Friday, January 17, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA (Episode 1)


Foto : 007beritaterkini.blogspot.com

 Episode 1
HALTE DI DEPAN RUMAH SAKIT
Sore itu Surabaya diguyur hujan, walaupun tidak deras tapi sudah cukup membuat baju ini basah kuyup. Aku terus berlari menuju Halte di depan pintu masuk Rumah Sakit dr.Sutomo itu paling tidak disana aku bisa terhindar lebih parah lagi dari tetesan hujan. Ternyata hanya ada 3 orang yang sedang berteduh di Halte itu. Selain aku ada juga dua orang lainnya yaitu seorang Ibu separuh baya dan seorang gadis nampaknya  seperti Mahasiswi. Ketika Si Ibu separuh baya itu sudah mendapatkan Angkot (Angkutan kota) jurusan yang diinginkannya maka di Halte itu tinggal aku dan gadis itu. Entah sudah berapa banyak Angkot lewat di depan Halte itu namun gadis itu masih juga belum beranjak dari tempat duduknya untuk menaiki Angkot yang berhenti di Halte itu. Tiba-tiba sebuah sedan Eropa bermerk terkenal warna hitam merapat lalu aku melihat gadis itu membuka pintu depan dan memasuki sedan berkelas itu. Oh rupanya gadis itu menunggu jemputan, pikirku. Semakin sore lalu lintas semakin macet di jalan Dharmawangsa itu apalagi hujan sudah mulai reda sehingga sepeda motor sudah kembali banyak yang meluncur di jalan raya itu. Akhirnya Angkot yang kutunggu datang juga dan hampir selepas Magrib aku baru tiba di tempat kost.
Rasanya seperti baru kemarin hari wisuda Sarjana Kedokteranku namun saat ini aku harus memulai lagi ke tingkat lanjut memasuki program profesi agar aku dapat berkiprah sebagai seorang Dokter. Akupun harus kembali berteman dengan rutinitas kesibukkan, berkawan dengan kejenuhan dan kebosanan namun semua itu tidak bisa kuhindari dan harus aku lakukan. Sebagai Ko-as dokter aku secara rutin masuk kerja mulai pagi pukul 7 sampai sore pukul 16. Jika mendapat giliran jaga malam, maka bisa berlanjut sampai dengan pukul 6 pagi ke esokan harinya. Saat ini aku yang berperan sebagai dokter muda harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
 Selama mengikuti program profesi ini banyak yang harus aku lakukan misalnya melakukan follow up terhadap pasien, mengikuti kegiatan operasi dengan dokter senior atau mengikuti  jaga di poliklinik.  Selain itu ada juga mengikuti program bed site teaching termasuk menyelesaikan  laporan laporan kasus. Bekum mengikuti  juga jaga malam IGD maupun di Ruangan.  Setelah itu ada  lagi yaitu ketika harus mengikuti program penempatan di sebuah Puskesmas dan mungkin saja ditempatkan di sebuah desa di Jember, Pasuruan, Banyuwangi, Ponorogo atau daerah terpencil di Malang Selatan.  Hanya sebuah keajaiban jika aku akan mendapatkannya di salah satu Puskesmas Surabaya atau Pasuruan daerah asalku.
Aku harus bersyukur kepada Tuhan ternyata doaku dikabulkanNya. Aku mendapatkan penempatan di Puskesmas Surabaya. Kejutannya adalah aku harus praktek disalah satu Puskesmas daerah Lokalisasi terkenal di Surabaya. Tantangan yang menarik tentunya karena akan banyak berhadapan dengan para Perempuan Pekerja Seks Komersial (PSK). Tugas pokoknya adalah upaya pencegahan dan sosialisasi tentang bahayanya AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.  Banyak yang sudah tahu bahwa Virus ini ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim, transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut. Tugas yang tidak ringan bagiku karena selain aku harus menangani secara medis para PSK tersebut juga aku harus bisa memberikan pemahaman bagaimana resiko yang harus dihadapi oleh para PSK tersebut terhadap infeksi virus HIV.
 Seperti biasa sore ini aku sudah duduk di Halte tempat aku menunggu Angkot. Tadi siang sebenarnya sudah kelihatan mendung namun sorenya justru Matahari bersinar di ufuk Barat tempat terbenamnya nanti. Saat ini Halte lumayan penuh sehingga banyak orang orang yang harus berdiri. Angkot demi Angkot datang untuk mengangkut mereka ketempat tujuan masing-masing sehingga di Halte itu tinggal aku dan seorang Mahasiswi berambut panjang. Nanti dulu ternyata aku baru saja sadar bahwa mahasiswi disampingku ini adalah gadis yang kemarin juga ku temui disini. Gadis ini tengah asik dengan HPnya mungkin sedang BBM an. Aku yakin gadis ini sedang menunggu mobil jemputannya. Ternyata benar sebentar kemudian mobil hitam Eropa bermerk itu muncul dan menjemputnya. Gadis berambut panjang tinggi semampai itu memiliki wajah yang tenang bak air telaga tanpa riak sehingga memiliki kesan yang misterius. Wajahnya cantik perpaduan kecantikan ningrat jawa dan gadis-gadis Skandinavia. Ha ha ha aku ini kadang berlebihan tapi memang faktanya begitu. Tidak mungkin gadis itu menjadi perhatianku kalau dia tidak memiliki kecantikan yang khas luar biasa dan bukan kecantikan biasa seperti halnya bintang bintang sinetron di televisi swasta. Soal kecantikan wanita aku ini mempunyai standar yang tinggi ha ha ha. Sedang asyik melamun tiba tiba Angkot yang kutunggu muncul dan akupun segera naik untuk segera pulang ke tempat kostku.
 Sabtu pagi itu adalah hari pertamaku bertugas di Puskesmas wilayah salah satu tempat Lokalisasi terkenal di Surabaya. Aku terkejut ternyata mereka, wanita wanita PSK tersebut ada juga yang masih berusia muda. Seharusnya mereka yang masih muda itu bukan berada di sini namun ada di sebuah SMA. Sungguh sangat memprihatinkan. Pada umumnya mereka hanya ingin berobat dan tidak begitu peduli dengan sosialisasiku tentang HIV. Mereka hanya mendengar dari telinga kiri dan dikeluarkan dari telinga kanan. Para wanita itu terkesan menutup diri.   Ada seorang PSK yang ternyata mau diskusi denganku tapi bukan tentang HIV atau penyakit AID melainkan curhat tentang nasibnya.
“Mas dimanapun tidak ada wanita yang mau memilih profesi seperti saya kalau bukan karena terpaksa oleh keadaan. Saya juga begitu memilih pekerjaan ini hanya untuk menghidupi keluarga !”, begitu curhat wanita itu yang usianya kira kira sekitar 30 tahunan itu.
“Iya Mbak. Tapi mungkin Mbak bisa mendapatkan pekerjaan lain bukan pekerjaan ini!”, kataku.
“Sebelumnya saya sudah mencoba bekerja di tempat lain menjadi buruh pabrik namun pendapatannya tidak cukup. Maklum pendidikan saya SD pun tidak lulus!. Modal saya memang hanya tubuh ini untuk mendapatkan uang”, kata wanita yang mengaku bernama Ima itu. Aku hanya terdiam. Kuperhatikan sepintas memang wanita ini punya tubuh yang aduhai untuk dikomersilkan. Sekali lagi aku hanya prihatin dan hanya bisa prihatin tidak bisa berbuat apa apa. Mereka para wanita PSK ini sebenarnya hanya korban. Apakah mungkin korban dari keadaan hidupnya atau korban dari kekerasan seksual seperti pemerkosaan. Atau ada juga yang menjadi korban akibat ketidak harmonisan keluarga dan kekerasan rumah tangga. Aku sangat bersimpati kepada mereka. Dalam masyarakat sendiri wanita PSK ini adalah sampah masyarakat yang seakan akan tidak memiliki nilai. Lalu bagaimana dengan para Lelaki Hidung Belang itu. Mereka ternyata seolah terlupakan bahkan dalam kegiatan razia dimanapun yang dikejar-kejar adalah para wanita PSK.  Tidak ada yang pernah mau mengerti bagaimana penderitaan mereka. Banyak sekali ketidak adilan yang dialami oleh mereka. Pada hari pertama aku praktek di Puskesmas Lokalisasi tersebut ternyata telah menambah rasa simpatiku terhadap nasib para wanita PSK itu.
Aku terlambat menuju Halte sore itu karena tadi dokter Wim masih mengajakku berdiskusi. Selama diskusi itu sebenarnya aku kuatir tidak bisa ketemu dengan gadis semampai berambut panjang itu. Maka seusai diskusi itu aku segera saja bergegas tergesa-gesa menuju Halte di depan Rumah Sakit itu. Saat itu tiba-tiba saja namaku dipanggil seseorang.
“Herman!”. Aku menoleh ternyata Arga teman kuliahku berlari menghampiriku.
“Mau kemana kok tergesa gesa!”, kata Arga.
“Mau pulang dong biasa nunggu angkot di Halte depan!”, kataku. Akhirnya kami berjalan bersama menuju Halte. Betul saja Halte sudah sepi dan kami berdua bisa duduk leluasa di sana.
“Her bagaimana pengalaman pertama praktek di Puskesmas Lokalisasi? Ada yang nyantol nggak?. Aku cuma takut kamu bisa tergoda wanita wanita PSK itu”, kata Arga sambil ketawa.
“Arga Alhamdulillah aku masih bisa bertahan. Jangan kuatir pikiranku masih waras sebagai dokter muda yang sedang menempuh pendidikan profesi!”, kataku agak serius. Arga tertawa lepas mendengar jawabanku yang terkesan serius.
“Herman aku cuma bercanda kok. Aku percaya sama kamu yang berasal dari keluarga yang agamanya sangat kuat. Tak mungkin lah kamu terseret ke sana. Bahkan sampai sekarang saja kamu belum mau pacaran!”, kata Arga kembali tertawa. Mendengar ini aku juga ikut tertawa.
Benar juga Si Arga ini. Aku sampai saat ini belum pernah pacaran. Dulu sewaktu SMP memang pernah punya teman dekat seorang gadis, namanya Bunga yah tapi saat itu mungkin hanya cinta monyet yang tidak jelas. Tidak bisa disebut hubungan pacaran hanya sekedar ngobrol-ngobrol ditengah-tengah kegiatan belajar bersama. Jika bepergian-pun selalu ditemani oleh teman-teman yang lainnya. Saat itu hanya hati masing-masing saja yang bisa merasakan. Aku sendiri merasakan saat itu Bunga memang menaruh hati juga kepadaku. Saat mengenang masa lalu dengan Bunga, tiba-tiba aku bersorak dalam hati ketika aku melihat gadis cantik semampai berambut panjang itu sedang menuju ke arah Halte. Rupanya Arga pun tertegun menatap tidak berkedip ke arah gadis itu.
“Herman cewek itu cantik sekali siapa ya!?”, bisik Arga.
“Aku tidak tahu tapi setiap sore pasti nunggu jemputannya di Halte ini!”, kataku.
“Jemputannya siapa?”, tanya Arga berbisik.
“Tentu saja sopirnya!”, kataku berbisik juga. Tidak lama kemudian mobil penjemputpun tiba dan gadis itu seperti biasa naik ke mobil warna hitam itu. Aku melihat Arga masih terbengong saking kagumnya pada kecantikan gadis itu.
Gadis yang sering kujumpai di Halte depan Rumah Sakit itu memang cantik. Kelihatannya ramah walaupun terkesan pendiam. Wajahnya teduh namun kadang-kadang seperti murung. Aku sering memperhatikan diam diam pada saat berjumpa di Halte itu. Suatu hal yang membuatku merasa aneh adalah ketika wajah gadis itu selalu terbayang bayang selalu dalam pikiranku. Sudah sepuluh tahun ini aku belum pernah mengalami hal seperti ini lagi. Dulu semasa SMP pernah aku mengalami perasaan seperti ini ketika aku menyukai Bunga teman wanita sekelasku. Teringat masa masa itu aku seakan tidak percaya peristiwa itu rasanya seperti baru kemarin. Saat itu aku merasakan kebahagiaan ketika ternyata Bunga juga menyukaiku. Cintaku bersambut mesra namun hanya sesaat ketika saat kami lulus sekolah, Bunga harus melanjutkan sekolahnya di luar kota. Kamipun harus berpisah berjauhan apalagi setelah lulus SMA, Bunga harus melanjutkan kuliah di luar negeri karena orang tuanya mendapat tugas di sebuah Negara Eropa. Menghadapi keadaan seperti itu Aku hanya pasrah untuk mendapatkan cinta Bunga. Bukan karena aku tidak mau memperjuangkan cintaku namun aku harus realistis bagaimana perbedaan sosial keluarga diantara kami yang terlalu jauh. Walaupun aku tahu betul cinta Bunga padaku begitu besar namun akhirnya kamipun harus berpisah secara baik-baik tentu saja hal ini sangat menyedihkan bagi Bunga. Sepuluh tahun sudah berlalu dan saat ini hanya bisa mengenang kejadian yang sangat menyedihkan itu. Selama itu pula aku tidak pernah lagi jatuh cinta kepada seseorang. Saat ini ketika aku bertemu dengan seseorang di Halte depan Rumah Sakit itu aku kembali merasakan getar-getar hati yang sedang jatuh cinta seperti saat dulu aku merasakannya terhadap Bunga. 
Sore itu aku masih duduk di Halte itu dan membiarkan Angkot demi Angkot lewat saja di depanku. Gadis yang kutunggu itu masih saja belum muncul. Kemanakah gerangan dia?. Gadis itu ternyata masih juga belum muncul sampai saat terdengar suara Adzan Magrib dari Surau di Gang seberang jalan. Kemanakah gerangan dia?. Setelah tiga kali bertemu aku saat ini seakan kehilangan dia. Sudah berapa sore aku sudah tidak menjumpainya lagi di Halte itu. Aku tiba-tiba merindukannya aneh. Apakah tidak akan ada lagi pertemuan yang ke empat?.

Hari Rabu siang ini aku menuju Pepustakaan Fakultas untuk mencari beberapa referensi sebagai bahan kelengkapan laporan kegiatan Minggu ini. Suasana Perpustakaan cukup lenggang walaupun pengunjungnya cukup lumayan. Namanya juga Perpustakaan tentu saja lenggang karena orang-orang di sana kerjanya membaca dan menulis. Aku seperti biasa menuju rak Textbook dan Jurnal Ilmu Kedokteran dan seperti biasa juga duduk di meja pojok yang menghadap ke pintu. Baru saja aku duduk tiba-tiba aku terperanjat ketika aku melihat seorang gadis yang sering berjumpa di Halte itu baru saja keluar dari Perpustakaan melalui pintu di depan mejaku ini. Aku hanya bisa melihat punggungnya dengan rambut panjangnya yang terurai, postur tubuhnya dan cara berjalannya yang anggun. Ya Allah gadis itu ternyata Mahasiswi di sini. Fakultas mana ya?. MIPA, Farmasi, Kedokteran?. Aku tak tahu tapi yang jelas dia kuliah di sini. Saat dia lewat di depanku kenapa aku tidak menyapanya?. Aku memang tidak menyadari saat itu dan sudah terlanjur terpana seolah tidak percaya kalau harus bertemu gadis itu di sini. Ah tak apalah mudah-mudahan masih ada pertemuan yang kelima. Selama membaca dan menulis di Perpustakaan itu aku tidak bisa berkonsentrasi penuh karena bayang bayang gadis itu selalu saja ada di benakku. Kapankah aku akan bertemu lagi dengannya dalam pertemuan yang kelima?. Aku sudah tidak sabar menunggu.

BERSAMBUNG

http://fiksi.kompasiana.com/novel/2014/01/17/novel-hensa-bunga-mutiara-625119.html

Tuesday, December 17, 2013

Novel Hensa : Episode Akhir Cintaku (Bagian 13 Tamat)


Foto : Hensa/koleksi Pribadi
Bagian 13
HALAMAN TERAKHIR BUKUKU
Saat ini aku berada diantara kebahagiaan menempuh masa depan dengan Kinanti dan rasa duka Listya karena kepergian suaminya. Sungguh keberadaan yang sangat sulit. Saat ini Listya sedang berduka sedangkan Kinanti berbahagia. Seperti saat malam itu Kinanti menerima telponku dengan penuh keceriaan. Bagaimana tidak, malam itu kami sedang membicarakan tentang acara lamaran sekaligus menentukan tanggal pernikahan. Aku seakan tidak percaya pada akhirnya aku menikah juga dengan seorang pendamping hidupku. Aku seakan lebih tidak percaya lagi ternyata calon istriku adalah Kinanti Puspitasari, teman SMA ku yang dulu pernah menolak menjadi pacarku. Sungguh sesuatu yang menakjubkan dalam perjalanan hidupku bahwa nanti pada hari pernikahan itu yang menjadi istriku adalah Kinanti Puspitasari. Aku yakin mungkin inilah takdirku. Alhamdulillah aku panjatkan Puji Syukur kepadaNya.
Kabar pernikahanku dengan Kinanti rupanya sampai juga kepada Listya. Sore itu ketika aku baru saja tiba di rumah, aku menerima telpon dari Listya.
”Assalaamu alaikum Listya!”, kataku menyambut telponnya.
”Iya Pak Alan wa alaikum salaam. Maaf Pak saya telpon apakah mengganggu Bapak ?”, kata Listya.
”Oh tidak Lis. Saya saat ini sudah di rumah kok!”, kataku.
”Oh gitu. Pak Alan selamat Pak untuk rencana pernikahannya dengan Bu Kinan!”, kata Listya.
”Terima kasih Listya!”, jawabku pendek.
”Tadi pagi Bu Kinan memberi saya kabar tentang rencana pernikahannya dengan Pak Alan bulan Maulud ini. Saya sangat gembira mendengar kabar ini!”, suara Listya penuh haru.
”Listya sekali lagi terima kasih. Mohon doa restunya saja agar semua rencana itu berjalan dengan baik!”, kataku.
”Iya Pak, saya selalu mendoakan untuk kebahagiaan Pak Alan...!”, suara Listya pelan sekali seperti tertahan di tenggorokkan. Kemudian Listya terdiam lama sekali.
”Hallo, hallo, hallo, Listya?”, aku berusaha menyapanya melalui hand phone itu. Aku yakin Listya sedang terisak. Mungkin terharu karena akhirnya aku menikah juga dengan Kinanti.
”Hallo Listya!”, kucoba menyapa lagi.
”Iya Pak!”, kata Listya.
”Listya baik-baik saja?”, tanyaku dengan rasa khawatir.
”Tidak apa-apa. Baik-baik Pak. Ok Pak Alan, saya pamit dulu. Assalaamu alaikum!”, kata Listya sambil menutup hand phone nya.
Ya Allah apa yang harus aku lakukan. Listya nampaknya sedih sekali. Listya bersedih karena suaminya meninggal dunia ataukah bersedih karena aku mau menikah dengan Kinanti?. Ada dua wanita yang sama-sama aku kagumi. Saat ini aku lebih realistis dan bijak untuk memilih Kinanti Puspitasari sebagai calon istriku.  Aku mempertimbangkan bahwa saat ini Daisy Listya masih muda, cantik dan masih memiliki masa depan yang terbentang luas. Daisy Listya masih memungkinkan  mendapatkan teman hidup yang jauh lebih baik dariku. Kinanti memang yang aku pilih karena aku dan Kinanti sudah sama-sama berada di ufuk senja. Aku harus membiarkan cintaku kepada Daisy Listya menjadi sejarah seperti halnya cintaku kepada Diana Faria. Aku harus bisa dan mampu untuk menghadapi realita ini.
Jadwal kompilasi data penelitianku di Laboratorium sengaja aku majukan menjadi Jumat siang ini karena besok Sabtu aku harus ke Bandung menemui Kinanti. Seusai sholat Jumat di Masjid Kampus jl.Erlangga itu aku segera bergegas kembali ke Ruang kerjaku untuk makan siang. Makan siangku hari ini adalah masakan Si Mbok yang sengaja aku bawa dari rumah.  Selesai makan siang segera aku menuju Laboratorium yang jaraknya dari Gedung Fakultas hanya sekitar 50 meter. Siang itu Laboratorium sepi tidak ada satupun mahasiswa yang menggunakan instrumen analisis. Biasanya mereka menggunakan instrumen analisis untuk penelitian skripsi pada hari Sabtu. Aku bekerja di ruang itu penuh dengan ketelitian mengingat data yang aku kompilasi ini untuk digunakan sebagai data pelengkap pengajuan patent suatu produk farmasi. Aku bekerja penuh semangat sehingga sebelum Ashar semua data sudah diolah dan siap disajikan. Aku tersenyum sendiri ketika aku menyadari bahwa aku saat ini benar-benar sangat merindukan Kinanti. Mungkin ini penyebabnya sehingga aku bekerja di Laboratorium itu penuh dengan semangat dan fokus. Halaaaahhh Alan sekarang ternyata sudah mulai terjangkit penyakit anak muda masa kini yaitu lebay he he he. Semua pekerjaan hari ini sudah rampung dan aku sudah bersiap pulang ah alangkah leganya akhirnya aku bisa menyelesaikan aktivitas hari ini. Sabtunya aku benar-benar melepaskan rinduku untuk Kinanti.
Penerbangan yang pendek antara Surabaya – Bandung namun cukup untuk  mengingatkanku kembali peristiwa masa masa SMA itu secara utuh. Masa SMA bersama Kinanti yang begitu indah. Hal ini justru telah membuatku tidak sabar ingin bertemu Kinanti. Tepat pukul 10 aku sudah tiba di Bandara Husein Sastranegara. Kinanti sudah menungguku di sana. Aku melihat wajah cantik Kinanti penuh dengan rasa bahagia menyambut kehadiranku. Tentu saja cahaya kebahagiaan terpancar di wajah Kinanti karena malam ini merupakan malam yang spesial.  Untuk yang pertama kali aku berkunjung ke rumah Kinanti sebagai calon suaminya.
Malam Minggu ini benar-benar aku habiskan bersama Kinanti di sebuah Kafe yang cukup ramai di jalan Riau. Hanya sekedar mengisi makan malam sambil mengobrol bercerita saat saat SMA dulu. Ah alangkah romantisnya. Kadang kami tertawa karena teringat peristiwa konyol saat SMA dulu. Tidak terlalu malam kami kembali ke rumah Kinanti di Arcamanik. Kami melanjutkan obrolan di beranda. Udara Kota Bandung sangat mendukung, cerah tanpa awan dan ada bulan sabit di ufuk langit menandakan awal bulan Qomariah telah tiba.
”Alan ada yang ingin aku bicarakan denganmu!”, kata Kinanti mulai serius.
”Tentang apa Kinan!”, tanyaku.
”Tentang pernikahan kita. Aku hanya minta dua permintaan kepadamu. Tapi ini bukan syarat lho hanya permintaanku!”, kata Kinanti.
”Permintaan apa Kinan, inshaa Allah aku akan memenuhinya!”, kataku yakin.
”Alan setelah kita menikah nanti terlalu riskan bagiku andai nanti aku harus hamil untuk anak kita!”, kata Kinanti.
”Tentu saja Kinan. Bagiku cukup Intan sebagai anak kita. Dia adalah anak putri yang sangat aku banggakan!”, kataku menenangkan Kinanti.
”Alan tidakkah kau ingin memiliki anak dari aliran darahmu sendiri?”, tanya Kinanti.
”Kinanti urusan anak aku serahkan kepada Allah. Aku tidak mau apalagi menuntutmu agar kita punya momongan untuk memberi Intan seorang adik!”, kataku. Aku melihat Kinanti termenung. Wajahnya menatap ke depan.
”Hai jangan melamun!”, kataku. Kinanti terperanjat.
”Lalu permintaanmu yang kedua apa?”, tanyaku.
”Aku teringat Listya. Saat ini dia berteman dengan kesendiriannya. Permintaanku yang kedua setelah kita menikah nanti aku rela jika kau berniat menikahi Listya agar kau bisa memiliki anak !”, kata Kinanti.
”Kinanti sudahlah jangan bicarakan lagi Listya. Dia masih muda suatu hari nanti akan menemukan jodohnya yang sama-sama masih muda. Allah sendiri sudah memberikan takdirku menjadi suamimu!”, kataku. Kinanti masih terdiam. Ketika aku genggam kedua tangannya, dia menatapku.
”Aku hanya ingin memenuhi permintaanmu yang pertama. Lupakan permintaanmu yang kedua. Tersenyumlah sayang!”, kataku. Kinanti tersenyum sambil menatapku tajam. Wanita yang memiliki sepasang mata yang indah ini tersenyum manis.  Aku mencium keningnya penuh kasih sayang.
Sebenarnya aku terkejut mendengar kata-kata Kinanti yang memberi izin kepadaku untuk menikahi Listya. Hanya agar aku punya anak dari darahku sendiri, Kinanti merelakanku untuk menikahi Listya. Wanita cantik ini benar-benar berbudi luhur. Walaupun poligami diperbolehkan oleh Agama namun aku sangat meragukan rasa keadilanku terhadap istri-istriku nanti. Aku bukan Rasulallah. Biarlah aku berbahagia bersama Kinanti walaupun tidak memiliki anak darinya.
Hari hari yang aku lalui di Kampus benar-benar rutinitas yang sangat membosankan. Apakah mungkin hal ini disebabkan oleh rasa tak sabarku menunggu hari pernikahanku bulan depan. Bisa jadi hal itu yang membuat hari-hari berjalan begitu lambat. Hari Senin adalah hari yang sangat lambat dan membosankan karena aku harus menunggu begitu lama untuk bertemu hari Sabtu saat aku bertemu Kinanti. Jika sore menjelang maka ada rasa lega di hati karena sehari sudah aku lalui. Seperti pada sore itu aku begitu gembira. Saat aku sedang membereskan semua buku buku dimeja itu tiba-tiba pintu ruanganku diketuk dan terdengar suara salam. Aku terkejut ketika di sana sudah berdiri Daisy Listya.
”Wa alaikum salaam. Listya mari masuk silahkan duduk!”, kataku.  Tiga  minggu sudah sejak suaminya meninggal, aku baru sekarang ini kembali bertemu Listya. Tetap masih cantik hanya agak kurus dan kelihatan lelah namun wajahnya sudah tidak dipenuhi beban yang berat. Wajah Listya terlihat bebas lepas.
”Pak Alan maaf tadi saya ke ruangan Bapak tapi terkunci maka langsung saja ke sini. Biasanya Pak Alan ada di Laboratorium ini!”, kata Listya. Aku terharu mendengar penuturannya. Aku tahu Listya tidak akan pernah melupakan Laboratorium HPLC yang penuh dengan kenangan ini. Laboratorium ini memang penuh dengan cerita bersama Listya.
”Iya Listya. Memang Laboratorium ini sejak dulu adalah tempat saya untuk mencari inspirasi!”, kataku sambil tertawa. Mendengar ini Listya hanya tersenyum. Aku tiba-tiba teringat kembali masa masa indah di Laboratorium ini bersama Listya.
”Iya Pak Alan. Bagi saya Laboratorium ini penuh dengan cerita. Di sini saya di bimbing oleh Profesor Alan. Di sini juga saya pertama kali jatuh cinta kepada orang yang saya kagumi!”, kata Listya tersenyum. Aku hanya terdiam.
”Oh ya Pak Alan. Saya punya janji kepada Bapak!”, kata Listya.
”Janji apa Listya!”, tanyaku.
”Ini Pak Novel yang saya janjikan!”, sambil menyerahkan sebuah novel dengan sampul berwarna hijau dedaunan dan judul Masih Adakah Ruang Di Hatimu berwarna kuning. Aku menerima novel tersebut sambil menatap kagum.
”Listya terima kasih!”, kataku pendek. Listya hanya tersenyum. Ya Allah senyum ini adalah senyum Diana Faria. Senyum masa laluku. Berikanlah aku kekuatan untuk selalu mengingatMu dan rasa syukur atas semua ciptaanMu.
”Pak Alan. Saya menyampaikan rasa bahagia ini kepada Bapak. Bu Kinan adalah orang yang tepat menjadi teman hidup Bapak. Inshaa Allah saat pernikahan nanti saya akan hadir untuk merasakan kebahagiaan Bapak dengan Bu Kinan!”, suara Listya dengan senyum di bibirnya namun aku lihat kedua matanya basah dengan air mata. Aku hanya bisa memandangnya dalam kebisuan.
”Maaf Pak Alan. Saya menangis, saya bahagia karena orang yang saya cintai sudah mendapatkan kebahagiannya!”, suara Listya pelan penuh haru. Kembali aku hanya bisa terdiam memandang wajah Listya yang bersimbah air mata. Ingin rasanya aku menghapus tetes air mata yang mengalir dipipinya namun aku tidak kuasa. Aku hanya bisa berkata dalam hati, Listya aku bisa merasakan cintamu begitu luhur namun aku tidak tahu apakah takdir yang Allah berikan kepadaku ternyata bukan menikah denganmu. Ataukah takdir yang Allah berikan kepadamu ternyata bukan menikah denganku. Apakah itu takdir kita Listya?.
Peristiwa Jumat sore itu menjadi catatan tersendiri bagiku. Sebuah novel berjudul ’Masih Adakah Ruang Di Hatimu’ yang saat ini aku genggam adalah sebuah ungkapan hati Daisy Listya. Lalu sebuah kalimat dari bibir Listya yang akan selalu ku kenang sampai kapanpun : ” Saya menangis, saya bahagia karena orang yang saya cintai sudah mendapatkan kebahagiannya!”.
Fakta di hatiku bahwa Listya masih ada di hati ini, sama seperti halnya Diana Faria namun fakta dihadapanku saat ini bahwa Kinanti Puspitasari adalah calon terbaik untuk istriku. Dengan izin Allah, bulan depan Kinanti adalah istriku. Dengan izinMu juga aku akan memulai hidup baru. Bimbinglah kami ya Allah.


SELESAI