Saturday, April 30, 2016

EPISODE CINTA DAISY LISTYA (19)


Foto Hensa


Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode 19
DIALOG KECIL DI SEBUAH KANTIN
Sejak peristiwa fragmen satu babak di Bandung itu, Kinanti sangat jarang lagi berkomunikasi denganku. Sudah sebulan berlalu dan Kinanti hanya dua kali menghubungiku melalui hand phonenya. Satu kali saat dia membalas smsku tentang kapan tanggal pernikahan mereka dan satu lagi saat Kinanti memberitahukan bahwa dia sedang di Surabaya tapi tidak sempat mampir. Sebenarnya semakin jarang berkomunikasi dengan Kinanti semakin baik baginya dan bagiku tentunya. Kinanti bisa fokus mempersiapkan pernikahannya yang hanya tinggal sebulan lagi dari sekarang. Ya bulan depan Kinanti Puspitasari sudah menjadi istri Eko Priotomo. Saat saat seperti ini apa sebenarnya yang kurasakan. Kehampaan hati?. Karena tiadanya cinta dari dambaan hati selama ini?. Ataukah kehampaan hati dari ketiadaan teman hidup?. Hati terasa hampa, kosong akibat dari kesendirian?. Entahlah aku tidak pernah bisa menjawabnya.
Aktivitasku hari ini benar-benar super sibuk. Menjadi Penguji dalam ujian skripsi beberapa Mahasiswa S1. Setelah jam istirahat ada meeting di Gedung Rektorat sampai sore acaranya pembahasan program fakultas dan rencana kerja sama dengan Australia bahkan acaranya masih dilanjutkan besok paginya.  Kesibukan kesibukan seperti itu ternyata tidak juga mampu menghilangkan rasa kesendirianku. Sore itu Kampus sudah mulai sepi sementara aku di Ruang kerjaku masih termangu memegang ponsel sambil membaca berulang-ulang sms nya Kinanti yang benar-benar sangat berkesan :
”Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”
Mungkin hanya sms Kinanti ini yang sekarang bisa menghiburku. Bagiku sms ini sangat berharga karena aku bisa merasakan ternyata Kinanti juga mencintaiku. Hanya saja  Kinanti merasa tidak layak cintanya harus disamakan dengan cinta Daisy Listya  yang dianggapnya jauh lebih tulus dan lebih luhur daripada cintanya. Namun apakah mungkin aku masih bisa meraih cinta Daisy Listya?. Jelas tidak mungkin. Sebenarnya yang paling mungkin adalah aku bisa meraih cinta Kinanti apalagi Listya sudah merestui. Namun kenapa Kinanti masih juga tidak mau membuka hatinya untukku? Terakhir aku ketahui bahwa Intan, putrinya lebih merestui diriku sebagai teman hidupnya namun kenapa Kinanti memilih Eko?
Dalam dua hari ini kembali aku ada di Bandung menjadi Pembicara Seminar Farmasi Universitas Pajajaran di Jatinangor. Aku teringat kalau Intan sekarang kuliah di Kampus ini. Mumpung aku masih ada di Kampus ini kucoba menghubunginya melalui nomor selulernya.
”Hallo! Om” suara seorang gadis menjawab panggilan ponselku.
”Intan bagaimana khabar?” kataku.
”Alhamdulillah baik Om. Bagaimana dengan Om Alan sendiri?. Kok lama gak pernah telpon ke Bandung?” mendengar ini aku hanya tertawa.
”Sekarang Om Alan justru sedang di Bandung bahkan sedang di Kantin Fakultasmu!” kataku.
”Ah jangan bercanda Om. Aku kepingin ketemu tunggu disitu ya Om!” kata Intan penuh gembira. Hanya beberapa menit aku lihat Intan memasuki Kantin Kampus dan langsung menuju mejaku.
”Assalaamu a’laikum Om Alan!” sapa gadis ini.
”Wa a’laikum salaam. Silahkan duduk Intan!” kataku mempersilahkan duduk. Aku lama tidak berjumpa dengan Intan. Kecantikan ibunya nampak sekali ada dalam diri gadis berusia 19 tahun ini. Terutama matanya yang indah. Wajah oval dibalut jilbab dengan hidung bangir dan bibir selalu penuh dengan senyum sungguh Intan Permatasari adalah gadis penuh pesona. Intan bagiku seperti Kinanti muda. Melihat Intan aku jadi teringat Kinanti. Anak gadis Kinanti ini benar-benar mewarisi semua kecantikan ibunya termasuk kecerdasannya.
”Om Alan sudah kangen nih sama Intan!” kataku sungguh sungguh.
”Kangen sama aku apa sama Ibu?” kata Intan tertawa. Akupun menjelaskan kepada Intan sedang ada acara Seminar selama dua hari ini di Kampusnya.
”Oh ya bagaimana Ibu baik-baik?. Persiapan pernikahannya lancar-lancar saja kan!” aku memang sengaja bertemu Intan hanya ingin mencari kabar tentang Kinanti, Ibunya.
”Iya Om mudah-mudahan lancar. Sedang mencetak Undangan tapi belum selesai. Tapi Om Alan, akhir-akhir ini Ibu sering murung. Aku juga tidak tahu kenapa. Aku tidak berani bertanya!” suara Intan pelan.
”Mungkin bukan murung itu karena Ibumu sedang fokus memikirkan acara pernikahan itu!” kataku mencoba menetralkan anggapan Intan.
”Om pernah suatu hari Ibu bertanya padaku apakah Ibu pantas menerima cinta Om Alan. Lalu aku menjawab tentu saja Bu. Namun aku jadi heran yang terjadi Ibu malah menerima lamarannya Om Eko!” kata Intan lagi. Mendengar ini aku terdiam. Aku yakin Kinanti memang mencintaiku apalagi jika membaca sms nya tempo hari isinya sudah bernada mengutarakan cintanya. Memang kadang-kadang wanita itu sulit diduga. Begitu sulit diduga walau hanya sekedar ingin tahu saja perasaan hatinya sedang sedih ataukah gembira apalagi menduga perasaan cintanya.
”Hei Om Alan kok melamun!” suara Intan mengagetkanku. Aku hanya tersenyum.
”Oh ya Om apakah Ibu tahu sekarang Om Alan sedang ada di Bandung?”
”Tidak Intan. Ibumu tidak tahu, memang Om Alan sengaja tidak memberitahu Ibu ya takut mengganggu kesibukannya!” kataku. Intan hanya mengangguk tanda setuju. Dialog kecil di sebuah Kantin Kampus itu bagiku sangat berarti. Banyak informasi tentang Kinanti yang aku dapat dari Intan. Ada hal yang menarik dalam pertemuan di Kantin itu, ketika kami berpisah Intan masih sempat berkata kepadaku : ”Om Alan tetap semangat dong. Cinta sejati harus diperjuangkan!” kata Intan sambil tersenyum manis. Aku tertawa mendengar kata kata itu.  Akhirnya kamipun berpisah diujung pintu Kantin itu.
Sejak dialog kecil di Kantin Kampus tiga hari yang lalu itu rupanya komunikasi dengan Intan semakin sering saja. Pembicaraan yang diceritakan Intan seputar kemurungan Kinanti, ibunya dan persiapan pernikahannya. Setiap malam ada saja yang diceritakan Intan melalui ponsel. Kadang-kadang aku sendiri yang sengaja telpon Intan untuk mengetahui situasi terkini tentang Kinanti.
”Om, aku pernah cerita sama Ibu bahwa lelaki yang cocok untuk Ibu itu hanya Om Alan. Aku juga bilang bahwa Om Alan pantas menjadi Ayahku!” kata Intan suatu malam ketika kami berbincang.
”Oh begitu lalu apa jawaban Ibumu?” tanyaku penasaran.
”Ibu menjawab bahwa Ibu itu tidak layak menerima cinta Om Alan karena ada wanita lain yang cintanya lebih luhur dan tulus!” begitu kata Ibu.
Mendengar cerita itu aku hanya terdiam. Kinanti tetap sangat menghormati Listya dan anehnya Listya sendiri sudah ikhlas cintanya diambil alih oleh Kinanti. Listya rela jika aku menjadi suami Kinanti. Oh Tuhan harus bagaimana aku menghadapi dua wanita luhur budi ini. Faktanya aku harus merelakan mereka menikah dengan pilihan hatinya masing masing. Listya sudah menjadi istri Rizal Anugerah dan Kinanti sebentar lagi akan menjadi istri dari Eko Priotomo. Kadang aku befikir sebenarnya Allah ini sedang merencanakan apa terhadapku. Rencana apa dan bagaimana untuk perjalanan hidupku. Rencana siapa jodohku. Terbukti ada tiga wanita yaitu Diana Faria, Daisy Listya dan Kinanti Puspitasari yang masih juga belum dizinkan Allah untuk menjadi teman hidupku. Mereka adalah wanita-wanita pilihanNya yang sangat istimewa dalam hatiku. Sementara usiaku semakin lama semakin menuju ujung hari senja. Apakah Allah akan membiarkanku tetap sendiri karena selalu terbelenggu dengan masa laluku.  Aku tidak boleh ragu dengan ketetapanNya yang selalu menjadi yang terbaik. Tetap optimis dan harus menjalani hidup ini apa adanya. Aku jadi  ingat kata-kata Intan : ”Om Alan tetap semangat dong. Cinta sejati harus diperjuangkan!” Ha ha ha aku jadi tertawa sendiri.
 Malam ini aku baru saja selesai mengoreksi beberapa skripsi dan masih sedang membaca sebuah thesis S3 ketika tiba-tiba Intan menelponku. Gadis ini ingin menyampaikan berita yang sangat penting sekali.
”Om Alan maaf Intan telpon malam-malam begini karena ada berita yang tidak menggembirakan!” kata Intan diujung telpon. Aku bertanya-tanya berita tentang apa sehingga tidak menggembirakan.
”Ada berita apa Intan?” kataku penasaran.
”Ibu membatalkan pernikahannya dengan Om Eko!” kata Intan.
”Apa yang terjadi dengan Ibumu?” tanyaku terheran heran.
”Ceritanya panjang Om. Ibu sekarang masih menangis di kamarnya!” kata Intan. Aku sebenarnya ingin bicara dengan Kinanti namun saat ini bukan saat yang tepat untuk bicara dengannya.
”Om Alan mau menolong Intan?” tanya Intan.
”Tentu saja mau tapi maksud Intan bagaimana?” tanyaku.
”Temui Ibu di Bandung dan Om Alan harus bisa membuat Ibu tidak bersedih karena peristiwa ini!” kata Intan.
”Baik Intan. Hanya Om Alan masih belum mengerti penyebab pernikahan ini harus dibatalkan!” tanyaku.
”Menurut Ibu ada pihak yang berhianat dan Ibu menyaksikannya sendiri penghianatan itu!” kata Intan.
”Ibumu menyaksikan sendiri apa yang terjadi dengan penghianatan itu?” tanyaku.
”Biar nanti saja ceritanya Om!” kata Intan.
”Oke Intan besok pagi Om Alan ke Bandung tapi apakah Ibumu mau bertemu dengan Om Alan!” kataku ragu.
”Tentu saja mau Om. Ini saja Intan disuruh Ibu untuk telpon Om Alan!” kata Intan.
Batalnya pernikahan Kinanti entah kenapa membuat hati merasa lega. Apakah itu artinya aku kembali memiliki harapan terhadap Kinanti? Belum tentu. Aku hafal betul siapa Kinanti Puspitasari. Wanita tangguh yang sangat sukar ditundukkan. Bagiku cinta wanita itu harus diperjuangkan sepenuh hati. Semakin sulit perjuangan itu maka semakin tinggi mutu dari cinta yang aku peroleh karena cinta dengan mutu tinggi tidak mudah untuk didapatkan. Apakah aku masih punya harapan pada cinta itu? Aku harus yakin Allah akan mendatangkan kebahagiaan kepada orang yang harapannya telah terputus. Hal ini agar semua mahlukNya terdorong untuk mengalihkan harapannya kepada Allah dan mensucikan niat untuk bertawakkal kepadaNya. Tiada harapan sebaik baik harapan kecuali selalu mengharapkan cintaNya. 
”Om Alan tetap semangat dong. Cinta sejati harus diperjuangkan,” nah inilah kata kata Intan Permatasari, putri Si mata wayang Kinanti yang membuat aku kembali bersemangat untuk mengejar cintaku yang hilang.


BERSAMBUNG Episode 20 

EPISODE CINTA DAISY LISTYA (18)

Foto Fiksiana Community


Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode 18
MENIKMATI HARI INI
Walaupun rasa penat masih terasa namun aku tetap harus berangkat ke Kampus. Banyak yang harus aku kerjakan. Tumpukan skripsi dan thesis mahasiswa bimbinganku yang harus aku revisi dan tentu saja beberapa kertas kerja dan makalah yang dalam dua hari ini masih terbengkalai padahal deadline nya sudah semakin dekat.
Seperti biasa setelah berjuang dengan kemacetan lalu lintas Kota Surabaya akhirnya aku tiba di Kampus. Langsung saja aku menuju ruanganku di lantai 2 Fakultas Farmasi. Aku lihat meja kerjaku berantakan tidak karuan, padahal aku biasanya selalu merapikan meja sebelum pulang namun beberapa hari ini kebiasaan baikku itu entah hilang kemana. Efek psikologis dari hati yang sedang galau telah ditunjukkan oleh kondisi berantakannya meja kerja he he he. Aku merapikan meja kerja itu. Satu demi satu kertas, buku buku dan apa saja yang ada disitu dirapikan atau disingkirkan dan ditempatkan kembali ke dalam laci atau rak buku. Tiba-tiba selembar kertas terjatuh lalu aku pungut kembali. Ternyata sebuah Undangan Peresmian Apotek dari Audray siang ini.
Apotek ini berada di Pucang Adi. Audray Lin salah satu dari mahasiswiku yang punya prestasi baik. Audray berasal dari Malaysia mempunyai Tante yang menikah dengan Pria Tionghoa kelahiran Surabaya. Selama kuliah di Fakultas Farmasi, Audray tinggal dengan Tantenya. Gadis ini sangat ceplas-ceplos dan agresif. Logat Malaysianya memang sudah hilang karena tinggal di Surabaya paling tidak sudah 4 tahun lebih. Sebenarnya aku paling risi menghadapi Audray ini sejak dia masih mahasiswa dulu sering menggodaku dan Audray adalah tipe gadis yang agresif apalagi dia tahu aku masih bujangan. Aku teringat ketika dia menjadi biang keladi hampir retaknya hubunganku dengan Listya. Ah lupakanlah yang sudah berlalu. Aku lihat kembali Kartu Undangan dari Audray. Mengharap kehadiran Bapak/Ibu/Sdr dalam rangka peresmian APOTEK SENTOSA. Inshaa Allah aku harus hadir untuk memberikan apresiasi kepada Audray. Bagaimanapun juga dia adalah mahasiswiku yang berprestasi dan patut untuk dihargai.
Siang itu aku sudah berada di Apotek Sentosa. Melihat aku datang, Audray menyambutku dengan senyum dan perasaan gembira. Aku sempat terpana memandang Audray dengan cara berpakaiannya. Audray terlihat anggun dengan rambut terurai. Tidak lagi kulihat rok mini yang ketat yang mempertontonkan keseksiannya. Ternyata Audray Lin bisa juga berdandan anggun seperti ini. Berpakaian tertutup rapi sopan justru memberi kesan kecantikannya yang asli dengan kecantikan wajah khas oriental. Aku memang masih terpana terkagum kagum dan tabiat lamaku akhirnya kambuh juga dengan ceplosnya memuji Audray.
”Ah pak Alan bisa saja. Terima kasih pujiannya!” kata Audray. Aku juga terperanjat dengan respon jawaban Audray yang sopan penuh kewajaran. Tidak ceplas ceplos seperti biasanya. Aku dipersilahkan duduk di barisan kursi paling depan. Audray masih sibuk melayani tamu-tamu lainnya sementara aku ditemani Omnya mengobrol akrab. Bagi keluarga ini memang aku dikenal baik karena dulu juga sering berkunjung ke rumah keluarga ini. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Kebanyakan tamu-tamu itu adalah rekan-rekan bisnis Tante dan Omnnya. Acara Pembukaan itu singkat saja. Sambutan dari Pak Tanuwijaya, omnya Audray juga singkat. Tak lupa beliau memperkenalkan Apoteker yang menangani Apotek Sentosa yaitu Audray Lin. Acara dilanjutkan dengan ramah tamah dan makan siang. Setelah makan siang itu aku segera berpamitan karena harus mengisi kelas Pasca Sarjana. Audray sempat mengantarku sampai tempat parkir mobil.
”Pak Alan terima kasih kehadiran dan dukungannya!” kata Audray.
”Sama sama Di. Sekali lagi selamat ya dan semoga sukses dengan bisnismu!” kataku. Audray hanya mengangguk tersenyum. Akupun segera berpamitan dengan melambaikan tanganku.
Sepanjang perjalanan menuju Kampus aku sempat tidak percaya bahwa Audray Lin ternyata bisa juga seanggun itu. Aku sangat terkesan dengan Audray Lin pada pertemuan siang ini. Hanya sebentar bertemu tapi pertemuan itu sangat berkualitas. Aku jadi teringat sejak peristiwa foto-fotoku dengannya yang membuat Daisy Listya prihatin dan berburuk sangka kepadaku. Sejak itu Audray banyak berubah dan yang lebih terharu bagaimana Audray merasa menyesali semua yang dia lakukan. Saat itu dia sudah minta maaf kepadaku juga kepada Listya atas foto foto rekayasanya. Pada kesempatan lain Audray pun sempat mencurahkan semua isi hatinya kepadaku. Pengakuan seorang gadis masa kini yang tegas  dan jujur.
”Pak Alan. Aku menyadari bahwa aku bukan orang yang menjadi impian Bapak selama ini!” kata Audray ketika kami berbincang bincang di beranda rumahnya.
”Apalagi aku adalah gadis dengan etnis Tionghoa dan seorang Katholik tentu semakin menjadi jauh dari kriteria Bapak!” kata Audray lagi.
”Didi!” aku memanggil Audray dengan panggilan kecil keluarganya yaitu Didi.
”Jangan berkata seperti itu. Semua manusia itu sama yang membedakan dihadapan Tuhan adalah sejauh mana pengabdian dan kesetiaan kepadaNya” kataku menjelaskan.
”Didi  berbicara mengenai jodoh sebaiknya serahkan kepadaNya. Dialah yang Maha Tahu pilihan teman hidup terbaik untuk kita!. Dia lah sebaik baik Penentu” kataku.
”Pak Alan kadang kadang aku iri kepada Listya. Dia seorang wanita yang lembut begitu ramah cara bertutur katanya kepada siapapun. Listya adalah wanita rupawan yang juga berhiaskan hati yang cantik!” suara  curahan hati Audray keluar dari bibirnya dengan wajah yang mendung.
”Di, kecantikan itu sangat relatif. Kamu juga cantik. Seharusnya banyak bersyukur kepada Tuhan. Memiliki tubuh yang ideal impian bagi kebanyakan gadis-gadis. Pasti banyak gadis-gadis yang iri padamu. Semua lelaki juga pasti suka kepadamu. Kecantikan fisik ini semakin menjadi tinggi nilainya ketika kau mau menutupinya dengan rapi dan menghiasinya pula dengan budi pekerti yang luhur!” kataku lagi dengan khotbah yang lebih panjang. Namun aku melihat ada secercah bahagia di wajah Audray ketika dia mendengar kata-kataku itu.
”Terima kasih Pak Alan. Memang cinta itu tidak bisa dipaksakan. Cinta harus memiliki frekuensi dan chemistry yang sama!” kata Audray.
Dialog tadi adalah saat-saat terakhir kami bertemu Audray dan kembali aku berjumpa Audray saat peresmian Apoteknya. Aku melihat Audray yang kujumpai kali ini adalah Audray yang baru terlahir kembali. Audray yang penuh percaya diri. Audray yang sudah tidak lagi mempedulikan apakah dia seorang Tionghoa atau Katholik atau siapapun tapi Audray yang peduli dengan dirinya sendiri sebagai hamba Sang Pencipta. Audray yang memiliki hak yang sama dan kewajiban yang sama. Hak untuk dicintai dan kewajiban untuk mencintai. Selanjutnya Tuhan lah yang menentukan jodoh terbaiknya dan Tuhan Maha Mengetahui serta sebaik-sebaik Penentu.
Tidak sadar rupanya kata-kata itu juga bisa berlaku kepadaku. Alan mempunyai  hak untuk dicintai dan kewajiban untuk mencintai dan Tuhan Maha Mengetahui serta sebaik-sebaik Penentu. He he he lamunan kecil itu aku akhiri ketika aku sudah memasuki pelataran parkir Fakultas. Aku segera begegas menuju ruang kerjaku mengambil laptop dan bahan-bahan untuk memberikan kuliah lalu menuju Gedung Pasca Sarjana yang berada dua blok dari Fakultas Farmasi. Waktu dua jam memberikan kuliah berlalu begitu saja. Ya itu hanya rutinitas biasa. Sudah berapa banyak mahasiswa yang juga menganggap bahwa kuliah kuliah yang mereka terima adalah rutinitas yang harus dilalui semata mata hanya untuk menggapai rutinitas berikutnya. Mungkin dulu ketika aku masih mahasiswa seperti mereka sama saja memiliki pola fikir seperti itu. Memang sangat jarang orang menuntut ilmu untuk ilmu pengetahuan itu sendiri namun kebanyakan mereka menuntut ilmu untuk kepentingan materi. Untuk saat sekarang ini terlalu idealis memiliki sikap seperti itu yang sedikit dimiliki orang banyak. Oh rutinitas mengapa harus membelengguku?. Nanti dulu jangan merasa terbelenggu oleh rutinitas. Aku jadi teringat apa yang dikatakan seorang Filsuf Terkenal Penulis Kitab Ihya Ulumuddin yaitu Imam Al-Ghozali. Simak apa yang dikatakannya.
”Hari ini adalah milikmu. Jika tiba waktu pagi, janganlah engkau menunggu petang datang. Hari ini adalah hari yang sebenarnya engkau menghirup udara, hidup dan membuka mata. Hidupmu adalah hari ini. Hidupmu bukan hari kemarin yang telah meninggalkan kenangan baik maupun kenangan buruk. Janganlah engkau tenggelam dalam mengingat masa lalu. Jangan pula terlena merenungkan keindahan hidup yang pernah dulu kau jalani. Namun hidupmu juga bukan hari esok yang belum tentu engkau akan menjumpainya. Janganlah engkau terlena pada harapan harapan dan angan-angan masa depan. Jangan pula engkau merasa cemas dan takut untuk menghadapi hari esok. Lebih baik fikirkan saja hari ini. Hari ini adalah hidupmu, hari yang telah dinaungi oleh sinar Matahari dan engkau mendapati waktu siangmu adalah harimu yang sebenarnya. Oleh karena itu usiamu hanya sehari yaitu hari ini. Maka tanamkanlah di dalam hatimu sebuah kehidupan yang nyata pada hari ini seakan akan dirimu dilahirkan pada hari ini dan mati pada hari ini pula”
Sungguh indah ungkapan yang sangat filosofis ini telah membuatku benar-benar menikmati hari ini. Nikmatilah hari ini. Nikmatilah rutinitas. Nimatilah kemacetan lalu lintas. Nimmatilah kegalauan hati. Nikmatilah kesibukan. Nikmatilah skripsi skripsi dan thesis yang menumpuk untuk dikoreksi. Nikmatilah kesepian dan kehampaan hati. Nikmatilah waktu yang membosankan. Nikmatilah kejenuhan. Nikmatilah kesendirian. Nikmatilah rasa kehilangan. Nikmatilah. Sungguh benar-benar aku menimati hari ini. Lalu bolehkah aku menimati hari ini dengan membaca ulang sms Kinanti yang kemarin? Kubaca kembali sms Kinanti yang satu ini :
”Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”
Ternyata menikmati hari ini dengan membaca sms Kinanti jauh lebih bermakna dari pada merenungi nasib ditinggalkan Kinanti menikah dengan Eko Priotomo. Oleh karena itu untuk sementara lupakanlah hari esok ketika Kinanti akan bersanding dengan calon suaminya. Memang faktanya bahwa kebahagiaan itu adalah ketika orang yang aku cintai mendapatkan kebahagiaannya. Akupun tidak pernah ragu tetap menatap hari esok dengan senyum. Ya dengan senyum. Mungkin senyum kepedihan.

Tersadar dari lamunan ternyata aku masih menikmati hari ini. Alhamdulillah.


BERSAMBUNG Episode 19 

Thursday, April 28, 2016

EPISODE CINTA DAISY LISTYA (17)


Foto Fiksiana Community


Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode 17
FRAGMEN SATU BABAK
Sabtu ini aku sedang di Bandung namun sengaja aku tidak memberi kabar Kinanti. Hari Kamis dan Jumatnya, aku menghadiri acara di Badan Akreditasi Nasional Jakarta. Seperti kebiasaanku, Sabtu dan Minggu nya aku pasti mampir ke Bandung untuk melepas rindu kepada Ibuku. Ya kali ini hanya melepas rindu kepada Ibuku bukan lagi melepas rindu kepada Kinanti karena Kinanti sudah ada yang punya. He he he  kalimat itu kok terasa memilukan. Sabtu pagi-pagi aku sudah beraktivitas dengan berolah raga jalan sehat walau hanya keliling komplek Perumahan tapi lumayan karena sekujur tubuh banjir dengan keringat.
Setelah mandi dan sarapan pagi, akupun rasanya ingin menyusuri jalan-jalan Kota Bandung. Untuk menghindari kemacetan aku memang sengaja menggunakan sepeda motor. Baru saja keluar dari komplek Perumahan di hadapanku sudah menghadang  kemacetan lalu lintas. Sepanjang jalan Cibaduyut itu memang biangnya kemacetan terutama dipagi hari yaitu jamnya berangkat kerja dan sekolah. Kemudian nanti siang hari, jamnya pulang sekolah dan sore hari saat pulang kerja. Kemacetan lalu lintas yang rutin. Belum di ruas ruas jalan lain Kota Bandung seperti di Jalan BKR, Kopo, Pasir Kaliki, Soekarno-Hatta, Buah Batu, Gatot Subroto dan dimana saja jalan bisa berpotensi macet. Mungkin kemacetan lalulintas ini sudah merupakan hal yang lumrah di kota kota besar seperti Bandung, Surabaya dan Jakarta bahkan mungkin kota kota seperti Malang, Bogor, Cianjur, Cirebon sudah pula mengalami persoalan kemacetan lalu lintas. 
Aku menjalani rute jalan-jalan di kota Bandung dengan sepeda motor benar-benar bebas dari kemacetan karena dengan sepeda motor masih bisa mengelak diantara sela-sela mobil dan bermanuver jauh lebih lincah. Rute yang aku tempuh menuju jalan Blitung hanya sekedar ingin memandang SMA ku tercinta yang penuh dengan kenangan indah. Ya di SMA ini aku mengenal sahabat sahabat sejatiku. Kinanti Puspitasari, Aini Mardiyah, Erika Amelia, Indra Susanto. Mereka adalah empat sahabat sejatiku. Mengingat kenangan bersama mereka rasanya seperti baru kemarin. Kami pulang sekolah bersama-sama. Belajar bersama sama. Hanya pada saat kuliah kami harus mengambil Perguruan Tinggi yang berbeda. Setelah selesai kuliah kami menempuh jalan hidup yang berbeda pula. Indra dan Aini berjodoh menjadi suami istri. Erika menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya dan Kinanti menikah dengan lelaki Malaysia dan beberapa tahun tinggal di sana sampai akhirnya harus kembali ke Indonesia saat Ayahnya sudah tidak bertugas lagi di sana. 
Waktu begitu cepat berlalu. Sementara aku masih seperti ini. Aku baru merasakan ada kesendirian yang hadir tiba-tiba. Rasanya seperti sebatang kara. Ibarat kehilangan semua yang aku punya. Lumayan merenung begitu mengasyikan sehingga tidak terasa ternyata aku berdiri di pelataran parkir itu sudah hampir satu jam. Aku melanjutkan tur menuju Mesjid Salman di jalan Ganesha. Mesjid ini penuh kenangan ketika aku dan Kinanti sering mengikuti kegiatan ceramah dan diskusi untuk memperluas wawasan keagamaan. Maka aku dari jalan Blitung menuju Utara menelusuri jalan Juanda sampai akhirnya belok ke kiri ke arah jalan Ganesha. Mesjid Salman berdiri kokoh penuh dengan wibawa. Di sini ditempa remaja remaja Islam dengan ilmu Tauhid dan Ahlaq agar memiliki kepribadian muslim dengan aqidah yang berakar kuat dalam hatinya.
Di dalam Mesjid itu aku sempatkan sholat sunah Tahyatulmasjid kemudian sholat Dhuha. Sedikit membacakan wirid wirid pendek dan berdoa kepada Allah untuk ketenteraman hatiku. Hingga seusai sholat Dhuhur itu aku baru meninggalkan Mesjid Salman. Meluncur di jalan Juanda menuju jalan Merdeka dan mendarat di BIP (Bandung Indah Plaza) yaitu sebuah Pusat Perbelanjaan yang sudah menjadi icon belanja di Kota Bandung.  Siang itu Aku duduk di salah satu Food Court menikmati makan siangku hanya dengan semangkuk bakso dan segelas juice strawberry. Rasanya nikmat sekali mungkin karena memang perut ini sudah lapar.
Asyik juga ya menelusuri jejak jejak kenangan lama. Dulu waktu masih SMA aku dan Kinanti sering juga ke BIP ini hanya untuk keliling melihat barang-barang atau sekedar belanja seperlunya. Rasanya memang cukup banyak juga kenangan dengan Kinanti. Entah tempat mana saja di Bandung ini yang penuh dengan sejarah remajaku. Aku benar-benar menikmati kesendirianku di Food Court itu. Ketika ada seseorang menepuk bahuku sambil memanggil namaku aku menoleh. Sungguh aku terkejut karena di sana berdiri Kinanti dengan senyumnya. Kinanti tidak sendirian ya dia ditemani oleh Eko Priotomo.
”Alan rupanya sedang ada di Bandung kok aku tidak dikabari?” kata Kinanti.
”Hai Kinan hallo Mas Eko!” kataku menyapa mereka.
”Bagaimana khabar Mas Alan?” tanya Eko. Aku sebenarnya usianya sama tua nya dengan Eko tapi kami memanggil satu sama lain dengan panggilan Mas hanya sebagai rasa hormat saja.
”Alhamdulillah baik baik. Ayo duduk bareng mau pesan makan siang?” kataku menawarkan.
”Terimakasih Alan baru saja tadi selesai makan!” kata Kinanti.
”Oh ya Mas Eko dan Kinan selamat ya atas pertunangan kalian ngomong ngomong kapan rencana pernikahannya?” tanyaku.
”Inshaa Allah setelah lebaran Haji !” jawab Eko.
”Kinan jangan lupa aku dikabari kalau sudah pasti tanggalnya!” kataku.
”Iya Mas Alan jangan kuatir!” kata Eko menjawab sementara Kinanti hanya tersenyum sambil menatapku. Akhirnya tidak lama kami harus berpisah dan sebelum berpamitan Kinanti berkata:
”Alan main ke rumah ya kamu sering ditanyain Si Intan tuh” kata Kinanti masih sempat menawarkan singgah ke rumahnya. Intan adalah putri tunggal Kinanti seorang gadis masih sekolah di SMA.
”Okey Kinan titip salam saja untuk Intan dari Om Alan yang ganteng” kataku bercanda sambil tertawa.
Aku hanya bisa memandangi punggung mereka ketika mereka beranjak meninggalkanku sendiri. Aku masih duduk termangu disitu. Aku lihat di meja persis di  depanku sepasang remaja masih dengan seragam SMA nya sedang menikmati hidangan makan siang. Aku lihat remaja SMA berseragam abu-abu itu bercanda, tertawa dan saling pandang dengan senyum masing-masing. Masa remaja mereka yang penuh dengan keindahan. Melihat mereka teringat masa masa SMA bersama Kinanti. Ah rasanya seperti mimpi atau memang hidup ini sebenarnya hanya sebuah mimpi. Entahlah yang jelas pertemuan di Food Court BIP itu adalah sebuah fragmen satu babak yang ceritanya belum selesai. Entah pula kapan cerita fragmen itu selesai. Entah bagaimana pula akhir dari cerita itu apakah happy ending ataukah sad ending? Entahlah. Entahlah. Entahlah. Aku seperti sudah tidak memiliki apa apa lagi. Kinanti, Listya, Diana Faria semua sudah menjadi catatan masa lalu.
Menghabiskan hari Sabtu di Kota Bandung tidak terasa karena begitu banyak tempat-tempat nostalgia yang harus aku kunjungi. Malam itu rasa lelah yang amat sangat membuatku tertidur lelap sehabis sholat Isya, bahkan ketika Ibuku membangunkanku untuk makan malam akupun hanya mampu mengiyakan saja. Aku baru beranjak dari tempat tidur ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku memeriksa ponselku mungkin ada sms atau telpon. Lima panggilan tak terjawab semuanya dari Kinanti. Ya ketika aku tertidur rupanya Kinanti menghubungiku melalui ponsel. Apakah aku harus telpon balik? Sekarang ini sudah jam sepuluh malam. Mungkin lebih baik besok saja. Ataukah sekarang saja karena sampai lima kali miss call pasti ada yang penting yang ingin dibicarakan. Akhirnya aku mencoba menghubungi Kinanti.
”Assalaamualaikum Alan!. Kemana saja tadi aku telpon berapa kali tidak diangkat HP mu!” suara Kinanti di seberang sana.
”Maaf Kinan ini aku baru saja bangun tidur. Tadi seusai Isya aku terlelap mungkin kecapaian karena siangnya sudah keliling Bandung!” kataku.
”Keliling Bandung kemana saja. Tadi sepulang dari BIP terus kemana? Aku sebenarnya menunggumu di rumah. Lalu kapan kamu pulang ke Surabaya ” kata Kinanti.
”Aduh Kinan tanyanya satu satu. Aku jadi bingung jawabnya he he he! Seharian tadi aku keliling ke Sekolah kita, Mesjid Salman, BIP, Gasibu, Taman Ganesha, Mesjid Istiqomah!. Rencana kembali ke Surabaya besok pagi dengan Argo Wilis” kataku.
”Alan kenapa kamu tidak mengabariku lebih dulu kalau mau ke Bandung?” kembali wanita cantik itu bertanya.
”Kinan. Bukan apa apa. Sekarang aku harus bisa membatasi diri apalagi kamu sekarang sudah resmi dilamar Eko dan sebentar lagi akan menjadi istrinya!” kataku. Beberapa saat aku tidak mendengar respon Kinanti atas penjelasanku.
”Hallo Kinanti!” kataku. Kinanti nampaknya masih membisu. Berkali-kali aku memanggilnya namun Kinanti tetap terdiam sampai akhirnya Kinanti menutup HP nya. Aku benar benar tertegun mengalami hal seperti ini. Belum pernah Kinanti bersikap ngambek seperti ini. Apakah ada kata-kataku yang menyinggung perasaannya.  Aku mencoba mengirim sms mengutarakan maafku atas kata kataku yang mungkin tidak berkenan di hati Kinanti namun sms itupun terlantar tiada balasan. Aku benar benar tidak mengerti dengan sikap Kinanti. Selama ini Kinanti tidak pernah sensitif seperti ini. Bagian kalimat manakah yang membuat Kinanti ngambek?. Rasanya tidak ada kalimat yang menyinggung perasaannya.
Malam itu tadinya aku mau menuju meja makan karena memang belum makan malam namun tiba-tiba saja jadi malas. Akhirnya aku tetap berada di tempat tidur sampai akhirnya terlelap sampai waktu Subuh.

Stasiun Kereta Api Bandung sudah mulai sibuk di pagi hari itu. Di Ruang Tunggu itu aku masih termangu mengingat kejadian tadi malam. Aku mencoba untuk menghubungi Kinanti melalui ponsel namun tetap tidak diangkat panggilanku. Terdengar suara pemberitahuan bahwa Argo Wilis tujuan Surabaya sudah berada di jalur enam bagi para penumpang agar bersiap siap. Akupun beranjak dari Ruang Tunggu itu dengan rasa gundah. Selama perjalanan menuju Surabaya itupun aku hanya terdiam dan bahkan tertidur dan baru terbangun ketika Petugas Restorasi Kereta menawarkan makan siang. Aku baru ingat kalau tadi malam tidak sempat makan dan tadi pagi pun aku hanya sarapan sepotong roti yang dibuatkan Ibu maka tidak heran kalau di Kereta itu aku melahap makan siang dengan penuh semangat. Badan kembali terasa segar karena mungkin sudah cukup tidur dan makan. Aku memeriksa ponsel apakah ada sms atau panggilan. Ternyata ada beberapa sms dan semuanya dari Kinanti. Oh Tuhan. Aku mulai membaca sms sms Kinanti satu per satu :
”Alan aku mohon dimaafkan dengan kejadian tadi malam. Aku benar-benar sedih. Malam itu aku menangis karena aku seperti mau kehilanganmu. Aku merasa takut dengan perubahan sikapmu kepadaku hanya karena aku akan menikah dengan Eko!”
”Aku juga kecewa kenapa kamu tidak menyempatkan waktu untuk mengunjungiku karena banyak yang ingin aku katakan!”
”Alan sewaktu kau katakan di Bandung ini baru saja keliling ke tempat tempat yang kau sebutkan itu. Bukankah itu adalah tempat-tempat yang dulu sering kita kunjungi? Aku mencoba merasakan perasaanmu saat ini aku mencoba mengerti dan maafkan aku Alan, aku telah mengambil keputusan yang tidak kau inginkan!”
”Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”
”Daisy Listya adalah cinta sejatimu walaupun mungkin tidak bisa kau raih namun andaikan aku harus menggantikan cinta Daisy Listya adalah hal yang tidak bisa disetarakan!”
”Itulah sebabnya aku tidak bisa memenuhi keinginan Listya agar aku menikah denganmu!”
”Alan ada yang perlu kau ketahui bahwa sebenarnya Intan, putriku, lebih merestuimu dari siapapun untuk menjadi teman hidupku. Namun alasan-alasan di atas itu yang membuat aku harus memberi keputusan yang lain!”
”Selamat jalan Alan semoga selamat dan sehat sampai di Surabaya.”
Aku tertegun membaca semua sms Kinanti. Berulang-ulang aku membaca sms Kinanti, berulang-ulang. Rangkaian kata-kata yang jujur dari seorang wanita yang luar biasa.  Berbahagialah Eko Priotomo, lelaki yang akan menjadi suaminya sementara biarkanlah aku berdoa untuk diri sendiri. Semoga Allah selalu memberikan ketabahan kepadaku.
”Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”
Ini adalah salah satu sms Kinanti Puspitasari yang sangat berarti dalam hidupku.
Kata hatiku berkata :
”Alan sudahlah ingat kembali realita yang terjadi. Semua sudah menjadi lembaran masa lalumu. Diana Faria, Daisy Listya dan kini Kinanti Puspitasari sudah ditakdirkanNya menjadi masa lalumu”

BERSAMBUNG Episode 18

Monday, April 25, 2016

EPISODE CINTA DAISY LISTYA (16)

Foto Fiksiana Community


Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC
EPISODE CINTA DAISY LISTYA
Oleh Hendro Santoso (Peserta Nomor 27)
Episode 16
AWAN MENDUNG KOTA BANDUNG
Malam Minggu itu adalah syukuran ulang tahun Ibuku yang ke 80. Alhamdulillah pada usia tersebut Beliau tetap sehat, ceria dan selalu bahagia di tengah-tengah anak-anak dan cucu cucunya. Walaupun malam itu hujan turun hampir disemua sudut kota Bandung dan udara dingin menyengat tubuh, namun rupanya tidak akan cukup mampu mengurangi kehangatan acara syukuran ulang tahun Ibuku. Ruang keluarga itu penuh dengan doa doa, kegembiraan, senyuman, canda tawa dan riang nyanyian kebahagiaan yang sempurna bagi Ibuku. Hal yang istimewa bagiku malam itu adalah kehadiran Kinanti Puspitasari di tengah-tengah keluarga besarku. 
Sebetulnya dulu waktu SMA, Kinanti sering juga datang ke rumah. Namun saat ini adalah pertama kali lagi Kinanti bertemu dengan Ibu. Tentu saja Ibu sangat pangling berjumpa Kinanti yang sekarang jika dibandingkan saat Kinanti masih SMA dulu. Kinanti saat SMA adalah gadis remaja ceria berseragam putih abu-abu. Kinanti sekarang seorang wanita dewasa yang ramah penuh aura pesona.  
”Ibu kalau ketemu pasti tidak akan mengenal Neng Kinan yang sekarang ini. Bertambah cantik dan anggun dengan hijab ini!” kata Ibu. Mendengar ini Kinanti tersenyum dan hanya mampu bilang terimakasih. Aku melihat wajah Kinanti sangat cantik dengan senyum penuh dengan rasa senang menerima pujian Ibuku.
”Ibu bersyukur, semua anak-anak Ibu sudah mandiri, sudah berhasil. Hanya ada satu hal yang menjadi hati Ibu prihatin. Ini Alan yang masih belum dapat jodoh!” kata Ibuku kepada Kinanti seolah olah curhat. Kinanti melirik kepadaku sambil tersenyum dan aku hanya bisa angkat bahu.
”Ibu jangan kuatir sebentar lagi nanti aku kenalkan calonku!” kataku sambil tertawa.
”Ah Alan. Kamu itu cuma omdo!” kata Ibuku menggunakan bahasa anak muda sekarang. Aku kembali tertawa sementara Kinanti hanya tersenyum.
”Alan! Ibu selalu berdoa agar kamu segera mendapatkan jodohmu. Ibu masih ingin menyaksikan pernikahanmu sebelum Allah memanggilku!” kata Ibu.
”Iya Ibu terima kasih. Inshaa Allah doa Ibu dikabulkan Allah!” kataku dengan haru.
Mendengar curahan hati Ibu, aku benar-benar terharu. Beberapa saat aku terdiam di samping Kinanti yang juga membisu. Diam-diam aku melirik Kinanti dan aku lihat dia tertunduk entah apa yang dipikirkannya.
Malam itu aku melihat Kinanti begitu akrab di tengah-tengah keluarga besarku. Entah kenapa aku begitu senang melihat suasana keakraban itu. Saat itu aku hanya membayangkan andai saja Kinanti menjadi bagian dari keluarga besar ini. Ya andai saja. Apakah dengan demikian aku sudah mendapatkan kebahagiaan itu? Sesaat pada malam itu aku seakan sudah bisa melupakan Listya. Ya malam itu adalah malamnya Kinanti Puspitasari. Canda tawanya Kinanti menyatu dengan adik-adikku dan keponakanku terutama yang gadis-gadis menambah rasa bahagiaku. Mungkin sangat wajar saat Kinanti akrab dengan keponakanku karena dia punya anak gadis seusia mereka. Mereka begitu ceria bercengkerama diselingi tawa-tawa gembira. Aku juga melihat betapa Ibuku sangat merasakan kebahagiaan di tengah-tengah kasih sayang keluarga besarnya. Namun yang selalu aku ingat adalah ketika beliau mengatakan  ”Alan!. Ibu selalu berdoa agar kamu segera mendapatkan jodohmu. Ibu masih ingin menyaksikan pernikahanmu sebelum Allah memanggilku,” kata Ibu.
Sebuah ungkapan kegundahan hati Ibu. Kata-kata ini sangat mengganggu pikiranku. Tidak ada yang bisa aku harapkan sekarang. Siapa? Kinanti? Dia sudah mengemukakan sikapnya untuk hanya sebagai seorang sahabat. Listya?. Sudah jelas merupakan masa laluku. Hanya doa ibu yang bisa menjadi harapan.
Dalam perjalanan mengantar pulang Kinanti ke Arcamanik, aku lebih banyak diam. Maka dalam perjalanan itu hanya terdengar alunan musik ringan dari tape di mobil. Ruas jalan Kota Bandung yang baru saja diguyur hujan tetap saja ramai dan macet apalagi ini malam Minggu walaupun malam sudah hampir larut. Aku menempuh perjalanan hampir 2 jam dari Kopo menuju Arcamanik. Bayangkan kemacetan ada dimana-mana.
”Kinan, aku tidak mampir ya karena sudah malam. Sampaikan saja salam untuk Bapak dan Ibu juga Intan!” kataku berpamitan kepada Kinanti.
”Terima kasih Alan, hati hati ya!” kata Kinanti. Setelah mengucapkan salam, akupun menyalakan mobil dan kembali menuju keramaian lalu lintas kota. Sesampainya di rumah kelelahan yang mendera telah membuatku langsung terlelap di atas sofa ruang tengah. Aku baru terjaga ketika Ibu membangunkanku untuk sholat Subuh. Begitu cepat hari berganti ya Allah. Hari ini hari Minggu dan sore nanti aku harus kembali ke Surabaya untuk mengisi kembali rutinitas yang membosankan.
Minggu pagi itu aku masih sempat bertemu Kinanti di rumahnya. Aku melihat Kinanti tidak seceria seperti biasanya.
”Kinan sepertinya kamu kurang sehat!” tanyaku.
”Mungkin juga Al. Semalam aku tidak bisa tidur lelap!” kata Kinanti.
”Banyak pikiran? Mungkin aku bisa bantu. Ceritakan padaku agar bebanmu menjadi ringan!” kataku. Kinanti hanya tersenyum dan aku juga hanya angkat bahu.
”Tidak juga banyak pikiran. Aku hanya teringat kata-kata Listya waktu kami bertemu di Malang tempo hari” kata Kinanti. Ini dia yang kutunggu tunggu cerita tentang Listya. Awalnya aku tidak mau menanyakan hal tersebut ketika aku lihat Kinanti terlihat agak murung. Namun ternyata dia sendiri yang membuka ruang untuk berdialog tentang Listya.
”Apa saja yang dia katakan?” tanyaku.
”Listya sangat mencintaimu Al. Dia tidak mau membayangkan kamu menikah dengan orang lain kecuali denganku. Dia menitipkanmu kepadaku” suara Kinanti bergetar. Mendengar penjelasan Kinanti ini aku hanya terdiam tidak mau berkomentar lebih jauh. 
”Padahal aku sudah menjelaskan bahwa aku tidak sanggup untuk menggantikan cintanya yang luhur dan tulus itu!” kata Kinanti lagi.
”Sudahlah Kinan tidak perlu lagi dipikirkan lagi hal itu. Bagaimanapun juga yang terbaik bagiku, Kinanti adalah sahabat sejatiku!” kataku mencoba menenangkan hati Kinanti. Namun ternyata aku melihat ada titik air mata di mata Kinanti. Ya Tuhan dia menangis.
”Alan maafkan aku!” kata Kinanti lirih.
”Kinan, tidak perlu minta maaf seperti itu. Aku selalu menerima dan mengikuti takdirku apa adanya. Jika Allah menghendaki maka itulah kuasa yang tidak bisa kita tolak!” kataku. Kinanti masih tertunduk dan terisak. Kembali aku menenangkannya agar dia melupakan saja apa yang dikatakan Listya.
”Aku juga teringat malam itu apa yang dikatakan Ibumu dengan doanya yang tulus agar kau mendapatkan jodohmu!” kata Kinanti.
”Hal yang sama Ibuku juga demikian prihatin dengan kesendirianku!” kembali suara Kinanti.
”Ketika Eko mau melamarku, Ibuku terlihat gembira. Namun aku tidak bersedia menerima lamarannya!” kata Kinanti lagi. Aku sengaja diam untuk mendengarkan segala kegundahan hati Kinanti agar terucap untuk melegakan hatinya. Membiarkannya mengeluarkan curahan hatinya.
”Kau tahu Alan mengapa aku menolak Eko? Karena sebenarnya Eko sedang dekat dengan Irma, rekan dosen di Fakultas lain. Irma rekan dosennya walaupun usianya sudah berumur namun dia masih gadis!” kembali suara Kinanti.
Wanita memang mahluk yang penuh dengan kebimbangan termasuk Kinanti yang selama ini aku kenal sebagai wanita tegar. Nanti dulu berbicara soal bimbang sebenarnya bukan hanya wanita tapi lelakipun demikian. Contohnya? Profesor Alan Erlangga adalah lelaki penuh kebimbangan untuk menunjukkan cintanya kepada Daisy Listya. Jika tidak bimbang apa yang terjadi? Ah sudahlah aku harus menerima takdirku dengan ikhlas.
”Alan sekali lagi aku minta maafmu!” suara Kinanti mengagetkanku.
”Okey Kinanti aku sudah memaafkanmu atas kesalahan yang aku sendiri  tidak tahu!” kataku.
”Alan kesalahanku adalah karena aku tidak mampu menggantikan cinta Daisy Listya!” kata Kinanti. Aku terkejut dengan pernyataan Kinanti ini.
”Kinan sudahlah lupakan saja apa yang dikatakan Listya. Aku sendiri juga sudah ikhlas menerima yang sekarang terjadi. Hentikan tangismu Kinan!” kataku perlahan.
”Minggu pagi ini aku inginkan senyummu!, ayo tersenyum Kinanti!” kataku dengan nada ABG yang sedang merayu. Kinanti memandangku lalu tersenyum namun air mata dipipinya masih berurai.
”Nah begitu dong, tapi kalau begini ini namanya tersenyum dalam tangisan!” kataku menggoda.
”Alan!  Memang kamu itu orang yang selalu membuatku gembira!” kata Kinanti kali ini dia mulai tertawa kecil.
”Apakah hamba boleh membantu mengusap air matamu Tuan Putri?” aku mulai bercanda.
”Alan Alan sudah sudah, mulai gila kamu!” kata Kinanti kali ini sambil tertawa renyah. He he he akhirnya aku berhasil membuat Kinanti kembali ceria.

Sore itu satu jam sebelum take off aku sudah berada di Bandara Husein Sastranegara. Walaupun sore itu cuaca mendung namun penerbangan Bandung - Surabaya berjalan lancar. Hampir waktu Isya aku sudah tiba di Rumah Menanggal Surabaya. Setelah mandi, sholat Isya dan makan malam yang sudah disediakan Si Mbok maka mulailah aku menyusun agenda kerja esok hari. Senin pagi ada sesi mengisi kuliah siangnya mengisi Pasca Sarjana dan sorenya cek pekerjaan analisa data mahasiswa di Laboratorium. Ya rutinitas yang membosankan. Namun demikian aku tetap dapat menjalani rutinitas tersebut dengan baik. Diantara kebosanan rutinitas itu hanya satu hal yang dapat meberikan rasa gembira itu yaitu jika ada telepon dari Kinanti. Kami bisa berbincang tentang apa saja. Aku bisa merasakan persahabatan yang tulus. Sungguh sungguh Kinanti adalah sahabat sejatiku. Mungkin juga baginya aku adalah sahabat sejatinya. Dalam sebulan terakhir ini aku hanya bisa berhubungan dengan Kinanti melalui ponsel karena belum ada agenda acara yang memungkinkan aku ada di Bandung. Demikian pula Kinanti masih sibuk dengan perkuliahan di Fakultasnya. Namun dalam Minggu ini aku dikejutkan berita dari Kinanti bahwa dia akan bertunangan dengan Eko Priotomo, rekan dosennya itu. Oh akhirnya Kinanti menerima Eko sebagai tunangannya.
”Alan nanti aku jelaskan kenapa aku menerima lamaran Eko!” kata Kinanti ketika dia menelponku.
”Aku sangat senang akhirnya sahabatku mendapatkan jodohnya. Kinan jangan lupa hari pernikahanmu khabari aku!” kataku.
”Okey Alan aku pasti mengundangmu!” kata Kinanti dengan rasa senang.
Penjelasan Kinanti kepadaku mengapa sekarang dia menerima lamaran Eko? Karena Eko bisa meyakinkannya bahwa Eko sudah tidak berhubungan dengan Irma, rekan dosennya  dari fakultas lain. Irma adalah dosen di Fakultas MIPA. Sebenarnya Irma adalah adik kelasnya Eko sewaktu mereka kuliah di Yogyakarta. Aku merasa lega akhirnya Kinanti jadi menikah lagi. Namun hati kecilku berkata bahwa aku seperti kehilangan bagian lain dari hatiku. Ya bagian itu adalah Kinanti Puspitasari.

Setelah aku kehilangan Diana Faria datanglah Daisy Listya, namun Daisy Listya juga harus pergi dan kini Kinanti Puspitasari. Ada rasa hampa hinggap di hatiku. Tiba-tiba saja aku merasa sendiri. Aku harus kehilangan orang-orang yang aku cintai. Ataukah aku tidak diperkenankanNya untuk memiliki salah satu diantara mereka. Ya aku memang tidak pernah memiliki siapapun bahkan termasuk diriku sendiri. Maka aku tidak boleh merasa kehilangan. Kinanti adalah wanita yang tegar, tabah, cerdas, teguh dengan prinsip, berbudi luhur dan memiliki aura kecantikan lahir batin. Aku bersyukur bisa mengenal Kinanti. Aku juga bersyukur sempat mengenal dan mencintai Daisy Listya. Aku juga bersyukur diberi  kesempatan berbahagia dengan Diana Faria. Mereka adalah wanita wanita istimewa dalam hidupku. Wanita wanita yang selalu ada dalam relung sudut hatiku.

Ya Allah berilah aku kekuatan karena tidak satupun diantara mereka yang menjadi teman hidupku. Ya Allah apakah ini takdir yang harus aku jalani andaikata iya semoga Kau selalu memberiku kesempatan berupaya untuk mendapatkan takdir terbaikku menurut takdirMu.


BERSAMBUNG Episode 17