Friday, April 26, 2013

KEMARAU PANJANG DI KOTA HUJAN


Ruang kuliah hari itu begitu hening  dan sekitar 50 mahasiswa mengikuti kuliah  Biokimia dengan khusyu. Di kelas itu terus terang aku tidak begitu fokus mengikuti kuliah karena perhatianku lebih banyak tertuju kepada seorang gadis cantik yang duduk di baris kedua dari depan persis disamping kiriku. Gadis itu bernama Erika. Sejak SMP di kotaku dia adalah cinta monyetku. Di SMA ternyata dia adalah cinta remajaku. Saat ini ketika sudah duduk di Perguruan Tinggi di kota Bogor ini ternyata dia masih juga menjadi cinta masa depanku. Dalam dunia pelajaran sekolah, sejak SMP dulu, Erika adalah gadis yang pintar. Di kelas dia menjadi pesaingku dalam hal prestasi belajar. Sewaktu di SMA juga demikian bahkan ketika masuk Perguruan Tinggi di Bogor, Erika dan Aku diterima tanpa testing alias melalui jalur prestasi di sekolah.


Ya iyalah saat itu di sekolah aku rangking satu sedangkan Erika rangking dua. Pantas dong. Apalagi nilai ijazahku rata-rata 9. Okeylah aku sudahi cerita ini, nanti dikira sombong mau pamer prestasi belajarku.
Hari demi hari kami lalui dengan senyum dan canda penuh dengan warna warni bahagia. Hampir semua teman di Kampusku selalu mengatakan, wah sekarang ini kucing dan anjing bisa akur. Dulu kami memang sering perang mulut berdebat lalu pura-pura musuhan bak kucing dan anjing. Tentu saja aku hanya tersenyum ketika diantara mereka ada yang mengatakan bahwa aku yang jadi anjing gila sedang Erika adalah kucing garong. Tapi menurut pendapatku justru Erika yang cocok sebagai kucing gila yang menyukai anjing garong. Ah masa bodo amat deh. Sementara itu ada yang lebih penting lagi bahwa sudah hampir sebulan yang lalu gadis yang bernama Erika Amelia Mawardani konon yang paling aku cintai itu telah melangsungkan pertunangannya. Ah tentu para pembaca akan berkata, berbahagialah yang bernama Indra Susanto. Selamat bahagia atas pertunangan dengan Erika. Nanti dulu. Ternyata tidak demikian sebab Erika tidak bertunangan denganku. Erika telah bertunangan dengan seorang dokter berstatus duda cerai mati beranak dua. Hah. Memang betul. Orang tua Erika menjodohkannya dengan dokter itu yang tentu saja lebih mapan dariku.
            Siang itu aku menuju perpustakaan di lantai dua dan aku masih juga iseng menghitung tangga-tangga perpustakaan itu walaupun sudah tahu ada berapa banyaknya. Perpustakaan pada siang yang mendung ini sangat sepi. Di pojok sana kulihat Alan, teman kuliahku dan disampingnya Aini Mardiyah, gadis cantik berjilbab sahabat dekat Erika.
“Asyik amat kau ?” kataku menyapa. Alan sedang membaca buku Food Chemistry nya Meyer. Rupanya dia mau ujian her.
“Duduk sini ‘ndra !” katanya sambil menutup Meyernya.
“Kau tahu, ketika kudengar Si Riri bertunangan dengan Dokter itu, aku seakan akan mendengar berita kematianmu”, katanya lagi. Aku tertawa sumbang sementara Aini disebelahku hanya tersenyum.
“Tidak perlu mendengar berita kematian jika hanya ditinggal seorang gadis. Iya kan Indra?”, komentar Aini terhadap perkataan Alan. Aku mengangguk sambil tertawa. Tawaku terasa getir.
“Itu hanya sebuah kisah Al. Mungkin sudah saatnya berakhir”, kataku perlahan seolah jiwaku merasa kuat tapi sebenarnya sangat rapuh.
“Ya benar kita harus berani menghadapi kenyataan. Erika kemarin mencurahkan semua isi hatinya padaku. Aku tak dapat berkata apa-apa kecuali seperti yang aku katakan padamu Indra!”, kembali suara Aini penuh dengan petuah positif. Aku senang bersahabat dengannya. Kata-katanya selalu mengandung hikmah. Layaklah Aini mengenakan jilbab dan busana muslimah yang sopan. Namun demikian penampilan Aini menurutku cukup modis tidak ketinggalan zaman bahkan aku melihat gadis ini memiliki kecantikan yang khas dengan jilbab dan busana muslimahnya. Kecantikan Aini penuh dengan aura keindahan, keramahan, kedamaian dan kesejukkan. Kecantikan yang alami. Lihat senyumnya. Rasanya aku belum pernah melihat senyum semanis dan sesejuk itu. Seakan-akan senyum itu ada dimana-mana membawa keramahan hatinya.
“Kalian saling mencintai bukan ?”, kata Alan.
“Tentu saja Al!”’ kata Aini yang malah menjawab sambil menoleh kepadaku.

“Seperti yang kalian lihat!”, kataku perlahan. Lalu aku mengajak pembicaraan segera saja diganti dengan topik yang lain.
 Maka pada siang itu kutinggalkan Perpustakaan dengan hati yang kosong dan kuturuni tangga-tangga perpustakaan itu yang selalu saja kuhitung walaupun aku tahu ada berapa banyaknya.
Apa yang akan terjadi denganku selanjutnya?. Silahkan ikuti Novel ini Episode demi Episode sampai akhir.
Selamat menikmati hidangan.

Untuk koleksi silahkan pesan Novel ini ke :

http://www.dapurbuku.com/tatacara/cara-memesan-buku-via-sms-sistem-manual