Monday, July 21, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 21 (TAMAT)

Sampul Novel Bunga Mutiara (Foto Hensa)

EPISODE 21
 BERAKHIRNYA SEBUAH MIMPI

Ruangan dokter Beny, dokter senior spesialis penyakit dalam ini terasa hening beberapa saat ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.
“Ya silahkan masuk!”, kata dr Beny mempersilahkan masuk.
Lalu pintupun terbuka. Seorang wanita cantik berkulit putih separuh baya paling berusia sekitar 45 tahunan, berdiri di sana. Aku hanya menebak apakah ini Mamanya Mutiara?. Kulihat garis garis  wajahnya memang mirip Mutiara.
“Oh Bu Maya, silahkan duduk!”, kembali suara dokter Beny. Kemudian Om Franky menyambut kedatangan Bu Maya yang ternyata memang benar, dia adalah Mamanya Mutiara. Om Franky memperkenalkan aku kepadanya. Ketika aku memanggilnya dengan kata ‘Tante’, langsung Bu Maya menyuruhku memanggilnya ‘Mama’.
“Herman, aku sudah banyak mendengar cerita tentangmu dari Mutiara. Saat sekarang bertemu denganmu seakan aku sudah mengenalmu bertahun-tahun!”, kata Mamanya Mutiara. Aku hanya terdiam.
“Herman, kamu tahu saat Mutiara mendengar kedatanganmu di Manado wajahnya kembali ceria. Dia sangat menunggu kehadiranmu. Bagi Mutiara, kau itu seperti malaikat penolong, betapa banyak harapan harapannya berhasil kau bangkitkan kembali. Akhirnya Mutiara menemukan kembali jati dirinya!”, Mamanya Mutiara berkata terbata-bata dengan berurai air mata. Om Franky berusaha menghibur dengan memeluknya.
“Bagi Mutiara,Hermansyah adalah masa depannya namun ternyata Tuhan kembali harus memberikan ujianNya. Mungkin Tuhan sangat sayang kepada Mutiara sehingga dia harus selalu menerima ujian ini!”, kembali suara Mamanya Mutiara sambil terisak. Suasana di Ruang dokter Beny itu benar-benar sangat mengharukan.
“Bu Maya semoga bisa bersabar. Kami tetap berupaya menuju tindakan medis lanjut dengan terapi antiretroviral dengan persetujuan pihak keluarga!”,  kata dokter Beny.
“Tentu dokter. Apapun yang dilakukan untuk kesembuhan Mutiara, kami pasti setuju!”, kata Mamanya Mutiara sudah mulai tenang.  Suasanapun sudah kembali mencair. Kemudian Om Franky meminta izin untuk segera menjenguk Mutiara di Ruangannya.
“Dokter ijinkan kami menjenguk Mutiara dan terima kasih atas penjelasan lengkap kondisi medis serta dukungannya selama ini!”, suara Om Franky.
“Ya sama-sama Pak Franky. Silahkan!”, kata dokter Beny mempersilahkan kami meninggalkan ruangannya.
Kami menuju Ruangan dimana Mutiara di rawat. Kami menyusuri koridor menuju tangga terdekat dan selama perjalanan Mama Maya selalu bercerita tentang Mutiara yang begitu senang akan bertemu denganku.
“Herman, Mutiara sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu!”, kata Mama Maya. Aku melihat masih ada sisa tangisan di sudut kedua matanya.
“Iya Ma, saya juga sudah tidak sabar ingin bertemu segera!”, kataku. Aku merasakan ada kegundahan dalam tutur kataku itu. Rasa gundah, gelisah, khawatir dan rasa takut kehilangan. Ya Allah kenapa jatungku berdetak semakin cepat saat sebentar lagi akan bertemu Mutiara. Aku tidak mau membayangkan kondisi Mutiara saat ini. Mendengar informasi dari Om Franky tempo hari, Mutiara memang sudah sangat parah.
Aku sekarang sudah ada di depan pintu Ruangan tempat Mutiara dirawat. Mama Maya membukakan pintu dan Om Franky masuk diikuti olehku.
“Tiara coba tebak siapa yang datang ini!”, suara Mamanya. Aku melihat Mutiara melihat kedatanganku dengan wajah yang ceria. Ya Allah walaupun wajah cantiknya kelihatan pucat dengan kedua pipi yang sudah cekung digerogoti virus HIV namun senyum itu adalah senyum kerinduannya kepadaku. Aku hanya bisa memandangnya dengan penuh haru.
“Mas Herman!”, suara Mutiara setengah berteriak. Aku menghampiri dan memegang lengannya. Kupandangi wajah cantiknya yang selama ini aku rindukan. Mutiarapun memandangku dengan kedua matanya yang indah itu. Bibirnya berkali kali memanggil namaku pelan hampir berbisik. Wajahnya memang kelihatan sangat lelah namun saat dia memandangku kelihatan sorot mata yang hidup dan senyum manis penuh dengan harapan. Kondisi tubuhnya sangat memprihatinkan kelihatan kurus karena bobot badan yang terus menyusut. Mamanya hanya bisa terisak memandang adegan haru di depan matanya sedangkan Om Franky terdiam membisu dengan wajah penuh kesedihan.
“Mas, aku kangen sekali!”, suara Mutiara pelan dan air matanya mulai menetes di kedua pipinya yang sekarang sudah cekung itu. Aku mengusap tetesan air mata itu dengan lembut.
“Tiara, aku juga merasa kehilanganmu!”, kataku sambil tetap erat memegang tangannya. Mutiara tersenyum. Aku lihat wajahnya yang cantik itu sangat lelah namun senyumnya tetap manis. Saat saat seperti ini aku hanya bisa berbisik kepadaNya. Ya, berikanlah untuk Mutiara jalan yang terbaik menurutMu.
Informasi medis dari dokter Beny sudah jelas bagaimana kondisi Mutiara saat ini. Aku sekarang sudah melihat fakta dari kondisi kesehatan Mutiara sudah sangat parah. Infeksi oportunistik herpes simplex virus tipe 2 bagi penderita HIV adalah hal yang sangat serius karena sistem imunitas tubuhnya yang terus menurun akibat HIV,  menyebabkan Mutiara memasuki stadium yang kritis.
“Mas Herman, aku merindukan suasana Surabaya. Aku merindukan saat kita berbincang di teras depan tempat kostku. Aku merindukan duduk bersamamu di Halte depan Rumah Sakit itu. Aku merindukan bertemu denganmu di Perpustakaan itu. Aku selalu merindukan setiap petuahmu yang membuat hidupku menjadi cerah!”, suara Mutiara pelan sambil menatapku dengan senyum di bibirnya.
Kembali aku hanya diam membisu dan membiarkan Mutiara mengeluarkan semua isi hatinya. Mutiara yang malang, kemana para lelaki tuna susila yang biadab itu pada saat Mutiara seperti ini. Tentu saja mereka tidak akan ada yang datang menjenguknya karena mereka memang hanya butuh tubuhnya.
“Mas Herman saat saat seperti ini baru aku menyadari bahwa Tuhan sedang mengujiku. Pernah Mas Herman bilang orang yang sering mendapat ujian itu pertanda mau naik kelas. Andaikata benar aku sangat bahagia. Namun aku ini penuh dengan kenistaan sangat layak masuk neraka. Aku harus rela menerimanya. Ternyata aku juga adalah mahlukNya yang tidak berdaya melawan nerakaNYa. Sedangkan Sorga adalah tempat yang tidak layak bagiku yang berlumpur penuh dengan dosa ini !”, suara Mutiara semakin lemah, lalu nafasnya terputus-putus. Kini tiba-tiba saja kondisinya sangat drop kemudian aku melihat dia pingsan.
Kami segera memanggil Suster yang selama ini merawatnya. Kemudian Suster segera menghubungi dokter Beny. Mereka secepatnya menangani Mutiara sementara Mama Mutiara dan Om Franky dipersilahkan menunggu di luar ruangan.  Mama Mutiara masih menangis dalam pelukan Om Franky. Aku sendiri diizinkan dokter Beny untuk menemaninya memeriksa kondisi Mutiara. Faktor psikologis yang membuat Mutiara depresi berat. Aku bisa memahami betapa kecewanya Mutiara karena HIV dan infeksi herpes simplex tipe 2, menyebabkannya harus melupakan untuk menjadi istriku. Itulah kenyataan yang harus aku hadapi kini. Fakta yang sangat menyakitkan dan menyedihkan.
Saat itu kesedihan harus aku rasakan secara mendalam. Bagaimana tidak, Mutiara telah mampu membuatku jatuh hati. Wanita yang telah banyak menciptakan rindu dalam setiap waktuku. Hari hari yang aku lalui bersamanya adalah hari hari yang penuh keceriaan dan kebahagiaan. Kecantikannya selalu mengingatkanku kepada kebesaran ciptaanNya. 
Dalam hatiku selalu tertanam kesadaran bahwa Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya - Tiada satupun urusan yang tanpa campur tanganNya. Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. Dia Maha Memiliki apa apa yang di langit dan di bumi dan diantara keduanya. Siapa yang mampu menolak takdirNya ?. Ya Mutiara sudah menerima takdirNya. Setahun kemudian wanita pujaanku ini tidak mampu lagi bertahan melawan virus yang ganas itu.
Sore hari yang mendung itu aku masih duduk di bangku Halte depan Rumah Sakit itu. Orang-orang yang menunggu Angkot satu-persatu bergegas menaiki kendaraan kota itu sehingga di Halte hanya tinggal aku dan seorang gadis berambut panjang. Tiba-tiba saja sebuah mobil Eropa bermerk berhenti dan gadis cantik berambut panjang itu membuka pintu lalu berlalu dari pandanganku. Bukankah dia Mutiara?. Tidak, Mutiara sudah tiada, bukan, bukan dia. Lalu siapa gadis cantik berambut panjang yang pergi bersama mobil Eropa bermerk itu?. Hujan sudah mulai turun. Aku masih di Halte itu sendirian. Sementara hari sudah mulai gelap tiba-tiba saja sebuah mobil  sedan kecil merapat. Seorang gadis semampai keluar dari mobil sambil membawa payung.
“Herman ayo kita pulang!”, suara Bunga. Aku hanya menurut saja ketika aku digandeng menuju mobil lalu kamipun berlalu meninggalkan Halte itu. Mobil meluncur menembus lebatnya hujan sementara Bunga mengendarai dengan hati-hati.
“Herman, kamu harus bangkit. Mutiara sudah tenang di alam sana!”, kata Bunga.
“Ya Bunga. Mutiara selalu saja ada di hatiku. Tadi di Halte itu aku juga melihat kembali bayangannya !”.
“Mungkin itu hanya hayalanmu karena kamu belum bisa merelakannya pergi!”.
“Mungkin begitu Bunga!”.
“Andaikan kau mencintainya, relakan dia. Ikhlaskan karena kita tidak pernah menjadi pemilik siapapun. Hanya Allah yang Maha Memiliki!”, kata Bunga.

Aku berusaha untuk tetap tabah menghadapi ujian ini. Sangat berat memang namun sekali lagi aku memiliki sahabat sejati yaitu Bunga Putri Pertiwi. Dia selalu ada pada saat aku membutuhkannya. Aku teringat pesan terakhir Mutiara bahwa dia sudah menitipkan diriku seutuhnya kepada Bunga. Mutiara juga akan merasa bahagia andai aku menjadi teman hidup Bunga. Namun apakah Bunga memang mencintaiku?. Sedangkan sekarang cintaku sudah hilang seolah dibawa pergi oleh Mutiara. Lalu cinta yang mana yang harus aku berikan kepada Bunga?. Aku hanya berdoa semoga suatu hari nanti Bunga dapat menemukan kembali cintaku yang hilang.  Semoga. 

Novel ini dapat dipesan di sini : 

Thursday, June 5, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 20

Foto : Sampul Novel Bunga Mutiara/Hensa 2014


EPISODE 20
 ASA ITU SELALU ADA
Akhirnya berita menyedihkan itu sampai juga kepada Mutiara. Pagi itu saat aku baru saja sampai di Ruang Kerjaku, Mutiara menelponku. Sambil terisak dia men-ceritakan berita menyedihkan itu dari dokter yang baru saja berkunjung pagi itu. Aku mendengar isak tangisnya begitu pilu.
“Tiara. Bersabarlah. Tuhan tidak akan memberi cobaan diluar kemampuan kita!”, kataku mencoba mengutip Firman Allah untuk menenangkan hati Mutiara.
“Iya Mas. Hanya kepadaNya aku pasrahkan segala-nya. Aku hanya bersedih memikirkanmu Mas Herman!”, suara Mutiara masih terisak. Mendengar penuturannya aku sangat terharu. Mutiara bersedih justru karena memikirkan masa depanku. Ya andai Tuhan mengizinkan aku menikah dengannya lalu apa yang terjadi saat Mutiara sudah menjadi istriku?. Sedangkan dia saat itu terkena infeksi HIV. Ya Allah berikanlah ketabahan kepada kami.
Beberapa saat aku tertegun lalu tetap berusaha menghibur dan membesarkan hatinya.
“Sudahlah Tiara jangan bersedih. Sekarang ikuti saja program yang sudah disiapkan oleh dokter. Tiara harus tabah. Insya Allah semuanya akan baik-baik saja !”.
“Mas Herman. Ini yang kutakutkan selama ini. Itulah sebabnya aku tidak pantas untukmu Mas. Aku berharap Mas Herman segera bangun dari mimpi buruk ini!”, suara Mutiara begitu tegar mengucapkan kalimat ini.
“Tiara selalu aku katakan janganlah berputus asa kepada pertolongan Tuhan. Aku tidak sedang bermimpi buruk. Bahkan Mimpi indahku adalah dirimu Mutiara!”, kataku pelan.
Aku tidak bisa menyembunyikan kerapuhan hatiku. Siapapun yang mengalami hal sepertiku ini tentu tak bisa dengan mudah untuk tabah semudah kata itu diucapkan.
“Mas Herman, aku sudah tak sabar ingin bertemu denganmu!”, kembali suara Mutiara. Mendengar kata-kata Mutiara ini aku rasanya seperti mau menangis. Dia begitu rindu seperti halnya aku merindukannya.
“Iya Tiara, aku juga sudah kangen ingin bertemu!”, kataku. Berpisah dengannya belum sebulan namun rasanya seperti sudah berabad abad.
Aku teringat ketika masih di Surabaya berat badan Mutiara turun beberapa kg namun saat itu tidak pernah aku perhatikan sebagai suatu hal yang serius. Malah saat itu aku sering memujinya dengan mengatakan bahwa Mutiara bertambah langsing semakin bertambah cantik. Lalu saat mendengar pujianku itu Mutiara mencubit lenganku mesra. Namun setelah test HIV ini turunnya berat badan menjadi hal yang serius. Aku belum tahu kondisi Mutiara saat ini. Terakhir Om Franky menceritakan keadaanya sangat memprihatinkan. Ya Allah semoga mukjizatMu menyertainya.
Sudah aku duga biasanya jika ada berita dari Mutiara pasti selalu ada telpon dari Bunga. Ya Bunga menelponku ingin bertemu. Maka siang itu Bunga bertemu denganku di Kantin Rumah Sakit pada jam makan siang.
“Herman. Menerima telpon Mutiara pagi tadi aku sangat prihatin. Aku berikan semangat kepadanya agar dia tetap tabah. Kamu juga yang tabah ya !”, kata Bunga.
“Terima kasih Bunga. Kamu memang sahabat sejatiku. Aku sendiri saat ini hanya ingin bertemu dengan Mutiara. Biar aku bisa memberikan semangat kepadanya secara langsung!”.
“Herman itu lebih baik. Kamu ada disisinya akan membuat Mutiara lebih tenang dan lebih tabah. Kapan rencana ke Manado ?”, tanya Bunga.
“Aku punya jadwal longgar hari Sabtu pekan depan. Rencananya aku pergi dengan Om Franky !”, kataku.
“Aku sebenarnya ingin ikut menjenguk Mutiara namun minggu depan ada seminar proposal. Titip salamku saja !”, kata Bunga.
“Ya Bunga tidak apa-apa. Tetap doakan kebaikan untuk Mutiara. Saat seperti ini hanya kamu yang selalu ada disampingku untuk mendukungku. Terima kasih Bunga!”, kataku terharu. Kulihat Bunga hanya menatapku sendu.
“Aku sahabatmu sejak kecil sudah pasti akan selalu ada saat kau bersedih seperti ini !”, kata Bunga.
“Sebenarnya aku selalu yakin semua yang terjadi pasti selalu atas campur tanganNya. Namun aku juga kadang-kadang merasa rapuh menghadapi cobaan ini!”, kataku.
“Herman selama ini aku mengenalmu sebagai seorang yang ulet dan tegar menghadapi apapun. Aku yakin kau bisa menghadapi cobaan ini!”, kata Bunga berusaha selalu menghiburku.
“Insya Allah. Mudah-mudahan aku seperti yang kau kenal selama ini. Aku juga selalu berharap agar kau tetap mendoakan agar cobaan ini segera berakhir!”, kataku.
Pertemuan yang singkat dengan Bunga namun memiliki banyak arti. Bagiku Bunga adalah seorang gadis yang istimewa. Dia selalu hadir saat kapanpun aku harapkan. Walaupun Mutiara adalah pujaan hatiku, namun seakan pada semua relung hatiku, Bunga selalu ada.
Malam itu aku harus menyelesaikan laporan tugas rutinku di Rumah Sakit. Ada perasaan kalut dan pikiran tidak tenang, bukan karena aku belum menyelesaikan laporan itu namun karena seorang pasien Ibu Rumah Tangga yang terkena virus HIV itu kondisinya semakin menurun. Setiap hari aku bersama dokter Wim selalu memantau Pasien ini di Ruangan isolasi. Bahkan dokter Wim menemukan indikasi adanya stadium lanjut dari virus ini dengan hasil temuan jumlah sel CD4 dalam darah yang di bawah 250 per mikroliter. Sel kekebalan tubuh yang disebut CD4 (Cluster of Differentiation), merujuk pada klaster protein yang membentuk reseptor pada permukaan sel tersebut. Diketahui banyak sekali klaster, tetapi dalam hubungan dengan HIV/AIDS maka CD4 dan CD8 yang paling utama dan paling sering dibahas. Padahal obat antiretroviral (ARV) perlu dimulai sedini mungkin karena progresivitas penyakit terjadi setelah banyak sel CD4 yang hancur.  Terapi ARV yang tepat bisa menekan replikasi HIV, namun rupanya pasien ini sangat terlambat memeriksakan keluhannya. Adanya infeksi oputunistik yang juga menyerang tubuhnya menambah parah kondisi pasien tersebut.
Pagi harinya pasien Ibu Rumah Tangga itu akhirnya sudah tidak mampu lagi bertahan. Dia meninggal dunia setelah dirawat selama dua pekan. Aku hanya bisa termenung di sudut Ruangan itu.
Aku kembali teringat Mutiara seperti apakah kondisinya saat ini. Aku benar-benar tidak mengetahui data mediknya. Mungkin nanti saat di Manado aku bisa berdiskusi lebih dalam dengan dokter yang menangani Mutiara. 
Sabtu pagi itu, aku dan Om Franky bertolak ke Manado menggunakan penerbangan pagi dari Bandara Juanda Surabaya. Penerbangan Alhamdulillah lancar sampai Bandara Sam Ratulangi. Kami langsung menuju RS Ratumbuisang dimana Mutiara dirawat.
Sebelum menjenguk Mutiara, Om Franky me-ngajakku ke Ruangan dokter Beny yaitu dokter spesialis yang merawat Mutiara di Rumah Sakit itu. Om Franky yang mengenal lebih dulu dr Beny memperkenalkanku kepadanya sebagai calon suami Mutiara. Kami berdiskusi cukup lama di Ruangan dr Beny.
“Setelah Mutiara positif terinfeksi HIV. Kami lakukan juga pemeriksaan banyaknya jumlah sel kekebalan tubuhnya yaitu sel CD4. Hasilnya dibawah dibawah 300 per mm kubik darah. Sangat mencemaskan!”, kata dr Beny.
“Betul dokter jumlah sel CD4 menjadi indikator yang amat penting dalam menentukan tingkat kekebalan tubuh manusia. Dari hasil laboratorium jumlah sel kekebalan tubuh Mutiara sangat mengkhawatirkan!”, kataku sambil memperhatikan data medis yang ditunjukkan dr Beny.
“Iya seharusnya jumlah sel  dalam batas normal ada pada kisaran 500-1000 sel per milimeter kubik darah agar mampu mempertahankan diri dari komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan AIDS khususnya mencegah terjadinya infeksi oportunistik!”, kata dokter spesialis yang merawat Mutiara.
“Satu hal lagi hal yang sangat menyedihkan adalah ditemukan adanya konplikasi sehingga terjadi infeksi oportunistik dari penyakit menular herpes genitalis!”, kembali suara dr Beny.
Aku dan Om Franky hanya terdiam dan saling pandang mendengar penjelasan Beliau yang sangat gamblang dan jelas tentang kondisi medik Mutiara.
“Penanganan medis selanjutnya adalah mengobati infeksi oportunistiknya baru terapi antiretroviral bisa dilakukan!”, kembali dokter Beny menjelaskan tindakan medis berikutnya.

Kondisinya Mutiara saat ini sangat parah. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengannya. Aku ingin segera saja keluar dari Ruangan dr Beny dan berlari menemui Mutiara. Ya Allah betapa aku harus tetap yakin setiap kehadiranMu dalam hatiku maka asa itu selalu ada.

BERSAMBUNG