Saturday, February 22, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 6


Foto : Hensa/Koleksi Pribadi


EPISODE 6
SALAHKAH LANGKAHKU

Sejak pertemuan malam itu, aku semakin akrab dengan Mutiara dan beberapa kali aku bersilaturahmi di Paviliun tempat Kostnya.  Seperti pada malam itu kami mengobrol, bercanda kadang-kadang berdiskusi serius di Ruang tamu itu.
“Mas Herman sudah sebulan ini aku benar-benar meninggalkan pekerjaan kotor itu!”, kata Mutiara.
“Syukurlah Tiara !”, kataku lega.
“Hanya kemarin Ricki marah-marah kepadaku karena aku menolak order  tamu anggota Parlemen dari Jakarta. Sempat kami bertengkar tapi akhirnya Ricki menyerah!”, kata Mutiara.
“Apakah Ricki pernah berlaku kasar kepadamu Tiara?”, tanyaku.
“Tidak pernah Mas!”, kata Mutiara.
Aku tidak bisa membayangkan selama ini tamu tamu Mutiara pasti dari kalangan atas seperti Anggota Parlemen bahkan aku pernah mendengar dari Ima, teman Mutiara yang di Lokalisasi itu bahwa pernah Mutiara di booking seorang Pejabat Tinggi berasal dari sebuah Daerah di luar Jawa yang kebetulan sedang kunjungan dinas di Jawa Timur. Oknum-oknum anggota Parlemen maupun Pejabat- pejabat itu hanya menambah daftar panjang noda hitam yang selama ini di persepsikan Masyarakat terhadap anggota Parlemen dan Pejabat.  Memang hanya oknum namun mereka adalah oknum-oknum yang merusak citra Institusi mereka dan sama sekali tidak pernah memiliki rasa hormat kepada wanita. Mutiara hanya korban dan saat ini dia sudah menemukan lagi dirinya walaupun tidak seutuh dulu. Selama beberapa minggu ini memang Mutiara selalu menolak pekerjaan yang diberikan oleh Ricki dengan alas an sedang mempersiapkan ujian skripsi. Alasan yang cerdas untuk menghindari kemungkaran.
“Lalu perkembangan skripsimu bagaimana Tiara?.
“Minggu depan ini aku ujian skripsi. Tadi pagi aku sudah melihat jadwal ujianku. Doakan ya Mas!”, kata Mutiara.
“Wah selamat Tiara. Skripsinya sudah siap untuk diuji nih?”.
“Mudah-mudahan Mas. Aku sendiri seakan tidak percaya akhirnya skripsiku selesai juga!”, suara Mutiara penuh haru. Aku tersenyum memandang Mutiara. Wanita cantik ini membalas senyumku. Pandangan matanya yang teduh dan senyum manisnya yang memberi khas pada kecantikannya Mutiara.
“Mas Herman, aku sungguh beruntung bisa berteman denganmu. Aku seakan sudah menemukan kembali jalan pulangku!”, kata Mutiara.
“Tiara. Kamu tidak perlu mencari jalan pulang karena kamu tidak pernah kemana mana. Kamu hanya terbelenggu oleh masa lalumu, masa kelammu, masa gelapmu!”.
“Ya Mas. Aku hanya terbelenggu sehingga aku memang butuh seseorang yang mampu melepas belenggu itu!”.
“Tidak perlu seseorang Tiara karena hanya dirimu sendiri yang mampu membebaskan dari belenggu masa lalu kelam itu!”.
“Mas Herman terima kasih. Aku tidak akan mampu keluar dari belenggu itu tanpa bantuanmu!”, kata Mutiara lagi.
“Tiara. Ketahuilah aku hanya seorang perantara saja karena yang membawamu keluar dari dunia hitam itu adalah Tuhan!”, kataku. Aku melihat Mutiara terdiam membisu sambil tertunduk lalu pelan-pelan dia berkata.
“Aku semakin yakin Tuhan akan memaafkanku karena Dialah yang juga membawaku kembali kepadaNya!”, suara Mutiara pelan hampir seperti berbisik.
“Tentu saja Tuhan Maha Pengampun. Jika tidak lalu kepada siapa lagi kita memohon ampunan?”.
Manusia adalah tempatnya dosa dan kesalahan sedangkan Tuhan adalah Maha Suci Sumber segala Kebenaran. Hal itu sudah menjadi ketentuan yang tertulis dalam kitabNya. Mutiarapun pasti akan diberi kesempatan untuk bertobat dan kembali kepadaNya.
 Ujian skripsi bagi Mutiara adalah sejarah yang patut di catat dalam lembaran hidupnya. Perjuangan yang tak kenal lelah hingga harus mengorbankan dirinya sendiri, hari-hari yang pahit dalam hidupnya harus dilaluinya penuh dengan  ketabahan. Maka ujian skripsi ini merupakan titik balik dalam hidupnya. Pada hari itu aku memang sudah berniat menemui Mutiara sebelum dia masuk ke Ruang Sidang skripsi. Mutiara tampak terkejut ketika dia melihatku menemuinya.
“Mas Herman!”, suara Mutiara memanggil namaku penuh rasa gembira.
“Bagaimana Tiara sudah siap maju?”, tanyaku.
“Iya Mas setelah ini giliranku !”, kata Mutiara. Hampir semua mahasiswa yang keluar dari ruangan ujian itu memperlihatkan wajah dengan rasa lega sedangkan yang mau masuk terlihat tegang penuh rasa khawatir.
“Mutiara!”. Namanya terdengar dipanggil untuk bersiap menuju Ruang Ujian.
“Mas Herman, doakan aku ya!”, kata Mutiara sambil berdiri lalu bergegas menuju pintu masuk. Aku berdoa untuk Mutiara semoga semua pertanyaan Dosen Penguji dapat dijawabnya dengan benar. Teringat saat aku ujian skripsi dulu suasananya memang seperti ini. Dapat  dirasakan bagaimana rasa tegang penuh was was, rasa takut tidak bisa menjawab pertanyaan Dosen Penguji, pokoknya bercampur aduk menjadi satu. Aku juga tadi melihat Mutiara merasakan hal yang sama namun lihat saja nanti saat keluar dari Ruang Ujian akan merasakan kelegaan yang luar biasa apalagi sudah dinyatakan lulus.
Satu jam sudah berlalu. Aku berkali kali menoleh ke arah pintu Ruang Ujian itu. Lama sekali Mutiara di dalam sana padahal mahasiswa yang lain satu jam rata-rata mereka sudah selesai. Aku mulai merasakan ketegangan, jangan-jangan Mutiara mendapat kesulitan, dibantai oleh Para Penguji itu. Ya sekarang sudah memasuki satu jam setengah. Tiba-tiba saja aku melihat pintu itu terbuka dan Mutiara berdiri di sana dengan wajah ceria sambil berteriak memanggilku dia berlari ke arahku lalu memelukku.
“Mas Herman. Aku lulus!”, katanya. Aku masih terkejut dalam pelukannya. Belum pernah selama hidupku dipeluk wanita. Aku sebagai anak produk pesantren tentu merasa kikuk mendapat pelukan Mutiara. Pelan-pelan aku lepaskan pelukannya.
“Oh maaf Mas Herman. Aku lupa, kita bukan muhrim ya!”, kata Mutiara tersipu sambil melepaskan pelukannya.
“Iya Tiara tidak apa-apa!”, kataku tersenyum. Lalu akupun menyampaikan selamat atas kelulusan Mutiara.
Aku melihat wanita ini tersenyum bahagia. Lepas sudah belenggu itu dan Mutiara kini sudah mulai menatap ke depan. Akupun selalu mencoba meyakinkan diri ini bahwa Mutiara memang bukan wanita PSK. Andaikata memang Mutiara pernah menjadi wanita seperti itu yang pernah beredar di kalangan high class maka hal itu bukan karena kemauannya. Bagaimana dengan wanita lain semacam Mutiara yang mungkin juga bisa dijumpai pada sebuah Kampus?. Juga mereka tidak menginginkan profesi itu. Mereka hanya korban keadaan yang membuat dirinya frustrasi. Berapa banyak lagi wanita-wanita malang itu yang ada di Lokalisasi bahkan mungkin berkeliaran di keremangan jalan kota dan rel kereta api. Mereka adalah wanita yang perlu sentuhan kasih sayang dan perhatian agar kembali menempuh kehidupan sesuai dengan kodratnya sebagai seorang wanita. Mereka adalah wanita-wanita yang kehormatannya terampas oleh arogansi para lelaki hidung belang. Sangat menyedihkan nasib mereka yang haknya terengut menjadi komoditi para lelaki tidak beradab. Aku sangat setuju jika ada seorang Walikota atau Bupati atau Gubernur yang mau menutup lokalisasi namun bukan hanya itu solusinya. Mereka harus dibina agar bisa mandiri menatap masa depan yang lebih baik dalam naungan Ridho Allah. Sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan agama yang kuat, aku sangat hormat kepada wanita karena Ibuku juga seorang wanita.
Siang itu di Kantin Kampus aku diajak Mutiara makan siang.
“Tiara saat ujian itu aku kira kau sedang dibantai sama Dosen-dosen Penguji itu kok ujiannya lama sekali!”, kataku.
“Ya Mas mungkin beliau-beliau itu kagum dengan skripsiku sehingga diskusinya mengasyikkan!”, kata Mutiara.
“Tapi mungkin juga kagum sama kecantikan yang punya skripsi sehingga beliau-beliau betah menguji!”, kataku sambil tertawa.
“Ah Mas Herman ngawur!”, kata Mutiara tersenyum. Aku melihat pipinya merona merah. Sungguh aku belum pernah melihat Mutiara tersipu dan salah tingkah seperti ini. Wajahnya malah kelihatan bertambah cantik. SubhanAllah. Aku kembali tidak percaya mahluk secantik ini harus terjerumus menjadi seorang wanita PSK. Ya Allah, syukurlah dia sekarang sudah keluar dari dunia hitam itu.  
 Malam itu aku harus menyelesaikan laporan tugasku, namun fikiranku masih terganggu oleh peristiwa pelukannya Mutiara tadi siang. Seumur-umur belum pernah aku dipeluk wanita kecuali dipeluk Ibuku. Aku ini pemuda pesantren yang tidak kenal pacaran layaknya anak muda pada umumnya. Kolot?. Tidak apalah orang mengatakan begitu yang penting aku sudah menjalankan ajaran agama yang aku yakini. Namun pelukan Mutiara saat itu aku rasakan sebagai pelukan rasa sayang, bukan pelukan birahi. Ya aku merasakannya seperti itu. Benarkah Mutiara mulai menyayangiku?. Bagiku sendiri, hari hari yang kujalani selalu penuh dengan Mutiara. Apakah aku juga mulai menyayanginya?. Lalu Bunga?. Apakah Bunga hanya cinta saat masa puberku waktu SMP dulu?. Bunga dan Mutiara selalu hadir dalam anganku silih berganti. Oh Tuhan. Kemanakah aku harus melangkah?.



 BERSAMBUNG

Monday, February 17, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 5



EPISODE 5
PRAHARA MUTIARA

Saat makan siang di Kantin Rumah Sakit itu, aku menerima sms dari Mutiara yang isinya ingin bertemu denganku. Setelah aku melihat jadwal tugasku maka akhirnya aku sepakat bertemu Mutiara di Rumah Kostnya. Mutiara mengirim sebuah alamat melalui sms agar malam  ini aku bisa ke sana. Aku baru sadar ternyata alamat yang dia kirim bukan tempat Lokalisasi itu. Mutiara tinggal di sebuah Paviliun kawasan jalan Bali. Alamat itu dari tempat kostku di jalan Pucang Anom tidak terlalu jauh. Malam itu sehabis sholat Magrib aku meluncur menuju ke sana dengan menggunakan sepeda motor teman kostku. Hanya setengah jam akhirnya aku sampai di alamat yang dimaksud. Sebuah Rumah besar dan sebuah Paviliun di sebelahnya dengan pintu pagar terpisah dari Rumah induknya. Pintu pagarnya tidak terkunci maka akupun memarkir sepeda motor itu di halaman dalam. Aku tekan tombol bel di samping pintu itu. Aku mendengar suara seseorang berjalan menuju pintu. Ketika pintu terbuka, aku melihat Mutiara berdiri disitu dengan senyum manisnya. Sejenak aku terpana memandang wanita cantik ini. Walaupun berpakaian seadanya namun tidak mengurangi  aura kecantikannya. Sekali lagi aku tetap tidak percaya bahwa Mutiara adalah seorang wanita PSK ya Tuhan.
“Mari Mas Herman silahkan duduk. Mau minum panas atau dingin?”, kata Mutiara menawarkan minuman.
“Minum panas saja! Terima kasih Tia!”, kataku. Surabya memang masih hujan di akhir bulan ini dan udaranya lumayan sejuk tidak panas seperti biasanya. Paviliun ini sebuah Rumah kecil ada Ruang tamu merangkap ruang makan, dapur, Kamar tidur. Paviliun ini mungil namun terkesan mewah juga. Karena perabotan yang ada kelihatannya kelas satu. Tentu saja ini menggambarkan penghuni rumah tersebut adalah kelas satu. Tidak berapa lama Mutiara sudah kembali menemuiku di ruang tamu itu dengan secangkir teh panas.
“Mas silahkan !”, kata Mutiara sambil menyodorkan secangkir teh manis.
“Mas Herman terima kasih sudah mau datang. Tadi tidak nyasar nyari alamat ini!”, tanya Mutiara.
“Tidak Tia. Aku sudah hafal kawasan disekitar sini!. Karena dulu aku kan sopir Angkot yang rutenya lewat jalan Bali ini”, kataku sambil ketawa. Mutiara juga tertawa.
Cara dia tertawa sangat ramah dengan binar matanya yang indah. Mutiara memang sangat cantik. Kecantikan yang dia miliki bukan kecantikan biasa pada umumnya. Dibalik paras yang cantik ini seperti tersimpan sejuta misteri sehingga saat dia tersenyumpun kadang aku melihat ada garis duka yang dalam dibalik senyum itu. Aku baru tersadar dari lamunanku ketika Mutiara menegurku.
“Hei Mas Herman kenapa jadi melamun!”, kata Mutiara.
“Oh iya maaf Tia. Aku bukan, bukan sedang melamun tapi merenung!”, kataku sambil.
“Apa yang kau renungkan Mas!”.
“Aku berfikir bahwa Tuhan selalu ada dan hadir dalam seluruh masalah yang kita hadapi!”, kataku.
“Ya Mas. Aku juga yakin Tuhan selalu hadir dalam semua kejadian yang kita alami. Misalnya aku ditakdirkanNya bisa berkenalan dengan mas Herman!”.
“Betul Tia. Aku pertama kali melihatmu di Halte depan Rumah Sakit itu!”.
“Aku juga Mas. Saat itu aku mempunyai firasat bahwa aku akan bertemu dengan seorang Pria yang baik, ramah, sopan dan hormat kepada wanita!”, kata Mutiara dan kulihat raut wajahnya mulai mendung, matanya berkaca-kaca.
“Mas Herman. Selama ini aku selalu menilai bahwa laki-laki itu adalah mahluk keji, tidak beradab, budak nafsu dan penjajah yang sempurna bagi wanita!”, kata Mutiara lagi. Aku biarkan saja dia mengeluarkan semua isi hatinya. Maka akupun menjadi Pendengar yang baik untuk semua curahan hati Mutiara. Duka nestapanya baik pada masa lalu maupun yang saat ini sedang dia rasakan tumpah ruah. Akupun memungutnya dengan utuh satu demi satu. Biar semua kepedihan hatinya segera saja aku buang ke tempat yang tidak pernah memungkinkan dia temukan lagi.
“Mas Herman sebenarnya aku tidak mau lagi bercerita tentang peristiwa malam jahamam itu. Mengingatnya saja aku tidak kuasa apalagi menceritakannya. Namun aku harus bicara untuk Mas Herman!”, kata Mutiara mulai terisak.
Malam itu bagi Mutiara adalah malam yang mengeri-kan penuh dengan lumpur dosa maka wajar jika dia menyebutnya dengan malam jahanam. Sebelum masa kelam itu, masa remaja Mutiara di Kota Manado itu demikian indah dan manis. Keluarga yang bahagia dan harmonis. Prestasi belajarnya sangat luar biasa sehingga Mutiara merasa bangga akhirnya bisa diterima kuliah di sebuah Perguruan Tinggi terkenal di Surabaya seperti yang dicita-citakannya selama ini. Namun sejak Ayahnya meninggal saat itu dia sudah kuliah di Surabaya, kebahagiaannya seakan telah terengut. Beban hidup keluarga harus dipikul oleh Ibunya. Walaupun Ibunya tetap bekerja sebagai wanita karir namun tetap saja beban yang dipikul terlalu berat. Mutiara bisa memahami jika Ibunya harus menikah lagi maka diapun memberikan restu. Bagi Mutiara pernikahan Ibunya penuh dengan harapan perbaikan ekonomi untuk keluarganya sehingga kuliahnya di Surabaya juga berjalan dengan lancar.  Mutiara teringat saat pertama kali bertemu dengan lelaki calon ayah tirinya. Kesan pertama yang terlintas bahwa dia seorang lelaki yang ganteng berbadan tegap dan kelihatan bertanggung jawab. Sangat pantas untuk Ibunya yang hingga kini masih tetap cantik. Hanya ada sedikit ganjalan bagi Mutiara, mata calon ayah tirinya itu jika memandang Mutiara seperti sedang menelanjangi dirinya. Mungkin wajar siapapun lelaki akan terpana jika berjumpa dengan Mutiara, seorang gadis yang molek, rupawan, berkulit putih dengan rambut terurai dan ramah. Namun jika hal ini dilakukan oleh calon ayah tirinya maka Mutiara tentu saja akan merasa risih. Sikap itu sangat tidak wajar. Hampir saja Mutiara ingin mengutarakan hal ini kepada Ibunya namun dia urungkan.  Mutiara hanya berfikir bahwa itu mungkin hanya perasaannya saja. Ternyata sampai saat ini firasat seorang wanita jangan diremehkan. Suatu hari Ibunya sedang mendapat tugas dari perusahaannya ke luar Kota. Saat itu Mutiara sedang berlibur semester di Manado. Mutiara sudah merasakan firasat tidak baik saat makan malam bersama Ayah tiri dan ketiga adik laki-lakinya. Ayah tirinya suka mencuri curi pandang dengan pandangan yang aneh tapi sekali lagi Mutiara mencoba berfikir bahwa itu hanya perasaannya saja. Di kamar tidur itu Mutiara terlelap hingga saat dini hari yang sepi itu dia baru tersadar ketika merasakan adanya dekapan kuat bak birahi kuda jantan liar dan buas yang membuat Mutiara tak berdaya. Mutiara berusaha meronta namun sia sia. Beberapa saat kemudian Mutiarapun terkulai lemah. Kini Mutiara ibarat sekuntum bunga yang layu, lusuh penuh dengan debu. Sebuah noda dosa berwarna merahpun menetes basah diatas sprey putih itu. Hanya tangisan pilu Mutiara penuh dengan perih dan sedih. Peristiwa malam jahanam itupun harus terjadi. Bagi Mutiara Ayah tirinya adalah seorang biadab lebih buas dari binatang buas manapun.
“Sejak itu aku sudah tidak pernah lagi berhubungan dengan keluargaku di Manado!. Aku sampai saat ini masih menaruh rasa dendam terhadap lelaki!”, kata Mutiara ditengah-tengah isak tangisnya. Aku masih terdiam mendengar cerita memilukan ini.
Menghilangkan trauma akibat perkosaan membutuh-kan waktu yang lama. Aku kagum kepada Mutiara yang begitu tegar bercerita kembali peristiwa traumatis itu. Dia begitu lancarnya bercerita peristiwa pedih itu dan aku adalah orang yang dia percaya untuk mendengarkan isi hatinya.
  Sebagian besar wanita yang mengalami perkosaan tak pernah bisa melupakan peristiwa pedih tersebut seumur hidupnya. Apalagi bagi Mutiara, yang merengut dengan paksa mahkota gadisnya adalah Si Biadab Ayah tirinya. Sungguh memilukan. Tentu saja efek dari tindakan biadab itu telah merasuk ke seluruh sendi kehidupannya. Bisa jadi Mutiara memilih untuk tidak menikah selama lamanya. Akibatnya trauma itu Mutiara menganggap bahwa setiap pria adalah sama, jahat, kejam dan tak bisa lagi dipercaya.
“Mas Herman, aku ini wanita yang sudah berlumur dengan dosa. Sangat terhina. Apakah Tuhan mau memaafkanku jika aku kembali ke jalanNya!”, tanya Mutiara seolah bertanya kepada dirinya sendiri.
“Tia, tentu saja Tuhan itu Maha Pemaaf tinggal kita melakukan taubat dan kembali kepadaNya!”, kataku.
“Apa yang kulakukan selama ini hanya sekedar untuk bertahan hidup namun ternyata jalan ini adalah jalan sesat!. Aku telah salah melangkah”, kata Mutiara lagi.
“Tia yang penting kamu sudah mau menyadari karena masalah dalam hidup itu bukan untuk dibiarkan, tetapi harus dihadapi dengan segala resiko yang harus dijalani!”, kataku.
“Mas Herman jujur saja saat aku mengikuti penyuluh-an di Puskesmas itu ada rasa damai mendengar tutur kata yang keluar dari seorang lelaki yang baik penuh ketulusan!”, kata Mutiara. Aku terharu mendengar penuturan jujurnya tentang diriku.
Kehidupan selalu menawarkan harapan bagi siapa saja yang terus bersungguh sungguh dalam berupaya. Buanglah semua fikiran dan pandangan yang melemahkan. Ambillah hal hal yang secara  nyata akan membawa keluar dari masalah rumit yang tidak bisa selesai dalam hitungan detik. Yakinlah bahwa Allah sebaik baik Penolong.
Sejak pertemuan malam itu aku semakin simpati dengan nasib Mutiara. Aku semakin bertekad untuk memberikan semangat kepadanya apalagi Mutiara sudah bertekad ingin kembali ke jalan yang penuh kedamaian.
Tugas rutinku di Puskesmas Lokalisasi siang itu aku jalani dengan lancar. Selama melakukan penyuluhan mataku memandang ke setiap penjuru Ruangan namun tak kutemukan Mutiara. Dimanakah dia?. Saat  aku membuka HP untuk mengirim sms kepada Mutiara tiba-tiba terdengar seseorang menyapaku.
“Mas dokter Herman!”, suara Ima, salah seorang penghuni Lokalisasi yang juga teman baiknya Mutiara.
“Oh ya Mbak Ima!. Ada apa?”.
“Ada salam dari Tia. Tidak bisa hadir hari ini!”.
“Ya terima kasih mbak Ima. Memangnya kenapa Tia tidak datang!”.
“Tia sebenarnya sudah keluar dari sini. Memang selama ini dia tidak tinggal di sini. Namun Bos disini suka memberi kerjaan untuk tarif yang tinggi!”, kata Ima.
“Maksudnya keluar tuh bagaimana mbak?”.
“Iya Tia sudah berhenti bekerja di sini namun saya tidak tahu apakah dia masih bekerja untuk Ricki!”, kembali Ima menjelaskan.
Aku baru tahu Mutiara ternyata punya dua orang Germo. Salah satunya adalah Ricki. Aku sudah menyangka Ricki bukan mahasiswa yang selama ini aku kira. Aku harus berhati-hati dengannya karena mungkin saja dia akan selalu menghalangi Mutiara untuk berhenti bekerja. Mutiara adalah tambang emasnya yang harus dipertahankan mati-matian. Tantangan berat di depan telah menghadangku. Bagai-manapun kini rasanya lega hatiku. Mutiara sudah mendapatkan lagi petunjukNya.

BERSAMBUNG 



Saturday, February 8, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA (Episode 4)


Foto : Hensa/Koleksi Pribadi

EPISODE 4
BUNGA DI TAMAN HATIKU

Seakan tidak percaya ketika aku menerima kabar dari Ibu bahwa kemarin ada Bunga bersilaturahmi ke Rumah di Desaku.
“Kalau kamu sempatkan pulang ke Pasuruan, temui Bunga sebelum kembali ke Jakarta!”, suara Ibu melalui hand phone di ujung sana.
“Iya Bu besok ini aku pulang ke Pasuruan seusai jaga malam di IGD!”, kataku.
Bunga Putri Pertiwi demikian nama lengkap gadis manis ini. Hanya tiga tahun aku mengenal Bunga saat sama sama bersekolah di SMP. Ketika SMA Bunga harus pindah ke Jakarta karena Ayahnya mendapat promosi tugas di sana. Rupanya karir Ayahnya yang alumnus Akabri ini semakin berprestasi sehingga saat itu mendapat tugas sebagai atase militer di sebuah Negara Eropa. Tidak terasa sejak sama sama SMP itu sudah sepuluh tahun aku tidak bertemu Bunga.
Aku benar-benar sudah sangat rindu bertemu Bunga sehingga Bus yang membawaku pulang ke Pasuruan terasa  merayap begitu lambat di jalan Tol Surabaya – Gempol itu. Walaupun akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Selama di Pasuruan, Bunga tinggal di kediaman Tantenya maka saat itu akupun meluncur menuju ke sana, sebuah Perumahan Elit-Pondok Sejati di Jalan Sudirman. Rumah bertingkat dua ini begitu asri dengan halaman hijau berpagar tinggi. Ketika seorang Pembantu membukakan pintu aku mnegutarakan maksudku mau bertemu Bunga. Di kursi teras rumah itu aku menunggu Bunga dengan hati tidak menentu. Terakhir aku jumpa Bunga semasa SMP dulu. Saat itu aku sering belajar bersama di Rumah Dinas Ayahnya di jalan Pahlawan. Waktu SMP saja Bunga sudah cantik apalagi sekarang. Terdengar suara langkah kaki ringan menghampiriku lalu sapa merdu memanggil namaku. Aku berdiri dan menatap Bunga di depanku. Ya Allah inikah Bunga gadis manis saat SMP dulu. Aku memang terpana memandang gadis anggun di depanku ini. Dengan perawakannya yang proporsional, Bunga sebenarnya sangat cocok menjadi Model atau Peragawati ditambah lagi dia memiliki wajah cantik dengan senyumnya yang khas.
“Hei Herman jangan bengong begitu?”, kata Bunga sambil tertawa. Aku tersadar dari rasa terpesonaku. Lalu akupun ikut tertawa.
“Bunga!. Kamu tambah cantik!”, kataku memuji tulus.
“Berarti dulu aku cantiknya hanya sedikit ya!”, kata Bunga sambil tersenyum manis.
“Oh dulu Bunga sudah cantik sekarang tambah cantik!”, kataku sambil tertawa. Maka di ruang tamu itu penuh dengan canda dan tawa.
“Berapa tahun ya kita tidak ketemu?”, kata Bunga seolah bertanya kepada dirinya sendiri.
“Berapa tahun ya? Hitung saja saat itu kita masih SMP jadi ya kira-kira sepuluh tahun!”, kataku.
“Rasanya seperti mimpi bisa bertemu seperti ini. Aku melihat kamu tidak banyak berubah masih tetap cool dan dewasa Herman!”, kata Bunga memujiku. Mendengar pujian ini wooww rasanya aku seperti terbang ke Langit.
Cool, calm and confident itu seperti sebuah iklan Bunga!”, kataku sambil tertawa. Bunga juga ikut tertawa.
“Bagaimana studi Kedokteranmu Herman?”, tanya Bunga.
“Alhamdulillah lancar. Lho kok tahu kalau aku kuliah di Kedokteran?”,kataku.
“Tahu dari Ibu sewaktu aku kemarin berkunjung ke rumahmu!”, kata Bunga.
“Lalu kuliahmu bagaimana Bunga?”.
“Alhamdulillah aku sedang menempuh Pascasarjana di Belanda namun karena sekarang Ayah sudah kembali bertugas di  Indonesia maka aku akan melanjutkan di sini saja !”,kata Bunga.
“Wah berita yang menggembirakan, tapi kenapa kamu tidak kuliah di Belanda saja?. Di sana kualitas pendidikannya lebih baik”.
“Selain Ayah dan Ibu tidak mengizinkan aku sendiri yang ingin melanjutkan kuliah di Surabaya!”, kata Bunga.
“Kapan kamu mulai kuliah lagi ?”, tanyaku.
“Bulan depan ini aku sudah masuk!. Besok aku harus menyelesaikan urusan administrasi di Kampus Baruku”, kata Bunga menjelaskan rencana kuliahnya.
“Baiklah Bunga. Semoga semuanya lancar, lalu di Surabaya rencana tinggal di mana?”, tanyaku.
“Mungkin di rumah Tanteku yang di Kertajaya Indah biar dekat juga ke Kampus!”, kata Bunga. Tante yang dimaksud oleh Bunga itu adalah adik kandung ayahnya.
Bunga lebih memilih kuliah Pascasarjana di Surabaya daripada di Belanda. Ayahnya asli Surabaya sehingga banyak kerabat di Surabaya walaupun Ayahnya tinggal di Jakarta. Selain itu juga, Ibunya yang asli Pasuruan akan membuat Bunga merasa betah dan nyaman menempuh studi di Surabaya. Apakah ada alasan lainnya?. Misalnya karena ingin dekat denganku?. He he he he aku mulai “Lebaay”, tapi yang jelas aku begitu gembira mendengar berita ini. Setiap saat aku bisa bertemu dengan Bunga andai dia kuliah di Surabaya. Nanti dulu, aku harusnya tahu diri jangan-jangan Bunga sekarang sudah punya calon suami. Gadis secantik Bunga tentu banyak pria yang ingin menjadikannya teman hidup. Ya jangan jangan Bunga sudah punya calon suami. Aku harus tahu diri. Janganlah berharap terlalu tinggi agar jika nanti jatuh tidak terlalu sakit.
Sebuah reuni kecilpun akan selalu dilalui dengan bernostalgia misalnya mengunjungi tempat tempat kuliner yang dulu pernah dikunjungi. Setelah puas keliling Kota Pasuruan, siang itu kami menikmati hidangan rujak cingur di Jalan Dipenogoro. Rujak cingur merupakan salah satu makanan khas Jawa Timur. Saat SMP dulu kerap kali aku dan Bunga makan rujak cingur di Jalan Dipenogoro ini. Tempatnya tidak terlalu besar hanya sebuah Kantin namun pengunjungnya selalu penuh. Seperti siang itu kami kebagian tempat duduk di pojok sendiri. Sambil menunggu pesanan hidangan disajikan, Bunga kelihatan menikmati suasana Kantin ini yang sudah lama tidak dikunjungi.
“Kita biasanya duduk di sana dekat pintu !”, kata Bunga sambil menunjuk bangku di ujung sana.
“Biasanya Bunga pesan rujak dengan tiga cabe rawit merah biar pueddeeeesssss banget!”, kataku. Bunga tersenyum. Aku melihat dia sangat senang sekali bisa mengunjungi tempat kuliner ini. Sebenarnya ada lagi Tempat Kuliner Rawon di Jalan Kartini namun Bunga memilih Kantin ini untuk nostalgia pertamanya.
 “Herman makanan khas seperti ini yang sering aku rindukan selama aku di Belanda!”, kata Bunga.
“Tentu saja Bunga di sana sulit menemukan rujak cingur, rawon, soto, gado-gado!”, kataku.
“Sebenarnya keluarga Indonesia kadang-kadang memasak makanan khas Indonesia misalnya ketika Ulang Tahun Kemerdekaan di KBRI. Kita bisa memilih kuliner  Indonesia yang kita sukai!”.
“Bagaimanapun kemanapun dimanapun apapun orang Indonesia akan selalu kangen dan rindu pada Tanah Airnya!”, kataku berfilosofi.
“Bahkan selain itu aku sangat rindu sama teman-teman yang dulu pernah dekat!”, kata Bunga sambil tersenyum.
“Aduh termasuk aku dong!”, kataku. Bunga tertawa mendengar reaksiku.
“Tapi Herman, lucunya kita selama ini tidak pernah berkomunikasi!”, kata Bunga.
“Iya aneh juga mungkin cukup komunikasi dalam hati masing-masing!”, kataku sekenanya.   
 “Buktinya aku bisa ketemu lagi dengan Bunga setelah sepuluh tahun tidak ada kabar berita!”, kataku lagi.
“Herman kamu bisa aja…!”, kata Bunga.
Aneh aku sekarang bisa begitu terbuka mengutarakan isi hati ini padahal saat SMP dulu begitu kikuknya alias grogi jika harus bertatap cakap dengan Bunga.
“Ya Herman setelah sepuluh tahun itu aku banyak melihat perubahan pada dirimu.Sekarang kamu sudah tidak jadi cowok pemalu lagi seperti dulu!”, kata Bunga. Mendengar ini aku tertawa rupanya Bunga bisa mendengar apa yang kurasakan dalam hati ini.
“Aku juga banyak melihat perubahan pada diri Bunga sekarang nampak lebih dewasa dan sudah siap mengarungi mahligai rumah tangga. Ngomong-ngomong kamu sudah punya calon?”.
Wow entah mengapa tiba-tiba saja keluar dari bibirku pertanyaan seperti itu. Aku lihat Bunga tidak terkejut mendapat pertanyaan seperti itu bahkan dia hanya tersenyum manis.
“Rahasia dong. Suatu hari nanti aku beritahu!”, kata Bunga masih dengan senyum terukir di bibirnya.
 “Nah sekarang tentu Hermansyah Al-Buchari pasti sudah punya calon pendamping dong!”, tanya Bunga.
“Belum!”, jawabku spontan justru malah aku yang terkejut mendapat pertanyaan Bunga yang tak terduga. Bunga tertawa melihat aku seperti orang yang kaget dan gugup karena pertanyaan tak terduga itu. Akhirnya kami tertawa sehingga ruangan Kantin Rujak Cingur itu penuh dengan keceriaan. Menikmati kuliner sambil bernostalgia dengan Bunga memiliki arti tersendiri bagiku.
Hari itu merupakan hari yang sangat berarti bagiku seakan harapan hampaku yang dulu, kini seperti bersemi kembali. Benarkah begitu. Benarkah kehadiran Bunga adalah harapan lamaku bersemi kembali. Selama ini masa mudaku tidak pernah diisi oleh gadis manapun. Aku hanya focus belajar belajar dan belajar mengejar cita-citaku menjadi seorang dokter. Dalam hatiku selama itu pula hanya ada Bunga yang sejak SMP selalu tersimpan rapi dalam hati yang terdalam. Lalu benarkah begitu?. Benarkah Bunga akan mengisi taman hatiku?. Bagaimana dengan Mutiara yang saat ini tiba-tiba saja kembali hadir dalam bayang anganku?.

 BERSAMBUNG

Wednesday, February 5, 2014

Novel Hensa : Bunga Mutiara (Episode 3)



Foto : Hensa/Koleksi Pribadi

EPISODE 3
NAMANYA MUTIARA

Tugas rutinku hari ini adalah memberikan penyuluhan tentang AIDS di Puskesmas Lokalisasi itu. Mereka para wanita PSK itu harus diberikan penjelasan bagaimana perkembangan penularan virus ini. Data dari Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) mencatat, sebanyak 14 persen dari 4.598 penderita HIV tahun 2012 adalah Ibu Rumah Tangga. Jumlah tersebut melebihi jumlah dari penderita PSK penderita HIV yang hanya 7,4 persen. Namun demikian jika saja yang 7,4 persen ini bisa dicegah penularannya maka dampak ke Ibu rumah tangga mungkin akan turun. Sudah jelas yang menularkannya adalah suami suami mereka yang suka jajan di luar. Penyebaran penyakit HIV/AIDS di Jawa Timur terbesar berasal dari hubungan heteroseksual yang mencapai 70,1 persen dibandingkan dengan Pengguna Napsa Suntik (Penasun) yang penularanya mencapai 21,3 persen. Tidak semua wanita PSK itu hadir dalam acara penyuluhan itu hanya sekitar 20 orang saja. Selesai acara semua peserta meninggalkan ruangan itu kecuali ada dua orang yang mendekat menghampiriku. Ternyata wanita itu adalah Ima dan satunya lagi aku seperti mengenalnya. Seorang wanita berambut panjang tinggi semampai sepertinya aku pernah bertemu dengan dia. Belum selesai rasa terkejutku tiba-tiba wanita yang mengaku bernama Ima itu memperkenalkan temannya.
“Mas kenalkan ini teman saya!”, kata Ima sambil mengenalkan wanita itu kepadaku.
“Mutiara!”, wanita itu menyodorkan tangannya sambil tersenyum. Aku sebenarnya masih terkejut ketika menyambut uluran tangannya. Aku genggam tangannya yang lembut itu.
“Herman!”, kataku menyebut namaku namun aku masih belum percaya seakan akan seperti sedang bermimpi. Aku rasanya seperti menyesali mengapa harus bertemu disini dengan wanita cantik yang sering kulihat di Halte itu.  
“Mas Herman ini yang sering menunggu angkot di Halte depan Rumah Sakit ya?. Juga pernah mau menabrakku di pintu Perpustakaan Kampus”, kata wanita itu sambil tersenyum. Wanita yang sering kujumpai di Halte depan Rumah Sakit dan Peprustakaan Kampus itu bernama Mutiara. Ya Tuhan ternyata dia adalah salah seorang wanita PSK. Aku rasanya tidak percaya wanita seperti Mutiara berada di sini.
“Iya iya mbak !”, kataku agak gugup. Sudah berapa hari ini memang aku tidak ketemu dia di Halte itu. Aku juga tidak tahu saat itu kemana dia namun tiba-tiba malah bertemu dia di sini.
“Beberapa hari ini saya sakit sehingga tidak ketemu Mas Herman di Halte itu!”, kata Mutiara menjelaskan sepertinya dia tahu pertanyaan apa yang ada dalam benakku.
Namanya Mutiara sesuai dengan orangnya cantik, elok dan indah seperti mutiara tapi mengapa dia harus berada di sini. Ketika beberapa hari ini aku tidak lagi menjumpainya di Halte itu aku merasa kehilangan. Aku sungguh tidak mengerti benarkah aku jatuh cinta kepadanya. Jika benar mengapa aku jatuh cinta kepada seorang wanita PSK. Semakin aku berusaha untuk menghindari perasaan ini maka semakin kuat perasaan itu tertanam dalam hatiku.
Pertemuan yang bersejarah itu penuh rasa gembira namun juga rasa pedih. Mengapa aku mengalami pertemuan dengan gadis itu di tempat yang tidak tepat. Aku seakan tidak percaya Mutiara harus ada di tempat yang tidak terpuji itu. Beberapa hari ini perasaanku masih terguncang menghadapi kenyataan bahwa gadis bernama Mutiara itu adalah seorang Pekerja Seks Komersil. Aku sesungguhnya ingin menghindarinya hanya karena ke-nyataan ini namun anehnya semakin berusaha menghindar untuk mengingatnya justru semakin tidak berdaya untuk melupakannya.
Ketidak berdayaanku akhirnya kupasrahkan kepada-Nya ketika hari berikutnya saat aku bertugas di Puskesmas itu kembali aku bertemu Mutiara. Aku sempat berkata kepada Mutiara saat itu agar seusai aku praktek nanti, aku ingin mengobrol sejenak dengannya. Mutiara mengangguk sambil mengiyakan ajakanku. Tugasku Sabtu pagi itu selesai sebelum pukul 9, lebih cepat dari biasanya mungkin karena para PSK yang hadir tidak sebanyak seperti biasanya. Saatnya tiba berbincang dengan Mutiara.
“Terimakasih mbak Tiara mau menunggu!”, kataku memulai pembicaraan.
“Ah Mas Herman jangan panggil aku mbak dong. Aku kan lebih muda dari Mas Herman panggil saja Tia atau Tiara!”, kata Mutiara sambil tersenyum manis. Oh Tuhan senyum itu begitu manis seakan meluluhkan niatku untuk meninggalkan dan melupakannya. Mutiara mengapa harus berada di sini.
“Okey Tiara memang usiamu masih muda seperti ABG ya!”, kataku bercanda. Mutiara tertawa renyah. Tawa yang wajar bukan tawa seorang PSK yang genit. Mutiara tidak pantas untuk menjadi PSK. Aku semakin ingin tahu kenapa Mutiara terjerumus ke dalam dunia hitam ini.
“Boleh aku menanyakan sesuatu Tiara?”.
“Boleh Mas kalau hanya bertanya namun belum tentu aku bisa menjawab pertanyaan Mas Herman!”, kata Mutiara.
“Lho kok nggak bisa jawab?”, kataku heran.
“Iya apalagi kalau pertanyaannya dari dunia kedokter-an !”, kata Mutiara sambil tertawa. Aku juga tertawa lepas.
“Tiara tempo hari aku melihatmu ada di Perpustakaan Kampus!”, kataku.
“Oh iya Mas Herman ada di sana waktu itu. Aku sedang mencari literature untuk bahan bahan skripsiku!”, kata Mutiara.
“Tiara ambil jurusan apa?”, tanyaku.
“Kimia Mas!”, kata Mutiara singkat. Aku kembali terpana menghadapi kenyataan ini. Dia mahasiswi kimia tingkat skripsi. Oh ada apa denganmu Mutiara.
“Sesungguhnya aku masih ingin mengobrol lebih banyak tapi aku harus segera ke Rumah Sakit. Oh ya bolehkah kita saling bertukar nomor HP Tiara?”, kataku. Mutiara mengangguk dan menyebutkan nomor selulernya.
Dialog yang singkat namun sangat berarti bagiku. Setidaknya aku sedikit bisa mengetahui misteri yang menyelimuti diri Mutiara. Seorang wanita cantik, cerdas, mahasiswi Kimia tingkat skripsi di sebuah Perguruan Tinggi namun harus terjerumus kedalam dunia hitam tentu saja ada sebabnya. Suatu hari aku ingin ngobrol lebih lama lagi dengannya.
Sejak pertemuan itu aku seringkali bertemu dengan Mutiara di Perpustakaan Kampus atau di Halte depan Rumah Sakit itu. Aku merasa kagum dengan sikapnya yang tetap tidak merasa canggung walaupun aku sudah tahu siapa sebenarnya Mutiara. Kadang kadang pernah suatu hari Mutiara berkeluh kesah tentang perlakuan para Pelanggannya. Bagi Mutiara rupanya aku ini sudah dirasakannya sebagai orang yang dekat dan tempat yang tepat untuk mencurahkan semua kegalauannya. Mutiara seperti menemukan seseorang yang selama ini ia cari sebagai tempat berlabuh semua isi hatinya. Semakin sering bertemu rasanya semakin akrab dan yang aku takutkan aku jadi semakin mencintainya. Walaupun sebenarnya aku sadar belum tentu Mutiara juga mencintaiku. Aku tidak tahu dengan misteri cinta yang diciptakan Allah. Andai aku tahu tentu saja namanya bukan misteri lagi. Biarlah aku menikmati saja misteri cintaku ini hingga suatu hari Sang Pemilik Cinta membuka tirai misteri itu menjadi fakta yang aku mengerti.
Surabaya yang cerah. Senjanya penuh dengan warna jingga dan Mentaripun tersenyum seperti senyumku ketika aku melihat Mutiara sudah menunggu di Halte depan Rumah Sakit itu.
“Hai Tiara sudah lama di sini?”, tanyaku.
“Hai Mas Herman ya lumayan memang sengaja menunggu Mas Herman!”, kata Mutiara sambil tersenyum.
“Kok mau menungguku?”, tanyaku menggoda.
“Kepingin ngobrol udah lama kan gak ketemu!”, kata Mutiara. Aku hanya tersenyum sambil duduk disampingnya. Halte sore itu tidak begitu ramai. Apalagi beberapa orang sudah mendapatkan Angkot yang ditunggu mereka.
“Mas Herman tadi pagi tidak ke Perpus ya?. Aku seharian di Perpus tapi tidak melihat Mas Herman!”.
“Iya tadi pagi aku ada acara diskusi dengan para Dokter Spesialis kemudian siangnya menemani dokter di Ruang Operasi!”, kataku menjelaskan. Rupanya Mutiara mulai memperhatikanku. Buktinya di Perpustakaan tadi dia mencariku. Bagiku ini adalah rasa bahagia di satu sisi namun juga rasa pedih yang mungkin akan terus berkepan-jangan jika aku ingat siapa Mutiara.
“Mas Herman sebenarnya aku ingin bercerita banyak namun kalau di sini waktunya terbatas karena sebentar lagi aku dijemput teman!”, kata Mutiara.
“Kalau begitu kita bisa janjian saja kapan Tiara bisa cerita. Insya Allah aku akan menjadi Pendengar yang baik!”, kataku.
“Mas Herman janji ya mau menjadi Pendengar yang baik!”, kata Mutiara lagi sambil memandangku. Aku ter senyum memandang wajahnya yang cantik.
 “Baik Mas nanti aku kabari melalui sms !. Ok Mas aku pamit dulu ya!”, suara Mutiara pamit sambil beranjak dari tempat duduknya menuju sebuah mobil merk Eropa warna hitam yang sudah menunggunya.

Selama ini aku tidak pernah memperhatikan siapa Pengemudi mobil itu, namun sekali ini aku sempat melihat Pengemudi yang selama ini menjemput dan membawa Mutiara. Ya aku ingat orang itu yang tempo hari bertemu di Perpustakaan. Namanya Ricki mungkin juga dia seorang mahasiswa teman Mutiara. Ricki berbadan tinggi kekar, tangannya berotot lebih pantas sebagai seorang Bodyguard daripada sebagai seorang mahasiswa. Berkecamuk pikiranku tentang apa yang akan dilakukan Mutiara malam ini.  Tentu saja aku mengerti apa pekerjaan Mutiara. Ricki tadi menjemputnya adalah untuk keperluan pekerjaannya. Ya Tuhan aku selalu menyebut namaMu berilah aku pemahaman tentang cinta yang penuh misteri ini. Mengapa aku harus mencintai Mutiara. Mengapa bukan kebencian yang Kau tanamkan dalam diriku setelah aku tahu siapa sebenarnya Mutiara. Aku sungguh tidak berdaya hanya Engkau yang memberdayakanku untuk selalu diberikan kemampuan agar dapat memahami kehendakMu. 

BERSAMBUNG