Monday, January 20, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA (Episode 2)


Foto : Hensa/Koleksi Pribadi

EPISODE 2
ADA CINTA DI PERPUSTAKAAN

Hari Senin nanti aku kebagian jaga malam di IGD menemani dokter Wim oleh karena itu Minggu pagi ini aku maih sempat pulang ke Pasuruan.  Setiap bulan sekali aku memang menyempatkan pulang ke Pasuruan hanya untuk kangen-kangenan bersama kedua orang tua. Mereka tinggal di sebuah Desa sebelah Selatan Kota Pasuruan. Kebetulan Ayah dan Ibuku adalah pendiri dan pemilik sebuah Pesantren yang berafiliasi pada salah satu ormas Islam dengan jumlah santri dan santriwati yang cukup lumayan. Ya memang benar aku dibesarkan dalam lingkungan Pesantren.  Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakakku adalah perempuan dan mereka sudah menikah. Kakak perempuanku yang pertama ikut suaminya tinggal di Jakarta sedangkan yang kedua tinggal di Kota Malang. Selama aku menempuh pendidikan sampai dengan Perguruan Tinggi ini, kedua kakakku ini yang urunan membiayai semua keperluan kuliahku. Kakakku yang di Jakarta, mereka berdua sama-sama bekerja sebagai PNS di sebuah Departemen Keuangan. Dulunya mereka adalah alumni Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi sedangkan yang di Malang, suaminya adalah Apoteker. Berbahagialah aku sebagai anak bungsu selalu mendapat dana dari kedua kakakku belum dari orang tua yang tetap juga masih memberiku uang saku rutin. Sekarang tinggal tanggung jawabku untuk segera menyelesaikan studiku tepat waktu.
Malam itu selesai makan saat kami berkumpul, Ibuku biasanya selalu menanyakan tentang sekolahku dan jodohku.
“Herman kapan kamu selesaikan sekolahmu?. Cepet rampungke nak, mari iku kon rabi !”, suara Ibu selalu mengingatkanku setiap aku pulang ke rumah. Itu bahasa Jawa Timur yang artinya ‘Cepat selesaikan sekolahmu nak, setelah itu lalu nikah’.
“Iya Bu tapi untuk nikah calonnya saja belum ada!”, kataku santai.
“Apakah Ibu carikan?. Di Pesantren ini banyak Santriwati yang cantik mungkin jodoh denganmu nak!”, kata Ibu. Aku hanya tertawa mendengar tawaran Ibu.
“Jangan Bu biar aku sendiri yang cari!”, kataku.
“Misalnya Annisa. Dia gadis yang sholehah. Kamu kan sudah kenal Annisa?”, kata Ibu.
“Iya Bu. Apakah sekarang dia masih di sini?”, kataku penasaran.
“Sudah lulus dan kembali pulang ke Malang!. Kabarnya Annisa kuliah di Malang!” kata Ibuku.
Ya aku ingat Annisa, Saat aku masih SMA, dia menjadi santriwati di sini. Ayahnya adalah teman sejawat Ayahku sehingga Annisa sangat dekat sekali dengan keluargaku. Selama ini aku hanya menganggapnya sebagai seorang adik. Sudah berapa tahun ini aku tidak bertemu Annisa.
“Ya terserah kamu hanya pesan Ibu carilah calon istri yang sholehah. Cantik lahir batin dan khusyu dalam beribadah!”, kembali suara Ibuku memecah lamunanku.
“Insya Allah Bu doakan saja selalu!”, kataku berharap doa dari Ibu dan harapan Ibu bisa terwujud.
  Begitulah setiap aku pulang kampung selalu saja aku menerima petuah dari Ibuku. Jodoh dan rezeki adalah rahasia Allah. Tugasku adalah memecahkan rahasia itu. Namun jika aku diam saja maka rahasia itu akan tetap menjadi rahasia.
Seusai sholat Subuh dan membaca Al-Quran di Mesjid Pesantren itu, aku berjalan menuju pesawahan. Aku menghirup udara segar pedesaan, nyanyi riang burung-burung di dahan pohon dan sapa ramah para petani yang mulai bekerja mengolah sawah mereka. Suasana yang benar-benar membuat hati ini tentram dan damai. Matahari Senin pagi ini sudah mulai tersenyum di ufuk Timur dan anak sekolah kelihatan gembira bergegas menuju tempat mereka belajar. Melihat mereka, aku jadi teringat saat saat sekolah dasar dulu. Setiap hari berjalan melalui pematang sawah ini agar jarak menuju sekolah menjadi dekat. Saat saat seperti ini yang membuat aku sangat betah tinggal di Desa ini sehingga selalu ada rasa berat setiap aku harus kembali lagi ke Surabaya. Jika saja aku lupa dengan studiku yang harus segera aku tuntaskan mungkin aku akan betah berlama-lama tinggal di rumah.
Siang itu aku sudah kembali ke Surabaya karena sore hari nanti harus bertugas di IGD. Setiap hari Senin memang sudah biasa Bus yang menuju Surabaya terlihat penuh sehingga aku harus berdiri. Para penumpang itu banyak yang bekerja di Surabaya atau kota disekitarnya seperti Bangil, Pandaan, Gempol dan Sidoarjo. Setiba di Surabaya aku langsung menuju Perpustakaan Kampus. Suasana Perpustakaan sepi pengunjung karena memang ini jam kuliah hanya ada beberapa mahasiswa saja yang duduk membaca. Ketika aku sedang memilih buku di rak tiba-tiba aku melihat gadis itu sedang mencari buku di rak rak buku Kimia. Aku hafal betul posturnya dan rambut panjangnya yang sebahu itu. Tidak salah dia adalah gadis yang sering aku temui di Halte depan Rumah Sakit itu. Hatiku berdetak lebih cepat. Ada rasa bahagia setiap aku bertemu dengannya walaupun belum sempat menyapa apalagi berkenalan. Oh Tuhan apakah aku sedang jatuh cinta. Aku jadi teringat saat dulu aku sedang menyukai Bunga. Perasaan seperti ini yang aku rasakan saat itu. Ya mungkin aku sedang jatuh cinta. Aku lihat gadis itu sudah mendapatkan buku yang dicarinya. Dia duduk menghadap ke mejaku sehingga aku bisa dengan leluasa memandang wajahnya. Jaraknya hanya beberapa meja dari mejaku. Ya Allah wajahnya begitu teduh, damai, tenang. Sepasang mata yang indah, hidung bangir dan bibir yang selalu ramah walaupun sedang tidak tersenyum. Selama aku kuliah di sini belum pernah rasanya aku bertemu dengan gadis secantik ini. Selama ini hanya ada Bunga di hatiku dan gadis itu sudah mampu membuatku terpana. Aku membaca buku namun sekali kali mencuri pandang ke arah gadis itu.  Hanya beberapa saat aku bisa menikmati wajah cantiknya tiba-tiba saja aku melihat dia dihampiri seseorang mungkin mahasiswa teman kuliahnya.
“Hai Ricki jadi kita pergi!”, suara gadis itu menyapa teman yang menghampirinya. Sungguh merdu sekali suaranya.
“Tentu saja Tia! Kau masih sedang membaca?”.
“Iya tapi tidak apa apa besok aku masih bisa ke Perpus lagi!”, kata gadis itu.
Kemudian kelihatan mereka beranjak dari tempat duduk lalu meninggalkan Perpustakaan. Ketika lewat di depan mejaku aku hanya pura-pura sedang membaca. Namanya Tia ya nama gadis itu panggilannya Tia. Aku hanya bisa memandang punggung mereka.
“Herman! kamu itu baca buku atau melamun ?” ada suara menyapaku. Aku baru tersadar dari lamunanku saat Arga menegurku.
“He he he ya membaca dong bro!”, kataku sambil tertawa. Arga lalu duduk di hadapanku.
“Her aku melihat gadis yang ketemu di Halte itu barusan saja keluar dari Perpus ini. Pasti kamu juga tahu!”, kata Arga.
“Iya aku tahu tadi dia lewat di depanku!”.
“Lho kamu tidak menegurnya lalu berkenalan!”.
“Tidak tapi aku tahu dia mahasiswi Kimia!”.
“Kok bisa tahu kalau dia anak kimia?”.
“Ya tahu dong bacaan bukunya di rak rak kimia sana?”, kataku menjelaskan.
“Belum tentu Her bisa saja dia anak Kedokteran!”, kata Arga. Benar juga Si Arga ini jangan jangan dia anak Kedokteran. Jika benar berarti dia adik kelas. Ah siapapun dia yang jelas aku mulai menyukai gadis itu.
“Gadis itu kecantikannya memang luar biasa beda dengan cewek cewek cantik di Kampus ini. Gadis itu memiliki kecantikan yang khas!”, suara Arga bergumam.
“Wah rupanya kamu naksir dia Ga, lalu Sinta mau dilupakan?”, kataku sambil nyengir.
“Tidak dong aku ini kategori lelaki setia!”, kata Arga sambil tertawa.
“Seharusnya kamu yang dekatin dia. Saatnya Herman melepas status jomblonya ?”, kata Arga lagi. Mendengar ini aku tertawa dan hatiku seperti berbunga.
Malam ini aku bertugas jaga IGD dan Alhamdulillah semua tugas bisa ditunaikan dengan baik sampai paginya. Untuk mempersiapkan laporan sengaja aku mengerjakan-nya di Perpustakaan sekaligus bisa mencari referensi untuk mendukung isi laporan. Maka siang itu dari Rumah Sakit  aku langsung menuju Perpustakaan. Di pintu masuk itu aku hampir bertabrakan dengan seorang gadis. Entah mengapa hal itu bisa terjadi, mungkin aku masih mengantuk karena baru saja jaga malam di IGD. Aku terkejut dan minta maaf kepada gadis itu. Aku lebih terkejut lagi ternyata gadis itu adalah “Tia” yang sering berjumpa di Halte itu.
Ketika gadis itu tersenyum sambil berkata kepadaku :
“Tidak apa apa Mas!”, katanya pelan suaranya merdu. Aku hanya terpana terdiam tak sepatah katapun keluar dari mulutku sampai tersadar kalau gadis itu sudah memunggungiku pergi dari hadapanku. Tadinya aku akan berlari menyusulnya hanya sekedar ingin berkenalan tapi aku urungkan karena dia sudah ditunggu temannya tempo hari yang bernama Ricki itu. Aku masih tidak percaya dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Ya aku tadi sudah berdialog dengannya dan aku sudah mendapatkan senyumnya. Senyum yang manis. Selama aku membuat laporan di Perpustakaan itu pikiranku tertuju hanya kepada gadis itu. Ah benar benar tidak bisa focus. Akhirnya aku menutup laptopku dan memutuskan untuk kembali saja ke tempat kostku. Aku akan membuat laporan di tempat kostku saja.

Aku meninggalkan Perpustakaan itu dengan hati yang tidak menentu karena teringat gadis bernama panggilan ‘Tia’ itu. Suatu hari aku harus memiliki kesempatan berkenalan dengannya. Perpustakaan ini ternyata penuh dengan cinta. Mengapa aku baru tahu sekarang?. 

BERSAMBUNG

Friday, January 17, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA (Episode 1)


Foto : 007beritaterkini.blogspot.com

 Episode 1
HALTE DI DEPAN RUMAH SAKIT
Sore itu Surabaya diguyur hujan, walaupun tidak deras tapi sudah cukup membuat baju ini basah kuyup. Aku terus berlari menuju Halte di depan pintu masuk Rumah Sakit dr.Sutomo itu paling tidak disana aku bisa terhindar lebih parah lagi dari tetesan hujan. Ternyata hanya ada 3 orang yang sedang berteduh di Halte itu. Selain aku ada juga dua orang lainnya yaitu seorang Ibu separuh baya dan seorang gadis nampaknya  seperti Mahasiswi. Ketika Si Ibu separuh baya itu sudah mendapatkan Angkot (Angkutan kota) jurusan yang diinginkannya maka di Halte itu tinggal aku dan gadis itu. Entah sudah berapa banyak Angkot lewat di depan Halte itu namun gadis itu masih juga belum beranjak dari tempat duduknya untuk menaiki Angkot yang berhenti di Halte itu. Tiba-tiba sebuah sedan Eropa bermerk terkenal warna hitam merapat lalu aku melihat gadis itu membuka pintu depan dan memasuki sedan berkelas itu. Oh rupanya gadis itu menunggu jemputan, pikirku. Semakin sore lalu lintas semakin macet di jalan Dharmawangsa itu apalagi hujan sudah mulai reda sehingga sepeda motor sudah kembali banyak yang meluncur di jalan raya itu. Akhirnya Angkot yang kutunggu datang juga dan hampir selepas Magrib aku baru tiba di tempat kost.
Rasanya seperti baru kemarin hari wisuda Sarjana Kedokteranku namun saat ini aku harus memulai lagi ke tingkat lanjut memasuki program profesi agar aku dapat berkiprah sebagai seorang Dokter. Akupun harus kembali berteman dengan rutinitas kesibukkan, berkawan dengan kejenuhan dan kebosanan namun semua itu tidak bisa kuhindari dan harus aku lakukan. Sebagai Ko-as dokter aku secara rutin masuk kerja mulai pagi pukul 7 sampai sore pukul 16. Jika mendapat giliran jaga malam, maka bisa berlanjut sampai dengan pukul 6 pagi ke esokan harinya. Saat ini aku yang berperan sebagai dokter muda harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
 Selama mengikuti program profesi ini banyak yang harus aku lakukan misalnya melakukan follow up terhadap pasien, mengikuti kegiatan operasi dengan dokter senior atau mengikuti  jaga di poliklinik.  Selain itu ada juga mengikuti program bed site teaching termasuk menyelesaikan  laporan laporan kasus. Bekum mengikuti  juga jaga malam IGD maupun di Ruangan.  Setelah itu ada  lagi yaitu ketika harus mengikuti program penempatan di sebuah Puskesmas dan mungkin saja ditempatkan di sebuah desa di Jember, Pasuruan, Banyuwangi, Ponorogo atau daerah terpencil di Malang Selatan.  Hanya sebuah keajaiban jika aku akan mendapatkannya di salah satu Puskesmas Surabaya atau Pasuruan daerah asalku.
Aku harus bersyukur kepada Tuhan ternyata doaku dikabulkanNya. Aku mendapatkan penempatan di Puskesmas Surabaya. Kejutannya adalah aku harus praktek disalah satu Puskesmas daerah Lokalisasi terkenal di Surabaya. Tantangan yang menarik tentunya karena akan banyak berhadapan dengan para Perempuan Pekerja Seks Komersial (PSK). Tugas pokoknya adalah upaya pencegahan dan sosialisasi tentang bahayanya AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.  Banyak yang sudah tahu bahwa Virus ini ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim, transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut. Tugas yang tidak ringan bagiku karena selain aku harus menangani secara medis para PSK tersebut juga aku harus bisa memberikan pemahaman bagaimana resiko yang harus dihadapi oleh para PSK tersebut terhadap infeksi virus HIV.
 Seperti biasa sore ini aku sudah duduk di Halte tempat aku menunggu Angkot. Tadi siang sebenarnya sudah kelihatan mendung namun sorenya justru Matahari bersinar di ufuk Barat tempat terbenamnya nanti. Saat ini Halte lumayan penuh sehingga banyak orang orang yang harus berdiri. Angkot demi Angkot datang untuk mengangkut mereka ketempat tujuan masing-masing sehingga di Halte itu tinggal aku dan seorang Mahasiswi berambut panjang. Nanti dulu ternyata aku baru saja sadar bahwa mahasiswi disampingku ini adalah gadis yang kemarin juga ku temui disini. Gadis ini tengah asik dengan HPnya mungkin sedang BBM an. Aku yakin gadis ini sedang menunggu mobil jemputannya. Ternyata benar sebentar kemudian mobil hitam Eropa bermerk itu muncul dan menjemputnya. Gadis berambut panjang tinggi semampai itu memiliki wajah yang tenang bak air telaga tanpa riak sehingga memiliki kesan yang misterius. Wajahnya cantik perpaduan kecantikan ningrat jawa dan gadis-gadis Skandinavia. Ha ha ha aku ini kadang berlebihan tapi memang faktanya begitu. Tidak mungkin gadis itu menjadi perhatianku kalau dia tidak memiliki kecantikan yang khas luar biasa dan bukan kecantikan biasa seperti halnya bintang bintang sinetron di televisi swasta. Soal kecantikan wanita aku ini mempunyai standar yang tinggi ha ha ha. Sedang asyik melamun tiba tiba Angkot yang kutunggu muncul dan akupun segera naik untuk segera pulang ke tempat kostku.
 Sabtu pagi itu adalah hari pertamaku bertugas di Puskesmas wilayah salah satu tempat Lokalisasi terkenal di Surabaya. Aku terkejut ternyata mereka, wanita wanita PSK tersebut ada juga yang masih berusia muda. Seharusnya mereka yang masih muda itu bukan berada di sini namun ada di sebuah SMA. Sungguh sangat memprihatinkan. Pada umumnya mereka hanya ingin berobat dan tidak begitu peduli dengan sosialisasiku tentang HIV. Mereka hanya mendengar dari telinga kiri dan dikeluarkan dari telinga kanan. Para wanita itu terkesan menutup diri.   Ada seorang PSK yang ternyata mau diskusi denganku tapi bukan tentang HIV atau penyakit AID melainkan curhat tentang nasibnya.
“Mas dimanapun tidak ada wanita yang mau memilih profesi seperti saya kalau bukan karena terpaksa oleh keadaan. Saya juga begitu memilih pekerjaan ini hanya untuk menghidupi keluarga !”, begitu curhat wanita itu yang usianya kira kira sekitar 30 tahunan itu.
“Iya Mbak. Tapi mungkin Mbak bisa mendapatkan pekerjaan lain bukan pekerjaan ini!”, kataku.
“Sebelumnya saya sudah mencoba bekerja di tempat lain menjadi buruh pabrik namun pendapatannya tidak cukup. Maklum pendidikan saya SD pun tidak lulus!. Modal saya memang hanya tubuh ini untuk mendapatkan uang”, kata wanita yang mengaku bernama Ima itu. Aku hanya terdiam. Kuperhatikan sepintas memang wanita ini punya tubuh yang aduhai untuk dikomersilkan. Sekali lagi aku hanya prihatin dan hanya bisa prihatin tidak bisa berbuat apa apa. Mereka para wanita PSK ini sebenarnya hanya korban. Apakah mungkin korban dari keadaan hidupnya atau korban dari kekerasan seksual seperti pemerkosaan. Atau ada juga yang menjadi korban akibat ketidak harmonisan keluarga dan kekerasan rumah tangga. Aku sangat bersimpati kepada mereka. Dalam masyarakat sendiri wanita PSK ini adalah sampah masyarakat yang seakan akan tidak memiliki nilai. Lalu bagaimana dengan para Lelaki Hidung Belang itu. Mereka ternyata seolah terlupakan bahkan dalam kegiatan razia dimanapun yang dikejar-kejar adalah para wanita PSK.  Tidak ada yang pernah mau mengerti bagaimana penderitaan mereka. Banyak sekali ketidak adilan yang dialami oleh mereka. Pada hari pertama aku praktek di Puskesmas Lokalisasi tersebut ternyata telah menambah rasa simpatiku terhadap nasib para wanita PSK itu.
Aku terlambat menuju Halte sore itu karena tadi dokter Wim masih mengajakku berdiskusi. Selama diskusi itu sebenarnya aku kuatir tidak bisa ketemu dengan gadis semampai berambut panjang itu. Maka seusai diskusi itu aku segera saja bergegas tergesa-gesa menuju Halte di depan Rumah Sakit itu. Saat itu tiba-tiba saja namaku dipanggil seseorang.
“Herman!”. Aku menoleh ternyata Arga teman kuliahku berlari menghampiriku.
“Mau kemana kok tergesa gesa!”, kata Arga.
“Mau pulang dong biasa nunggu angkot di Halte depan!”, kataku. Akhirnya kami berjalan bersama menuju Halte. Betul saja Halte sudah sepi dan kami berdua bisa duduk leluasa di sana.
“Her bagaimana pengalaman pertama praktek di Puskesmas Lokalisasi? Ada yang nyantol nggak?. Aku cuma takut kamu bisa tergoda wanita wanita PSK itu”, kata Arga sambil ketawa.
“Arga Alhamdulillah aku masih bisa bertahan. Jangan kuatir pikiranku masih waras sebagai dokter muda yang sedang menempuh pendidikan profesi!”, kataku agak serius. Arga tertawa lepas mendengar jawabanku yang terkesan serius.
“Herman aku cuma bercanda kok. Aku percaya sama kamu yang berasal dari keluarga yang agamanya sangat kuat. Tak mungkin lah kamu terseret ke sana. Bahkan sampai sekarang saja kamu belum mau pacaran!”, kata Arga kembali tertawa. Mendengar ini aku juga ikut tertawa.
Benar juga Si Arga ini. Aku sampai saat ini belum pernah pacaran. Dulu sewaktu SMP memang pernah punya teman dekat seorang gadis, namanya Bunga yah tapi saat itu mungkin hanya cinta monyet yang tidak jelas. Tidak bisa disebut hubungan pacaran hanya sekedar ngobrol-ngobrol ditengah-tengah kegiatan belajar bersama. Jika bepergian-pun selalu ditemani oleh teman-teman yang lainnya. Saat itu hanya hati masing-masing saja yang bisa merasakan. Aku sendiri merasakan saat itu Bunga memang menaruh hati juga kepadaku. Saat mengenang masa lalu dengan Bunga, tiba-tiba aku bersorak dalam hati ketika aku melihat gadis cantik semampai berambut panjang itu sedang menuju ke arah Halte. Rupanya Arga pun tertegun menatap tidak berkedip ke arah gadis itu.
“Herman cewek itu cantik sekali siapa ya!?”, bisik Arga.
“Aku tidak tahu tapi setiap sore pasti nunggu jemputannya di Halte ini!”, kataku.
“Jemputannya siapa?”, tanya Arga berbisik.
“Tentu saja sopirnya!”, kataku berbisik juga. Tidak lama kemudian mobil penjemputpun tiba dan gadis itu seperti biasa naik ke mobil warna hitam itu. Aku melihat Arga masih terbengong saking kagumnya pada kecantikan gadis itu.
Gadis yang sering kujumpai di Halte depan Rumah Sakit itu memang cantik. Kelihatannya ramah walaupun terkesan pendiam. Wajahnya teduh namun kadang-kadang seperti murung. Aku sering memperhatikan diam diam pada saat berjumpa di Halte itu. Suatu hal yang membuatku merasa aneh adalah ketika wajah gadis itu selalu terbayang bayang selalu dalam pikiranku. Sudah sepuluh tahun ini aku belum pernah mengalami hal seperti ini lagi. Dulu semasa SMP pernah aku mengalami perasaan seperti ini ketika aku menyukai Bunga teman wanita sekelasku. Teringat masa masa itu aku seakan tidak percaya peristiwa itu rasanya seperti baru kemarin. Saat itu aku merasakan kebahagiaan ketika ternyata Bunga juga menyukaiku. Cintaku bersambut mesra namun hanya sesaat ketika saat kami lulus sekolah, Bunga harus melanjutkan sekolahnya di luar kota. Kamipun harus berpisah berjauhan apalagi setelah lulus SMA, Bunga harus melanjutkan kuliah di luar negeri karena orang tuanya mendapat tugas di sebuah Negara Eropa. Menghadapi keadaan seperti itu Aku hanya pasrah untuk mendapatkan cinta Bunga. Bukan karena aku tidak mau memperjuangkan cintaku namun aku harus realistis bagaimana perbedaan sosial keluarga diantara kami yang terlalu jauh. Walaupun aku tahu betul cinta Bunga padaku begitu besar namun akhirnya kamipun harus berpisah secara baik-baik tentu saja hal ini sangat menyedihkan bagi Bunga. Sepuluh tahun sudah berlalu dan saat ini hanya bisa mengenang kejadian yang sangat menyedihkan itu. Selama itu pula aku tidak pernah lagi jatuh cinta kepada seseorang. Saat ini ketika aku bertemu dengan seseorang di Halte depan Rumah Sakit itu aku kembali merasakan getar-getar hati yang sedang jatuh cinta seperti saat dulu aku merasakannya terhadap Bunga. 
Sore itu aku masih duduk di Halte itu dan membiarkan Angkot demi Angkot lewat saja di depanku. Gadis yang kutunggu itu masih saja belum muncul. Kemanakah gerangan dia?. Gadis itu ternyata masih juga belum muncul sampai saat terdengar suara Adzan Magrib dari Surau di Gang seberang jalan. Kemanakah gerangan dia?. Setelah tiga kali bertemu aku saat ini seakan kehilangan dia. Sudah berapa sore aku sudah tidak menjumpainya lagi di Halte itu. Aku tiba-tiba merindukannya aneh. Apakah tidak akan ada lagi pertemuan yang ke empat?.

Hari Rabu siang ini aku menuju Pepustakaan Fakultas untuk mencari beberapa referensi sebagai bahan kelengkapan laporan kegiatan Minggu ini. Suasana Perpustakaan cukup lenggang walaupun pengunjungnya cukup lumayan. Namanya juga Perpustakaan tentu saja lenggang karena orang-orang di sana kerjanya membaca dan menulis. Aku seperti biasa menuju rak Textbook dan Jurnal Ilmu Kedokteran dan seperti biasa juga duduk di meja pojok yang menghadap ke pintu. Baru saja aku duduk tiba-tiba aku terperanjat ketika aku melihat seorang gadis yang sering berjumpa di Halte itu baru saja keluar dari Perpustakaan melalui pintu di depan mejaku ini. Aku hanya bisa melihat punggungnya dengan rambut panjangnya yang terurai, postur tubuhnya dan cara berjalannya yang anggun. Ya Allah gadis itu ternyata Mahasiswi di sini. Fakultas mana ya?. MIPA, Farmasi, Kedokteran?. Aku tak tahu tapi yang jelas dia kuliah di sini. Saat dia lewat di depanku kenapa aku tidak menyapanya?. Aku memang tidak menyadari saat itu dan sudah terlanjur terpana seolah tidak percaya kalau harus bertemu gadis itu di sini. Ah tak apalah mudah-mudahan masih ada pertemuan yang kelima. Selama membaca dan menulis di Perpustakaan itu aku tidak bisa berkonsentrasi penuh karena bayang bayang gadis itu selalu saja ada di benakku. Kapankah aku akan bertemu lagi dengannya dalam pertemuan yang kelima?. Aku sudah tidak sabar menunggu.

BERSAMBUNG

http://fiksi.kompasiana.com/novel/2014/01/17/novel-hensa-bunga-mutiara-625119.html