Friday, October 31, 2014

Cerpen Hensa : REUNI BERSAMA INTAN PERMATASARI

1414066433289749202
Foto : Hensa


   Ketika mendengar kabar ada Reuni Akbar SMA, aku seperti ingin berteriak gembira. Bukan apa-apa, jika benar Reuni itu terlaksana aku sangat berharap bertemu dengan Intan Permatasari. Tiga Puluh Sembilan tahun yang lalu aku lulus dari SMA sebuah Kota kecil di lereng Gunung Ciremai. Tidak terasa hampir empat dasa warsa sudah aku meninggalkan kota kelahiranku. Selama itu hanya pada saat Hari Lebaran saja aku menyempatkan berkunjung ke sana untuk bersilaturahmi dengan para kerabat dari Ibuku. Pada saat Lebaran itu kadang-kadang aku sempat bertemu dengan teman dan sahabat lama baik saat SMP maupun SMA. Namun selama itu pula aku belum pernah berjumpa lagi dengan Intan Permatasari. Sempat suatu hari saat mudik Lebaran tiga tahun yang lalu aku mendengar kabar tentang Intan saat aku bertemu dengan Diana teman sebangkunya saat SMA dulu.
“Hensa bagaimana kabarmu?”, suara Diana.
“Alhamdulillah baik. Kamu juga kelihatan tetap cantik!”, kataku. Diana hanya tertawa mendengar pujianku.
“Hensa tahun lalu aku bertemu dengan Intan lho!”, kata Diana.
“Oh iya. Bagaimana dia kabarnya, dimana sekarang tinggalnya, anaknya sudah berapa?” tanyaku bertubi-tubi. Diana kembali tertawa mendengar pertanyaan beruntunku yang heboh itu.
“Sabar pertanyaannya satu-satu nanti aku jawab okey Bos!”, kata Diana kalem.
“Oke Bos!”, kataku.
“Saat itu Intan juga tanya kamu. Aku bilang Hensa sekarang tinggal di Jawa Timur sana. Sudah punya dua putra. Intan juga bilang ingin ketemu kamu!”, kata Diana. Mendengar ini aku merasakan rasa haru berarti Intan masih ingat padaku.
“Kukira dia sudah lupa padaku”, kataku bergumam.
“Hensa mana mungkin dia melupakanmu. Kamu kan cowok pertama yang berani mengutarakan cinta padanya!”, kata Diana.
“Ya tapi sampai sekarang Intan belum pernah mengucapkan balasan apapun terhadap perasaanku sampai akhirnya kami berpisah kota untuk melanjutkan studi masing-masing!”, kataku. Diana sebagai teman dekat Intan pasti tahu betul rahasia perasaan Intan dan semua yang menyangkut aku dan Intan.
“Hensa tahu tidak sampai saat ini Intan belum menikah” suara Dina memecahkan suasana. Aku sangat terkejut mendengar berita ini.
“Diana kenapa begitu ya?”.
“Aku juga tidak tahu. Sebagai wanita yang karirnya sukses mungkin Intan sudah agak sulit menemukan pergaulan yang setara dengannya.” kata Diana. Intan Permatasari bekerja di sebuah Perusahaan Ekspor-Impor di Jakarta. Dia memegang jabatan yang sangat penting dalam perusahaannya, demikian Diana menceritakan karir Intan saat ini.
“Hensa saat ini Intan masih cantik seperti dulu. Kabar baik lainnya dia kirim salam untukmu dan keluarga”, kata Diana.
“Terima kasih Diana”, kataku.
Itulah kabar terakhir tentang Intan Permatasari. Ah aku jadi ingat saat aku mengutarakan cintaku padanya. Intan bagiku adalah sahabat di Sekolah maupun di luar Sekolah. Dia teman grup belajarku. Setiap ada PR Matematika, Goniometri, Ilmu Ukur Ruang,Ilmu Pesawat Mekanika, Kimia, Fisika, Biolgi Intan adalah jagoanya. Gadis ini juara di Kelasku. Aku bersyukur bisa bersahabat dengannya. Akupun bersyukur diantara teman prianya, Intan lebih percaya padaku. Mungkin karena aku ini orangnya polos dan agak sedikit religius entahlah. Jika pada saat ada acara Sekolah yang diselenggarakan malam hari maka aku selalu diminta untuk menemaninya. Begitupula Ibunya nampak sekali suka padaku walaupun kepada siapapun tetap ramah. Sejak kelas tiga SMP kami memang sudah bersahabat. Banyak teman pria yang lain berusaha untuk mendekati Intan namun selalu dengan halus Intan menghindarinya. Setiap ada teman pria yang mendekatinya maka Intan selalu bercerita kepadaku. Hingga pada suatu kesimpulan inilah saatnya aku maju. Saat kelas tiga SMA itulah aku memutuskan untuk mengutarakan cintaku kepada Intan.
Saat itu baru saja kami menerima pengumuman kelulusan Ujian Akhir SMA dan Alhamdulillah aku dan Intan lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Kami keluar dari Ruangan Aula setelah Pengumuman itu. Berjalan menuju sebuah tempat yang bernama Samoja Opat yang ada di seberang jalan depan Sekolahku. Tempat ini penuh dengan rindang pepohonan. Aku dan Intan sering datang ke tempat ini hanya untuk sekedar ngobrol santai. Siang itu kamipun menuju ke sana hanya sekedar ingin mengukir nama-nama kami pada sebuah pohon di situ. Intan + Hensa, demikian dua nama itu terukir di batang sebuah pohon besar. Lalu kami duduk di atas sebuah batu menghadap ke arah Sekolahku.
“Intan tahun depan kita sudah meninggalkan SMA tercinta kita ini. Kamu mau kuliah dimana?” tanyaku.
“Hen rencanya aku ingin kuliah di Yogya. Di sana ada Om Budi, adik Ibu. Kalau Hensa rencana kuliah dimana?”, tanya Intan.
“Aku mungkin kuliah di Bogor. Aku suka pelajaran kimia. Di sana ada Perguruan Tinggi Kimia mungkin aku kuliah di sana”, kataku.
“Hensa, nanti kita berjauhan ya. Aku di Yogya dan kamu di Bogor”, suara Intan pelan. Aku melihat wajah gadis ini kelihatan murung sama seperti halnya perasaanku. Aku merasakan suasana kesedihan tergambar dalam wajah Intan.
“Aku kalau kangen gimana?”, suara Intan. Aku tertegun tidak bisa bicara.
“Kita bisa berkirim surat atau telepon ya Hen!”, kembali suara Intan.
“Intan saat saat seperti ini aku merasakan kesedihan. Yang aku takutkan selama ini ternyata akan terjadi. Kita nanti akan berpisah”.
“Iya Hensa. Walaupun nanti kita jauh tapi hati kita tetap dekat”, kata Intan.
“Intan!. Maukan kau mendengarkan apa yang selama ini aku rasakan?”, akhirnya aku mulai membuka kata untuk curahan hati ini. Mendengar ini Intan Hanya menatapku tajam. Aku juga memandang gadis cantik ini. Mata indahnya dan wajah cantiknya dengan rambut hitam panjang sebatas bahu benar-benar memukauku. Maha Besar Allah Sang Pencipta gadis cantik ini. Kami saling berpandangan.
“Intan selama ini ternyata aku sangat mencintaimu!”, kataku tegas. Aku lihat Intan hanya tertunduk. Beberapa saat kami terdiam. Tidak ada jawaban dari bibir mungil gadis ini. Aku melihat Intan mulai terisak. Titik air matanya mulai membasahi pipinya. Siang itu begitu hening. Hanya angin semilir menerpa dedaunan rindang di Samoja Opat itu. Peristiwa itu begitu berkesan bagiku walaupun hingga saat ini aku tidak pernah mendengar sepatah katapun jawaban dari Intan.
Sejak lulus kuliah dari Bogor, sudah 30 tahun ini aku menghabiskan kehidupanku di sebuah Kota Pesisir Jawa Timur. Kota ini sudah seperti kota kelahiran keduaku, kota tempat aku menggapai semua masa depanku. Intan Permatasari walaupun tidak bisa begitu saja dilupakan namun di kota ini aku merasa lebih realistis menjalani kehidupanku. Kabar tentang Reuni Akbar Lintas Angkatan mulai tahun 1961 sampai tahun terakhir benar-benar acara yang sangat aku nantikan hanya dengan satu harapan yaitu bertemu dengan Intan Permatasari. Reuni Akbar ini seakan membuka kembali lembaran-lembaran lama. Aku sungguh sungguh ingin menghadiri acara reuni ini maka segera saja mengatur jadwal kerjaku agar pada hari H Reuni tersebut benar-benar tidak berbenturan  dengan tugas-tugas kantor. 
Hari yang ditunggu itu akhirnya datang juga. Kegiatan Reuni dimulai dengan acara jalan sehat Sabtu pagi dilanjutkan dengan Bazar serta pertandingan Final Basket antar SMA/SMK. Aku sendiri tidak bisa mengikuti acara-acara tersebut. Aku baru bisa hadir pada malam Minggunya yaitu acara Malam Temu Kangen. Malam itu aku melangkah dengan penuh harapan ingin ketemu dengan Intan Permatasari. Memasuki Gerbang Sekolah sudah banyak para alumni. Mereka mungkin angkatan yang muda-muda karena tidak ada yang mengenaliku. Ketika tiba-tiba seseorang memanggilku. Ternyata disana sudah berdiri Diana sambil melambaikan tangannya. Aku segera menghampiri Diana. Kami saling bersalaman.
“Hensa baru datang ya. Tadi pagi tidak ikut jalan sehat?”, tanya Diana.
“Iya. Oh ya teman-teman yang lain mana?”. Tiba-tiba muncul berbarengan Dony, Kadir, Agus, Neni, Eli, Bunga namun tidak ada Intan Permatasari. Kemanakah kamu Intan. Setelah ngobrol-ngobrol kangen akhirnya mereka, teman-temanku itu pamit padaku karena kebetulan mereka adalah Panitia pada acara ini. Aku berjalan menuju Panggung yang megah di tengah-tengah antara Aula dan lapangan terbuka. Udara malam itu sangat sejuk dan langit cerah penuh Bintang. Berjalan sendiri melintasi koridor melewati kelas-kelas yang dulu pernah menjadi tempatku belajar. Lalu aku kembali lagi menuju arah panggung dimana acara puncak Temu Kangen dilangsungkan. Belum sampai sisi Panggung aku melihat seorang wanita duduk sendirian kebetulan disebelahnya juga ada kursi kosong. Aku seperti mengenal betul siapa wanita itu. Menggunakan gaun berwarna hitam rambut panjang sebatas bahu dengan perawakan semampai. Ya Allah tidak salah lagi, dia Intan Permatasari. Aku menghampirinya setengah berlari.
“Intan!”, kataku menyapa. Wanita itu menoleh dan menatapku sambil tersenyum.
“Hensa!”, katanya membalas sapaanku. Aku duduk disampingnya. Intan masih cantik seperti dulu. Masih terbayang saat dia mengenakan seragam putih abu-abu. Ya wanita di depanku ini Intan Permatasari.
“Aku sengaja datang ke reuni ini semata-mata hanya karena ingin bertemu denganmu!”, kata Intan. Mendengar ini aku tersenyum.
“Kamu sudah punya putra berapa?”, tanya Intan lagi.
“Putraku dua sekarang mereka sudah bekerja mungkin sebentar lagi aku mau menikahkan putra pertamaku.”
“Berbahagialah Hensa. Sementara aku hingga saat ini masih sendiri!”, suara Intan seperti tersendat dikerongkongan. Aku melihat wajahnya penuh kesedihan. Wajah Intan masih cantik seperti dulu pada saat itu aku mengutarakan cintaku kepadanya. Saat ini seakan aku sedang mengalami adegan ulang 39 tahun yang lalu. Aku lihat tiba-tiba Intan menangis tersedu lalu dia berkata dalam tangisnya.
“Hensa sebenarnya aku juga mencintaimu. Maaf sangat terlambat menjawab kata cintamu!”, kata Intan sambil masih menangis. Sementara itu di Panggung Temu Kangen baru saja disampaikan oleh MC bahwa lagu jadul berikutnya adalah Andaikan Kau Datang. Sementara lagu itu mengalun, Intan masih terisak. Suasana yang mengharukan diringi alunan lagu Koes Puls itu. Kemudian dia menatapku tajam seakan-akan tatapan ini adalah yang terkhir kalinya.
“Maafkan Hensa, aku tidak bisa memberikan kebahagiaan untukmu”, katanya pelan.
“Aku sekarang lega karena sudah bertemu denganmu dan aku berharap kamu sudah tahu isi hatiku juga mau mmemaafkanku”,kembali kata Intan sambil berdiri menatapku.
“Hensa aku pamit dulu ya”, kata Intan sambil berlalu meninggalkanku dengan isak tangisnya. Saat itu aku benar-benar terpaku tidak bisa berbuat apa-apa setelah beberapa lama baru aku tersadar kalau Intan sudah pergi dariku. Aku berlari mengejarnya sampai Pintu Gerbang Sekolah. Tidak ada. Mungkin masih di Tempat Parkir. Tidak ada satupun kendaraan yang keluar dari tempat parkir. Intan telah pergi. Aku telah membiarkan dia pergi, Kenapa aku tidak menahannya. Malam itu sampai acara usaipun aku benar-benar tidak bisa menikmati kemeriahan Temu Kangen ini.
“Hai Hensa kenapa kamu kelihatan murung?”, suara Diana menyadarkanku dari kegundahan hati karena ditinggal Intan.
“Aku tadi bersama Intan Permatasari tapi dia pergi meninggalkanku!”,kataku menjelaskan.
“Intan Permatasari katamu Hensa?”.
“Iya aku tadi berbincang, bernostalgia. Lalu Intan menyatakan cintanya kepadaku sambil minta maaf kalau cintaku baru terbalas sekarang!”. Aku lihat Diana terbengong seperti orang yang benar-benar tidak percaya pada ceritaku ini.
“Intan menangis tersedu dan berpamitan padaku. Aku tidak bisa mencegahnya pergi”, kataku pelan penuh kegundahan. Kembali aku melihat Diana menarik nafas dalam-dalam.
“Hensa. Aku lupa memberitahumu!”, kata Diana.
“Memberi tahu tentang apa Diana?”, tanyaku penasaran.
“Memberitahu tentang Intan”, kata Diana datar.
“Ada apa dengan Intan ?”.
“Intan sudah tiada setahun yang lalu karena menderita kanker kista ovarium”, kata Diana kali ini kulihat matanya berkaca-kaca. Mendengar ini aku hanya tertegun dan tidak percaya jika tadi aku memang benar-benar bertemu dengan Intan Permatasari. Aku merasakan ada tepukan lembut dipunggungku. Ya tepukan dari Diana agar aku bisa tabah. Aku masih tertunduk sambil membayangkan saat tadi Intan mengatakan cintanya padaku. Intan Permatasari almarhumah hadir dalam Reuni ini untuk menyatakan cintanya padaku. Ya ALLAH semoga Intan selalu mendapat perlindungan dan kedamaian di sisiMU.



Bandung 23 Oktober 2014

Monday, July 21, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 21 (TAMAT)

Sampul Novel Bunga Mutiara (Foto Hensa)

EPISODE 21
 BERAKHIRNYA SEBUAH MIMPI

Ruangan dokter Beny, dokter senior spesialis penyakit dalam ini terasa hening beberapa saat ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.
“Ya silahkan masuk!”, kata dr Beny mempersilahkan masuk.
Lalu pintupun terbuka. Seorang wanita cantik berkulit putih separuh baya paling berusia sekitar 45 tahunan, berdiri di sana. Aku hanya menebak apakah ini Mamanya Mutiara?. Kulihat garis garis  wajahnya memang mirip Mutiara.
“Oh Bu Maya, silahkan duduk!”, kembali suara dokter Beny. Kemudian Om Franky menyambut kedatangan Bu Maya yang ternyata memang benar, dia adalah Mamanya Mutiara. Om Franky memperkenalkan aku kepadanya. Ketika aku memanggilnya dengan kata ‘Tante’, langsung Bu Maya menyuruhku memanggilnya ‘Mama’.
“Herman, aku sudah banyak mendengar cerita tentangmu dari Mutiara. Saat sekarang bertemu denganmu seakan aku sudah mengenalmu bertahun-tahun!”, kata Mamanya Mutiara. Aku hanya terdiam.
“Herman, kamu tahu saat Mutiara mendengar kedatanganmu di Manado wajahnya kembali ceria. Dia sangat menunggu kehadiranmu. Bagi Mutiara, kau itu seperti malaikat penolong, betapa banyak harapan harapannya berhasil kau bangkitkan kembali. Akhirnya Mutiara menemukan kembali jati dirinya!”, Mamanya Mutiara berkata terbata-bata dengan berurai air mata. Om Franky berusaha menghibur dengan memeluknya.
“Bagi Mutiara,Hermansyah adalah masa depannya namun ternyata Tuhan kembali harus memberikan ujianNya. Mungkin Tuhan sangat sayang kepada Mutiara sehingga dia harus selalu menerima ujian ini!”, kembali suara Mamanya Mutiara sambil terisak. Suasana di Ruang dokter Beny itu benar-benar sangat mengharukan.
“Bu Maya semoga bisa bersabar. Kami tetap berupaya menuju tindakan medis lanjut dengan terapi antiretroviral dengan persetujuan pihak keluarga!”,  kata dokter Beny.
“Tentu dokter. Apapun yang dilakukan untuk kesembuhan Mutiara, kami pasti setuju!”, kata Mamanya Mutiara sudah mulai tenang.  Suasanapun sudah kembali mencair. Kemudian Om Franky meminta izin untuk segera menjenguk Mutiara di Ruangannya.
“Dokter ijinkan kami menjenguk Mutiara dan terima kasih atas penjelasan lengkap kondisi medis serta dukungannya selama ini!”, suara Om Franky.
“Ya sama-sama Pak Franky. Silahkan!”, kata dokter Beny mempersilahkan kami meninggalkan ruangannya.
Kami menuju Ruangan dimana Mutiara di rawat. Kami menyusuri koridor menuju tangga terdekat dan selama perjalanan Mama Maya selalu bercerita tentang Mutiara yang begitu senang akan bertemu denganku.
“Herman, Mutiara sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu!”, kata Mama Maya. Aku melihat masih ada sisa tangisan di sudut kedua matanya.
“Iya Ma, saya juga sudah tidak sabar ingin bertemu segera!”, kataku. Aku merasakan ada kegundahan dalam tutur kataku itu. Rasa gundah, gelisah, khawatir dan rasa takut kehilangan. Ya Allah kenapa jatungku berdetak semakin cepat saat sebentar lagi akan bertemu Mutiara. Aku tidak mau membayangkan kondisi Mutiara saat ini. Mendengar informasi dari Om Franky tempo hari, Mutiara memang sudah sangat parah.
Aku sekarang sudah ada di depan pintu Ruangan tempat Mutiara dirawat. Mama Maya membukakan pintu dan Om Franky masuk diikuti olehku.
“Tiara coba tebak siapa yang datang ini!”, suara Mamanya. Aku melihat Mutiara melihat kedatanganku dengan wajah yang ceria. Ya Allah walaupun wajah cantiknya kelihatan pucat dengan kedua pipi yang sudah cekung digerogoti virus HIV namun senyum itu adalah senyum kerinduannya kepadaku. Aku hanya bisa memandangnya dengan penuh haru.
“Mas Herman!”, suara Mutiara setengah berteriak. Aku menghampiri dan memegang lengannya. Kupandangi wajah cantiknya yang selama ini aku rindukan. Mutiarapun memandangku dengan kedua matanya yang indah itu. Bibirnya berkali kali memanggil namaku pelan hampir berbisik. Wajahnya memang kelihatan sangat lelah namun saat dia memandangku kelihatan sorot mata yang hidup dan senyum manis penuh dengan harapan. Kondisi tubuhnya sangat memprihatinkan kelihatan kurus karena bobot badan yang terus menyusut. Mamanya hanya bisa terisak memandang adegan haru di depan matanya sedangkan Om Franky terdiam membisu dengan wajah penuh kesedihan.
“Mas, aku kangen sekali!”, suara Mutiara pelan dan air matanya mulai menetes di kedua pipinya yang sekarang sudah cekung itu. Aku mengusap tetesan air mata itu dengan lembut.
“Tiara, aku juga merasa kehilanganmu!”, kataku sambil tetap erat memegang tangannya. Mutiara tersenyum. Aku lihat wajahnya yang cantik itu sangat lelah namun senyumnya tetap manis. Saat saat seperti ini aku hanya bisa berbisik kepadaNya. Ya, berikanlah untuk Mutiara jalan yang terbaik menurutMu.
Informasi medis dari dokter Beny sudah jelas bagaimana kondisi Mutiara saat ini. Aku sekarang sudah melihat fakta dari kondisi kesehatan Mutiara sudah sangat parah. Infeksi oportunistik herpes simplex virus tipe 2 bagi penderita HIV adalah hal yang sangat serius karena sistem imunitas tubuhnya yang terus menurun akibat HIV,  menyebabkan Mutiara memasuki stadium yang kritis.
“Mas Herman, aku merindukan suasana Surabaya. Aku merindukan saat kita berbincang di teras depan tempat kostku. Aku merindukan duduk bersamamu di Halte depan Rumah Sakit itu. Aku merindukan bertemu denganmu di Perpustakaan itu. Aku selalu merindukan setiap petuahmu yang membuat hidupku menjadi cerah!”, suara Mutiara pelan sambil menatapku dengan senyum di bibirnya.
Kembali aku hanya diam membisu dan membiarkan Mutiara mengeluarkan semua isi hatinya. Mutiara yang malang, kemana para lelaki tuna susila yang biadab itu pada saat Mutiara seperti ini. Tentu saja mereka tidak akan ada yang datang menjenguknya karena mereka memang hanya butuh tubuhnya.
“Mas Herman saat saat seperti ini baru aku menyadari bahwa Tuhan sedang mengujiku. Pernah Mas Herman bilang orang yang sering mendapat ujian itu pertanda mau naik kelas. Andaikata benar aku sangat bahagia. Namun aku ini penuh dengan kenistaan sangat layak masuk neraka. Aku harus rela menerimanya. Ternyata aku juga adalah mahlukNya yang tidak berdaya melawan nerakaNYa. Sedangkan Sorga adalah tempat yang tidak layak bagiku yang berlumpur penuh dengan dosa ini !”, suara Mutiara semakin lemah, lalu nafasnya terputus-putus. Kini tiba-tiba saja kondisinya sangat drop kemudian aku melihat dia pingsan.
Kami segera memanggil Suster yang selama ini merawatnya. Kemudian Suster segera menghubungi dokter Beny. Mereka secepatnya menangani Mutiara sementara Mama Mutiara dan Om Franky dipersilahkan menunggu di luar ruangan.  Mama Mutiara masih menangis dalam pelukan Om Franky. Aku sendiri diizinkan dokter Beny untuk menemaninya memeriksa kondisi Mutiara. Faktor psikologis yang membuat Mutiara depresi berat. Aku bisa memahami betapa kecewanya Mutiara karena HIV dan infeksi herpes simplex tipe 2, menyebabkannya harus melupakan untuk menjadi istriku. Itulah kenyataan yang harus aku hadapi kini. Fakta yang sangat menyakitkan dan menyedihkan.
Saat itu kesedihan harus aku rasakan secara mendalam. Bagaimana tidak, Mutiara telah mampu membuatku jatuh hati. Wanita yang telah banyak menciptakan rindu dalam setiap waktuku. Hari hari yang aku lalui bersamanya adalah hari hari yang penuh keceriaan dan kebahagiaan. Kecantikannya selalu mengingatkanku kepada kebesaran ciptaanNya. 
Dalam hatiku selalu tertanam kesadaran bahwa Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya - Tiada satupun urusan yang tanpa campur tanganNya. Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. Dia Maha Memiliki apa apa yang di langit dan di bumi dan diantara keduanya. Siapa yang mampu menolak takdirNya ?. Ya Mutiara sudah menerima takdirNya. Setahun kemudian wanita pujaanku ini tidak mampu lagi bertahan melawan virus yang ganas itu.
Sore hari yang mendung itu aku masih duduk di bangku Halte depan Rumah Sakit itu. Orang-orang yang menunggu Angkot satu-persatu bergegas menaiki kendaraan kota itu sehingga di Halte hanya tinggal aku dan seorang gadis berambut panjang. Tiba-tiba saja sebuah mobil Eropa bermerk berhenti dan gadis cantik berambut panjang itu membuka pintu lalu berlalu dari pandanganku. Bukankah dia Mutiara?. Tidak, Mutiara sudah tiada, bukan, bukan dia. Lalu siapa gadis cantik berambut panjang yang pergi bersama mobil Eropa bermerk itu?. Hujan sudah mulai turun. Aku masih di Halte itu sendirian. Sementara hari sudah mulai gelap tiba-tiba saja sebuah mobil  sedan kecil merapat. Seorang gadis semampai keluar dari mobil sambil membawa payung.
“Herman ayo kita pulang!”, suara Bunga. Aku hanya menurut saja ketika aku digandeng menuju mobil lalu kamipun berlalu meninggalkan Halte itu. Mobil meluncur menembus lebatnya hujan sementara Bunga mengendarai dengan hati-hati.
“Herman, kamu harus bangkit. Mutiara sudah tenang di alam sana!”, kata Bunga.
“Ya Bunga. Mutiara selalu saja ada di hatiku. Tadi di Halte itu aku juga melihat kembali bayangannya !”.
“Mungkin itu hanya hayalanmu karena kamu belum bisa merelakannya pergi!”.
“Mungkin begitu Bunga!”.
“Andaikan kau mencintainya, relakan dia. Ikhlaskan karena kita tidak pernah menjadi pemilik siapapun. Hanya Allah yang Maha Memiliki!”, kata Bunga.

Aku berusaha untuk tetap tabah menghadapi ujian ini. Sangat berat memang namun sekali lagi aku memiliki sahabat sejati yaitu Bunga Putri Pertiwi. Dia selalu ada pada saat aku membutuhkannya. Aku teringat pesan terakhir Mutiara bahwa dia sudah menitipkan diriku seutuhnya kepada Bunga. Mutiara juga akan merasa bahagia andai aku menjadi teman hidup Bunga. Namun apakah Bunga memang mencintaiku?. Sedangkan sekarang cintaku sudah hilang seolah dibawa pergi oleh Mutiara. Lalu cinta yang mana yang harus aku berikan kepada Bunga?. Aku hanya berdoa semoga suatu hari nanti Bunga dapat menemukan kembali cintaku yang hilang.  Semoga. 

Novel ini dapat dipesan di sini :