Tuesday, December 17, 2013

Novel Hensa : Episode Akhir Cintaku (Bagian 13 Tamat)


Foto : Hensa/koleksi Pribadi
Bagian 13
HALAMAN TERAKHIR BUKUKU
Saat ini aku berada diantara kebahagiaan menempuh masa depan dengan Kinanti dan rasa duka Listya karena kepergian suaminya. Sungguh keberadaan yang sangat sulit. Saat ini Listya sedang berduka sedangkan Kinanti berbahagia. Seperti saat malam itu Kinanti menerima telponku dengan penuh keceriaan. Bagaimana tidak, malam itu kami sedang membicarakan tentang acara lamaran sekaligus menentukan tanggal pernikahan. Aku seakan tidak percaya pada akhirnya aku menikah juga dengan seorang pendamping hidupku. Aku seakan lebih tidak percaya lagi ternyata calon istriku adalah Kinanti Puspitasari, teman SMA ku yang dulu pernah menolak menjadi pacarku. Sungguh sesuatu yang menakjubkan dalam perjalanan hidupku bahwa nanti pada hari pernikahan itu yang menjadi istriku adalah Kinanti Puspitasari. Aku yakin mungkin inilah takdirku. Alhamdulillah aku panjatkan Puji Syukur kepadaNya.
Kabar pernikahanku dengan Kinanti rupanya sampai juga kepada Listya. Sore itu ketika aku baru saja tiba di rumah, aku menerima telpon dari Listya.
”Assalaamu alaikum Listya!”, kataku menyambut telponnya.
”Iya Pak Alan wa alaikum salaam. Maaf Pak saya telpon apakah mengganggu Bapak ?”, kata Listya.
”Oh tidak Lis. Saya saat ini sudah di rumah kok!”, kataku.
”Oh gitu. Pak Alan selamat Pak untuk rencana pernikahannya dengan Bu Kinan!”, kata Listya.
”Terima kasih Listya!”, jawabku pendek.
”Tadi pagi Bu Kinan memberi saya kabar tentang rencana pernikahannya dengan Pak Alan bulan Maulud ini. Saya sangat gembira mendengar kabar ini!”, suara Listya penuh haru.
”Listya sekali lagi terima kasih. Mohon doa restunya saja agar semua rencana itu berjalan dengan baik!”, kataku.
”Iya Pak, saya selalu mendoakan untuk kebahagiaan Pak Alan...!”, suara Listya pelan sekali seperti tertahan di tenggorokkan. Kemudian Listya terdiam lama sekali.
”Hallo, hallo, hallo, Listya?”, aku berusaha menyapanya melalui hand phone itu. Aku yakin Listya sedang terisak. Mungkin terharu karena akhirnya aku menikah juga dengan Kinanti.
”Hallo Listya!”, kucoba menyapa lagi.
”Iya Pak!”, kata Listya.
”Listya baik-baik saja?”, tanyaku dengan rasa khawatir.
”Tidak apa-apa. Baik-baik Pak. Ok Pak Alan, saya pamit dulu. Assalaamu alaikum!”, kata Listya sambil menutup hand phone nya.
Ya Allah apa yang harus aku lakukan. Listya nampaknya sedih sekali. Listya bersedih karena suaminya meninggal dunia ataukah bersedih karena aku mau menikah dengan Kinanti?. Ada dua wanita yang sama-sama aku kagumi. Saat ini aku lebih realistis dan bijak untuk memilih Kinanti Puspitasari sebagai calon istriku.  Aku mempertimbangkan bahwa saat ini Daisy Listya masih muda, cantik dan masih memiliki masa depan yang terbentang luas. Daisy Listya masih memungkinkan  mendapatkan teman hidup yang jauh lebih baik dariku. Kinanti memang yang aku pilih karena aku dan Kinanti sudah sama-sama berada di ufuk senja. Aku harus membiarkan cintaku kepada Daisy Listya menjadi sejarah seperti halnya cintaku kepada Diana Faria. Aku harus bisa dan mampu untuk menghadapi realita ini.
Jadwal kompilasi data penelitianku di Laboratorium sengaja aku majukan menjadi Jumat siang ini karena besok Sabtu aku harus ke Bandung menemui Kinanti. Seusai sholat Jumat di Masjid Kampus jl.Erlangga itu aku segera bergegas kembali ke Ruang kerjaku untuk makan siang. Makan siangku hari ini adalah masakan Si Mbok yang sengaja aku bawa dari rumah.  Selesai makan siang segera aku menuju Laboratorium yang jaraknya dari Gedung Fakultas hanya sekitar 50 meter. Siang itu Laboratorium sepi tidak ada satupun mahasiswa yang menggunakan instrumen analisis. Biasanya mereka menggunakan instrumen analisis untuk penelitian skripsi pada hari Sabtu. Aku bekerja di ruang itu penuh dengan ketelitian mengingat data yang aku kompilasi ini untuk digunakan sebagai data pelengkap pengajuan patent suatu produk farmasi. Aku bekerja penuh semangat sehingga sebelum Ashar semua data sudah diolah dan siap disajikan. Aku tersenyum sendiri ketika aku menyadari bahwa aku saat ini benar-benar sangat merindukan Kinanti. Mungkin ini penyebabnya sehingga aku bekerja di Laboratorium itu penuh dengan semangat dan fokus. Halaaaahhh Alan sekarang ternyata sudah mulai terjangkit penyakit anak muda masa kini yaitu lebay he he he. Semua pekerjaan hari ini sudah rampung dan aku sudah bersiap pulang ah alangkah leganya akhirnya aku bisa menyelesaikan aktivitas hari ini. Sabtunya aku benar-benar melepaskan rinduku untuk Kinanti.
Penerbangan yang pendek antara Surabaya – Bandung namun cukup untuk  mengingatkanku kembali peristiwa masa masa SMA itu secara utuh. Masa SMA bersama Kinanti yang begitu indah. Hal ini justru telah membuatku tidak sabar ingin bertemu Kinanti. Tepat pukul 10 aku sudah tiba di Bandara Husein Sastranegara. Kinanti sudah menungguku di sana. Aku melihat wajah cantik Kinanti penuh dengan rasa bahagia menyambut kehadiranku. Tentu saja cahaya kebahagiaan terpancar di wajah Kinanti karena malam ini merupakan malam yang spesial.  Untuk yang pertama kali aku berkunjung ke rumah Kinanti sebagai calon suaminya.
Malam Minggu ini benar-benar aku habiskan bersama Kinanti di sebuah Kafe yang cukup ramai di jalan Riau. Hanya sekedar mengisi makan malam sambil mengobrol bercerita saat saat SMA dulu. Ah alangkah romantisnya. Kadang kami tertawa karena teringat peristiwa konyol saat SMA dulu. Tidak terlalu malam kami kembali ke rumah Kinanti di Arcamanik. Kami melanjutkan obrolan di beranda. Udara Kota Bandung sangat mendukung, cerah tanpa awan dan ada bulan sabit di ufuk langit menandakan awal bulan Qomariah telah tiba.
”Alan ada yang ingin aku bicarakan denganmu!”, kata Kinanti mulai serius.
”Tentang apa Kinan!”, tanyaku.
”Tentang pernikahan kita. Aku hanya minta dua permintaan kepadamu. Tapi ini bukan syarat lho hanya permintaanku!”, kata Kinanti.
”Permintaan apa Kinan, inshaa Allah aku akan memenuhinya!”, kataku yakin.
”Alan setelah kita menikah nanti terlalu riskan bagiku andai nanti aku harus hamil untuk anak kita!”, kata Kinanti.
”Tentu saja Kinan. Bagiku cukup Intan sebagai anak kita. Dia adalah anak putri yang sangat aku banggakan!”, kataku menenangkan Kinanti.
”Alan tidakkah kau ingin memiliki anak dari aliran darahmu sendiri?”, tanya Kinanti.
”Kinanti urusan anak aku serahkan kepada Allah. Aku tidak mau apalagi menuntutmu agar kita punya momongan untuk memberi Intan seorang adik!”, kataku. Aku melihat Kinanti termenung. Wajahnya menatap ke depan.
”Hai jangan melamun!”, kataku. Kinanti terperanjat.
”Lalu permintaanmu yang kedua apa?”, tanyaku.
”Aku teringat Listya. Saat ini dia berteman dengan kesendiriannya. Permintaanku yang kedua setelah kita menikah nanti aku rela jika kau berniat menikahi Listya agar kau bisa memiliki anak !”, kata Kinanti.
”Kinanti sudahlah jangan bicarakan lagi Listya. Dia masih muda suatu hari nanti akan menemukan jodohnya yang sama-sama masih muda. Allah sendiri sudah memberikan takdirku menjadi suamimu!”, kataku. Kinanti masih terdiam. Ketika aku genggam kedua tangannya, dia menatapku.
”Aku hanya ingin memenuhi permintaanmu yang pertama. Lupakan permintaanmu yang kedua. Tersenyumlah sayang!”, kataku. Kinanti tersenyum sambil menatapku tajam. Wanita yang memiliki sepasang mata yang indah ini tersenyum manis.  Aku mencium keningnya penuh kasih sayang.
Sebenarnya aku terkejut mendengar kata-kata Kinanti yang memberi izin kepadaku untuk menikahi Listya. Hanya agar aku punya anak dari darahku sendiri, Kinanti merelakanku untuk menikahi Listya. Wanita cantik ini benar-benar berbudi luhur. Walaupun poligami diperbolehkan oleh Agama namun aku sangat meragukan rasa keadilanku terhadap istri-istriku nanti. Aku bukan Rasulallah. Biarlah aku berbahagia bersama Kinanti walaupun tidak memiliki anak darinya.
Hari hari yang aku lalui di Kampus benar-benar rutinitas yang sangat membosankan. Apakah mungkin hal ini disebabkan oleh rasa tak sabarku menunggu hari pernikahanku bulan depan. Bisa jadi hal itu yang membuat hari-hari berjalan begitu lambat. Hari Senin adalah hari yang sangat lambat dan membosankan karena aku harus menunggu begitu lama untuk bertemu hari Sabtu saat aku bertemu Kinanti. Jika sore menjelang maka ada rasa lega di hati karena sehari sudah aku lalui. Seperti pada sore itu aku begitu gembira. Saat aku sedang membereskan semua buku buku dimeja itu tiba-tiba pintu ruanganku diketuk dan terdengar suara salam. Aku terkejut ketika di sana sudah berdiri Daisy Listya.
”Wa alaikum salaam. Listya mari masuk silahkan duduk!”, kataku.  Tiga  minggu sudah sejak suaminya meninggal, aku baru sekarang ini kembali bertemu Listya. Tetap masih cantik hanya agak kurus dan kelihatan lelah namun wajahnya sudah tidak dipenuhi beban yang berat. Wajah Listya terlihat bebas lepas.
”Pak Alan maaf tadi saya ke ruangan Bapak tapi terkunci maka langsung saja ke sini. Biasanya Pak Alan ada di Laboratorium ini!”, kata Listya. Aku terharu mendengar penuturannya. Aku tahu Listya tidak akan pernah melupakan Laboratorium HPLC yang penuh dengan kenangan ini. Laboratorium ini memang penuh dengan cerita bersama Listya.
”Iya Listya. Memang Laboratorium ini sejak dulu adalah tempat saya untuk mencari inspirasi!”, kataku sambil tertawa. Mendengar ini Listya hanya tersenyum. Aku tiba-tiba teringat kembali masa masa indah di Laboratorium ini bersama Listya.
”Iya Pak Alan. Bagi saya Laboratorium ini penuh dengan cerita. Di sini saya di bimbing oleh Profesor Alan. Di sini juga saya pertama kali jatuh cinta kepada orang yang saya kagumi!”, kata Listya tersenyum. Aku hanya terdiam.
”Oh ya Pak Alan. Saya punya janji kepada Bapak!”, kata Listya.
”Janji apa Listya!”, tanyaku.
”Ini Pak Novel yang saya janjikan!”, sambil menyerahkan sebuah novel dengan sampul berwarna hijau dedaunan dan judul Masih Adakah Ruang Di Hatimu berwarna kuning. Aku menerima novel tersebut sambil menatap kagum.
”Listya terima kasih!”, kataku pendek. Listya hanya tersenyum. Ya Allah senyum ini adalah senyum Diana Faria. Senyum masa laluku. Berikanlah aku kekuatan untuk selalu mengingatMu dan rasa syukur atas semua ciptaanMu.
”Pak Alan. Saya menyampaikan rasa bahagia ini kepada Bapak. Bu Kinan adalah orang yang tepat menjadi teman hidup Bapak. Inshaa Allah saat pernikahan nanti saya akan hadir untuk merasakan kebahagiaan Bapak dengan Bu Kinan!”, suara Listya dengan senyum di bibirnya namun aku lihat kedua matanya basah dengan air mata. Aku hanya bisa memandangnya dalam kebisuan.
”Maaf Pak Alan. Saya menangis, saya bahagia karena orang yang saya cintai sudah mendapatkan kebahagiannya!”, suara Listya pelan penuh haru. Kembali aku hanya bisa terdiam memandang wajah Listya yang bersimbah air mata. Ingin rasanya aku menghapus tetes air mata yang mengalir dipipinya namun aku tidak kuasa. Aku hanya bisa berkata dalam hati, Listya aku bisa merasakan cintamu begitu luhur namun aku tidak tahu apakah takdir yang Allah berikan kepadaku ternyata bukan menikah denganmu. Ataukah takdir yang Allah berikan kepadamu ternyata bukan menikah denganku. Apakah itu takdir kita Listya?.
Peristiwa Jumat sore itu menjadi catatan tersendiri bagiku. Sebuah novel berjudul ’Masih Adakah Ruang Di Hatimu’ yang saat ini aku genggam adalah sebuah ungkapan hati Daisy Listya. Lalu sebuah kalimat dari bibir Listya yang akan selalu ku kenang sampai kapanpun : ” Saya menangis, saya bahagia karena orang yang saya cintai sudah mendapatkan kebahagiannya!”.
Fakta di hatiku bahwa Listya masih ada di hati ini, sama seperti halnya Diana Faria namun fakta dihadapanku saat ini bahwa Kinanti Puspitasari adalah calon terbaik untuk istriku. Dengan izin Allah, bulan depan Kinanti adalah istriku. Dengan izinMu juga aku akan memulai hidup baru. Bimbinglah kami ya Allah.


SELESAI

Saturday, December 7, 2013

Novel Hensa EPISODE AKHIR CINTAKU (Bagian 12)

Foto : Mesjid KM 97 Tol Cipularang/hensa

Bagian 12
SUARA ADZAN ITU….

Ternyata benar baru saja sehari kami berpisah rasa rindu untuk bertemu itu terbukti. Malam itu Kinanti menelponku. Seperti ada yang lain malam itu aku begitu bahagia menerima teleponnya bak seorang ABG yang memang sedang menunggu telpon dari kekasihnya.
”Wa alaikum salam!”, aku menjawab salam Kinanti.
”Alan sedang apa kamu?”, tanyanya.
”Aku sedang menerima telponmu!”, kataku bercanda. Terdengar suara Kinanti tertawa.
”Alan hari Rabu dan Kamis besok aku menghadiri Seminar Tanaman Obat di Denpasar. Rencananya mau mampir ke Surabaya!”, kata Kinanti.
”Rencana yang bagus. Aku juga sebenarnya mendapat undangan Seminar tersebut tapi tidak bisa hadir namun ada temanku yang mewakili. Kalau Seminarnya di Bandung pasti aku akan hadir!”, kataku mulai nyerempet nyerempet lagi.
”Memang apa istimewanya Bandung?”, tanya Kinanti.
”Bandung sangat istimewa karena di sana ada wanita yang sangat aku kagumi dan cintai!”, kataku.
”Oh iya aku tahu. Maksudmu wanita yang sangat kau kau kagumi itu adalah Ibumu ya!”, kata Kinanti sambil tertawa. Aku juga tertawa mendengar jawaban Kinanti yang tak terduga itu, padahal yang kumaksud bukan hanya Ibuku tapi juga dirinya. Semakin terasa bagiku kini Kinanti mulai bisa membuka hatinya untukku. Benarkah?. Jawabannya harus dibuktikan dengan keberanianku untuk mengutarakan cintaku. Namun apakah Kinanti kali ini mau menerima cintaku?. Apakah aku akan kembali menerima penolakannya dan dia hanya menganggapku hanya sebagai sahabat terbaiknya. Alan ayo maju terus pantang mundur. Alan harus yakinkan dirimu akan ketulusan niatmu. Perbuatan baik pasti akan menghasilkan kebaikan pula.
Sabtu pagi udara begitu cerah. Cuaca yang sangat mendukung keceriaan Kinanti. Aku bisa melihat dan merasakan betapa Kinanti begitu ceria dipagi hari ini. Jumat sore itu aku memang tidak bisa menjemput Kinanti di Bandara Juanda namun Sabtu pagi ini aku sudah berada di jalan Sulawesi, siap untuk menjemput di tempat kediaman Pamannya tentu saja untuk mengajak Kinanti ber week end ria. Semua agenda Laboratorium yang biasa aku kerjakan pada Sabtu itu, sengaja aku tunda. Sabtu ini khusus akan aku persembahkan untuk Kinanti. Sudah sepakat acara week end ini mengunjungi Taman Safari di Pandaan yang letaknya antara Surabaya - Malang. Perjalanan dari Surabaya menuju Pandaan relatif lancar. Hanya dalam waktu satu setengah jam kami sudah tiba di sana. Menggunakan mobil khusus Taman Safari, kami berkeliling bersilaturahmi menemui Singa, Macan, Gajah, Jerapah dan semua binatang yang ada di sana namun sebenarnya bagiku tidak ada yang istimewa. Selama di Taman Safari itu aku justru lebih banyak memperhatikan Kinanti yang kelihatan menikmati sekali liburan dengan udara sejuk pegunungan. Wajah wanita cantik ini kelihatan ceria penuh dengan kegembiraan. Kadang kadang Kinanti tertawa lepas diantara dialog yang sengaja aku ucapkan penuh kelucuan. Melihat hal ini aku bersyukur ternyata Kinanti sudah bisa melupakan kekecewaannya karena kegagalan pernikahannya tempo hari. Setelah lelah berkeliling aku mengajak Kinanti duduk santai di sebuah cafe kecil yang di depannya ada sungai kecil dengan air jernih yang mengalir ke hilir. Sebuah Mushalla walaupun mungil namun bersih tertata bisa digunakan pengunjung untuk Sholat. Aku dan Kinanti pun sempat sholat Dhuhur di sana.
”Kinanti jangan tanya menu makanan Priangan di sini ya!”, sambil aku serahkan daftar menu makanan. Kinanti tersenyum sambil mengambil daftar menu yang aku sodorkan.
”Nah ini Rawon Setan!. Dulu aku pernah di ajak makan Rawon setan waktu di Surabaya!”, kata Kinanti.
”Oh iya waktu itu Kinan pertama kali makan rawon!. Tapi belum pernah makan setan he he he..!”, kataku sambil ketawa. Kinanti tertawa.
Sungguh aku melihat Kinanti bahagia sekali. Aku merasakan ada yang lain dengan Kinanti. Saat ini sikapnya kepadaku begitu penuh harap seolah dia sedang menunggu nunggu wujud sikap dan niatku dulu yang pernah aku utarakan kepadanya. Aku harus memaklumi tidak mungkin Kinanti membuka duluan lembaran lama tersebut. Akulah yang harus membuka lembaran tersebut dan memulainya lagi untuk mengeja dan membaca hatinya. Selama menikmati makan siang itu berkali kali aku mencuri pandang menikmati kecantikan wajah Kinanti.
Maha Besar Allah yang telah menciptakan mahluk secantik ini. Kinanti dari sejak SMA dulu sampai sekarang dalam usianya yang sudah kepala empat masih tetap cantik. Andaikan Kinanti berdampingan dengan anak gadisnya, Intan Permatasari, mereka bak kakak beradik. Orang tidak akan menyangka kalau Kinanti adalah Ibunya. Kinanti dengan mata yang teduh kalau memandang tajam, hidung bangir dan bibir selalu berhias senyum. Aku lah lelaki yang dulu waktu SMA jatuh cinta kepadanya.
”Hei Alan kenapa kamu bengong begitu!?”, suara Kinanti membuatku terkejut dan membuyarkan semua angan dan lamunanku.
”Tidak apa apa!”, kataku agak gugup juga, habis ketahuan kalau lagi memperhatikannya.
”Melamun siapa Alan?”, tanya Kinanti sambil tersenyum.
”Iya melamun ingat teman waktu SMA dulu!”, kataku.
”Oh ya pasti namanya Kinanti Puspitasari ya. Gadis yang pernah menolak cintamu!”, kata Kinanti sambil melirikku menggoda.
”Tepat!”, kataku sambil tertawa karena Kinanti sudah mendahului apa yang akan kukatakan.
”Lalu Alan melamunkan apanya?”, tanya Kinanti. Aku bertambah tertawa mendengar pertanyaan Kinanti ini.
”Aku sebenarnya malu kepada diri sendiri kalau ingat peristiwa itu!”, kataku sedikit agak serius.
”Lho kenapa malu Alan?”, kata Kinanti.
”Kalau saja tahu sebelumnya aku mau ditolak oleh gadis cantik itu, teman SMA ku itu yang sampai sekarang aku masih mengaguminya. Aku pasti tidak akan mengatakan cintaku!”, kataku.
”Oh berarti Alan tidak mencintai gadis teman SMA nya itu!”, kata Kinanti.
”Bukan itu. Maksudnya aku kenapa waktu itu tidak langsung saja melamarnya menjadi istriku!”, kataku. Aku lihat Kinanti tersenyum manis.
”Kalau tetap ditolak bagaimana!”, kata Kinanti.
”Tidak apa apa ditunggu saja sampai diterima!”, kataku.
”Sampai kapan menunggunya!?”, tanya Kinanti mulai menyelidik.
”Sampai gadis teman SMA ku itu mau menerima lamaranku!”, kataku mantap.
”Okey Alan nanti aku sampaikan ya kepada gadis teman SMA mu itu!”, kata Kinanti sambil tertawa kecil.
Mendengar jawaban Kinanti walaupun dalam bentuk gurauan namun membuatku merasa lega. Aku seakan kembali memiliki harapan. Inshaa Allah inilah saatnya aku mengutarakan kembali niat tulusku untuk menjadikan Kinanti teman hidupku.
Sore itu kami meninggalkan Taman Safari kembali menuju Surabaya. Setiap Sabtu sore sudah biasa volume kendaraan semakin padat menuju tempat tempat rekreasi di Malang. Untung saja aku berkendaraan melawan arus yaitu menuju Surabaya jadi relatif lancar sampai tujuan. Sesampai di Tol Waru aku menawarkan Kinanti untuk singgah ke Rumahku di Mananggal. Kinanti setuju dan kamipun menuju ke sana.
”Silahkan Kinan!”,  kataku mempersilahkan Kinanti masuk.
”Mau minum teh atau kopi?”, aku menawarkan minuman.
”Teh saja terima kasih!”, kata Kinanti. Aku menuju kebelakang meminta Si Mbok untuk membuatkan minuman lalu kembali menemui Kinanti di Ruang tamu.
”Alan boleh aku tanya?”, kata kinanti.
”Boleh! Mau tanya apa?” kataku.
”Aku sudah dua kali ke rumahmu ini tapi tidak ada sebuah fotopun di ruang ini yang kumaksud foto Diana Faria. Maaf Alan aku bertanya seperti ini!”,kata Kinanti.
”Tidak apa apa Kinan. Dulu foto Diana Faria ada di ruang kerjaku tapi sekarang sudah lama aku simpan!”, kataku menjelaskan kepada Kinanti.
”Alan bolehkah aku berkenalan dengan Diana Faria walaupun hanya melalui foto!”, tanya Kinanti. Aku mengangguk lalu bergegas mengambil foto Diana Faria di Box pribadiku yang terkunci rapi. Aku menyerahkan foto itu kepada Kinanti.
”Seorang wanita yang cantik wajahnya lembut dengan senyum menawan. Iya Daisy Listya mirip dengan Diana Faria hanya Diana kulitnya lebih putih. Alan sungguh berbahagia dicintai oleh wanita seperti Diana Faria!”, kata Kinanti sambil memandang foto itu tak berkedip.
”Ya Kinan terima kasih. Diana Faria sudah ditakdirkan Allah bukan menjadi jodohku walaupun dia mencintaiku. Aku harus ikhlas menerima takdir ini. Sekarang ini aku hanya ingin menunggu takdir Allah yang lain!”, kataku mulai serius. Aku masih melihat Kinanti memandangi foto Diana Faria tidak berkedip.
”Hidup ini begitu penuh dengan misteri!”, kata Kinanti sambil matanya masih memandang foto itu. Kelihatan mata Kinanti mulai berkaca-kaca. Entah apa yang dirasakan Kinanti saat ini. Kinanti mulai hanyut dalam perasaannya sendiri.
”Alan aku juga sedang menunggu takdir Allah yang lain untukku!”, kata Kinanti.
”Kinan yakinlah takdir Allah itu pasti yang terbaik untuk hambaNya!”, kataku. Kinanti masih memandang foto Diana Faria.
”Aku seakan bisa merasakan cinta Diana Faria yang sangat tulus kepadamu Alan sama seperti cintanya Daisy Listya!”, kata Kinanti lagi.
”Andai aku juga mencintaimu Alan namun tidak seperti cintanya Diana Faria dan Daisy Listya!”, kata Kinanti mulai terisak. Mendengar ini aku terkejut. Perlahan aku pegang kedua tangannya sambil aku tatap tajam wajah Kinanti.
”Kinan cinta seorang hamba Allah tidak bisa disetarakan satu sama lain karena cinta itu hanya milikNya!”, kataku.
”Aku hanya tidak pantas untukmu Alan!”, kata Kinanti.
”Kinanti pandanglah aku!”, Kinanti memandangku dengan mata yang berkaca-kaca.
”Aku sungguh mencintaimu dan beritikad untuk menjadikanmu istriku, teman hidupku. Apakah kau bersedia?”, kataku.
”Alan setelah Diana tiada, cintamu itu ada dalam diri Daisy Listya. Dua wanita ini seperti hidup dalam zaman yang berbeda. Aku masih belum pantas!”, suara Kinanti lirih. Aku memegang tangannya lebih erat lagi.
”Dengar Kinan, mereka sudah menjadi masa laluku. Masa depanku adalah Kinanti Puspitasari. Aku akan menunggumu sampai kau menganggukkan kepala untuk menerima cintaku!”, kataku.
”Alan benarkah kau mencintaiku?”, tanya Kinanti seolah ragu dengan apa yang aku ucapkan.
”Sudahlah Kinanti berhentilah menangis. Aku yakin kau sudah bisa merasakan betapa aku selalu mengharapkanmu menjadi istriku. Kinanti Puspitasari adalah takdirku dariNya!”, kataku sambil menghapus air mata dipipinya.
”Kinanti tersenyumlah!”, pintaku sambil aku memandang wajah cantiknya. Kinanti mulai tersenyum dan aku merasa lega satu himpitan di dadanya sudah lepas. Aku juga sudah merasakan kelegaan suasana hatinya.
”Aku sudah mendapat izin dari Daisy Listya tentu saja juga harus mendapat izin dari Diana Faria!”, kata Kinanti.
”Kalau begitu sapalah Diana Faria yang ada dalam pangkuanmu. Mintalah izin padanya agar Alan Erlangga diizinkan menjadi suamimu!”, kataku. Mendengar ini Kinanti tersenyum lalu kembali memandang foto yang ada dalam pangkuannya.
”Alan bantulah aku untuk menghilangkan rasa ragu ini bahwa aku mencintaimu!”, kata kinanti.
”Inshaa Allah Kinanti. Jangan ada lagi keraguan bahwa kau adalah TakdirNya untukku!”, kataku memberikan keyakinan kepada Kinanti.
Ruangan itupun sekarang penuh dengan senyum dan kebahagiaan.  Sungguh hanya kebesaran Allah semata jika saat ini semua relung di hatiku penuh dengan keluasan untuk menerima tulusnya sebuah cinta. Suara Adzan dari Masjid Al-Akbar pun adalah ungkapan kebesaranNya. Suara Adzan itupun memanggilku untuk bersimpuh kepadaNya. Aku dan Kinanti bergegas menuju Rumah Allah untuk bersimpuh di sana mensyukuri pemberian TakdirNya. SubhanAllah.
Seusai sholat Magrib itu aku mengantar pulang Kinanti kembali ke tempat kediaman Pamannya di Jl.Sulawesi. Hanya sebentar berbincang dengan Paman dan Tantenya aku segera berpamitan sehingga aku tiba di rumah belum terlalu malam. Hari yang melelahkan namun begitu indah terasa. Alhamdulillah akhirnya Kinanti telah membuka isi hatinya. Alhamdulillah ya Allah aku mohon keridhoanMu agar Kinanti menjadi istriku. Malam itu terasa panjang karena aku memang tidak bisa memejamkan mata. Minggu sore besok Kinanti sudah kembali ke Bandung. Tentu selanjutnya aku semakin merindukannya untuk setiap hari hari yang aku lewati.
Subuh itu aku bersyukur masih bisa bangun pagi dan sholat berjamaah seperti biasanya di Masjid Al-Akbar. Pulang dari Masjid masih sempat pula ber olah raga ringan. Rencana hari Minggu ini aku dan Kinanti hanya ingin menghabiskan waktu di Surabaya. Ketika baru saja selesai sarapan Kinanti menelponku.
”Alan ada kabar duka. Rizal meninggal dunia pagi Subuh tadi. Aku baru saja menerima kabar dari Listya!”, kata Kinanti. Inna lillaahi wa inna ilaihi roo jiuun. Ya Allah semoga Rizal Anugerah diterima semua amal ibadahnya dan keluarga yang ditinggalkan mendapat ketabahan terutama Listya. Mendengar berita duka ini aku hanya bisa termenung. Pagi itu aku dan Kinanti segera meluncur ke Malang menuju rumah duka. Dalam perjalanan menuju Malang aku melihat Kinanti banyak diam. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
”Kinan sedang melamunkan siapa?”, aku mencoba bertanya.
”Sedang merasakan dukanya Listya!”, kata Kinanti.
”Duka Listya adalah duka kita juga!”, kataku.
”Aku teringat Listya sering mencurahkan isi hatinya tentang hambarnya sebuah perkawinan. Apakah ini jawaban Allah atas doaku agar Listya suatu hari akan mendapatkan harapannya selama ini!”, kata Kinanti.
”Kinanti biarlah Listya mendapatkan keikhlasan dengan takdirnya. Kita hanya bisa berdoa agar Listya selalu mendapat kekuatan dari Allah!”, kataku.
”Ya Alan. Semoga!”, kata Kinanti pendek.
Sesampainya di Rumah duka aku dan Kinanti menemui Listya dan menyampaikan rasa duka yang mendalam. Rizal Anugerah setelah seminggu mengalami koma akhirnya menghembuskan nafas terkhir. Semoga ini jalan terbaik untuknya setelah mengalami penderitaan yang panjang. Demikian pula untuk Listya semoga ketabahan selalu ada dalam hatinya.
”Listya tabahkan hati ya ikhlaskan Mas Rizal. Ini adalah jalan yang terbaik dari Allah!”, kataku menghibur.
”Terima kasih pak Alan!”, kata Listya disela isak tangisnya. Kemudian Listya menghampiri Kinanti.
”Bu Kinan!”, Listya menangis dipelukkan Kinanti. Aku hanya bisa memandang dua wanita cantik ini berpelukan. Mereka adalah dua wanita berbeda usia. Keduanya sangat dekat dengan hatiku. Keduanya adalah orang-orang yang sangat berarti dalam hidupku.
”Tabahkan hatimu Listya. Allah selalu memberi kita yang terbaik. Takdir Allah itu pasti terbaik untuk kita. Listya harus mengikhlaskan Mas Rizal..!”, kata Kinanti menghibur sambil memeluk Listya yang masih terisak. Dukamu Listya adalah dukaku juga. Aku merasakan kesedihanmu dari tatap sendu matamu. Dulu aku merasakan duka seperti ini ketika kehilangan Diana Faria. Duka Listya telah membuka lagi duka masa lalu. Semakin lama semakin sadar ternyata hanya Allah Yang Maha Memiliki. Suara Adzan Dhuhur di Masjid itu berkumandang seolah mengingatkan bahwa Allah lah Yang Maha Besar, Maha Berkuasa atas segala sesuatu. KerajaanNya meliputi langit dan bumi dan diantara keduanya. Suara Adzan itu membuka hati ini agar lebih sabar dan ikhlas menerima semua ketentuan dan keputusanNya. Kesabaran hati adalah awal dari kemuliaan.

 (BERSAMBUNG)



Friday, December 6, 2013

Novel Hensa EPISODE AKHIR CINTAKU (Bagian 11)

Foto : Cover Novel Kemarau Panjang Di Kota Hujan


Bagian 11
KINANTI BUKALAH PINTU HATIMU

Suasana Ruang ICU sebuah Rumah Sakit di Malang itu sunyi senyap. Aku melihat Rizal Anugerah terbaring lemah. Ada komplikasi serius pada ginjal hasil cangkokkannya. Sudah hampir sepekan ini Rizal di rawat dan dua hari terakhir ini kondisinya tidak sadarkan diri, sangat memprihatinkan. Sebenarnya ada rencana untuk kembali di bawa ke Mount Elizabeth Hospital Singapore, dimana dulu dilakukan operasi cangkok ginjalnya, namun kondisi Rizal yang tidak memungkinkan melakukan perjalanan ke sana. Aku memang baru menyempatkan diri menjenguk Rizal, suami Listya ini pada Jumat sore. Rasa prihatin yang mendalam untuk Listya yang sedang mengalami cobaan ini. Alhamdulillah aku melihat Listya begitu tabah menghadapi ujian ini.
”Pak Alan terima kasih. Mohon doanya untuk kesembuhan Mas Rizal!”, kata Listya penuh kesedihan.
”Iya Lis semoga Mas Rizal diberikan kesembuhan seperti sediakala. Listya harus sabar ya!”, kataku memnenangkan.
”Terimakasih Pak Alan!”, suara Listya terharu.
Tidak banyak yang aku bicarakan dengan Listya di Rumah Sakit itu sampai akhirnya aku harus pamit karena hari sudah menjelang malam apalagi besok pagi aku berniat ke Bandung menjumpai Kinanti dengan penerbangan pagi hari.
Rasanya jarak Surabaya – Bandung semakin dekat saja. Apalagi jarak hatiku dengan Kinanti seolah semakin tidak berjarak saking dekatnya. Akhir-akhir ini memang aku bisa merasakan betapa dekatnya hati Kinanti seakan kapan saja aku bisa mengetuk pintu hatinya. Ya kapan saja aku bisa mengetuk pintu hatinya namun hingga saat ini masih belum terbuka. Aku hanya bisa mendengar ada sapaan lembut dari dalam sana.  Teringat kembali dengan apa yang pernah dikatakan Kinanti dalam sebuah sms :
”Daisy Listya adalah cinta sejatimu walaupun mungkin tidak bisa kau raih namun andaikan aku harus menggantikan cinta Daisy Listya adalah hal yang tidak bisa disetarakan!”.
”Itulah sebabnya aku tidak bisa memenuhi keinginan Listya agar aku menikah denganmu!”.
”Alan ada yang perlu kau ketahui bahwa sebenarnya Intan, putriku, lebih merestuimu dari siapapun untuk menjadi teman hidupku. Namun alasan-alasan di atas itu yang membuat aku harus memberi keputusan yang lain!”.
Apakah saat ini Kinanti masih tetap bersikukuh seperti itu?. Apakah Kinanti masih akan tetap menganggapku hanya seorang sahabat?. Jika melihat gelagat dan sinyal sinyal yang diberikan Kinanti padaku akhir-akhir ini nampaknya ada setitik harapan. Walaupun harapan itu hanya setitik tapi tetap saja itu sebuah harapan. Aku harus bisa membuka tabir yang membelenggu cintanya. Aku yakin Kinanti mencintaiku walaupun dia menganggap cintanya tidak bisa disetarakan dengan cinta Listya. Sikap ini membuatku bertambah mengaguminya karena cinta Kinanti memang memiliki keagungan sendiri walaupun aku selalu menganggap cinta kedua wanita ini begitu luhur penuh dengan ketulusan. Satu hal yang membuatku semangat adalah Intan, putri satu-satunya yang selalu mendukungku untuk bisa menyunting Ibunya. Ini artinya aku sudah membuka satu kunci dan tinggal mendorong pintunya untuk terbuka. Jika pintu hatinya sudah terbuka maka aku bisa masuk ke sana untuk mengisinya dengan cintaku yang tulus.
Malam Minggu di kota Bandung dengan langit yang cerah secerah hatiku. Selepas Magrib tadi aku sudah meluncur menuju Arcamanik tempat kediaman Kinanti. Ketika aku tiba di sana, aku disambut Kinanti dengan penuh suka cita. Rasanya seperti wakuncar jaman SMA dulu he he he. Kinanti malam ini begitu anggun dengan wajah ceria di balut jilbab warna pink. Matanya yang indah itu berbinar dan senyum manisnya selalu menghiasi bibirnya. Sambutan Kinanti malam ini begitu istimewa. Allah Maha Besar, Maha Pencipta yang telah menganugerahkan kecantikan kepada Kinanti Puspitasari. Di ruang tamu itu aku hanya tertegun takjub memandang begitu anggunnya Kinanti.
”Alan! Jangan memandangku terus seperti itu dong!”, kata Kinanti tersipu saat aku memandanginya tak berkedip.
”Kinanti, mau bagaimana lagi aku, karena kamu cantik sekali. SubhanAllah!”, kataku tulus. Kinanti tersenyum penuh arti dengan rasa senang dan tersanjung.
”Sudahlah. Jangan membahas kecantikan. Apalagi pujian untuk kecantikan. Pujilah yang telah menciptakan kecantikan itu!”, suara Kinanti mengingatkan.
”Segala Puji bagiMu yang telah menciptakan mahluk bernama Kinanti Puspitasari yang sekarang duduk di depanku. Sungguh telah membuatku terpukau tak berkedip!”, kataku serius.
”Alhamdulillah!”, kata Kinanti tersenyum. Suasana yang sangat indah. Ruangan jadi penuh dengan senyum dan canda. Malam Minggu yang sangat istimewa bagiku. Topik pembicaraan dengan Kinanti masih seputar sakitnya Rizal, suami Listya.
”Alan tadi malam Listya telepon bercerita tentang kunjunganmu ke Rumah Sakit itu. Listya sangat terharu atas kedatanganmu!”, kata Kinanti.
”Iya waktu itu aku lihat Listya begitu tabah walaupun kondisi Rizal sangat kritis. Kita hanya bisa berdoa untuk kebaikannya juga ketabahan Listya!”, kataku. Kinanti mengangguk.
”Banyak cerita yang diutarakan Listya malam itu. Aku sangat kagum atas ketabahannya menerima ujian ini!”, kata Kinanti.
”Ujian dari Allah itu akan membuat kita semakin tinggi derajatnya. Untuk naik kelas kita butuh ujian...!”, kataku seolah berbicara untuk diri sendiri.
Ya menghadapi Kinanti bagiku juga termasuk ujian yang harus aku hadapi dengan penuh perjuangan. Tidak boleh menyerah aku harus yakin bisa menundukkan hati Kinanti Puspitasari.
”Alan mudah-mudahan ujian ujian dariNya semakin membuat kita semakin menjadi hambaNya yang sabar dan tegar!”, kata Kinanti.
”Ya Kinanti mudah-mudahan aku juga bisa selalu sabar dan tegar menunggu dan menunggu calon istriku datang kepadaku!”, kataku mulai memancing di air bening.
”Alan seharusnya calon istri itu bukan datang kepadamu tapi dijemput olehmu!”, kata Kinanti.
”Oh dijemput?. Ya sudah atuh aku harus menjemputnya. Kapan ya dia bersedia dijemput?”, kataku mulai membidik sasaran. Kinanti tersenyum dan nampaknya dia tidak mau terpancing.
”Ya tanya sendiri saja kepadanya. Mana aku tahu!”, kata Kinanti pura-pura ketus. Aku hanya tertawa sambil angkat bahu. Walaupun Kinanti tidak terpancing namun aku bisa merasakan adanya sinyal bagiku untuk saatnya aku mencoba lagi mengetuk pintu hatinya.
Akhirnya dialog tentang calon istri itu harus terputus karena tiba-tiba saja terdengar suara seseorang mengucapkan salam. Ternyata Intan sudah berdiri di pintu itu sambil menyapa kami yang ada di ruang tamu. Kata Kinanti setiap Sabtu sore menjelang malam biasanya Intan baru tiba di rumah dari Kampus Jatinangor.
”Ayah Alan rupanya sudah datang!”, kata Intan menyapaku sambil bersalaman mencium tanganku.
”Iya. Rupanya nanda Intan juga baru pulang dari Kampus nih!”, tanyaku.
”Ya Ayah ini terlambat agak malam biasa macetnya Bandung sulit diprediksi. Malah biasanya kalau macetnya parah lebih malam lagi sampai rumah”, kata Intan. Lalu mata Intan tertuju memandang Ibunya dan bersalaman mencium tangan Ibunya. Gadis manis yang sedang mekar ini mulai menggoda Ibunya.
 ”Ibu aduh malam ini cantik sekali!. Pasti ada yang istimewa nih kalau Ibu secantik ini”, kata Intan menggoda sambil matanya berkedip kepadaku.
”Iya dong Intan gimana sih kamu ini!”, kataku sambil tertawa sementara Kinanti hanya terdiam. Sang Ibu mulai memelototi anak gadisnya sambil pura-pura cemberut.
”Ibu sungguh lho aku ini bicara jujur Ibu malam ini cantik sekali pasti Om Alan juga setuju!”, kata Intan semakin menggoda Ibunya.
”Intan!, sudah ayo masuk sana baru datang sudah ngeledek!”, suara Kinanti agak kesal. Intan tertawa kecil sambil berlari kecil masuk ke dalam rumah. Sementara aku hanya tertawa dan Kinanti tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Pembicaraan semakin hangat dan canda tawa seperti biasa menambah kehangatan malam Minggu bersama Kinanti. Aku merasakan suasana seperti sedang wakuncar (wajib kunjung pacar) jaman ABG dulu. Sewaktu SMA dulu jika aku berkunjung ke rumah Kinanti selalu bersama teman-teman yang lain. Biasanya ditemani Indra, Aini dan Erika. Kami saat itu bersahabat sangat akrab.
”Kinan apakah suka kontak dengan Indra,Aini?. Atau Erika?” tanyaku. Tiba-tiba saja aku ingin membuka kembali lembaran SMA dulu.
”Aini ada di Bogor masih sering kontak melalui hand phone namun Erika sudah lama tidak pernah kontak. Terakhir aku mendengar khabar Erika tinggal di Medan!”, kata Kinanti.
”Aku juga pernah ketemu Indra sewaktu ada acara seminar di ITS Surabaya tempo hari. Ah rasanya ingin kumpul bareng mereka lagi ya!”, kataku.
”Iya masa masa indah saat kumpul bareng mereka sulit dilupakan!”kata Kinanti.
”Namun bagi aku yang sulit dilupakan adalah ketika Kinanti Puspitasari menolak cintaku!”, kataku bercanda sambil cekikikan. Mendengar ini Kinanti kelihatan cemberut.
”Tidak apa apa Kinan memang saat itu wajarlah kalau aku harus menerima penolakanmu. Maklumlah Alan Erlangga saat itu seorang pemuda yang bengal!”, kataku tertawa lepas.
”Sudahlah Alan jangan sekali-sekali singgung soal itu lagi. Tutup saja masa lalu yang tidak perlu dikenang dan sebaiknya menatap ke depan!”, kata Kinanti.
”Kinanti maafkan aku. Bukan bermaksud mengungkit masa lalu yang tidak perlu dikenang namun memang saat ini kita sebaiknya tatap kedepan!”, kataku mulai serius.  
Malam sudah semakin larut tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh.
”Kinan sudah malam aku ingin pamit dulu!. Sebenarnya aku masih kangen. Besok pagi aku sudah kembali ke Surabaya”, kataku.
”Ya Alan sama aku juga masih kangen!”, kata Kinanti pendek. Aku kaget karena ini pertama kali Kinanti berkata kangen kepadaku.
”Biarkan rasa kangen ini kita simpan saja dulu hingga suatu hari bisa kita tumpahkan bersama!”, kataku.
”Alan aku ingin minta maaf atas semua yang pernah membuatmu sakit hati terutama saat kita SMA dulu!”,suara Kinanti sendu.
”Kinanti sudahlah. Aku sudah memaafkan dan melupakan yang terjadi dulu. Katamu tadi kita lebih baik menatap kedepan kan?”, kataku. Kinanti hanya terdiam membisu. Lalu aku pegang tangannya.
”Kinanti kita sebaiknya menatap ke depan. Aku selalu ada untukmu!”, kataku serius. Kinanti masih terdiam membisu. Dia menatapku dengan wajah sendu. Aku bisa merasakan isi hatinya. Malam Minggu bersama Kinanti itu akhirnya usai sudah namun aku berhasil mengetuk pintu hati Kinanti walaupun belum ada jawaban yang pasti.
Hati wanita itu harus ditundukkan dengan kelembutan dan kasih sayang karena hati wanita itu sangat halus maka dibutuhkan sentuhan kelembutan yang halus pula. Wanita adalah mahluk yang sangat terhormat maka sentuhlah dia dengan rasa hormat dan tulus. Wanita terhormat hanya untuk laki-laki terhormat. Alan apakah kamu sudah pantas menjadi lelaki terhormat?. Pertanyaan yang sulit untuk dijawab.
Minggu pagi di Bandara Husen aku menerima sms dari Kinanti :
”Alan untuk hari hari ke depan aku pasti akan merindukanmu. Tetaplah selalu hadir untukku!”
Sebuah pesan yang memang singkat namun memiliki arti yang sangat dalam bagiku dan bagi masa depanku. Kinanti tunggulah aku akan melamarmu.......


(BERSAMBUNG)

Tuesday, December 3, 2013

Novel Hensa EPISODE AKHIR CINTAKU (Bagian 10)

Foto : Hensa/Cover Novel Masih Adakah Ruang Di Hatimu

Bagian 10
SAATNYA AKU BAHAGIA

”Kadang kadang saat ini aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”.
Ini adalah salah satu sms Kinanti Puspitasari tempo hari ketika dia memutuskan untuk menerima lamaran Eko. Sekarang rencana pernikahan mereka akhirnya kandas begitu saja karena kebodohan penghianatan Eko kepada Kinanti. Bagiku sms Kinanti ini  jauh lebih berarti dibandingkan dengan batalnya pernikahan Kinanti dengan Eko.  Aku semakin merasakan bahwa Kinanti adalah harapan terakhirku karena  Daisy Listya sudah menjadi masa laluku. Inilah realita yang sekarang aku harus hadapi. Suatu hari aku harus kembali mengutarakan niatku untuk menjadikan Kinanti sebagai teman hidupku. Sejak gagalnya pernikahan dengan Eko, aku merasakan Kinanti begitu dekat denganku. Hampir setiap hari selalu kontak melalui hand phone. Aku bisa memaklumi jika Kinanti saat ini sangat butuh orang yang dapat menenteramkan hatinya. Andai Kinanti memilih aku sebagai orang yang menjadikan curahan hatinya kukira wajar saja. Aku sejak dulu memang sahabatnya. Aku sejak SMA dulu pernah mengemukakan cintaku. Saat ini orang terdekat bagi Kinanti tentu saja aku. Aku bisa memastikan apa yang sekarang dilakukan Kinanti bukan sebuah pelarian tapi kepercayaannya kepadaku sebagai seorang sahabat. Kepercayaan Kinanti harus aku hargai dengan ketulusan cintaku. Namun aku tetap harus berjuang untuk bisa menggapai cinta wanita cantik ini. Tidak mudah memang karena yang menjadi acuan Kinanti adalah cinta Daisy Listya. ”Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”. Sepenggal sms Kinanti tempo hari membuktikan hal itu. Aduuuh memang mumet.
Sabtu pagi ini aku menerima kabar Kinanti sore nanti minta dijemput di Bandara Juanda. Kinanti bersedia menemaniku ke Resepsi Pernikahan Audray hari Minggu besok. Alhamdulillah mudah-mudahan ini pertanda baik. Aku tetap harus berjuang untuk mendapatkan cintanya. Maka sore itu aku sudah menunggu di Pintu Kedatangan Bandara Juanda. Aku melihat Kinanti menuju pintu keluar. Kelihatan agak kurusan mungkin sehabis sakit tempo hari masih belum pulih namun wajahnya tetap kelihatan segar dan senyumnya tetap manis menenteramkan.
”Assalaamu alaikum Bu Kinan, bisa saya bantu!”, kataku mulai menggoda sambil mengambil tas yang dibawanya. Kinanti hanya tersenyum sambil menepuk bahuku. Kami bergegas menuju tempat parkir lalu meluncur menuju Tol Bandara.
”Alan dari Kampus langsung ke Juanda?”, tanya Kinanti.
”Iya tadi siang ada kerjaan tunda di Laboratorium setelah itu langsung menjemputmu di Juanda. Bagaimana kesehatanmu. Kok agak kurusan?”, tanyaku.
”Alhamdulillah sehat. Kurus?. Kamu mengejekku ya. Aku ini masih gembrot!”, kata Kinanti pura pura marah.
”Iya iya jangan galak dong dibilang kurus malah galak. Kinanti kurus atau gembrot sama saja Kinanti yang ramah dan.......galak!”, kataku sambil ketawa.
”Ramah sama galak tidak bisa dicampur!”, kata Kinanti.
”Galak yang ramah itu artinya menyenangkan. Tidak ada lho yang begitu kecuali Kinanti Puspitasari yang selalu ku kagumi!”, kataku mulai gombalnya keluar.
”Sudah Alan jangan ngawur!”, suara Kinanti pura-pura marah.
”Oh ya bagaimana kabar Intan?”, tanyaku.
”Alhamdulillah baik. Intan kirim salam untukmu juga Bapak dan Ibu!”, kata Kinanti.
”Intan Cuma kirim salam saja tidak titip pesan kepadaku?”, tanyaku terus menggoda. Aku lihat Kinanti tersenyum penuh arti. Aku mengerti mengapa Kinanti tersenyum pasti memang ada pesan dari Intan anak gadis Si Mata wayangnya.
”Kok tahu saja kalau ada pesan!”, kata Kinanti.
”Iya dong!. Apa isi pesan Intan”, kataku.
”Intan bilang padaku, Bu sampaikan salam kangenku untuk Ayah Alan!”, kata Kinanti sambil tersenyum melirikku.
”Hah Intan bilang Ayah Alan. Berarti sudah mendapat restu nih!”, kataku.
”Restu dari siapa?”, tanya Kinanti.
”Restu dari Intan atuh. Oh ananda Intan Ayah juga kangen nih!”, kataku dan kali ini Kinanti tertawa berderai mendengar candaanku. Bercanda tapi serius nih. Sebenarnya aku sudah tahu kalau Intan memang mendukungku untuk segera menikahi Ibunya.
Tidak terasa akhirnya kami tiba di jl Sulawesi tempat Paman Kinanti. Selama di Surabaya, Kinanti menginap di Rumah Pamannya. Aku sudah sangat familiar dengan keluarganya. Paman Kinanti ini adalah Paman dari garis Ibunya. Beliau sudah Pensiun dari pekerjaannya sebagai pegawai di sebuah Perusahaan Perkebunan. Sambutan ramah aku rasakan ketika kami tiba di sana. Aku tidak lama segera berpamitan karena hari sudah mulai sore.
Pesta Pernikahan Audray dilaksanakan di Rumah Om dan Tantenya Kawasan Darmo. Resepsi dengan konsep Pesta Kebun terasa meriah sekali.
”Terima kasih Pak Alan dan Bu Kinan sudah hadir di sini!”, suara Audray menyambut uluran tangan kami. Aku dan Kinanti setelah menyampaikan ucapan selamat kepada mempelai berdua segera saja berbaur dengan tetamu lainnya menikmati hidangan yang lezat. Aku lihat Audray dan Suaminya berdampingan mesra penuh kebahagiaan. Tiba-tiba saja aku teringat Daisy Listya. Mataku melihat ke seluruh penjuru arah angin hanya ingin melihat apakah Listya ada diantara tetamu yang hadir. Rupanya Kinanti juga mencari Listya.
”Alan! aku belum melihat Listya hadir di sini!”, kata Kinanti.
”Iya Kinan. Mungkin tadi sudah duluan. Kita yang datang agak siang!”, kataku.
”Ya mungkin juga. Aku belum sempat telpon dia. Nanti malam saja aku telpon Listya!”, kata Kinanti.
Anehnya aku merasakan hal yang tidak enak. Listya nampaknya tidak hadir pada Resepsi Audray ini. Ada apa ya?. Sewaktu perjalanan pulang rupanya Kinanti merasa ingin menelpon Listya.
”Assalaamu alaikum Bu Kinan!”, suara Listya diseberang sana. Kinanti sengaja posisi Hand Phone nya di ”on” kan sehingga aku bisa mendengar pembicaraan mereka.
”Listya bagaimana kabar?”, tanya Kinanti.
”Alhamdulillah baik Bu. Maaf tidak bisa hadir diacara resepsinya Audray. Mas Rizal masuk Rumah Sakit Bu!”, kata Listya.
”Ya Tuhan bagaimana kondisinya sekarang?”, tanya Kinanti.
”Sudah ditangani Dokter Bu. Doa nya Bu Kinan ya!”, kata Listya.
”Iya Listya. Saya juga mohon maaf tidak bisa menjenguk karena sore ini sudah kembali ke Bandung. Salam dari Pak Alan juga nih semoga Mas Rizal segera pulih!”, kata Kinanti.
”Terima kasih Bu Kinan dan Pak Alan!”, suara Listya terharu.
Aku cukup prihatin mendengar kondisi kesehatan Rizal anugerah, suami Listya. Hal ini pasti ada hubungannya dengan cangkok ginjalnya. Memang tidak mudah upaya cangkok organ tubuh ini. Banyak resiko yang harus ditempuh. Semoga saja Rizal segera pulih dan Listya selalu tabah menghadapi cobaan demi cobaan.
”Al kelihatannya ada komplikasi dan masalah pada hasil cangkok ginjalnya!”,kata Kinanti.
”Iya aku juga berfikir begitu!”, kataku pendek.
”Semoga Listya tetap tabah menghadapi ujian ini!”, kata Kinanti khawatir. Betapa dua wanita ini saling mencintai karena Allah sungguh mulia mereka.
”Ya semoga Allah memberikan yang terbaik untuk mereka!”, kataku.
Hari Minggu ini seharian bersama Kinanti berjalan begitu cepat. Tiba-tiba saja sudah sore hari dan aku harus mengantar Kinanti kembali menuju Bandara Juanda. Sambil menunggu jam keberangkatan kami duduk santai di sebuah Kafe.
”Kinan hari rasanya begitu cepat berlalu ya!”, kataku agak serius.
”Ya Alan rasanya waktu begitu singkat tiba-tiba saja aku sudah harus balik ke Bandung lagi!”, kata Kinanti.
”Aku tidak mengerti setiap bersamamu rasanya waktu begitu cepat berlalu!”, kataku sambil menatap Kinanti. Aku lihat wanita cantik ini tersenyum manis.
”Aku juga tidak mengerti kenapa waktu begitu cepat berlalu setiap Kinanti bersamamu!”, kata Kinanti masih sambil tersenyum. Aku memegang kedua tangan Kinanti dan wanita cantik ini menatapku. Aku menyukai mata Kinanti yang tajam dan indah apalagi sedang menatapku begini.
”Kinan aku sedang berfikir apakah kau mau memaafkan kesalahan masa laluku yang tidak pernah kau sukai!”, kataku.
”Alan, aku sudah memaafkanmu sejak dulu kita berpisah saat SMA. Kalau belum kumaafkan mana mungkin sekarang aku bersamamu!”, kata Kinanti pelan.
”Baik Kinanti. Aku merasa lega kini dan aku ingin membuktikan bahwa aku memang sahabat sejatimu. Insya Allah aku selalu ada untukmu!”, kataku.
”Terima kasih Alan!”, kata Kinanti dan tangannya memegang tanganku sangat erat sekali seolah tidak ingin melepaskannya. Aku lihat ada setitik air mata jatuh di pipinya.
”Kinan rasanya aku ingin selalu bersamamu. Kadang ada rasa rindu disaat kau jauh di Bandung sana!”, kataku.
”Biarkan Alan rasa rindu kita ini tetap ada!”, kata Kinanti pelan. Aku mulai merasakan keharuan yang sangat dalam dalam diri Kinanti. Aku sekarang sangat yakin Kinanti mulai mebuka hatinya untukku tapi aku tidak mau terburu buru. Apa yang terjadi jika ternyata Kinanti masih tetap menganggapku hanya seorang sahabat saja seperti selama ini. Tentu saja aku akan kecewa. Akhirnya Kinanti harus segera bersiap menuju pintu keberangkatan.
”Alan aku pulang dulu ke Bandung ya jaga dirimu!”, kata Kinanti.
”Baik Kinan. Oh ya jangan lupa sampaikan salam untuk Intan dari Ayah Alan!”, kataku. Kinanti mengangguk sambil tersenyum manis. Senyum yang menurut perasaanku penuh dengan arti. Aku hanya bisa memandang punggung Kinanti diujung koridor itu Kinanti masih sempat melambaikan tangannya kepadaku.
”Biarkan Alan rasa rindu kita ini tetap ada!”, kata Kinanti. Ini kata-kata yang kembali terekam dalam hatiku. Ya biarkan rasa rindu kita tetap ada dan terus ada tanpa batas. Ya Allah andaikan Kinanti adalah takdir terbaikku menurutMu maka jadikanlah Kinanti teman hidupku dengan penuh keridhoanMu.
  Aku merasakan hari hari ke depan menjadi hari hari yang penuh harapan. Memang seharusnya jadikanlah setiap hari penuh dengan harapan kebahagiaan. Ujian yang datang silih berganti semata mata hanya untuk membuat diri ini semakin tangguh dan berani menghadapi hidup. Ada orang bilang hidup ini hanya menunggu kematian tapi berani menghadapi hidup tidak sama dengan hidup yang hanya menunggu kematian. Entahlah. Saat ini aku hanya ingin berkata untuk diri sendiri bahwa kini saatnya aku bahagia. Semoga.

(BERSAMBUNG)