Foto : Hensa/koleksi pribadi
Bagian 8
INIKAH PELABUHAN AKHIR CINTAKU
Dalam dua pekan ini hampir setiap malam Kinanti selalu menyempatkan
menelponku. Setiap itu pula diakhir dialog selalu ditutup dengan isak tangis.
Aku dapat merasakan betapa sakit hati Kinanti yang luar biasa menerima
perlakuan penghianatan di depan matanya. Sedalam apa luka yang ada dalam
hatinya aku bertekad untuk menyembuhkannya. Sebagai sahabat sejatinya, aku
selalu setia setiap saat mendengarkan apa yang dirasakan hatinya.
Seperti malam ini aku berdialog dengan Kinanti melalui hand phone.
”Belum tidur Alan?”, tanya Kinanti.
”Belum Kinan nggak tahu nggak bisa tidur nih. Padahal koreksian skripsinya
mahasiswa sudah beres semua..!”, kataku.
”Aku juga beberapa hari ini selalu tidur diatas tengah malam walaupun tidak
ada yang harus aku kerjakan. Terus terang rasa sakit hati ini begitu sulit
hilang!”, suara Kinanti lirih.
”Kinanti yang aku kenal adalah Kinanti yang tegar. Aku yakin Kinanti yang
aku kenal ini dengah mudah dapat melupakan Si Penghianat itu!”, kataku.
”Alan kalau Si Penghianat itu sudah aku hilangkan dari hatiku tidak ada
satu ruangpun dalam hatiku untuk dia sampai kapanpun!”, kata Kinanti.
”Lalu sekarang ruang hatimu sedang kosong dong!”, tanyaku mulai menggo-da.
”Ruang hatiku sekarang sudah kembali terisi dan jangan harap kepada yang
lain untuk mencoba hadir di sana!”, kata Kinanti.
”Oh berarti sudah tidak ada harapan nih!”, tanyaku lagi.
”Entahlah Alan tanya saja kepada dirimu sendiri!”, suara Kinanti sambil
tertawa.
Begitulah dialog malam dengan Kinanti berisi percakapan yang hanya sekedar
melepas sesak didada bagi Kinanti dan melepas rindu bagiku.
Sebulan sudah peristiwa sangat memilukan itu sudah berlalu. Terakhir aku
bertemu Kinanti lagi di Bandung dan aku bersyukur Kinanti sudah mulai kembali
pulih. Kegembiraannya, keceriaannya dan wajah bahagianya sudah terlihat dalam
sikap sehari harinya. Aku sangat bahagia melihat Kinanti seperti kembali
terlahir. Aku memang dari awal sudah yakin Kinanti adalah wanita yang tangguh.
Intan, putri Kinanti pernah berkata bahwa ibunya sudah kembali ceria karena
banyak dibantu olehku. Menurutku tidak juga mungkin aku hanya sedikit membantu
namun yang menolong Kinanti adalah dirinya sendiri yang selalu yakin akan
pertolonganNya jauh lebih sempurna. Selama ini aku hanya sering menelpon
Kinanti hanya sekedar ingin mendengarkan curahan beban hatinya agar bisa
terbagi untukku. Memang aku bisa merasakan setiap Kinanti menerima telepon
dariku ada rasa kegembiraan dari nada bicaranya. Kinanti seakan memang selalu
menunggu telepon dariku. Apakah ini saatnya aku kembali mengetuk pintu
hatinya?. Jangan dulu biarlah waktu terbaik nanti yang akan datang pada saatnya.
Dua hari ini aku harus menghadiri acara workshop tentang Akreditasi untuk
Perguruan Tinggi Jawa Timur di sebuah Hotel kota Batu. Jumat sore acarapun
sudah selesai namun sebelum aku kembali ke Surabaya aku ingin menikmati sore
yang cerah di Kota Malang. Memang fenomena macet sekarang ini sudah
dimana-mana. Turun dari Kota Batu sudah dihadang macet di daerah Dinoyo menuju
kota bertambah lagi macet di pertigaan Universitas Brawijaya yang tidak ber
traffic light. Di pertigaan ini kendaraan yang mau lurus harus belok ke kiri
dulu baru berputar balik kanan. Setelah berjuang melepaskan diri dari kemacetan
akhirnya aku terdampar di Matos – Malang Town Sequere yaitu sebuah Mall yang
cukup terkenal bagi warga Malang yang ada di kompleks Unibraw. Mobil aku parkir
di lantai dua karena lantai dasar sudah penuh. Mall besar ini penuh dengan
pengunjung. Banyak muda-mudi bahkan pelajar yang masih berseragam mungkin
pulang sekolah langsung menuju ke Mall ini. Aku memang hanya sekedar refreshing
saja. Melihat-lihat pakaian di sebuah Butik khusus Busana Muslim. Aneka jilbab
dengan warna warni dan berbagai model.
”Pak apa yang bisa saya bantu?”, suara karyawati Butik menawarkan
bantuannya.
”Oh ya saya hanya lihat-lihat dulu!”, kataku.
”Mbak, mbak yang ini berapa?”, terdengar suara wanita dibelakangku
memanggil karyawati Butik itu.
”Maaf Pak silahkan lihat-lihat saya melayani Ibu yang di sana dulu!”, kata
Karyawati itu sambil menghampiri wanita yang tadi memanggilnya. Akupun menengok
kebelakang. Aku tidak tahu apakah dunia ini sempit atau memang Kota Malang yang
sempit. Ternyata wanita itu adalah Daisy Listya. Ah seperti dalam Sinetron di
Televisi saja. Aku tersenyum sendiri. Diam-diam aku perhatikan Listya yang
sedang memilih busana muslim dan jilbab. Listya sendirian tidak terlihat Rizal,
suaminya. Aku segera menghampirinya.
”Assalaamu alaikum Bu Rizal!”, sapaku dengan ramah. Listya menoleh dan
nampak dia terkejut.
”Wa alaikum salaam Pak Alan!”, kata Listya setengah berteriak. Aku melihat
wajahnya yang cantik itu berbinar. Listya memang benar-benar terkejut bisa
bertemu denganku. Bukan dia saja yang terkejut aku juga demikian. Ah dasar
seperti Sinetron di Televisi saja he he he.
”Bagaimana khabar Pak Profesor!?”, tanya Listya sambil tersenyum. Ya Allah
rasanya lamaaaaa sekali aku tidak menimati senyum wanita yang aku kagumi ini.
”Alhamdulillah baik bagaimana denga Bu Rizal?”, tanyaku balik.
”Alhamdulillah baik juga Pak. Oh ya Bu Kinan baik-baik juga Pak. Saya waktu
itu terima kabar dari Bu Kinan tentang batalnya pernikahannya itu. Saya turut
prihatin!”, kata Listya.
”Bu Kinan sekarang sudah berangsur baik dan mulai bisa melupakan yang sudah
terjadi. Kita doakan saja. Oh ya Listya sendirian?. Mas Rizal tidak ikut
menemani?”, tanyaku.
”Mas Rizal sudah dua bulan ini di rumah saja harus istirahat karena cek
terakhir adaptasi ginjalnya yang baru mengalami hambatan medis. Setiap Minggu
diharuskan cuci darah. Mudah-mudahan bisa pulih kembali!”, kata Listya.
”Iya Listya semoga Mas Rizal kembali pulih!”, kataku. Aku sengaja tidak
melanjutkan dialog tentang Rizal karena aku lihat Listya kelihatan murung
membicarakan tentang suaminya. Pembicaraan beralih ke bisnis Apotiknya.
”Alhamdulillah Apotik kami lancar lancar saja. Omzetnya lumayan Pak!”, kata
Listya.
”Syukurlah Listya. Semoga selalu mendapatkan barokah Allah aamiin!”, kataku
mendoakan untuk kemajuan bisnis Apotiknya.
”Oh ya Pak Alan apakah dapat Undangan Pernikahan Audray?”, tanya Listya.
”Audray menikah?. Saya belum dapat Undangannya!”, kataku.
”Saya juga memang belum menerima Undangannya hanya kemarin Audray telepon
saya agar bisa hadir dihari Pernikahannya bulan depan!”,kata Listya.
”Mungkin nanti Undangannya baru beredar!. Wah senang sekali akhirnya Audray
dapat juga jodoh terbaiknya!”, kataku tanpa ekspresi.
”Lalu Pak Alan kapan mendapatkan jodoh terbaiknya?”, tanya Listya.
Pertanyaan yang telak membuatku tidak berkutik dan aku hanya tersenyum tenang.
”Listya insya Allah suatu hari akan hadir jodoh terbaikku doakan ya!”,
kataku. Listya hanya terdiam dan aku melihat kembali ada kemurungan di
wajahnya. Melihat gelagat ini aku segera mengalihkan pembicaraan ke soal Apotik
lagi.
”Lis apakah Apotiknya sudah bisa melayani Askes?”, tanyaku.
”Iya Pak bulan ini sudah mulai kerja sama dengan PT Askes untuk melayani
kesehatan bagi rakyat kecil. Keuntungannya kecil juga namun pahalanya
besar!”,kata Listya sambil tertawa.
”Kesehatan ini memang menjadi persoalan Nasional yang harus menjadi
prioritas utama. Calon Presiden nanti yang ingin terpilih oleh rakyat harus
bisa mewujudkan pelayanan kesehatan bagi rakyat kecil!”, kataku.
”Setuju Pak. Kok jadinya seperti kampanye Capres!”, kata Listya kembali
tertawa. Tawa Listya yang lepas. Ah rasanya suasana seperti ini begitu aku
rindukan bercanda dengan Listya seperti saat dia masih menjadi Mahasiswiku dulu.
Namun waktu tidak mungkin diputar kembali ke belakang.
Pertemuan dengan Daisy Listya di Mall itu membuat semua kenangan bersamanya
dulu seakan kembali ada di hadapanku. Namun aku harus kembali ke alam nyata.
Berpijak di bumi yang nyata. Daisy Listya sudah menjadi masa laluku sama
seperti Diana Faria. Sudahlah Alan Erlangga kini masa depanmu adalah Kinanti
Puspitasari. Untuk mendapatkan masa depanmu pun Alan Erlangga harus tetap
berjuang. Untuk mendapatkan cinta Kinanti Puspitasari tetap harus kau perjuangkan
Alan!.
Perjalanan dari Malang menuju Surabaya melalui jalan Tol baru pengganti
jalan raya Porong, lumayan lancar dengan waktu tempuh sekitar dua jam padahal
dulu biasanya bisa sampai tiga empat jam saat Tol baru belum selesai.
Alhamdulillah aku tiba di rumah dengan sehat dan selamat. Setelah mandi dan
sholat akupun menikmati secangkir teh panas yang sudah disediakan Si mbok.
Sebenarnya makan malampun sudah tersedia di meja makan tapi rasanya aku masih
kenyang sehingga semua menu makan malam di meja makan itu sama sekali tidak aku
sentuh.
Malam ini terasa begitu panjang. Seharusnya rasa lelah yang mendera tubuhku
ini segera mengantarkanku tertidur lelap, namun anehnya aku justru merasakan
rasa segar dan gembira. Aku tidak tahu mengapa demikian, apakah mungkin karena faktor bertemu dengan Daisy
Listya tadi sore itu. Bisa juga iya karena aku memang tidak bisa menyembunyikan
perasaanku ini apalagi ini fakta bahwa Daisy Listya tidak bisa begitu saja
harus hilang dari lembaran hidupku. Diana Faria saja yang sekarang sudah tiada
masih saja terasa hadir ada dalam hatiku apalagi Daisy Listya. Apakah ini
berarti Kinanti Puspitasari tidak memiliki arti bagiku?. Nanti dulu karena ini
juga fakta Kinanti adalah satu-satunya wanita saat ini yang sangat realistis menjadi
masa depanku. Ya hanya Kinanti yang mungkin saat ini akan menjadi perjuangan
cinta terakhirku. Benarkah?. Hanya Allah yang Maha Tahu aku hanya bisa berkata
: ”Bismillah......!”.
(BERSAMBUNG)