Saturday, May 7, 2016

EPISODE CINTA DAISY LISTYA (21)

Foto Fiksiana Community



Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode 21
INIKAH PELABUHAN AKHIR CINTAKU
Dalam dua pekan ini hampir setiap malam Kinanti selalu menyempatkan menelponku. Setiap itu pula diakhir dialog selalu ditutup dengan isak tangis. Aku dapat merasakan betapa sakit hati Kinanti yang luar biasa menerima perlakuan penghianatan di depan matanya. Sedalam apa luka yang ada dalam hatinya aku bertekad untuk menyembuhkannya. Sebagai sahabat sejatinya, aku selalu setia setiap saat mendengarkan apa yang dirasakan hatinya.
Seperti malam ini aku berdialog dengan Kinanti melalui ponsel.
”Belum tidur Alan?” tanya Kinanti.
”Belum Kinan, nggak tahu nggak bisa tidur nih. Padahal koreksian skripsinya mahasiswa sudah beres semua..!” kataku.
”Aku juga beberapa hari ini selalu tidur diatas tengah malam walaupun tidak ada yang harus aku kerjakan. Terus terang rasa sakit hati ini begitu sulit hilang!” suara Kinanti lirih.
”Kinanti yang aku kenal adalah Kinanti yang tegar. Aku yakin Kinanti yang aku kenal ini dengah mudah dapat melupakan Si Penghianat itu!” kataku.
”Alan kalau Si Penghianat itu sudah aku hilangkan dari hatiku tidak ada satu ruangpun dalam hatiku untuk dia sampai kapanpun!” kata Kinanti.
”Lalu sekarang ruang hatimu sedang kosong dong!” tanyaku mulai menggoda.
”Ruang hatiku sekarang sudah kembali terisi dan jangan harap kepada yang lain untuk mencoba hadir di sana!” kata Kinanti.
”Oh berarti sudah tidak ada harapan nih!” tanyaku lagi.
”Entahlah Alan tanya saja kepada dirimu sendiri!” suara Kinanti sambil tertawa.
Begitulah dialog malam dengan Kinanti berisi percakapan yang hanya sekedar melepas sesak di dada bagi Kinanti dan melepas rindu bagiku.
Sebulan sudah peristiwa sangat memilukan itu berlalu. Terakhir aku bertemu lagi dengan Kinanti di Bandung dan aku bersyukur wanita ini sudah mulai kembali pulih. Kegembiraannya, keceriaannya dan wajah bahagianya sudah terlihat dalam sikap sehari harinya. Aku sangat bahagia melihat Kinanti seperti kembali terlahir. Aku memang dari awal sudah yakin Kinanti adalah wanita yang tangguh. Intan, putri Kinanti pernah berkata bahwa ibunya sudah kembali ceria karena banyak dibantu olehku. Menurutku tidak juga mungkin aku hanya sedikit membantu namun yang menolong Kinanti adalah dirinya sendiri yang selalu yakin akan pertolonganNya jauh lebih sempurna. Selama ini aku sering menelpon Kinanti hanya sekedar ingin mendengarkan curahan beban hatinya agar bisa terbagi untukku. Memang aku bisa merasakan setiap Kinanti menerima telepon dariku ada rasa kegembiraan dari nada bicaranya. Kinanti seakan memang selalu menunggu telepon dariku. Apakah ini saatnya aku kembali mengetuk pintu hatinya?. Jangan dulu biarlah waktu terbaik nanti yang akan datang pada saatnya.
Dua hari ini aku harus menghadiri acara workshop tentang Akreditasi untuk Perguruan Tinggi Jawa Timur di sebuah Hotel kota Batu. Jumat sore acarapun sudah selesai namun sebelum aku kembali ke Surabaya aku ingin menikmati sore yang cerah di Kota Malang. Memang fenomena macet sekarang ini sudah dimana-mana. Turun dari Kota Batu sudah dihadang macet di daerah Dinoyo menuju kota bertambah lagi macet di pertigaan Universitas Brawijaya yang tidak ber traffic light itu. Di pertigaan ini kendaraan yang mau lurus harus belok ke kiri dulu baru berputar balik kanan. Setelah berjuang melepaskan diri dari kemacetan akhirnya aku terdampar di Matos – Malang Town Sequere yaitu sebuah Mall yang cukup terkenal bagi warga Malang yang lokasinya ada di kompleks Universitas Brawijaya.  Mobil aku parkir di lantai dua karena lantai dasar sudah penuh. Mall besar ini penuh dengan pengunjung. Banyak muda-mudi bahkan pelajar yang masih berseragam mungkin pulang sekolah langsung menuju ke Mall ini. Aku memang hanya sekedar refreshing saja. Melihat-lihat pakaian di sebuah Butik khusus Busana Muslim. Aneka jilbab dengan warna warni dan berbagai model.
”Pak apa yang bisa saya bantu?” suara karyawati Butik menawarkan bantuannya.
”Oh ya saya hanya lihat-lihat dulu!” kataku.
”Mbak, mbak yang ini berapa?” terdengar suara wanita di belakangku memanggil karyawati Butik itu.
”Maaf Pak silahkan lihat-lihat dulu sementara saya melayani Ibu yang di sana dulu!” kata Karyawati itu sambil menghampiri wanita yang tadi memanggilnya. Akupun menengok ke belakang. Aku tidak tahu apakah dunia ini sempit atau memang Kota Malang yang sempit. Ternyata wanita itu adalah Daisy Listya. Ah seperti dalam Sinetron di Televisi saja. Aku tersenyum sendiri. Diam-diam aku perhatikan Listya yang sedang memilih busana muslim dan jilbab. Listya sendirian tidak terlihat Rizal, suaminya. Aku segera menghampirinya.
”Assalaamu alaikum Bu Rizal!” sapaku dengan ramah. Listya menoleh dan nampak dia terkejut.
”Wa alaikum salaam Pak Alan!” kata Listya setengah berteriak. Aku melihat wajahnya yang cantik itu berbinar. Listya memang benar-benar terkejut bisa bertemu denganku. Bukan dia saja yang terkejut aku juga demikian. Ah dasar seperti Sinetron di Televisi saja ya he he he.
”Bagaimana khabar Pak Profesor?” tanya Listya sambil tersenyum. Ya Allah rasanya lamaaaaa sekali aku tidak menikmati senyum wanita yang aku kagumi ini.
”Alhamdulillah baik bagaimana denga Bu Rizal?” tanyaku balik.
”Alhamdulillah baik juga Pak. Oh ya Bu Kinan baik-baik juga Pak. Saya waktu itu terima kabar dari Bu Kinan tentang batalnya pernikahannya itu. Saya turut prihatin!” kata Listya.
”Bu Kinan sekarang sudah berangsur baik dan mulai bisa melupakan yang sudah terjadi. Kita doakan saja. Oh ya Listya sendirian?. Mas Rizal tidak ikut menemani?” tanyaku.
”Mas Rizal sudah dua bulan ini di rumah saja harus istirahat karena cek terakhir adaptasi ginjalnya yang baru sedang mengalami hambatan medis. Setiap Minggu diharuskan cuci darah. Mudah-mudahan bisa pulih kembali!” kata Listya.
”Iya Listya semoga Mas Rizal kembali pulih!” kataku. Aku sengaja tidak melanjutkan dialog tentang Rizal karena aku lihat Listya kelihatan murung membicarakan tentang suaminya. Pembicaraan beralih ke bisnis Apotiknya.
”Alhamdulillah Apotik kami lancar lancar saja. Omzetnyapun lumayan Pak!” kata Listya.
”Syukurlah Listya. Semoga selalu mendapatkan barokah Allah aamiin!” kataku mendoakan untuk kemajuan bisnis Apotiknya.
”Oh ya Pak Alan apakah dapat Undangan Pernikahan Audray?” tanya Listya.
”Audray menikah?. Saya belum dapat Undangannya!” kataku.
”Saya juga memang belum menerima Undangannya hanya kemarin Audray telepon saya agar bisa hadir dihari Pernikahannya bulan depan!”kata Listya.
”Mungkin nanti Undangannya baru beredar!. Wah senang sekali akhirnya Audray dapat juga jodoh terbaiknya!” kataku tanpa ekspresi.
”Lalu Pak Alan kapan mendapatkan jodoh terbaiknya?” tanya Listya. Pertanyaan yang telak membuatku tidak berkutik dan aku hanya tersenyum tenang.
”Listya Inshaa Allah suatu hari akan hadir jodoh terbaikku doakan ya!” kataku. Listya hanya terdiam dan aku melihat kembali ada kemurungan di wajahnya. Melihat gelagat ini aku segera mengalihkan pembicaraan ke soal Apotik lagi.
”Lis apakah Apotiknya sudah bisa melayani Askes?” tanyaku.
”Iya Pak bulan ini sudah mulai kerja sama dengan PT Askes untuk melayani kesehatan bagi rakyat kecil. Keuntungannya kecil juga namun pahalanya besar!” kata Listya sambil tertawa.
”Kesehatan ini memang menjadi persoalan Nasional yang harus menjadi prioritas utama. Calon Presiden nanti yang ingin terpilih oleh rakyat harus bisa mewujudkan pelayanan kesehatan bagi rakyat kecil!” kataku.
”Setuju Pak. Kok jadinya seperti kampanye Capres!” kata Listya kembali tertawa. Tawa Listya yang lepas. Ah rasanya suasana seperti ini begitu aku rindukan bercanda dengan Listya seperti saat dia masih menjadi Mahasiswiku dulu. Namun waktu tidak mungkin diputar kembali ke belakang.
Pertemuan dengan Daisy Listya di Mall itu membuat semua kenangan bersamanya dulu seakan kembali ada di hadapanku. Namun aku harus kembali ke alam nyata. Berpijak di bumi yang nyata. Daisy Listya sudah menjadi masa laluku sama seperti Diana Faria. Sudahlah Alan Erlangga kini masa depanmu adalah Kinanti Puspitasari. Untuk mendapatkan masa depanmu pun Alan Erlangga harus tetap berjuang. Untuk mendapatkan cinta Kinanti Puspitasari tetap harus kau perjuangkan Alan!.
Perjalanan dari Malang menuju Surabaya melalui jalan Tol baru pengganti jalan raya Porong, lumayan lancar dengan waktu tempuh sekitar dua jam padahal dulu biasanya bisa sampai tiga empat jam saat Tol baru belum selesai. Alhamdulillah aku tiba di rumah dengan sehat dan selamat. Setelah mandi dan sholat akupun menikmati secangkir teh panas yang sudah disediakan Si Mbok. Sebenarnya makan malampun sudah tersedia di meja makan tapi rasanya aku masih kenyang sehingga semua menu makan malam di meja makan itu sama sekali tidak aku sentuh.
Malam ini terasa begitu panjang. Seharusnya rasa lelah yang mendera tubuhku ini segera mengantarkanku tertidur lelap, namun anehnya aku justru merasakan rasa segar dan gembira. Aku tidak tahu mengapa demikian, apakah  mungkin karena faktor bertemu dengan Daisy Listya tadi sore itu. Bisa juga iya karena aku memang tidak bisa menyembunyikan perasaanku ini apalagi ini fakta bahwa Daisy Listya tidak bisa begitu saja harus hilang dari lembaran hidupku. Diana Faria saja yang sekarang sudah tiada masih saja terasa hadir ada dalam hatiku apalagi Daisy Listya. Apakah ini berarti Kinanti Puspitasari tidak memiliki arti bagiku?. Nanti dulu karena ini juga fakta bahwa Kinanti adalah satu-satunya wanita saat ini yang sangat realistis menjadi masa depanku. Ya hanya Kinanti yang mungkin saat ini akan menjadi perjuangan cinta terakhirku. Benarkah?. Hanya Allah yang Maha Tahu aku hanya bisa berkata : ”Bismillah......!”.

BERSAMBUNG Episode 22 

Wednesday, May 4, 2016

EPISODE CINTA DAISY LISTYA (20)


Foto Fiksiana Community


Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode 20
CERITA PILU SAHABAT HATIKU
Episode cerita pilu itu tersaji didepanku. Kisah ini diawali ketika sore itu seperti biasa Kinanti menelpon Eko untuk pulang bersama. Namun kali ini Eko tidak bisa pulang karena harus mengerjakan laporan yang belum selesai jadi Eko mempersilahkan Kinanti pulang duluan. Kinanti rupanya tidak langsung menuju tempat parkir dimana mobilnya ada di sana tapi ia malah menuju arah Gedung Fakultas dimana Eko saat itu berada. Memang Gedung Fakultas mereka berdekatan hanya menyebrang jalan lalu berbelok ke arah kanan. Entah ada perasaan ingin tahu saat itu dalam diri Kinanti apa sebenarnya yang sedang dikerjakan Eko di ruang tempat kerjanya. Sebenarnya Kinanti hanya ingin menemani calon suaminya itu yang sedang kerja lembur. Suasana koridor di Gedung Fakultas itu sudah mulai sepi maka Kinantipun berjalan menelusuri koridor itu menuju Ruang Kerja Eko. Kinanti berdiri di depan pintu namun ia ragu mau mengetuk pintu itu. Sayup-sayup terdengar suara suara aneh dari seorang wanita yang sepertinya sedang dicumbu. Kinanti terkejut apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana. Pintu itupun diketuknya dengan keras. Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan Eko berdiri di sana. Kinanti tanpa ba dan bu langsung masuk ke dalam ruangan. Ya Tuhan Kinanti masih sempat melihat Irma sedang memakai kembali pakaiannya. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Kinanti. Dia hanya memandang Irma dan Eko lalu bergegas meninggalkan mereka berdua.
Itulah kisah pilu yang baru saja diceritakan Kinanti kepadaku. Setelah selesai bercerita, wanita cantik ini masih menangis tersedu di depanku. Tangisan kepedihan.
”Sudahlah Kinan. Semuanya sudah terjadi. Tidak perlu kau tangisi dan kau ratapi seorang Penghianat. Hanya membuang waktumu yang sangat berharga” kataku berusaha menenangkan Kinanti namun dia tetap menangis.
Seorang wanita menangis itu disebabkan hanya oleh dua hal. Pertama hatinya perih karena tersakiti oleh penghianatan dan yang kedua hatinya berbunga karena dicintai penuh dengan kesetiaan. Saat ini aku melihat Kinanti begitu rapuh. Aku tidak melihat Kinanti yang tegar kokoh dengan pendirian dan prinsipnya. Aku juga sebenarnya memaklumi apa yang dirasakan Kinanti saat ini. Penghianatan yang sangat biadab itu telah mengotori hubungan cinta yang seharusnya tetap dijaga dan dirawat agar tetap suci. Kinanti pasti sangat sakit hatinya dan kecewa ketika cinta suci yang ia berikan berbalas dengan penghianatan. Kini Kinanti sangat membutuhkan pegangan. Tentu saja akulah orangnya yang ia perlukan. Aku tidak ingin Kinanti merasakan kesedihan ini berlarut-larut. Aku melihat Kinanti masih tersedu.
”Kinanti lihatlah ada aku disini. Aku yang selalu bersamamu!” kataku sambil menatapnya. Mendengar kata-kataku itu Kinanti mulai tenang.
”Iya Alan terima kasih. Aku sangat membutuhkanmu” suara Kinanti pelan dengan tatapan mata yang masih basah dengan air mata.
Malam itu suasana Cafe di jalan WR Supratman itu begitu tenang. Alunan musik yang terdengarpun penuh dengan lagu lagu melankolis.
”Kinan ternyata dia tidak setara denganmu. Kau harus mendapatkan cinta yang setara dengan keluhuran cintamu!” kataku lagi kulihat Kinanti sudah tidak   menangis lagi.
”Ya Alan seharusnya aku bersyukur karena Allah sudah tunjukkan kepadaku siapa sebenarnya dia. Allah juga yang menunjukkan bahwa teman hidupku bukan dia, mungkin ada yang jauh lebih baik!” kata Kinanti dengan suara pelan.
”Kalau begitu mulai saat ini kau harus kembali tersenyum. Dunia ini beberapa hari ini sangat merindukan senyummu.  Apalagi Alan Erlangga!” kataku mulai menggoda.
”Alan Gombal!” Kinanti mulai tersenyum.
”Senyum Kinanti adalah masa depanku!” kataku semakin menggoda.
”Hei apa maksudmu?” suara Kinanti setengah berteriak.
”Ssssst enggak ada maksud apa-apa!” kataku ringan sambil cengengesan. Aku lihat Kinanti cemberut namun yang namanya Kinanti cemberutpun tetap cantik. Ada perasaan lega pada saat Kinanti sudah mulai lagi menemukan jati dirinya. Begitulah seharusnya seorang wanita yang tegar dan tangguh menghadapi apapun yang dialaminya. Sejak awal memang aku yakin Kinanti harus mampu menghadapi persoalan ini. 
 Boleh dikatakan ternyata aku di Bandung hanya semalam. Berangkat dari Juanda-Surabaya Sabtu sore tiba di Husen-Bandung hampir Magrib. Malam itu juga ketemu Kinanti di sebuah Cafe Jl WR Supratman. Besoknya Minggu pagi sudah check in lagi di Husen menuju Surabaya dengan penerbangan paling pagi. Tadi Kinanti masih sempat telpon hanya sekedar mengucapkan selamat jalan tapi bagiku hal itu sangat berharga.
”Alan terima kasih sudah mau bertemu denganku dan memberiku semangat baru. Selamat jalan ya kabari aku jika sudah sampai Surabaya!” kata Kinanti. 
Semua aku lakukan untuk Kinanti. Sekarang rasanya ada perasaan lega yang membuatku merasa tenang. Mudah-mudahan demikian pula dengan Kinanti akan kembali menemukan dirinya, menemukan kedamaiannya, menemukan cinta sejatinya.
Dalam perjalanan pulang kembali ke Surabaya itu memang pikiranku penuh dengan Kinanti. Penerbangan pendek Bandung – Surabaya hanya memakan waktu yang pendek juga namun dalam waktu yang pendek itu penuh dengan pikiran perjalanan panjang penuh liku saat saat bersama Kinanti. Sesampainya di Surabaya segera saja aku mengabari Kinanti.
”Alhamdulillah Alan sudah sampai rumah!” terdengar suara Kinanti.
”Alhamdulillah Kinan perjalanan lancar cuacanya juga bagus. Semoga juga hari ini menjadi hari baik bagimu!” kataku. Terdengar Kinanti tertawa kecil.
”Bagiku tiada hari yang tidak baik semua hari adalah hari baik. Hari menjadi tidak baik ketika ada seseorang yang berbuat tidak baik!” kata Kinanti berfilsafat.
”Ya sudahlah Kinan. Hari yang tidak baik itu sudah berlalu dan tak akan mungkin kembali. Tetaplah tatap ke depan sesekali saja menengok ke belakang hanya untuk sekedar memperbaiki yang perlu diperbaiki!” kataku.
”Okey Alan aku suka kata-katamu. Persis yang dikatakan Listya tadi malam dia menelponku!” kata Kinanti. Rupanya Kinanti juga curhat kepada Listya.
”Oh ya, pasti Listya selalu memberimu semangat!” kataku penasaran.
”Iya Alan. Dia mengatakan Bu Kinan harus melihat ke depan karena kita hidup akan menuju ke sana jangan buang buang waktu hanya untuk menyesali sesuatu yang sudah terjadi!” kata Kinanti menjelaskan apa yang dikatakan Listya.
”Malam itu seusai bertemu denganmu aku memang menelpon Listya. Tentu saja dia kaget mendengar berita ini!” kata Kinanti.
”Kinan. Memang baik juga Listya tahu tentang keadaanmu saat ini dan tentu saja Listya pasti terkejut dengan berita batalnya pernikahanmu!” kataku kemudian aku segera menyudahi percakapan ini agar tidak berkepanjangan dikhawatirkan akan mengingatkan kembali Kinanti pada peristiwa yang menyakitkan itu.
Pertemuan singkat dengan Kinanti di Bandung itu seolah menjadi titik tolak baru bagiku untuk kembali meraih harapanku. Hari hari ke depan bagiku merupakan hari hari penuh harapan apalagi Intan ”Si Cantik Kinanti muda” selalu memberi dukungan agar aku tetap fight memperjuangkan cintaku untuk Ibundanya. Biasanya Intan menelponku saat jam makan siang, seperti siang itu aku baru saja selesai makan siang dan sholat dhuhur, aku menerima telpon Intan.
”Wa alaikum salaam!” aku membalas salam nya Intan.
”Om Alan sedang apa?”
”Baru saja selesai sholat dan makan siang. Intan sudah makan siang belum? Sekarang ada kuliah apa saja?” kataku balik bertanya.
”Intan sudah makan Om.  Hari ini kuliahnya sudah tadi pagi baru nanti ada Praktikum Kimia Dasar sampai sore nanti. Om Alan, Intan telpon gini ganggu nggak nih?” tanya gadis itu dengan bahasa remajanya.
”Oh tidak apa apa. Om Alan malah senang apalagi membawa khabar tentang Ibu!” kataku mulai memancing. Aku mendengar Intan tertawa lepas.
”Rupanya Om Alan kangen sama Ibu ya!”
”Iya dong malah kangen juga sama anak gadis Si Mata wayangnya!” kataku menggoda dan kembali terdengar suara tawa merdu Intan Permatasari. Sungguh memang Intan ini adalah Kinanti saat muda dulu. Suaranya juga merdu persis Ibunya.
”Om Alan. Saat ini Ibu sudah kelihatan mulai kembali bergairah tidak lagi bersedih. Ibu sering menerima telpon dari mbak Listya selain dari Om Alan. Mereka kalau ngobrol sangat serius sekali. Mbak Listya selalu memberi semangat kepada Ibu. Melihat keadaan Ibu sekarang, Intan merasa lega. Ngomong-ngomong bagaimana perkembangan pedekatenya Om?” tanya Intan.
”Pedekate yang mana Intan?” kataku pura-pura bego.
”Aduuuh Om Alan ya pedekate sama Ibu dong!” suara Intan menggerutu.
”Oh itu beres doong. Pelan-pelan saja Om Alan tidak mau tergesa-gesa karena Om Alan tidak mau ditolak yang ketiga kalinya!” kataku. Intan tertawa mendengar ucapanku.
”Lho Intan. Dalam hidup Om Alan hanya Ibumu yang sudah menolak dua kali cintanya Om Alan. Pertama dulu sewaktu SMA dan kedua baru saja sebelum Ibu memutuskan memilih Om Eko. Mangkanya tidak mau terburu buru kalau sampai terjadi penolakan yang ketiga kali wah kiamat dunia ini!” kataku serius. Kembali terdengar suara tawa Intan.
”Tenang saja Om kali ini pasti berhasil. Ibu kalau malam suka berharap harap ada telpon dari Om Alan!” kata Intan. Mendengar ini aku hanya tersenyum.
Intan Permatasari putri Si Mata wayangnya telah menjadi teman akrabku setiap saat. Aku banyak mendapat informasi tentang Ibunya dan rupanya Intan sangat mengharapkan agar Ibunya menikah denganku. Namun aku hafal betul siapa Kinanti, seorang wanita yang mempunyai pendirian yang kokoh bagaikan karang. Hei tapi nanti dulu, karang kalau setiap hari disentuh oleh ombak mungkin akan luluh juga. Sentuhlah karang itu dengan penuh kasih sayang. Ya aku harus tetap berjuang Kinanti adalah harapan terakhirku. Harapanku yang paling logis. Kinanti belum jadi masa laluku walaupun dia pernah ada di masa laluku namun juga belum nyata menjadi masa depanku. Cinta itu harus diperjuangkan. Tidak ada kata terlambat ini saatnya aku harus memperjuangkan cintaku. Ada sebuah tanya kenapa dulu aku tidak berjuang untuk cintaku kepada Daisy Listya? Sebelum menjawabnya muncul lagi pertanyaan berikutnya yaitu apa dulu memang aku tidak pernah memperjuangkan cintaku kepada Daisy Listya?  Mungkinkah itu sudah takdirku dariNya ketika aku tidak mendapatkan cintaku kepada Daisy Listya. Apakah mungkin ada takdirNya lagi untuk takdirku ini? Entahlah aku lebih baik berserah diri saja kepadaNya untuk semua yang kuperjuangkan.
Untuk Kinanti ini aku berharap dengan izinNya berilah aku takdir cintaku yang utuh. Hanya cintaku yang utuh yang dapat mengobati rasa pilu sahabat hatiku ini.


BERSAMBUNG Episode 21