Foto Hensa
Tantangan
100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE
CINTA DAISY LISTYA
Oleh
Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode
26
HALAMAN
TERAKHIR BUKUKU
Saat ini aku berada
diantara kebahagiaan menempuh masa depan dengan Kinanti dan rasa duka Listya
karena kepergian suaminya. Sungguh keberadaan yang sangat sulit. Listya sedang
berduka sedangkan Kinanti berbahagia. Seperti saat malam itu Kinanti menerima
telponku dengan penuh keceriaan. Bagaimana tidak, malam itu kami sedang
membicarakan tentang acara lamaran sekaligus menentukan tanggal pernikahan. Aku
seakan tidak percaya pada akhirnya aku menikah juga dengan seorang pendamping
hidupku. Aku seakan lebih tidak percaya lagi ternyata calon istriku adalah
Kinanti Puspitasari, teman SMA ku yang dulu pernah menolak menjadi pacarku.
Sungguh sesuatu yang menakjubkan dalam perjalanan hidupku bahwa nanti pada hari
pernikahan itu yang menjadi istriku adalah Kinanti Puspitasari. Aku yakin
mungkin inilah takdirku. Alhamdulillah aku panjatkan Puji Syukur kepadaNya.
Ternyata kabar
pernikahanku dengan Kinanti rupanya sampai juga kepada Listya. Sore itu ketika
aku baru saja tiba di rumah, aku menerima telpon dari Listya.
”Assalaamu alaikum
Listya!” kataku menyambut telponnya.
”Iya Pak Alan wa alaikum
salaam. Maaf Pak saya telpon apakah mengganggu Bapak ?” kata Listya.
”Oh tidak Lis. Saya saat
ini sudah di rumah kok!” kataku.
”Oh gitu. Pak Alan
selamat Pak untuk rencana pernikahannya dengan Bu Kinan!” kata Listya.
”Terima kasih Listya!”
jawabku pendek.
”Tadi pagi Bu Kinan
memberi saya kabar tentang rencana pernikahannya dengan Pak Alan bulan Maulud
ini. Saya sangat gembira mendengar kabar ini,” suara Listya penuh haru.
”Listya sekali lagi
terima kasih. Mohon doa restunya saja agar semua rencana itu berjalan dengan
baik!” kataku.
”Iya Pak, saya selalu
mendoakan untuk kebahagiaan Pak Alan..!” suara Listya pelan sekali seperti
tertahan di tenggorokan. Kemudian Listya terdiam lama sekali.
”Hallo, hallo, hallo,
Listya?” aku berusaha menyapanya melalui ponsel itu. Aku yakin Listya sedang
terisak. Mungkin terharu karena akhirnya aku menikah juga dengan Kinanti.
”Hallo Listya!” kucoba
menyapa lagi.
”Iya Pak!” kata Listya.
”Listya baik-baik saja?”
tanyaku dengan rasa khawatir.
”Tidak apa-apa.
Baik-baik Pak. Ok Pak Alan, saya pamit dulu. Assalaamu alaikum!” kata Listya
sambil menutup ponselnya.
Ya Allah apa yang harus
aku lakukan. Listya nampaknya sedih sekali. Listya bersedih karena suaminya
meninggal dunia ataukah bersedih karena aku mau menikah dengan Kinanti?. Ada
dua wanita yang sama-sama aku kagumi. Saat ini aku lebih realistis dan bijak
untuk memilih Kinanti Puspitasari sebagai calon istriku. Aku mempertimbangkan bahwa saat ini Daisy
Listya masih muda, cantik dan masih memiliki masa depan yang terbentang luas.
Daisy Listya masih memungkinkan
mendapatkan teman hidup yang jauh lebih baik dariku. Kinanti memang yang
aku pilih karena aku dan Kinanti sudah sama-sama berada di ufuk senja. Aku
harus membiarkan cintaku kepada Daisy Listya menjadi sejarah seperti halnya
cintaku kepada Diana Faria. Aku harus bisa dan mampu untuk menghadapi realita
ini.
Jadwal kompilasi data
penelitianku di Laboratorium yang biasanya dikerjakan hari Sabtu, sengaja aku
majukan menjadi Jumat siang. Hal ini
karena besok Sabtu aku harus ke Bandung menemui Kinanti. Seusai sholat Jumat di
Masjid Kampus itu aku segera bergegas kembali ke ruang kerjaku untuk makan
siang. Makan siangku hari ini adalah masakan Si Mbok yang sengaja aku bawa dari
rumah. Selesai makan siang segera aku
menuju Laboratorium yang jaraknya dari Gedung Fakultas hanya sekitar 50 meter.
Siang itu Laboratorium sepi tidak ada satupun mahasiswa yang menggunakan
instrumen analisis. Biasanya mereka menggunakan instrumen analisis untuk
penelitian skripsi pada hari Sabtu. Aku bekerja di ruang itu penuh dengan
ketelitian mengingat data yang aku kompilasi ini untuk digunakan sebagai data
pelengkap pengajuan patent suatu produk farmasi. Aku bekerja penuh semangat
sehingga sebelum Ashar semua data sudah diolah dan siap disajikan. Aku
tersenyum sendiri ketika aku menyadari bahwa aku saat ini benar-benar sangat
merindukan Kinanti. Mungkin ini penyebabnya sehingga aku bekerja di
Laboratorium itu penuh dengan semangat dan fokus. Halaaaahhh Alan sekarang
ternyata sudah mulai terjangkit penyakit anak muda masa kini yaitu lebay he he
he.
Semua pekerjaan hari ini
sudah rampung dan aku sudah bersiap pulang ah alangkah leganya akhirnya aku
bisa menyelesaikan aktivitas hari ini. Sabtunya aku benar-benar sudah bisa
melepaskan rinduku untuk Kinanti.
Dalam penerbangan jarak
pendek antara Surabaya-Bandung yang bisa ditempuh 1-2 jam saja ternyata sudah cukup
untuk mengingatkanku kembali semua peristiwa
masa masa SMA itu secara utuh. Masa SMA bersama Kinanti yang begitu indah. Hal
ini justru telah membuatku tidak sabar ingin segera bertemu Kinanti. Tepat
pukul 10 aku sudah tiba di Bandara Husein Sastranegara. Kinanti sudah
menungguku di sana. Aku melihat wajah cantik Kinanti penuh dengan rasa bahagia
menyambut kehadiranku. Tentu saja cahaya kebahagiaan terpancar di wajah Kinanti
karena malam ini merupakan malam yang spesial.
Untuk yang pertama kali aku berkunjung ke rumah Kinanti sebagai calon
suaminya.
Malam Minggu ini
benar-benar aku habiskan bersama Kinanti di sebuah Kafe yang cukup ramai di
jalan Riau. Hanya sekedar mengisi makan malam sambil mengobrol bercerita saat
saat SMA dulu. Ah alangkah romantisnya. Kadang kami tertawa karena teringat
peristiwa konyol saat SMA dulu. Tidak terlalu malam kami kembali ke rumah
Kinanti di Arcamanik. Kami melanjutkan obrolan di beranda. Udara Kota Bandung
sangat mendukung, cerah tanpa awan dan ada bulan sabit di ufuk langit
menandakan awal bulan Qomariah telah tiba.
”Alan ada yang ingin aku
bicarakan denganmu!” kata Kinanti mulai serius.
”Tentang apa Kinan!”
tanyaku.
”Tentang pernikahan
kita. Aku hanya minta dua permintaan kepadamu. Tapi ini bukan syarat lho hanya
permintaanku!” kata Kinanti.
”Permintaan apa Kinan,
inshaa Allah aku akan memenuhinya!” kataku yakin.
”Alan setelah kita
menikah nanti mungkin terlalu riskan bagiku andai aku harus hamil untuk anak
kita!” kata Kinanti.
”Tentu saja Kinan.
Bagiku cukup Intan sebagai anak kita. Dia adalah anak putri yang sangat aku banggakan!”
kataku menenangkan Kinanti.
”Alan tidakkah kau ingin
memiliki anak dari aliran darahmu sendiri?” tanya Kinanti.
”Kinanti urusan anak itu
aku serahkan kepada Allah. Aku tidak mau apalagi menuntutmu agar kita punya
momongan untuk memberi Intan seorang adik!” kataku. Aku melihat Kinanti
termenung. Wajahnya menatap ke depan.
”Hai jangan melamun!”
kataku. Kinanti terperanjat.
”Lalu permintaanmu yang
kedua apa?” tanyaku.
”Aku teringat Listya.
Saat ini dia berteman dengan kesendiriannya. Permintaanku yang kedua setelah
kita menikah nanti aku rela… jika, jika kau berniat menikahi Listya agar kau
bisa memiliki anak !” kata Kinanti sungguh sungguh. Aku sangat terperanjat
mendengar penuturan Kinanti.
”Kinanti sudahlah. Jangan
bicarakan lagi Listya. Dia masih muda suatu hari nanti akan menemukan jodohnya
yang sama-sama masih muda. Allah sendiri sudah memberikan takdirku menjadi
suamimu!” kataku.
Kinanti masih terdiam.
Ketika aku genggam kedua tangannya, wanita cantik ini menatapku tajam. Kedua
mata itu basah karena menangis. Aku mengusap titik air mata di kedua pipinya.
“Ingat Kinan. Sekarang
masa depanku adalah Kinanti Puspitasari. Tidak ada wanita lain. Diana Faria dan
Daisy Listya sudah menjadi masa laluku” kembali aku meyakinkan Kinanti.
“Tapi Alan..,” sebelum
melanjutkan kata-katanya, aku menutup bibir Kinanti dengan jari telunjukku
“Stop sudah. Kita bicara tentang kebahagiaan kita saja.” Kinanti terdiam.
”Aku hanya ingin memenuhi
permintaanmu yang pertama. Lupakan permintaanmu yang kedua. Tersenyumlah
sayang!” kataku. Kinanti masih terdiam sambil menatapku tajam. Namun akhirnya wanita
yang memiliki sepasang mata yang indah ini tersenyum manis. Aku mencium keningnya penuh kasih sayang.
Sebenarnya aku terkejut
mendengar kata-kata Kinanti yang memberi izin kepadaku untuk menikahi Listya. Hal
itu hanya agar aku punya anak dari darahku sendiri, Kinanti merelakanku untuk
menikahi Listya. Wanita cantik ini benar-benar berbudi luhur. Walaupun poligami
diperbolehkan oleh Agama, namun aku sangat meragukan rasa keadilanku terhadap
istri-istriku nanti. Aku bukan Rasulallah. Biarlah aku berbahagia bersama
Kinanti walaupun tidak memiliki anak darinya.
Hari hari yang aku lalui
di Kampus benar-benar rutinitas yang sangat membosankan. Apakah mungkin hal ini
disebabkan oleh rasa tak sabarku menunggu hari pernikahanku bulan depan. Bisa
jadi hal itu yang membuat hari-hari berjalan begitu lambat. Hari Senin adalah
hari yang sangat lambat dan membosankan karena aku harus menunggu begitu lama
untuk bertemu hari Sabtu saat dimana aku akan melepas rindu bertemu Kinanti.
Jika sore menjelang maka ada rasa lega di hati karena sehari sudah aku lalui.
Seperti pada sore itu aku begitu gembira. Saat aku sedang membereskan semua
buku buku di meja itu tiba-tiba terdengar pintu diketuk dan ada suara salam.
Aku terkejut ketika di sana sudah berdiri Daisy Listya.
”Wa alaikum salaam. Listya
mari masuk silahkan duduk!” kataku.
Tiga minggu sudah sejak suaminya meninggal, aku
baru sekarang ini kembali bertemu Listya. Tetap masih cantik hanya agak kurus
dan kelihatan lelah namun wajahnya sudah tidak dipenuhi beban yang berat. Wajah
Listya terlihat bebas lepas.
”Pak Alan maaf tadi saya
ke ruangan Bapak tapi terkunci maka langsung saja ke sini. Biasanya Pak Alan
ada di Laboratorium ini!” kata Listya.
Aku terharu mendengar
penuturannya. Aku tahu Listya tidak akan pernah melupakan Laboratorium HPLC
yang penuh dengan kenangan ini. Laboratorium ini memang penuh dengan cerita
bersama Listya.
”Iya Listya. Memang
Laboratorium ini sejak dulu adalah tempat saya untuk mencari inspirasi!” kataku
sambil tertawa. Mendengar ini Listya hanya tersenyum. Aku tiba-tiba saja teringat
kembali masa masa indah di Laboratorium ini bersama Listya.
”Iya Pak Alan. Bagi saya
Laboratorium ini penuh dengan cerita. Di sini saya mendapat bimbingan Profesor
Alan. Di sini juga saya pertama kali jatuh cinta kepada orang yang saya
kagumi!” kata Listya tersenyum. Aku hanya terdiam menyembunyikan perasaanku.
”Oh ya Pak Alan. Saya
punya janji kepada Bapak!” kata Listya.
”Janji apa Listya!”
tanyaku.
”Ini Pak Novel yang saya
janjikan!” sambil menyerahkan sebuah novel dengan sampul berwarna hijau
dedaunan. Judul novel itu Masih Adakah Ruang di Hatimu. Aku menerima novel
tersebut sambil menatap kagum.
”Listya terima kasih!”
kataku pendek. Listya hanya tersenyum. Ya Allah senyum ini adalah senyum Diana
Faria. Senyum masa laluku. Ya Tuhanku, berikanlah aku kekuatan untuk selalu mengingatMu
dan rasa syukur atas semua ciptaanMu.
”Pak Alan. Saya
menyampaikan rasa bahagia ini kepada Bapak. Bu Kinan adalah orang yang tepat
menjadi teman hidup Bapak. Inshaa Allah saat pernikahan nanti saya akan hadir
untuk merasakan kebahagiaan Bapak dengan Bu Kinan!” suara Listya dengan senyum
di bibirnya namun aku lihat kedua matanya basah dengan air mata. Aku hanya bisa
memandangnya dalam kebisuan.
”Maaf Pak Alan. Saya
menangis namun saya bahagia karena orang yang saya cintai sudah mendapatkan
kebahagiannya!” suara Listya pelan penuh haru. Kembali aku hanya bisa terdiam
memandang wajah Listya yang bersimbah air mata. Ingin rasanya aku menghapus
tetes air mata yang mengalir di pipinya namun aku tidak kuasa.
Aku hanya bisa berkata
dalam hati, Listya aku bisa merasakan cintamu begitu luhur namun aku tidak tahu
apakah takdir yang Allah berikan kepadaku ternyata bukan menikah denganmu.
Ataukah takdir yang Allah berikan kepadamu ternyata bukan menikah denganku.
Apakah itu takdir kita Listya? Aku hanya berserah diri kepadaNya.
Peristiwa Jumat sore itu
menjadi catatan tersendiri bagiku. Sebuah novel berjudul ’Masih Adakah Ruang di
Hatimu’ yang saat ini aku genggam adalah sebuah ungkapan hati Daisy Listya.
Lalu ada sebuah kalimat dari bibir Listya yang akan selalu ku kenang sampai
kapanpun :
”Saya
menangis namun saya bahagia karena orang yang saya cintai sudah mendapatkan
kebahagiannya!”
Fakta di hatiku bahwa
Listya masih ada di hati ini, sama seperti halnya Diana Faria namun fakta di hadapanku
saat ini bahwa Kinanti Puspitasari adalah calon terbaik untuk istriku. Dengan
izin Allah, bulan depan Kinanti Puspitasari adalah istriku. Dengan izinMu juga
aku akan memulai hidup baru.
Bimbinglah kami ya
Allah. Inikah sebenarnya takdirMu yang sesungguhnya. Apapun yang Kau takdirkan
kepadaku maka berikan aku kekuatan untuk selalu ikhlas menerimanya. KepadaMu
aku selalu berserah diri.