Tuesday, March 25, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 9


Foto : Hensa/koleksi Pribadi

EPISODE 9
SKETSA CINTA KITA
Aku bisa merasakan kebahagiaan Bapak dan Ibuku ketika akhirnya aku sembuh dan pulang kampung. Mereka juga kelihatan gembira menyambut dua orang wanita cantik yang mengantarkanku dari Surabaya ke Pasuruan.
“Bunga dan Mutiara sudah repot mengantarkan Herman pulang ke Pasuruan ini. Terima kasih sekali!”, kata Ibuku. Mereka begitu asyik mengobrol akrab di Ruang Tamu. Sesekali terdengar suara gelak tawa mereka.  Hari yang penuh dengan kebahagiaan. Seharusnya memang aku selalu bersyukur dan bersyukur kepada Tuhan begitu besar perhatian dan cinta mereka kepadaku. Saat hari menjelang siang Bunga dan Mutiara berpamitan untuk kembali ke Surabaya.
“Bunga terima kasih hati-hati di jalan ya. Tiara terima kasih!”, kataku saat mengantar mereka ke gerbang halaman depan.
“Oke Bos!”, kata Bunga sedangkan Mutiara hanya tersenyum manis. Aku membalas lambaian tangan mereka ketika mobil mereka meninggalkan halaman rumah.
Aku beristirahat di Rumah selama tiga hari ini. Tidak ada kegiatan apapun yang kulakukan kecuali membaca buku. Selama aku di rumah, ‘mbak yu’ ku yang di Malang sempat menjengukku sedangkan ‘mbak yu’ yang di Jakarta hanya sempat menelpon. Apapun yang sudah mereka lakukan kepadaku adalah bagian dari kebahagiaanku yang utuh. Mereka, kakak-kakak perempuanku adalah pahlawan hatiku dan tentu saja Ibu dan Bapakku adalah segalanya, yang sangat berpengaruh dalam kehidupanku. Terutama Bapak. Beliau adalah Ulama yang dihormati masyarakat karena ilmunya yang sangat bermanfaat bagi pembangunan karakter generasi muda negeri ini. Pesantren yang dikelola Beliau menerapkan pola pendidikan yang sangat fokus pada pengembangan pendidikan karakter. Dalam bahasa pesantren lebih popular disebut dengan istilah akhlakul karimah yang menjadi tujuan utama dari penyelenggaraan pendidikan di sana. Akhlakul karimah ini menjadi tujuan  terpenting dalam pola pendidikan yang dikembangkan pesantren. Peran Beliau selama ini sangat penting, bahkan seorang Kiyai seolah-olah menjadi semacam living curriculum yang selalu mengawasi perilaku anak asuhnya. Perannya sangat sentral dalam memantau perkembangan akhlak santri.
Aku bangga dan bersyukur ditakdirkan menjadi anak kandung beliau, KH Muslim Al-Buchari. Aku sangat hormat kepada beliau. Bukan hanya karena beliau adalah Bapakku tapi juga lebih kepada ilmu-ilmu beliau yang penuh dengan hikmah. Dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana beliau menerapkan budaya ikhlas, kesederhanaan, kemandirian, gotong royong. Mempertahankan kearifan budaya lokal. Menjalankan prinsip-prinsip ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwwah watoniyyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan sesama manusia). Bagaimana selama ini Bapakku selalu mengajarkanku prinsip dengan standar tinggi dengan mengedepankan budi pekerti mulia (akhlakul karimah), berpengetahuan luas, kemerdekaan berpikir. Juga mengajarkan nilai-nilai kebenaran universal berupa tasaamuh(toleransi), tawassuth (moderat) dan tawazun (berimbang). Sungguh ilmu yang sangat berat untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Aku adalah anak bungsunya yang harus menjaga amanah dan kehormatan keluarga dengan berperilaku yang mencerminkan ahlak yang mulia. Betapa beratnya memang harus memegang amanah tersebut namun jika didasari atas ibadah kepada Allah, semua menjadi ringan.  Insya Allah.
Malam itu Ibu kembali menanyakan siapa yang menjadi calon untuk pendamping hidupku kelak.
“Herman. Tidak boleh terlalu lama membujang. Bagimu saat ini pernikahan sudah wajib hukumnya!”, kata Ibu. Bapak yang duduk disebelahnya masih asyik membaca sebuah Kitab.
“Ya Bu. Aku tahu tapi tidak mudah untuk mencari teman hidup?”, kataku.
“Teman hidup itu tidak usah dicari Nak!. Kamu tinggal pilih!”, kata Ibu lagi.
Lho sopo Bu sing arep tak pilih ?”, kataku dengan bahasa khas Jawa Timuran yang artinya ‘siapa Bu yang mau aku pilih?’.
“Herman, kamu itu tinggal pilih saja Bunga, Mutiara atau Annisa. Nah tunggu apalagi?”, kata Ibu. Mendengar apa yang dikatakan Ibuku, aku hanya tersenyum.
Ono opo senyum-senyum?. Nih dengar nak, Bunga itu kurangnya apa?. Juga Annisa?, semua keluarga sudah tahu gadis ini sangat sholehah!. Mutiara?. Walaupun baru kenal tapi rasanya Ibu sangat familiar dengan tatakramanya. Tunggu apalagi Hermansyah?”, kata Ibuku.
“Apa Ibu yakin mereka itu memang suka sama aku?”, kataku balik bertanya.
“Herman tentu saja. Bagaimana Bunga selalu setia sejak SMP dulu. Annisa juga bisa dirasakan akrab dengan Ibu. Mutiara, sewaktu ketemu di Rumah Sakit itu, Ibu juga tahu dia sangat suka kepadamu!”, kata Ibu.
“Kok Ibu yakin sekali mereka menyukaiku?”.
“Herman. Ibu ini seorang wanita!”, kata Ibuku.
Aku hanya tertegun. Instink seorang wanita seperti Ibuku memang harus aku percaya.
“Wah Bu, aku harus istiqoroh!. Tidak bisa menentukan sekarang!”, kataku kebingungan.
“Ya sudahlah kamu sholat istiqoroh mohonlah kepada Allah dan pilihlah yang terbaik menurut PetunjukNya!”, kata Ibu.
“Herman memilih jodoh bukan hal yang mudah. Jangan lupa pilihlah berdasarkan kualitas agamanya dan yang seiman denganmu!”, tiba-tiba suara Bapak menambahkan dalam dialog hangat ini.
“Ya Pak insya Allah!”, kataku pendek. Benar Bapakku memilih jodoh bukan hal mudah. Harus selektif karena istriku nanti akan melahirkan anak-anakku. Ibarat bahan baku harus kualitas prima. Kualitas nomor satu sehingga keturunan yang dilahirkan adalah pribadi-pribadi dengan karakter nomor satu. Lho aku sendiri apakah sudah kualitas nomor satu?. Pusing juga memikirkannya karena masih banyak juga yang harus aku benahi. Memang sih aku anak seorang Ulama tapi yang Ulama kan Bapakku. Aku sendiri hanya seorang anak yang masih butuh bimbingan orang tua. Bapak dan Ibu adalah Panutan dalam hidupku dan aku sangat patuh kepada mereka. Ya memilih calon istri harus banyak pertimbangan.
Tidak terasa liburan di kampungku harus berakhir karena tugas-tugas sudah menunggu di Surabaya. Sepagi ini aku sudah menemani dokter Wili, seniorku dalam tugas operasi seorang Pasien yang mengalami patah tulang akibat kecelakaan di jalan raya. Selama hampir tiga jam itu aku fokus dalam tugas tersebut dan Alhamdulillah operasi tersebut berjalan lancar dan sukses. Siang itu saat istirahat aku meninggalkan Rumah sakit menuju Kantin fakultas untuk makan siang. Saat itu aku dikejutkan oleh kedatangan Mutiara di Kantin itu. Mutiara sudah tahu kalau setiap siang aku biasa makan di Kantin Fakultas.
“Mas Herman sudah mulai aktivitas di Rumah Sakit?”.
“Iya Tiara. Ayo kita makan siang sama-sama!”, ajakku dan Mutiara duduk satu meja bersamaku lalu dia memesan semangkok bakso dan segelas jus jambu.
“Mas ada kabar baik!”, kata Mutiara.
“Alhamdulillah kabar baik apa Tia?”, tanyaku.
“Revisi skripsiku sudah ditanda tangani Pembimbing dan Bulan depan aku sudah bisa Wisuda!”, kata Mutiara dengan suara gembira.
“Tiara selamat ya!”, kataku. Aku mengulurkan tanganku untuk menyalaminya.
“Terima kasih Mas Herman. Ada satu lagi kabar baik dan membahagiakan!”.
“Wah hari ini aku banyak menerima kabar baik dari Tiara nih!”, kataku. Mutiara hanya tersenyum.
“Ricki sudah tertangkap Polisi!”, kata Mutiara.
“Lho Tiara kok bisa?. Siapa yang lapor Polisi?”.
“Aku Mas. Saat itu aku juga akhirnya harus cerita kepada mbak Bunga. Semua sudah aku ceritakan kepadanya!”, kata Mutiara.
“Termasuk cerita kelam itu?”, tanyaku.
“Iya Mas. Tidak apa-apa kini aku semakin merasa banyak orang yang peduli kepadaku termasuk mbak Bunga. Dia gadis yang baik penuh perhatian. Saat dia mendengar ceritaku, mbak Bunga menangis!”, kata Mutiara.
Ya Allah betapa indah skenario yang Kau rancang. Aku tidak perlu menanggung beban dengan bercerita masa lalunya Mutiara kepada Bunga. Jauh lebih baik Mutiara sendiri yang bercerita kepada Bunga. Hal itu bisa terjadi hanya karena kasus penganiayaanku oleh Ricki. Hal yang membuat aku lega, Bunga ternyata menaruh simpati kepada Mutiara walaupun aku sudah menduga sebelumnya. Polisi pasti dengan mudah akan menangkap Ricki yang ruang lingkup operasinya hanya di sekitar Kampus-kampus Surabaya.
“Kalau mbak Bunga tidak mendukungku untuk lapor Polisi mungkin Ricki tidak akan tertangkap!”, kata Mutiara.
“Tiara biarlah semua kasus ini kita serahkan kepada yang berwajib!”, kataku.
“Iya Mas. Aku juga sangat terkesan dengan kebaikan mbak Bunga. Selalu memberiku semangat untuk bangkit!”, kata Mutiara.
“Mas Herman…..!”, kata Mutiara tapi kemudian terdiam tidak melanjutkan kalimat berikutnya.
“Ya Tia kenapa kok jadi diam!?”, tanyaku sambil menunggu kalimat apa yang akan diucapkan wanita yang kukagumi ini.
“Aku merasakan mbak Bunga itu mencintaimu Mas?”.
“Waduh masa sih, kok Tia bisa tahu?”, kataku terkejut. Aku betul-betul terkejut seperti disambar petir.
“Mbak Bunga banyak bercerita tentang kebaikan Mas Herman dan juga keakraban masa-masa sekolah dulu. Mbak Bunga sangat mengagumimu!”, kata Mutiara dengan suara pelan.
“Ah Tiara ada ada saja. Bunga itu juga terlalu lebay!”, kataku mencoba menetralisir dialog ini walaupun aku sebenarnya senang juga mendengar cerita yang belum pernah ku dengar sebelumnya. Apalagi tentang Bunga. Benar apa kata Ibu dan sekarang Mutiarapun mengatakan bahwa Bunga mencintaiku. Namun benarkah demikian?. Aku tidak berani memastikan jangan-jangan ini hanya kesan sepintas saja Mutiara terhadap Bunga. Sebagai seorang sahabat sejak SMP, Bunga tentu saja akan bercerita tentang apa saja yang berhubungan denganku. Hal yang wajar bukan?. Lalu kenapa Mutiara membuat kesimpulan kalau Bunga mencintaiku?. Apakah hal ini untuk menyembunyikan rasa cemburu Mutiara terhadap Bunga?.
Waduh jadi rumit begini ya. Sekarang apa sebenarnya yang sedang aku rasakan?. Aku ini sebenarnya mencintai siapa sih?. Ibarat sebuah lukisan mungkin saat ini aku sedang merancang sketsa-sketsa cinta untuk dirampungkan menjadi sebuah lukisan yang indah.

BERSAMBUNG

Saturday, March 22, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 8

Foto : Hensa/koleksi pribadi


EPISODE 8
BUNGA DAN MUTIARA

Hari ini merupakan hari ketiga aku dirawat di Rumah Sakit. Seperti hari-hari sebelumnya, Mutiara selalu menemaniku dengan setia. Aku bisa memaklumi karena mungkin Mutiara merasa dialah penyebab yang membuat diriku menjadi seperti ini. Sementara itu Bunga diantara kesibukan kuliahnya masih sempat juga menjengukku kemarin, bersamaan dengan kehadiran Bapak dan Ibuku. Hanya sayang sekali saat itu Bunga tidak sempat bertemu dengan Mutiara.  Padahal aku ingin sekali kedua wanita yang kukagumi ini akhirnya saling berkenalan.
Pagi itu Mutiara baru saja memberiku sarapan dan segelas air minum, ketika tiba-tiba saja aku mendengar pintu diketuk dan ucapan salam. Mutiara bergegas membukakan pintu lalu aku melihat di sana Bunga berdiri menatap Mutiara dengan wajah terheran-heran.
“Bunga silahkan masuk!”, kataku. Bunga menengok ke arahku lalu kembali ke arah Mutiara. Aku melihat wajah Bunga seperti penuh dengan sejuta tanda tanya. Siapa gerangan wanita yang ada bersamaku ini. 
“Mari silahkan mbak!”, kata Mutiara juga mempersilah-kan Bunga agar masuk. Kemudian kulihat Bunga mengangguk sambil tersenyum kepada Mutiara. Mereka saling berkenalan sambil menyebut nama masing-masing.
“Bunga!”.
“Mutiara!”.
Selanjutnya suasana kembali cair dan mengalir dalam kesejukkan hati dan keceriaan wajah-wajah cantik kedua wanita itu. Mereka berbincang dan masing-masing saling membuka identitas. Bunga bercerita bahwa aku adalah teman sejak SMP dulu, sedang Mutiara bercerita bahwa aku adalah teman sebagai kakak kelas di Kampus walaupun beda Fakultas.
“Mbak Bunga benar-benar setia bersama Mas Herman bertahun-tahun tidak berjumpa tapi masih saling bersilaturahmi!”, kata Mutiara. Bunga memang berusia lebih tua dari Mutiara karena itu Mutiara memanggilnya ‘mbak’.
“Oh ya aku memanggilmu Tia atau Tiara atau Mutia atau Mutiara?”, tanya Bunga.
“Terserah mbak. Semua panggilan itu baik bagiku!”, kata Mutiara tersenyum.
“Tiara sudah semester berapa sekarang!”, tanya Bunga.
“Semester delapan!”, kata Mutiara.
“Wah udah mau lulus dan wisuda!”.
“Iya mbak kemarin baru saja ujian skripsi mudah-mudahan bisa ikut wisuda bulan depann ini!”, kata Mutiara dengan wajah berbinar bahagia. Aku sangat terharu melihat wajah Mutiara begitu bahagia karena sebentar lagi akan mengikuti Hari Wisuda.
“Oh ya mbak Bunga juga sudah selesai kuliah seperti Mas Herman ini!”, tanya Mutiara.
“Tiara!. Mbak Bunga ini sekarang sedang mengambil Pascasarjana Teknik!”, kataku menengahi ketika aku lihat Bunga hanya tersenyum mendengar pertanyaan Mutiara.
“Jarang lho ada cewek menyukai bidang Teknik apalagi aku lihat mbak Bunga ini penampilannya anggun seperti ini. Mahasiswi teknik biasanya tomboy-tomboy!”, kata Mutiara. Aku dan Bunga tertawa mendengar komentarnya.
Tidak terasa haripun beranjak siang dan Mutiara sepertinya akan berpamitan terlebih dulu.
“Mas Herman. Aku pamit dulu ya  kan ada mbak Bunga yang menemani. Mbak Bunga aku tinggal ya lain kali kita bisa ngobrol lebih seru!”, kata Mutiara.
“Baik Tiara sampai nanti ya!”, kata Bunga.
Mutiara meninggalkan ruangan tempat dimana aku dirawat. Kini hanya tinggal Bunga sendirian  menemaniku.
“Herman. Kamu kok tidak bilang-bilang kalau sudah punya pacar!”, kata Bunga sambil menatapku sedikit agak sewot.
“Pacarku siapa?”, kataku sambil tertawa.
“Mutiara!”, kata Bunga cemberut tapi tetap bagiku dia malah tambah cantik. Mendengar ini aku tertawa kecil. Aku lihat Bunga tambah cemberut. Lalu Bunga kembali berkata:
“Herman. Dia gadis cantik, cerdas, ramah. Kelihatan-nya apa yang kamu suka ada padanya!. Kesan pertama saja aku sudah menyukainya!”.
“Bunga!, itu adalah pendapatmu yang sangat jujur. Aku salut padamu. Belum pernah ada wanita mau menilai kelebihan wanita yang lain!”, kataku. Mendengar ini aku melihat Bunga tersenyum.
“Okey Herman. Sekali lagi aku senang kamu sudah punya calon teman hidup!”, suara Bunga seperti tersekat dalam keharuan dan agak sedikit sendu. Aku jadi berfikir apakah Bunga cemburu?. Apakah benar Bunga mencintai-ku?. Aku tidak berani untuk menjawab pertanyaan ini.
“Nanti dulu Bunga. Aku harus jelaskan!”, kataku.
“Sudahlah Herman. Tidak perlu penjelasan aku sudah melihatnya sendiri. Mutiara begitu sungguh sungguh menemanimu dan merawatmu. Dia gadis yang baik aku bisa rasakan dari tutur kata saat dia bercakap-cakap!”, kata Bunga.
“Ngomong-ngomong kesehatanmu sudah semakin membaik Her. Besok lusa mudah-mudahan sudah bisa pulang!”, kata Bunga mengalihkan pembicaraan. Aku hanya terdiam dan melongo. Akhirnya akupun tidak bisa berkutik menghadapi Bunga. Dulu waktu SMP kalau Bunga sudah ngambek memang aku tidak berdaya menghadapi gadis ini. Rupanya sekarangpun aku masih tetap tidak berdaya menghadapinya. Biarlah nanti pada saat yang tepat aku harus bercerita kepada Bunga siapa sebenarnya Mutiara. Setelah itu bagaimana reaksi Bunga apakah masih ada rasa hormat kepada Mutiara?.
“Hei Herman kondisi medical record mu terakhir bagaimana?”, kata Bunga mengulang pertanyaannya.
“Hasil cek medis terakhir, foto dan laboratorium Alhamdulillah semua baik-baik saja. Besok mungkin aku sudah boleh pulang!”, kataku.
“Alhamdulillah. Herman aku jemput besok dan baiknya kamu istirahat dulu di Pasuruan. Nanti aku akan telpon Ibu biar tidak perlu menjemputmu ke Surabaya!”, kata Bunga.
“Tidak usah Bunga. Kegiatan kuliahmu bagaimana!?”, kataku.
“Jangan kuatir besok hanya ada kuliah pagi!”, kata bunga. Kembali aku tidak bisa menolak pada keinginan Bunga. Aku sendiri heran Bunga selalu ingin berbuat yang terbaik untukku. Apakah dia melakukannya hanya sebatas sebagai seorang sahabat ataukah diam-diam memang Bunga mencintaiku?. Jika tadi reaksi Bunga begitu terlihat nyata saat bertemu dengan Mutiara maka aku merasakan bahwa reaksi itu semacam rasa cemburu. Benarkah?.
Kamis siang itu aku bersyukur akhirnya sudah bisa meninggalkan Rumah Sakit setelah menyelesaikan pembayaran dan urusan administrasi. Ada yang istimewa saat aku pulang dari Rumah Sakit yaitu selain dijemput oleh Bunga ternyata juga Mutiara mau menerima ajakan Bunga untuk menemaninya ke Pasuruan. Kami bertiga dengan city car merk Jepang milik Bunga itu sudah meluncur ke tengah-tengah kemacetan kota Surabaya. Kemudian langsung menuju Tol Surabaya – Porong untuk menuju Pasuruan. Bunga duduk dibelakang kemudi didampingi Mutiara sementara aku duduk sendiri dibelakang. Selama perjalanan itu kulihat Bunga dan Mutiara, dua wanita cantik itu, begitu akrab berbincang sekali-sekali mereka tertawa lepas. Aku sengaja selama perjalanan itu pura-pura tidur sehingga mereka bisa bebas berdialog. Entah mengapa mereka begitu cepat akrab padahal saling berkenalan baru dua hari ini. Mungkin chemistry diantara mereka memang sudah cocok. Atau juga sesama wanita cantik tidak boleh saling mendahului. He he he he kok jadi seperti Bus Kota.
“Aku dulu waktu SMA di Manado mbak!”, kata Mutiara.
“Ceritanya bagaimana bisa terdampar di Surabaya?”, tanya Bunga.
“Cita-citaku memang kuliah Kimia di Surabaya ini dan aku sangat bersyukur cita-cita yang kuimpikan selama ini akhirnya bisa ku gapai!”, suara Mutiara penuh rasa haru. Aku lihat ada air mata menitik dimatanya. Rupanya Bungapun memperhatikan pula.
“Tiara kenapa kau menangis?”.
“Ah enggak apa apa mbak, mungkin aku terharu saja dan saking bahagianya!”, kata Mutiara.
“Iya Tiara aku juga turut bahagia atas kesuksesan kuliahmu!”,kata Bunga.
“Aku juga terharu mbak karena ternyata perjalanan hidup ini tidak selalu lurus. Ada kalanya harus berbelok atau bahkan bisa saja tersesat tidak tahu jalan. Saat mencari arah yang hilang itu hanya Tuhan yang akan memberi Petunjuk!”, kata Mutiara sangat filosofis sekali.
“Tiara. Aku suka kata-katamu itu!”, kata Bunga.
“Mbak itu bukan kata-kataku tapi kata-kata Mas Herman yang sangat berkesan sekali!”, kata Mutiara. Aku lihat Bunga sejenak menengok kebelakang dan aku masih pura-pura tidur.
“Orangnya masih tidur nyenyak Tiara. Biarlah mungkin Herman butuh istirahat!”, kata Bunga dan Mutiarapun menengokku ke belakang.
“Iya mbak biar saja Mas Herman tidur. Nanti saja kita bangunkan saat kita sudah tiba!”, kata Mutiara.
Dalam hati aku tertawa. Rupanya mahluk-mahluk cantik ini mudah saja dibohongi mahluk ganteng sepertiku ini. Hi hi hi sombong. Aku begitu menikmati perjalanan Surabaya – Pasuruan. Nikmatnya adalah mendengarkan dialog-dialog dua mahluk cantik ciptaan Allah ini, Bunga dan Mutiara. Senang sekali rasanya melihat dua wanita cantik ini berbincang akrab. Mereka memiliki perawakan yang sama-sama tinggi semampai. Rambut hitam terurai. Senyum ramah selalu menghiasi bibir manisnya. Tutur kata merdu yang santun. Lembut penampilan dengan aura kecantikan yang hanya bisa dirasakan dengan hati. Sungguh jika aku disuruh memilih apakah Bunga atau Mutiara?. Maka aku akan sulit untuk menentukan pilihanku. Jika ada yang menyarankan pilih saja keduanya. He he he terlalu berat bagiku mengikuti sunah Nabi Muhammad, yang satu ini.

BERSAMBUNG

Sunday, March 2, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 7

Foto : Hensa/Koleksi Pribadi


EPISODE 7
DENGARLAH KATA HATIMU

Dalam dua pekan ini aku sangat padat dengan kesibukan tugas-tugasku namun waktu bersama Mutiara selalu saja ada.  Sejak Mutiara mencurahkan cerita pilunya kepadaku, hubungan kami semakin erat dan akrab. Komunikasi setiap saat selalu ada paling tidak melalui handphone baik sms maupun telephone langsung. Kini Mutiara sudah menjadi hari-hariku. Padahal Bunga awal bulan ini sudah mulai mengikuti kegiatan kuliahnya tapi entahlah saat ini aku seakan disibukkan oleh rasa terhadap Mutiara. Bunga memang pernah sekali bertemu denganku di Rumah Tantenya. Saat itu aku melihat Bunga begitu gembira bisa menempuh studi di Indonesia lagi. Bahkan kesanku saat ini Bunga terlihat sangat bahagia karena bisa sering bersamaku lagi seperti saat saat masa SMP dulu. Entahlah.
Saat ketika sore hari itu aku menyempatkan diri mampir ke tempat Kost Mutiara di Jalan Bali, aku menerima sambutan hangat Mutiara dengan keramahannya dan senyum manisnya. Kami mengobrol di teras Paviliun itu.
“Mas baru dari Rumah sakit ya!”.
“Iya langsung ke sini!”,kataku.
“Mas Herman kangen ya!”, kata Mutiara bercanda tapi membuat hatiku berdebar dihembus angin syurga. Aku hanya tertawa mendengar selorohnya Mutiara.
“Siapa yang nggak kangen. Aku ini datang sengaja untuk yang ngangeni aku!”, kataku juga berseloroh tidak kalah dengan Mutiara. Mendengar ini, Mutiara tertawa merdu. Wajahnya terlihat berbinar bahagia. Ya Allah selama ini aku belum pernah melihat wanita cantik ini menampakkan wajah berbinar seperti sore ini. Saat dulu sering kutemui di Halte itu, hari-harinya selama ini adalah wajah dingin, sendu, penuh misteri. Hanya karena dia cantik maka semua kesedihannya ditutupi dengan keteduhan wajahnya. Mutiara semoga sudah kau temukan lagi jati dirimu yang dulu pernah terkoyak walau mungkin sudah tidak lagi utuh. Tak apalah karena tidak ada yang utuh dalam hidup ini kecuali cintaNya.
“Mas Herman bisa saja. Memang benar kok Tiara kangen!”, kata Mutiara tersenyum manis. 
“Klop sudah orang kangen ketemu orang kangen!”, kataku.
Begitulah gambaran hari-hari bersama Mutiara. Semakin lama semakin akrab. Walaupun begitu aku sendiri masih belum mengutarakan rasa cintaku. Bisa dikatakan mungkin pergaulanku dengannya seperti  model persahabatan. Tentu saja bukan model “pacaran” seperti anak muda pada umumnya. Aku memang anak muda yang boleh dibilang kuper alias kolot dalam bidang dunia pergaulan anak muda sekarang. Namun aku bangga bisa menjaga prinsipku yang sesuai dengan agama yang aku anut. Oleh karenanya aku tetap selalu menjaga jarak terhadap Mutiara. Teringat saat Mutiara memelukku ketika dia mengekspresikan kegembiraannya karena lulus ujian skripsi. Sungguh aku terkejut. Jujur saja itu pertama kali aku dipeluk oleh wanita. Jujur juga aku merasakan kenyamanan sebagai seorang lelaki. Darah lelakiku bergelora memanas, namun sekali lagi aku bersyukur saat itu prinsip nalarku tetap bekerja dengan baik sehingga semua masih terkendali hingga saat ini. Mutiara bukan muhrimku. Setiap teman priaku selalu mencemooh bahwa aku seorang lelaki dengan prinsip yang kuno. Mereka heran masih ada lelaki semacamku dizaman yang serba terbuka ini. Zaman yang serba buka-bukaan. Anehnya ketika Mutiara tahu aku ini lelaki seperti itu, dia malah bersyukur bisa bertemu denganku.
“Mas Herman. Kepada Tuhan aku bersyukur bisa berteman dengan lelaki yang sangat hormat kepada wanita!”,kata Mutiara suatu hari ketika kami berbincang di koridor Kampus.
“Mas Herman, kau telah memperlakukanku secara terhormat dan itu telah membuatku menjadi seorang wanita sesungguhnya!”,kembali suara Mutiara lagi.
“Jangan berlebihan Tiara. Jika aku memiliki rasa hormat kepadamu bahkan kepada siapapun sesungguhnya aku juga sebenarnya sedang menghormati Sang Pencipta!”, kataku.
“Iya Mas. Saat ini aku semakin yakin bahwa Tuhan itu Maha Baik!”, kata Mutiara.
Hari-hari bersama Mutiara kelihatannya akan berjalan baik dan semakin baik. Semoga saja harapanku agar Mutiara menemukan kembali jati dirinya semakin terwujud.
Malam itu aku baru saja selesai tugas jaga dan baru bisa pulang ke tempat kost sudah hampir tengah malam. Saat itu aku baru saja memasuki halaman rumah kostku tiba-tiba ada tiga orang lelaki berbadan tegar menghadangku. Aku tidak mengenal mereka namun salah satunya aku seperti mengenalnya. Ya benar dia Ricki. Oh Tuhan ini yang pernah aku kuatirkan tempo hari. Pasti Ricki menganggap akulah biang keladinya sehingga dia kehilangan tambang emasnya. Rupanya tanpa basa basi lagi Ricki memberi kode kepada dua temannya agar segera saja menghabisiku. Satu, dua, tiga gerakan aku masih bisa berkelit dan memberikan perlawanan. Tapi apalah daya jurus-jurus silatku menjadi tidak berarti ketika sepasang tangan berotot kekar itu berhasil memeluk tubuhku lalu aku benar-benar terkunci. Entah sudah berapa pukulan Ricki yang melayang bertubi-tubi ke tubuh dan mukaku. Saat itu kepalaku terasa berat dan rasa sakit serta darah yang mengucur di wajahku semakin membuatku tak berdaya.  Aku seakan melayang di tempat yang gelap dengan rasa sakit yang luar biasa. Setelah itu aku sudah tidak lagi merasakan apa-apa.
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Mataku mulai terbuka walau masih terasa berat. Ternyata aku sudah terbaring di Ruang IGD. Kepalaku masih terasa sakit. Aku baru sadar disampingku ada genggaman tangan lembut Mutiara yang saat itu masih terisak memandangku. Aku hanya melihat bibirnya memanggil namaku. Aku memandang ke arah Mutiara.
“Mas Herman syukurlah sudah siuman!”, kata Mutiara. Aku hanya tersenyum lemah. Tiba-tiba kulihat dokter dan seorang Perawat menghampiriku. Dari keterangan dokter ternyata aku harus bersyukur karena tidak terjadi hal-hal yang mengerikan dengan luka-luka di kepalaku. Memang ada benturan namun tidak sampai mengakibatkan gegar otak. Luka-luka bekas pukulan dipelipis mataku hanya luka robek dan bengkak tidak sampai merusak bagian mata. Alhamdulillah rasa syukur ini kepadamu aku haturkan.
Selama dirawat di Rumah Sakit, Mutiara hampir setiap hari selalu menemani. Pada hari kedua Ibu dan Ayahku datang menjenguk. Mereka berkenalan dengan Mutiara yang saat itu juga bersamaan menjengukku. Ayah dan Ibu merasa prihatin melihat keadaanku. Ketika ditanya tentang kejadian malam itu, aku hanya bercerita bahwa aku memang dikeroyok Preman-preman yang mau memerasku. Ayah dan Ibu kelihatan sangat khawatir dengan keadaanku.
“Herman apakah Bunga belum tahu kalau kamu dirawat di sini?”, suara Ibuku.
“Belum Bu!”, kataku. Ibuku mengambil HP nya lalu kulihat dia menelpon Bunga.
“Herman! Sebentar lagi Bunga mau menjengukmu!”.
“Iya Bu terima kasih!”.
“Oh ya Nak Tiara ini juga kuliah di Kedokteran?”, tanya Ibuku kepada Mutiara.
“Saya kuliah di Kimia Bu!”, jawab Mutiara ramah.
“Sudah semester berapa sekarang?”, tanya Ibuku menyelidik. Ibu memang suka begitu kalau melihat ada calon mantu yang cantik he he he. Aku masih bisa bergurau ya walaupun saat ini kepalaku dan wajah memarku menyiksaku.
“Bu!”, kataku menyela obrolan mereka. “Mutiara itu sudah ujian skripsi dan sudah lulus sebentar lagi mau di wisuda!”, kataku menjelaskan.
“Wah hebat Nak Tiara. Selamat ya!”, kata Ibuku.
“Terima kasih Bu!”,kata Mutiara. Tiba-tiba HP Mutiara berdering. Mutiara menerima panggilan tetap di ruang itu.
“Iya Pak, bisa sekarang saya segera menemui Bapak!”, kata Mutiara lalu menutup pembicaraan.
“Mas Herman. Aku harus ke Kampus mau ketemu Pembimbingku. Aku pamit dulu ya Mas. Segera sembuh!”, kata Mutiara dengan suara pelan. Mutiarapun berpamitan kepada Ayah dan Ibuku kemudian bergegas meninggalkan kami. Tak lama setelah Mutiara pergi kulihat Bunga masuk ke ruangan di mana aku dirawat. Aku melihat wajah Bunga begitu cemas.
“Herman apa yang terjadi. Ya Allah!”, suara Bunga ketika melihat keadaanku yang memang mengalami babak belur ini. Ayah menjelaskan kepada Bunga apa yang terjadi dengan diriku. Betapa aku merasakan kecemasan Bunga dengan keadaanku sama dengan kecemasan seorang Mutiara.
“Herman. Ayahku punya kolega di Polda kalau perlu bisa dicari preman-preman itu. Kamu bisa laporkan atas tindakan kekerasan mereka terhadapmu!”, kata Bunga. Tentu saja Ayah Bunga adalah seorang Petinggi Militer di Jakarta. Beliau bisa saja tinggal telpon ke koleganya di Polda, tapi aku tidak mau memperpanjang masalah.

“Terima kasih Bunga!. Biarlah aku tidak akan memperpanjang perkara ini. Aku sudah merasa bersyukur masih diberikan kesempatan hidup oleh Allah!”, kataku.  Bunga hanya terdiam. Gadis anggun ini saat diam seperti ini menambah aura indah di wajahnya. Ada keteduhan dan kedamaian saat memandangi wajah anggun itu. Bunga dan Mutiara memang dua wanita yang diberi anugerah kecantikan sejati seorang wanita. Banyak persamaan diantara mereka. Hanya nasib saja yang membedakan mereka. Mutiara yang bernasib Malang sedang Bunga adalah kesempurnaan seorang wanita ideal, cerdas dan cantik. Aku tiba-tiba saja membayangkan bagaimana kalau mereka bertemu dan berkenalan oh alangkah menariknya momen tersebut dapat aku nikmati. Dua wanita cantik yang sama-sama sangat aku kagumi. Namun jika saatnya tiba  aku harus memilih maka aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ada bisikan halus yang tiba-tiba saja singgah mengatakan bahwa aku harus mendengar kata hatiku.  

BERSAMBUNG