ceria dan penuh gembira. Saat aku sendiri malah rasa rindu kepada Mutiara mendera relung hatiku. Ya di samping Bunga ini sementara bisa sedikit bergembira. Memang Bunga bagaimanapun juga adalah gadis yang istimewa dalam hidupku.
“Herman bagaimana kabar Mutiara?. Terakhir dia menelponku dua hari yang lalu saat dia mengabari terkena flu berat!”, kata Bunga.
“Iya namun sekarang sudah berangsur membaik!”, kataku.
“Kapan Mutiara kembali ke Surabaya?”, Tanya Bunga.
“Minggu besok rencananya!”.
Namun aku meragukan Mutiara besok Minggu sudah kembali ke Surabaya karena walaupun sakit flunya sudah membaik tapi demamnya masih belum membaik. Berita ini aku dapatkan tadi malam saat aku menelpon Mutiara dan bahkan sempat pula berbincang dengan Mamanya. Apalagi mamanya masih sangat kangen kepada Mutiara. Aku merasakan begitu sepi tanpa Mutiara terutama saat aku sedang sendiri. Aku hanya bisa sedikit terhibur saat bersama Bunga.
“Herman. Saat Mutiara menelponku ada satu hal yang dia sampaikan kepadaku tentangmu!”.
“Apa itu Bunga?”.
“Mutiara merasakan kembali ketidak pantasannya mendampingimu!. Aku katakan padanya. Tiara harus tetap mendampingi Mas Herman karena Mas Herman sangat mencintaimu!”, kata Bunga.
“Ya Bunga. Diapun selalu mengatakan hal itu. Aku selalu memberikan kepastian bahwa aku sangat mencintai apa adanya!”.
Mutiara selalu bilang bahwa dia tidak pantas menerima cintaku karena beban masa lalunya harus juga aku rasakan. Setiap aku mendengar Mutiara meragukan cintanya sendiri seperti itu kepadaku, aku merasakan  seperti akan kehilangan dia.
“Terima kasih Bunga sudah memberikan dukungan kepada Mutiara!”.
“Iya Herman no problem Bos!”, kata Bunga.
“Oh ya aku juga mendukungmu andai Arman bisa jadian denganmu!”, kembali aku menggoda Mutiara.
“Mulai lagi Herman. Okey aku memang sudah punya calon tapi bukan Arman!”, kata Bunga kelihatannya mulai serius.
“Alhamdulillah kenalkan kepadaku dong!”, kataku.
“Tunggu hari yang baik nanti!”, kata Bunga dengan wajah serius. Aku agak menyesal juga dengan godaan tadi. Bunga kelihatannya serius dan ini justru membuatku jadi gusar. Akhirnya Bunga punya kekasih juga, pikirku. Seharusnya aku lega dong. Namun anehnya kenapa aku harus gusar. Pertemuan sore itu dengan Bunga memiliki arti tersendiri bagiku. Bunga adalah gadis yang sangat istimewa bagiku terbukti di sampingnya aku merasakan kegembiraan sehingga sejenak bisa mengurangi rasa kangenku kepada Mutiara.
Firasatku ternyata benar, Mutiara tidak bisa pulang hari Minggu ini. Aku mendapat kabar langsung darinya. Kesehatannya kembali memburuk. Demamnya kembali kambuh dan hari ini Mutiara disarankan untuk diperiksa di Rumah Sakit. Sehari sebelumnya aku sempat menerima telpon dari Om Franky yang mengabarkan Mutiara akan dibawa ke Rumah Sakit untuk rawat inap. Gejala demamnya dikuatirkan ada hubungannya dengan penyakit Thypus atau Demam berdarah. Aku hanya berharap saja semoga Mutiara segera sembuh dan kembali secepatnya ke Surabaya.
Berita ini tentu saja sedikit banyak mengganggu fokusnya pikiranku terhadap pekerjaanku di Rumah Sakit. Apalagi hari ini ada Pasien istimewa yaitu seseorang yang positif terkena HIV. Baru saja aku dikabari dokter Wim tentang hasil test laboratorium yang menunjukkan bahwa pasien tersebut positif terinveksi HIV. Pasien ini adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang diduga tertular HIV dari suaminya yang memang hobi ‘jajan di luar’. Kejadian yang sangat memprihatinkan. Gejala awal Ibu Rumah Tangga ini hanya demam biasa, namun demam ini tidak sembuh. Hingga akhirnya semakin parah tumbuhnya penyakit kulit seperti bisul. Untuk pasien tersebut, tentu saja harus dilakukan tindakan medis lanjut. Saat ini memang ada obat untuk menghambat perkembangan virus HIV dalam tubuh Pasien yang terinveksi. Pengobatan ini dikenal dengan sebutan Terapi Antiretroviral (ARV). ARV ini tidak membunuh virus, namun dapat melambatkan pertumbuhan virus. Waktu pertumbuhan virus dihambat sehingga bisa mengurangi jumlah virus yang menggerogoti system kekebalan tubuh. Hal ini berarti dapat memperpanjang harapan hidup Si Pasien. Mengalami kejadian ini aku jadi teringat saat penyuluhan tentang HIV di sebuah Puskesmas yang pesertanya adalah para PSK sebuah Lokalisasi. Di sana pula aku berkenalan dengan Mutiara.
Oh Tuhan kembali lagi aku jadi teringat Mutiara yang sedang sakit demam. Mudah-mudahan hasil test laboratoriumnya negative untuk penyakit thypusnya. Namun tiba-tiba saja aku merasakan kekhawatiran yang sangat terhadap kesehatan Mutiara. Semoga saja kekhawatiranku hanya sekedar rasa khawatir. Segeralah sembuh Mutiara aku sangat rindu untuk bertemu denganmu. Setiap hari aku selalu menata asa ini sehingga suatu hari menjadi nyata.



 BERSAMBUNG

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 16

Foto : Anggrek15/hensa


EPISODE 16
 PELUKAN MUTIARA

Selama dua Minggu ini kesibukanku semakin menyita waktuku. Senin sampai Sabtu demikian cepat berpacu. Namun demikian aku masih tetap berhubungan via telpon seluler dengan Mutiara dan paling tidak satu kali kunjungan pada malam Minggu. Sedangkan dengan Bunga hanya sekali kontak itu juga saat dia menelponku menanyakan apakah ada rencana pulang kampung ke Pasuruan?. Mungkin Bunga kangen dengan Bapa dan Ibuku sekalian ingin mengajakku bareng. Aku mengatakan kepada Bunga jika saat ini aku sedang sibuk mungkin baru bulan depan aku bisa pulang ke Pasuruan. Aku teringat beberapa hari yang lalu Bunga bercerita tentang keinginan Mutiara untuk berpisah saja denganku karena tidak mau beban masa lalunya menjadi bebanku juga. Ketika hal ini aku tanyakan kepada Mutiara malam Minggu kemarin, Mutiara membenarkan.
“Iya Mas Herman, aku cerita kepada mbak Bunga tapi  dia selalu mendukungku agar aku tetap tabah!”.
“Tiara, insya Allah jangan ragukan cinta kita ini. Semua akan kita hadapi bersama-sama!”, kataku menenteramkan hatinya.
“Mas Herman, aku sangat terharu pada keteguhanmu namun andai nanti kita harus berpisah, harus kita sikapi menjadi satu hal yang terbaik untuk kita!”.
“Tiara jangan berkata seperti itu. Semuanya akan baik-baik saja!”.
Sebenarnya mendengar perkataan Mutiara itu hatiku agak was was juga. Apakah aku sudah siap andai suatu hari nanti aku harus berpisah dengan Mutiara?. Ya andaikata Allah berkehendak untuk memisahkan Mutiara dariku maka tidak ada kekuatan manapun yang bisa mencegahNya. Ya Allah apakah aku sudah siap?.
Pulang dari tugas Rumah Sakit aku langsung mandi kemudian sholat Magrib dan segera meluncur ke sebuah Rumah Makan di kawasan jalan Sulawesi. Ya Om Franky mengajakku untuk bertemu di sana. Pertemuanku dengan Om Franky kali ini adalah yang kedua. Pertama kali diperkenalkan oleh Mutiara dulu saat bertemu di tempat kost Jalan Bali itu. Om Franky adalah adik kandung dari Mamanya Mutiara, orangnya ramah dan baik. Saat ini sebenarnya aku merasakan ada hal yang menunjukkan firasat tidak enak, karena tiba-tiba saja Om Franky memintaku untuk bertemu. Malam itu kami baru saja menyelesaikan makan malam.
“Herman bagaimana kalau kita mulai membicarakan hal-hal yang sangat penting ini !”, kata Om Franky.
“Ya baik Om!”.
“Banyak hal yang terjadi dalam sebulan terakhir ini. Kabar penting pertama adalah Mamanya Mutiara sekarang sudah berpisah dengan suaminya atau Papa tirinya Mutiara!”, kata Om Franky sambil menarik nafas panjang.
“Bagaimanapun juga aku harus membuka cerita pilu ini kepada Mamanya Mutiara agar beban Mutiara menjadi ringan!”, kembali suara Om Franky.
“Bagaimana reaksi Mamanya saat beliau mendengar kisah menyedihkan itu!”, tanyaku.
“Mamanya menangis sambil memanggil manggil Mutiara. Dia sudah lama merindukan ingin bertemu dengan Mutiara. Dia sangat sedih anaknya diperlakukan seperti itu oleh Ayah tirinya sendiri. Sangat biadab !”, kata Om Franky.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancur hati Mamanya Mutiara mendengar kenyataan cerita pilu anak gadisnya waktu itu. Sungguh aku tidak bisa membayangkan. Sangat wajar jika Mamanya Mutiara menceraikan suaminya. Kabar penting berikutnya menurut Om Franky adalah Mutiara akan segera bertemu dengan Mamanya. Hal ini berarti Mutiara akan pulang ke Manado.
“Rencana minggu depan kami akan ke Manado!”, kata Om Franky.
“Om ternyata Mutiara belum cerita kepada saya tentang rencananya ke Manado itu !”.
“Tentu saja Herman, rencana ini dia belum tahu. Jadi kamu yang tahu lebih dulu!”.
Rupanya Om Franky yang mengatur pertemuan Mutiara dengan Mamanya dan rencana ini baru aku yang diberitahukannya. Aku hanya ikut berbahagia karena kini Mutiara sudah bisa kembali berkumpul dengan keluarganya. Ada satu hal penting lagi informasi dari Om Franky yaitu kasus hukumnya tentang Ricki ternyata Mutiara sudah memberikan kesaksian sebagai korban pemerasan. Mutiara melaporkan Ricki kepada pihak yang berwajib karena tindak pemerasan terhadapnya, bukan karena tindakan kekerasan Ricki kepadaku tempo hari.  Belakangan juga terbukti bahwa Ricki juga dilaporkan oleh korban-korban lainnya yang umumnya adalah para Mahasiswi yang pernah dinodainya.
“Itulah Herman begitu banyak beban yang saat ini harus dipikul oleh Mutiara!”, kata Om Franky.
“Iya Om!. Saya juga ikut prihatin namun saya yakin Mutiara adalah wanita yang tegar!”.
“Mutiara pernah bilang yang membuat dia bertahan adalah kamu, Herman!”.
“Alhamdulillah. Dia terlalu berlebihan Om. Mutiara sendiri yang tangguh menghadapi semua cobaan hidupnya!”, kataku mengelak.
“Herman. Bagi Mutiara, kamu itu ibarat Malaikat yang dikirim Tuhan untuk membuatnya merasa tenteram. Setiap yang kau ucapkan selalu membuat hatinya tenang!”, kembali suara Om Franky. Mendengar ini aku hanya terdiam namun dalam hati aku bersyukur kepada kebesaranNya. Sungguh hanya DIA yang Maha Terpuji yang Maha Pemberi segala ketenteraman.
 Esok siangnya saat aku makan siang di Kantin Rumah Sakit itu, aku menerima telpon dari Mutiara.
“Mas aku sangat bahagia bisa kembali bertemu Mama. Namun aku juga sedih harus meninggalkan Mas Herman!”, kata Mutiara diseberang sana mengabarkan rencana pulangnya ke Manado.
“Tiara kan nanti kembali bertemu denganku di Surabaya!”, kataku.
“Ya Mas. Aku nanti harus kerja kembali di Surabaya, tapi rasanya aku sangat sedih harus pergi meninggalkan Mas Herman walaupun hanya sebentar!”, kata Mutiara lagi.
“Sudahlah Tiara hanya beberapa hari saja kita tidak bertemu. Bersabarlah. Sekarang malah kamu bisa melepaskan kerinduanmu terhadap Mama!”,kataku.
“Iya Mas Herman, aku sudah ingin memeluk Mamaku, aku sangat rindu kepadanya!”, kata Mutiara kelihatan riang.
“Oh ya besok Minggu menggunakan penerbangan jam berapa Tiara?”, tanyaku.
“Pukul 8.00 Mas. Aku dijemput Om Franky!”, kata Mutiara.
“Kalau begitu aku langsung menuju Bandara saja nanti bersama Bunga!”, kataku.
“Iya Mas, tadi malam Mbak Bunga juga sudah aku pamiti!”, kata Mutiara.
“Okey Tiara sampai nanti ya!”, kataku.
Aku kadang-kadang heran dengan perasaan wanita. Mutiara pulang ke Manado hanya beberapa hari saja tapi dia begitu berat berpisah denganku. Akhir-akhir ini Mutiara memang sangat peka sekali dengan perasaannya. Selain itu karena pikirannya penuh dengan beban yang cukup berat juga kesehatannya agak menurun. Sering terkena demam dan gejala flu namun hanya sehari sembuh kembali.
Minggu pagi itu aku berjalan beriringan dengan Bunga menuju Pintu Keberangkatan Dalam Negeri Bandara Juanda. Beberapa Penumpang sedang antrian untuk mengambil boarding pass. Sementara aku melihat diantara para penumpang itu adalah Mutiara dan Om Franky.
“Tiara!”, aku memanggil Mutiara.
“Mas Herman!”, pekik Mutiara sambil menghampiriku. Kemudian Mutiara juga menoleh kepada Bunga.
“Kalian akhirnya datang juga. Aku dari tadi menunggu!”, kata Mutiara.
“Om Franky bagaimana kabar?”, aku menyapa Om Franky sementara Bunga hanya mengangguk hormat.
“Baik-baik Herman!”, kata Om Franky. Sementara aku lihat Bunga dan Mutiara berbincang dengan serius dan aku lihat Mutiara seperti menangis mungkin terharu saat harus berpisah dengan Bunga.
“Mudah-mudah perjalanan lancar, selamat sampai di Manado !”.
“Terima kasih Herman ya semoga semua urusan menjadi beres. Aku lihat Mutiara sedih harus meninggalkan Surabaya walaupun hanya beberapa hari !”.
“Tapi mudah-mudahan Mutiara juga bahagia saat kembali bertemu dan berkumpul dengan Mamanya!”, kataku.
“Ya Herman. Terima kasih!”, kata Om Franky. Akhirnya kami berjabat tangan sambil aku ucapkan selamat jalan kepada Om Franky.  Lalu aku lihat Mutiara memeluk Bunga sambil terisak dan Bunga menenangkan wanita ini. Pada saat berpamitan kepadaku, air mata Mutiara masih tergenang di kedua matanya.
“Mas Herman aku pergi dulu!”, kata Mutiara sambil memandangku tak berkedip seolah ini adalah perpisahan terakhirnya. Tiba-tiba aku merasakan rasa haru ketika tiba-tiba saja Mutiara memelukku erat sekali seolah tidak mau melepaskan dirinya dariku. Aku sengaja membiarkan Mutiara memelukku beberapa saat, lalu pelan-pelan Mutiara melepaskan pelukannya.

“Mas Herman jaga dirimu baik-baik!”,kata Mutiara masih dengan mata yang berkaca-kaca. Aku mengangguk pelan sambil memandangnya. Mutiara berjalan menuju Pintu Masuk bersama Om Franky. Aku dan Bunga hanya bisa memandangi punggungnya. Aku lihat rambutnya yang indah terurai sampai di bawah bahunya. Masih juga terbayang kedua matanya yang biasanya berseri seri kini harus berurai air mata. Serta pelukannya yang erat seolah tidak mau melepaskanku. Mutiara mudah-mudahan kau baik-baik saja dan cepatlah kembali kepadaku.

BERSAMBUNG