Sunday, March 16, 2008

SHOLAT DAN PERDAMAIAN DUNIA

Pernahkah Anda berfikir bahwa sholat Anda telah banyak mempengaruhi tindak tanduk Anda sehari-hari?. Firman ALLAH dalam kitabNya yang mengatakan bahwa sholat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar (QS 29:45). Kita mungkin sering mendengar ayat tersebut bahkan mungkin sering kita baca pula namun jangan-jangan kita ternyata belum mampu meresapi dan menghayati inti ayat tersebut.
Mari kita simak sholat kita bukan hanya sekedar sholat untuk memenuhi waktu sholat, bukan sekedar formalitas menunaikan dan menggugurkan kewajiban, namun sholat kita adalah menghayati benar-benar tahap-tahap sholat dan makna yang terkandung dalam bacaan sholat. Bagaimana seharusnya menghayati arti sholat bukan hanya secara ritual belaka tapi seharusnya dihayati secara hakekat.
Sholat dimulai dengan : “ALLAHU AKBAR”, bahwa ALLAH Maha Besar, Maha Pengasih, Maha Penyayang, merupakan simbol pengakuan seorang hamba yang lemah yang selalu bergantung kepada kebesaranNya. Suatu rasa yang mengandung keyakinan bahwa kepadaNya semata tempat sebaik-baiknya ketentraman.
Sholat merupakan sistem komunikasi antara hamba dengan ALLAH. Suatu penyatuan kedalam pemujaan yang bersifat universal. Bersuci sebelum sholat adalah suatu arti pengembalian kesucian manusia pada keadaan awalnya. Seorang bijak mengatakan bahwa sholat adalah latihan spiritual yang memiliki aspek-aspek intelektual, fisik dan social. Seseorang yang melakukan sholat akan mengalami perkembangan dalam aspek-aspek tersebut. Mari kita bayangkan apa yang dirasakan oleh manusia pencari ilmu pengetahuan dan betapa pikiran-pikirannya bertambah luas ketika ia secara teratur dalam sholatnya mengulang-ulang ucapan :”Segala Puji bagi ALLAH Tuhan semesta alam”. Sehingga begitu pengetahuan manusia bertambah dan berkembang maka semakin bertambah dan berkembang pulalah perasaannya mengenai Kebesaran Sang Pencipta. Mari kita bayangkan bagaimana kasih sayang berkembang dalam diri manusia jika setiap hari dalam sholatnya ia merenungkan kualitas-kualitas yang dimiliki Yang Maha Besar dan Maha Tinggi, ALLAH Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Mari kita bayangkan perasaan takjub dan kerendahan hati yang dimiliki oleh seorang manusia yang ber-iman, perasaan yang timbul karena ingatannya ke-pada hari pengadilan, ingatan yang merangsangnya untuk melakukan kebajikan dan menghindari kejahatan ketika ia berulang-ulang dalam sholatnya membaca :”ALLAH Penguasa di hari pengadilan”. Mari kita bayangkan kekuatan spiritual dalam diri seseorang yang ditimbulkan oleh iman kepada ALLAH dan ketergantungan kepadaNya ketika ia mengucapkan dalam sholatnya :”Hanya Engkau yang kami sembah dan hanya kepadaMu kami mohon pertolongan”. Mari kita bayangkan bagaimana hasrat yang senantiasa didambakan seorang manusia beriman untuk perkembangan dan perbaikan dirinya dengan mencari petunjuk ALLAH, ketika dalam sholatnya membaca :”Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus”.
Sholat adalah do’a, penyerahan diri, komunikasi yang serasi antara hamba dan ALLAH. Sholat membuat hidup teratur dan disiplin. Mari kita bayangkan betapa indah, harmonis, tentram dan damainya dunia ini jika kita sudah berhasil mewujudkan sholat kita dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana tidak, sebab kita selalu yakin bahwa sholat akan mencegah perbuatan keji dan mungkar.

Pasuruan, 26 Zulqaidah 1404 H.

Monday, March 3, 2008

CerPen Corner


NAMANYA INDRA
Episode I
”Bagaimana Sari ?”, suara Indra memecah keheningan. Kutatap lelaki ganteng yang duduk tepat di depanku ini.
“Sari, seharusnya kita lebih dulu dari Fauzi dan Lilian. Apa yang harus kita tunggu lagi!” kembali Indra Wibowo meyakinkanku. Memang betul, apa lagi yang harus di tunggu. Indra sudah lama selesai menempuh pendidikan Akabri dan sekarang bertugas di Jakarta. Aku sendiri walaupun masih kuliah tapi apa salahnya mahasiswi merangkap jadi ibu rumah tangga.
“Andai kau keberatan, bagaimana kalau kita tunangan saja dulu?”, kata Indra. Kembali kutatap Sang kekasih lalu aku tersenyum. Lalu Indrapun tersenyum. Lalu aku merasa Indra memelukku. Lalu !?
Pada pernikahan Lilian dan Fauzi itulah aku bertunangan dengan Indra Wibowo. Rencana pertunangan ini mendadak karena itu aku tidak sempat mengundang teman-teman di Yogya. Dan wajar ketika aku kembali ke Yogya banyak diantara mereka yang menggerutu karena tak kuundang. Semula Papa hanya akan menikahkan adikku, namun rupanya Papa perlu mengkhawatirkan diriku. Padahal aku rela didului Lilian. Maka berlangsunglah tunangan itu. Banyak teman-teman kuliahku yang mengatakan bahwa aku beruntung mendapatkan tunangan seorang Taruna Akabri. Apalagi Indra seorang lelaki yang jantan,ganteng, tinggi, tegap pokoknya selangit. Mendengar pujian-pujian itu aku hanya bisa tersenyum dan tentu saja ada terselip kebanggaan dalam hatiku.
Liburan semester ini seharusnya aku pergi ke Jakarta menjumpai Sang Kekasih. Tidak pulang ke Malang seperti apa yang kulakukan ini. Di rumah berkali-kali Papa menyarankan agar aku berlibur di Jakarta saja. Begitu juga Lilian, adikku yang kini tinggal di Jakarta bersama suaminya. Tapi aku tetap memilih liburan di Malang. Aku tidak tahu mengapa pertunangan ini kurasakan telah mengikat kebebasanku. Aku tidak tahu mengapa selama ini surat-surat Indra tak pernah kubalas. Aku tidak tahu mengapa aku harus acuh tak acuh kalau Indra menjengukku ke Yogya. Seharusnya aku bisa membayangkan bagaimana Indra jauh-jauh dari Jakarta untuk melepas rindu. Entahlah nampaknya aku masih menyukai kebebasan. Cincin tunangan yang melingkar di jari manisku inikah yang telah merengut kebebasanku?.
Tiga hari sebelum liburan habis aku sudah kembali ke Yogja. Hal ini kulakukan karena aku harus registrasi dan melunasi uang kuliah semester berikutnya disamping itu karena memang aku sudah jenuh dengan liburanku. Hari Sabtunya Indra menjumpaiku.
“Cukup menyenangkan liburannya?”, tanyanya. Aku hanya angkat bahu sambil tersenyum.
“Kuharap memang begitu. Bagaimana kabar Papa dan Mama?”, tanya Indra.
“Baik-baik!”, jawabku.
“Syukurlah. Aku sebetulnya ingin menyusulmu sekaligus ketemu Papa dan Mama. Sudah lama tidak bertemu, tapi tugas-tugasku semakin hari semakin banyak. Kupikir kau mau liburan di Jakarta. Aku tidak yakin kalau kau tidak tahu selama itu aku merindukanmu. Terlebih-lebih tak ada satu suratpun yang kau balas!”.
“Aku, aku malas bikin surat!”, kataku seenaknya. Kulihat Indra masih tertunduk. Terbaca pada raut wajahnya perasaan kecewa, kesal, gelisah. Namun perasaan-perasaan tersebut tertutup oleh sikap sabarnya. Indra yang penyabar, Indra yang gagah, ganteng, Indra yang selali penuh pengertian. Rasanya tidak adil jauh-jauh dari Jakarta hanya kusambut dengan sikap acuh tak acuhku. Kadang-kadang kesadaran itu timbul bahwa aku telah berbuat keterlaluan terutama disaat aku menatap punggung Indra, di saat Indra kembali ke Jakarta.
“Seharusnya kau tidak bersikap seperti itu!”, pendapat Tien, teman kentalku.
“Bukankah dia tunanganmu. Tentu saja dengan bersikap lembut dan mesra, dia akan sangat bahagia. Aku heran Sari mengapa kau bisa bersikap seperti itu kepada tunangan segagah Indra. Sungguh tak bisa kumengerti!”, kembali suara Tien. Memang betul apa yang dikatakan Tien, kuakui itu. Tapi dengan demikian aku bertambah tidak mengerti dengan diriku sendiri. Aku masih juga mengulang sambutan acuh tak acuhku setiap Indra menjumpaiku. Entah mengapa begitu. Aku hanya merasa pertunangan ini telah merenggut kebebasanku. Cincin tunangan yang melingkar di jari manis ini demikian cantik tapi aneh aku tidak merasakan hal itu.
“Jika kau sudah berani bertunangan kau harus berani pula mengurangi kebebasanmu. Aku tak bisa membayangkan andai kau nanti sudah menjadi nyonya Indra, apakah kau masih ingin menuntut kebebasanmu?. Pikirlah baik-baik Sari. Jangan terlalu sering mengecewakan dia!”. Ini adalah pendapat dan nasihat Tien ketika kami ngobrol di Kantin kampus.
“Ya aku mengerti Tien. Sebenarnya saat itu aku belum mau bertunangan sebelum studiku selesai paling sedikit sampai aku meraih sarjana muda. Tapi itulah yang terjadi ketika Lilian mendahuluiku maka akupun tak bisa menolak keinginan Indra dan nampaknya Papaku pun setuju!”. Tien menghabiskan suapan baksonya terakhir.
“Kau mencintai Indra bukan?”, tanya Tien.
“Tentu saja!”, kataku.
“Kalau begitu mulailah bersikap seperti halnya kau mencintai Indra!”, kata Tien lagi. Aku diam dan Tien masih menatapku.
(Bersambung)