Thursday, November 28, 2013

Novel Hensa : Episode Akhir Cintaku (Bagian 9)




Foto : Buku Novel Hensa/Koleksi Pribadi

Bagian 9
BERAKHIR PEKAN DI BOROMEUS

Beberapa malam ini aku sengaja tidak menelpon Kinanti. Sudah tiga malam dan ini malam yang ke empat. Padahal sebelumnya hampir setiap malam aku ngobrol dengan Kinanti melalui hand phone. Aku hanya ingin tahu apakah Kinanti rindu denganku ataukah tidak. Apakah Kinanti merasa kehilangan aku ataukah tidak. He he he metode lamaku kembali aku jalankan. Aku nanti akan tahu apakah Kinanti akan bersikap bagaimana dan dari sana aku bisa menebak isi hatinya?. Sebenarnya saat ini aku tahu Kinanti memang sedang butuh kehadiranku hanya aku tidak mau sekedar dijadikan tempat untuk pelarian kekecewaanya terhadap Eko yang menghianatinya.  Ah benar saja hand phone ku berbunyi. Kulihat siapa yang menelpon. Eh ternyata Audray ada apa gadis ini menelponku malam-malam begini?.
”Maaf pak Profesor malam-malam begini menelpon tapi masih jam sembilan belum terlalu larut!”, suara Audray diseberang sana. Aku melihat jam dinding ternyata baru jam sembilan seperempat. Pantas saja belum jamnya Kinanti menelpon. Kinanti biasanya menelpon diatas jam sepuluh.
”Iya Di tidak apa-apa. Apa yang bisa saya bantu Bu?”, kataku bercanda.
”He he he Pak Alan bisa saja. Hanya ingin mengkonfirmasi apakah Undangan saya sudah bapak terima?”, kata Audray.
”Belum,  Undangan apa nih Di?”, tanyaku pura-pura tidak tahu.
”Undangan Pernikahan Prof!”, kata Audray.
”Alhamdulillah selamat ya Audray. Saya turut merasakan bahagia!”, kataku.
”Terima kasih Pak. Sambil menunggu Undangan yang belum bapak terima, saya ingin mengundang lisan malam ini. Hadir ya Pak hari Minggu pekan depan ini!”, suara Audray penuh rasa bahagia.
”Baik Di!. Insya Allah saya hadir di hari pernikahanmu!”, kataku. Audray kembali mengucapkan terima kasih suaranya terdengar penuh kebahagiaan. Aku juga bersyukur gadis Tionghoa yang cantik ini akhirnya mendapatkan jodohnya. Audray Lin sosok gadis cerdas yang pernah menjadi mahasiswiku mungkin akan memiliki catatan sendiri dalam lembaran lembaran buku hidupku. Andaikan aku harus mencatat biarlah aku akan mencatat yang baik baik saja darinya. Faktanya di lembar akhir buku hidupku Audray adalah gadis yang juga memiliki kepribadian yang kuat. Hari Minggu pekan depan adalah sejarah untuk Audray untuk memulai mengarungi bahtera rumah tangga. Lalu kapan aku sendiri memulai mengarungi bahtera rumah tangga?.  Aku tertawa sendiri di kamar itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Wahai Kinanti kemanakah dirimu?. Waktu terus merayap dan tanpa terasa aku tertidur baru terbangun lagi saat terdengar suara adzan Subuh dari Mesjid Al-Akbar. Astagfirullah aku benar-benar kesiangan untuk kali ini aku terlambat tidak bisa mengikuti sholat Subuh berjamaah. Malam yang melelahkan dan ternyata telepon yang aku tunggu tidak pernah berbunyi.
Jumat pagi ini seperti biasa, lalu lintas Kota Surabaya padat penuh dengan semangat. Motor motor seakan berkejaran dengan waktu sedangkan mobil harus banyak mengalah untuk memberi jalan. Kemacetan seakan sudah menjadi ritual sehari-hari namun Alhamdulillah pagi itu aku sudah tiba di ruang kerjaku. Aku menyusun agenda hari ini. Mengisi kuliah di Pasca Sarjana sampai pukul sebelas siang. Sorenya ada pengamatan data penelitian mahasiswa di Laboratorium HPLC. Ketika aku sedang mempersiapkan bahan untuk mengisi kuliah tiba-tiba hand phone ku berdering. Aku angkat HP ku ternyata Intan yang menelpon.
”Assalaamu alaikum Om Alan!”, suara Intan terdengar khawatir.
”Wa alaikum salam ya Intan!”.
”Om Alan ada khabar buruk, Ibu sedang di rawat di Rumah Sakit!”.
”Lho sakit apa Ibumu!”, kataku terkejut.
”Tekanan darahnya turun drastis namun sekarang sudah ditangani dokter. Ibu sedang beristirahat kondisinya sudah lumayan!”, kata Intan.
”Baik Intan sore ini Om Alan ke Bandung!”.
”Iya Om kelihatannya Ibu sangat membutuhkan Om Alan!”, suara Intan penuh harap. Ya Allah kalimat itu keluar dari anak gadisnya Kinanti. Aku sangat terharu mendengarnya.  
Bandara Juanda sore itu tidak begitu sibuk sehingga aku masih dapat tiket untuk penerbangan ke Bandung. Menjelang Isya aku sudah mendarat di Bandara Husein Santranegara. Aku menggunakan Taksi menuju Rumah Sakit Boromeus di jalan Juanda tempat dimana Kinanti dirawat. Melalui jalan layang Pasupati tidak sampai satu jam akhirnya taksi itu mengantarku ke halaman parkir Rumah Sakit Boromeus. Segera aku menuju kamar rawat di lantai dua. Aku ketuk pintu kamar dan ketika pintu terbuka Intan sudah berdiri di sana.
”Om Alan Bu!”, suara Intan dengan gembira memberitahu ibunya.
”Assalaamu alaikum!”, aku memberi salam.
Aku melihat Kinanti tersenyum padaku sambil membalas salamku. Kinanti terlihat pucat. Memang butuh istirahat untuk mengembalikan kondisi kesehatannya. Tekanan darahnya rendah dan ternyata hasil uji Laboratorium menunjukkan kadar haemoglobinnya juga rendah. Kinanti mungkin terlalu capek. Terutama karena kelelahan tidak hanya secara fisik namun juga psikis.
”Terima kasih Alan sudah mau menjengukku!”, kata Kinanti dengan suara lemah namun wajahnya menampakkan kegembiraan.
”Alhamdulillah Kinan. Tentu saja aku pasti menjengukmu apalagi sedang sakit begini sedang tidak sakitpun aku tetap menjengukmu..!”, kataku.
”Iya Bu. Om Alan menjenguk Ibu sedang sakit karena khawatir. Kalau Om Alan menjenguk Ibu waktu Ibu tidak sakit, itu karena rindu!”, suara Intan menggoda sambil tertawa. Rupanya Intan sudah mulai berseloroh. Mendengar ini aku  tertawa dan Kinanti hanya tersenyum.
”Intan sekarangpun Om Alan menjenguk Ibumu juga karena rindu lho!”, kataku tidak kalah dengan Intan untuk menggoda Kinanti. Ruangan rawat inap itu penuh dengan canda dan tawa. Suasana yang sangat menggembirakan.
”Kinan bagaimana kondisimu sekarang?” tanyaku.
”Alhamdulillah, tensi sudah mulai membaik dan haemoglobin mudah-mudahan juga sudah meningkat dengan transfusi ini!”, kata Kinanti.
”Syukurlah beristirahatlah sampai pulih lagi jangan terlalu banyak pikiran!”, kataku.
”Om Alan sih enggak mau ngerti. Ibu tuh banyak pikiran karena orang Surabayanya nggak mau ngerti!”, kata Intan lag-lagi menggoda Ibunya.
”Intan, jangan macam-macam kamu itu!”, suara Kinanti sambil cemberut. Aku kembali tertawa.  Kinanti benar-benar tidak berkutik ”dikerjain” Intan, anak gadisnya sendiri. Memang suasana ruangan tempat Kinanti dirawat demikian hangat dengan canda dan tawa. Aku melihat Kinanti seperti terlahir kembali.  Wajahnya sudah nampak bersinar. Wanita cantik yang terbaring di ruang perawatan ini seakan sudah pulih. Aku kembali melihat mata yang berbinar jika Kinanti berbicara dan menatapku. Aku juga merasakan ada rindu di hatinya. Iya Kinanti memang merindukanku seperti aku merindukannya.
Besok Sabtunya ketika aku kembali menjenguk, Kinanti sudah kelihatan segar dan bugar. Wajah cantiknya sudah kembali memancar secerah Sabtu pagi ini. Kota Bandung ditemani Matahari yang bersinar dengan langit cerah berwarna biru. Hari ini aku mempunyai kesempatan seharian menemani Kinanti. Intan sendiri hari Sabtu ada kegiatan di Kampusnya sehingga aku benar-benar hanya bersama Kinanti.
”Tadi malam Listya telpon aku menanyakan kondisi kesehatanku!. Dia tahu darimu aku dirawat di Rumah Sakit!”, kata Kinanti.
”Iya tadi malam aku sms Listya memberi khabar tentangmu!”, kataku.
”Oh ya Listya bercerita katanya Audray minggu depan mau melangsungkan pernikahannya!”, kata Kinanti.
”Benar Kinan. Aku berharap minggu depan kau sudah benar-benar pulih sehingga bisa bersamaku ke resepsi pernikahannya Audray!”, kataku.
”Menurut dokter yang memeriksaku pagi tadi, Insya Allah hari Senin besok aku sudah diperbolehkan pulang!”, kata Kinanti.
”Alhamdulillah. Kinan sungguh aku senang mendengarnya. Memang aku melihat wajahnya Kinanti sekarang sudah kembali berbinar seperti biasanya!”, kataku.
”Alan Erlangga mulai kumat!”, kata Kinanti mendelik tapi sambil tersenyum dan aku tertawa lepas.
”Lalu apa pesan dokter tadi pagi untuk menjaga kesehatanmu?”, tanyaku.
”Dokter bilang padaku jangan terlalu banyak pikiran, istirahat cukup dan perhatikan makan!”, kata Kinanti.
”Nah itu terlalu banyak yang dipikirkan sebaiknya Kinanti memikirkan satu hal saja!”, kataku.
”Memikirkan satu hal?. Apa itu?”, tanya Kinanti.
”Cukup memikirkan satu hal yaitu Alan Erlangga yang lain lupakan!”, kataku sambil tertawa. Untuk kali ini sebuah cubitan mendarat di perutku dan aku hanya meng”aduh”.
”Memang dasar Alan Erlangga sifat jeleknya tidak hilang-hilang!”, kata Kinanti pura-pura ketus.
”Astagfirullah sifat jelek yang mana?”, kataku protes.
”Itu yang pintar bikin rayuan gombal!”,kata Kinanti. Aku kembali tertawa sementara Kinanti hanya tersenyum. Aku benar-benar lega karena aku melihat Kinanti sudah pulih, sehat dan gembira.
Menjelang sore aku segera berpamitan sesaat setelah Intan dan Bapak  Ibunya datang menjenguk Kinanti. Kedua orang tua Kinanti mengucapkan terima kasih atas kunjunganku. Bagiku beliau-beliau sudah bukan orang lain tapi sudah seperti orang tuaku sendiri. Terutama Ibunya seakan penuh harap kepadaku agar aku selalu tetap bisa menjaga Kinanti. Aku bisa merasakan dari dialog dialog kecilnya bersamaku. Sebelum aku berpamitan Intan masih sempat bercanda menggoda Ibunya.
”Om ternyata obatnya Ibu itu ada di Surabaya. Buktinya setelah obat itu datang menjenguk sekarang Ibu sudah sehat lagi!”, kata Intan dan kami di ruang itu tertawa sementara Kinanti hanya bisa melotot kepada Intan anak gadisnya.
Malam Minggunya aku habiskan bersama Ibu dengan mengajak makan malam di sebuah Kafe yang dekat dengan rumah. Ibu sekali lagi menanyakan tentang jodohku bahkan ketika tahu Kinanti sedang menyendiri saat ini, Ibu mengharapkan aku menikah dengan Kinanti saja. Memang Ibu dulu juga pernah berkata seperti itu dan kali ini permintaan Ibu dikatakannya lagi. Aku mencoba merenung ada makna apa dan bagaimana aku harus bersikap. Malam itu aku hanya berkata kepada Ibuku agar aku selalu di doakan mendapatkan jodoh yang terbaik.
Minggu pagi itu aku masih sempat menjenguk Kinanti di Rumah Sakit Boromeus karena aku mendapatkan tiket penerbangan yang siang.
”Kinan siang ini aku kembali ke Surabaya. Semoga kau tetap sehat dan kembali ceria jangan murung. Jangan terlalu banyak pikiran cukup pikirkan satu hal saja!”,kataku.
Untuk kali ini Kinanti tersenyum penuh arti dan aku tahu arti dari senyum itu. Senyum yang manis dengan mata indah bercahaya maka lengkaplah kecantikan wanita di depanku ini.
”Alan sungguh aku sangat bahagia memiliki sahabat sepertimu. Sungguh aku merasa nyaman, tenang, tentram berada di sisi sahabat sejatiku ini!”, kata Kinanti.
”Alhamdulillah. Aku juga demikian Kinanti adalah sahabat sejatiku yang selalu membuat aku penasaran. Sahabat yang selalu membuatku bertanya-tanya!”, kataku.
”Mengapa aku membuatmu selalu bertanya-tanya?. Profesor Alan apa sebenarnya yang ingin kau tanyakan?”, kata Kinanti sambil senyum senyum.
”Entahlah saking banyaknya pertanyaan sehingga tidak satupun yang mampu aku ingat!”, kataku juga sambil senyum-senyum.
”Baiklah Profesor jika nanti sudah ingat pertanyaan itu segeralah katakan  kepadaku!”, kata Kinanti.
Dialog-dialog itu akhirnya membuat kami tertawa. Aku merasakan kebahagiaan yang lain terutama ketika Kinanti mengatakan merasa nyaman, tenang, tentram berada di sisiku. Benarkah?. Mudah-mudahan bukan sekedar angin Surga. Ternyata perjuangan masih panjang maka akupun siang itu berpamitan kembali ke Surabaya.
”Hati-hati Alan jaga dirimu baik-baik. Kabari aku jika sudah tiba di Surabaya!”, pesan Kinanti.
”Juga untuk Kinan jaga kesehatan, cukup fikirkan satu hal saja ya!”, kataku. Kinanti mengangguk sambil tersenyum manis.


(BERSAMBUNG)

Sunday, November 24, 2013

Novel Hensa : Episode Akhir Cintaku (Bagian 8)

Foto : Hensa/koleksi pribadi


Bagian 8
INIKAH PELABUHAN AKHIR CINTAKU

Dalam dua pekan ini hampir setiap malam Kinanti selalu menyempatkan menelponku. Setiap itu pula diakhir dialog selalu ditutup dengan isak tangis. Aku dapat merasakan betapa sakit hati Kinanti yang luar biasa menerima perlakuan penghianatan di depan matanya. Sedalam apa luka yang ada dalam hatinya aku bertekad untuk menyembuhkannya. Sebagai sahabat sejatinya, aku selalu setia setiap saat mendengarkan apa yang dirasakan hatinya.
Seperti malam ini aku berdialog dengan Kinanti melalui hand phone.
”Belum tidur Alan?”, tanya Kinanti.
”Belum Kinan nggak tahu nggak bisa tidur nih. Padahal koreksian skripsinya mahasiswa sudah beres semua..!”, kataku.
”Aku juga beberapa hari ini selalu tidur diatas tengah malam walaupun tidak ada yang harus aku kerjakan. Terus terang rasa sakit hati ini begitu sulit hilang!”, suara Kinanti lirih.
”Kinanti yang aku kenal adalah Kinanti yang tegar. Aku yakin Kinanti yang aku kenal ini dengah mudah dapat melupakan Si Penghianat itu!”, kataku.
”Alan kalau Si Penghianat itu sudah aku hilangkan dari hatiku tidak ada satu ruangpun dalam hatiku untuk dia sampai kapanpun!”, kata Kinanti.
”Lalu sekarang ruang hatimu sedang kosong dong!”, tanyaku mulai menggo-da.
”Ruang hatiku sekarang sudah kembali terisi dan jangan harap kepada yang lain untuk mencoba hadir di sana!”, kata Kinanti.
”Oh berarti sudah tidak ada harapan nih!”, tanyaku lagi.
”Entahlah Alan tanya saja kepada dirimu sendiri!”, suara Kinanti sambil tertawa.
Begitulah dialog malam dengan Kinanti berisi percakapan yang hanya sekedar melepas sesak didada bagi Kinanti dan melepas rindu bagiku.
Sebulan sudah peristiwa sangat memilukan itu sudah berlalu. Terakhir aku bertemu Kinanti lagi di Bandung dan aku bersyukur Kinanti sudah mulai kembali pulih. Kegembiraannya, keceriaannya dan wajah bahagianya sudah terlihat dalam sikap sehari harinya. Aku sangat bahagia melihat Kinanti seperti kembali terlahir. Aku memang dari awal sudah yakin Kinanti adalah wanita yang tangguh. Intan, putri Kinanti pernah berkata bahwa ibunya sudah kembali ceria karena banyak dibantu olehku. Menurutku tidak juga mungkin aku hanya sedikit membantu namun yang menolong Kinanti adalah dirinya sendiri yang selalu yakin akan pertolonganNya jauh lebih sempurna. Selama ini aku hanya sering menelpon Kinanti hanya sekedar ingin mendengarkan curahan beban hatinya agar bisa terbagi untukku. Memang aku bisa merasakan setiap Kinanti menerima telepon dariku ada rasa kegembiraan dari nada bicaranya. Kinanti seakan memang selalu menunggu telepon dariku. Apakah ini saatnya aku kembali mengetuk pintu hatinya?. Jangan dulu biarlah waktu terbaik nanti yang akan datang pada saatnya.
Dua hari ini aku harus menghadiri acara workshop tentang Akreditasi untuk Perguruan Tinggi Jawa Timur di sebuah Hotel kota Batu. Jumat sore acarapun sudah selesai namun sebelum aku kembali ke Surabaya aku ingin menikmati sore yang cerah di Kota Malang. Memang fenomena macet sekarang ini sudah dimana-mana. Turun dari Kota Batu sudah dihadang macet di daerah Dinoyo menuju kota bertambah lagi macet di pertigaan Universitas Brawijaya yang tidak ber traffic light. Di pertigaan ini kendaraan yang mau lurus harus belok ke kiri dulu baru berputar balik kanan. Setelah berjuang melepaskan diri dari kemacetan akhirnya aku terdampar di Matos – Malang Town Sequere yaitu sebuah Mall yang cukup terkenal bagi warga Malang yang ada di kompleks Unibraw. Mobil aku parkir di lantai dua karena lantai dasar sudah penuh. Mall besar ini penuh dengan pengunjung. Banyak muda-mudi bahkan pelajar yang masih berseragam mungkin pulang sekolah langsung menuju ke Mall ini. Aku memang hanya sekedar refreshing saja. Melihat-lihat pakaian di sebuah Butik khusus Busana Muslim. Aneka jilbab dengan warna warni dan berbagai model.
”Pak apa yang bisa saya bantu?”, suara karyawati Butik menawarkan bantuannya.
”Oh ya saya hanya lihat-lihat dulu!”, kataku.
”Mbak, mbak yang ini berapa?”, terdengar suara wanita dibelakangku memanggil karyawati Butik itu.
”Maaf Pak silahkan lihat-lihat saya melayani Ibu yang di sana dulu!”, kata Karyawati itu sambil menghampiri wanita yang tadi memanggilnya. Akupun menengok kebelakang. Aku tidak tahu apakah dunia ini sempit atau memang Kota Malang yang sempit. Ternyata wanita itu adalah Daisy Listya. Ah seperti dalam Sinetron di Televisi saja. Aku tersenyum sendiri. Diam-diam aku perhatikan Listya yang sedang memilih busana muslim dan jilbab. Listya sendirian tidak terlihat Rizal, suaminya. Aku segera menghampirinya.
”Assalaamu alaikum Bu Rizal!”, sapaku dengan ramah. Listya menoleh dan nampak dia terkejut.
”Wa alaikum salaam Pak Alan!”, kata Listya setengah berteriak. Aku melihat wajahnya yang cantik itu berbinar. Listya memang benar-benar terkejut bisa bertemu denganku. Bukan dia saja yang terkejut aku juga demikian. Ah dasar seperti Sinetron di Televisi saja he he he.
”Bagaimana khabar Pak Profesor!?”, tanya Listya sambil tersenyum. Ya Allah rasanya lamaaaaa sekali aku tidak menimati senyum wanita yang aku kagumi ini.
”Alhamdulillah baik bagaimana denga Bu Rizal?”, tanyaku balik.
”Alhamdulillah baik juga Pak. Oh ya Bu Kinan baik-baik juga Pak. Saya waktu itu terima kabar dari Bu Kinan tentang batalnya pernikahannya itu. Saya turut prihatin!”, kata Listya.
”Bu Kinan sekarang sudah berangsur baik dan mulai bisa melupakan yang sudah terjadi. Kita doakan saja. Oh ya Listya sendirian?. Mas Rizal tidak ikut menemani?”, tanyaku.
”Mas Rizal sudah dua bulan ini di rumah saja harus istirahat karena cek terakhir adaptasi ginjalnya yang baru mengalami hambatan medis. Setiap Minggu diharuskan cuci darah. Mudah-mudahan bisa pulih kembali!”, kata Listya.
”Iya Listya semoga Mas Rizal kembali pulih!”, kataku. Aku sengaja tidak melanjutkan dialog tentang Rizal karena aku lihat Listya kelihatan murung membicarakan tentang suaminya. Pembicaraan beralih ke bisnis Apotiknya.
”Alhamdulillah Apotik kami lancar lancar saja. Omzetnya lumayan Pak!”, kata Listya.
”Syukurlah Listya. Semoga selalu mendapatkan barokah Allah aamiin!”, kataku mendoakan untuk kemajuan bisnis Apotiknya.
”Oh ya Pak Alan apakah dapat Undangan Pernikahan Audray?”, tanya Listya.
”Audray menikah?. Saya belum dapat Undangannya!”, kataku.
”Saya juga memang belum menerima Undangannya hanya kemarin Audray telepon saya agar bisa hadir dihari Pernikahannya bulan depan!”,kata Listya.
”Mungkin nanti Undangannya baru beredar!. Wah senang sekali akhirnya Audray dapat juga jodoh terbaiknya!”, kataku tanpa ekspresi.
”Lalu Pak Alan kapan mendapatkan jodoh terbaiknya?”, tanya Listya. Pertanyaan yang telak membuatku tidak berkutik dan aku hanya tersenyum tenang.
”Listya insya Allah suatu hari akan hadir jodoh terbaikku doakan ya!”, kataku. Listya hanya terdiam dan aku melihat kembali ada kemurungan di wajahnya. Melihat gelagat ini aku segera mengalihkan pembicaraan ke soal Apotik lagi.
”Lis apakah Apotiknya sudah bisa melayani Askes?”, tanyaku.
”Iya Pak bulan ini sudah mulai kerja sama dengan PT Askes untuk melayani kesehatan bagi rakyat kecil. Keuntungannya kecil juga namun pahalanya besar!”,kata Listya sambil tertawa.
”Kesehatan ini memang menjadi persoalan Nasional yang harus menjadi prioritas utama. Calon Presiden nanti yang ingin terpilih oleh rakyat harus bisa mewujudkan pelayanan kesehatan bagi rakyat kecil!”, kataku.
”Setuju Pak. Kok jadinya seperti kampanye Capres!”, kata Listya kembali tertawa. Tawa Listya yang lepas. Ah rasanya suasana seperti ini begitu aku rindukan bercanda dengan Listya seperti saat dia masih menjadi Mahasiswiku dulu. Namun waktu tidak mungkin diputar kembali ke belakang.
Pertemuan dengan Daisy Listya di Mall itu membuat semua kenangan bersamanya dulu seakan kembali ada di hadapanku. Namun aku harus kembali ke alam nyata. Berpijak di bumi yang nyata. Daisy Listya sudah menjadi masa laluku sama seperti Diana Faria. Sudahlah Alan Erlangga kini masa depanmu adalah Kinanti Puspitasari. Untuk mendapatkan masa depanmu pun Alan Erlangga harus tetap berjuang. Untuk mendapatkan cinta Kinanti Puspitasari tetap harus kau perjuangkan Alan!.  
Perjalanan dari Malang menuju Surabaya melalui jalan Tol baru pengganti jalan raya Porong, lumayan lancar dengan waktu tempuh sekitar dua jam padahal dulu biasanya bisa sampai tiga empat jam saat Tol baru belum selesai. Alhamdulillah aku tiba di rumah dengan sehat dan selamat. Setelah mandi dan sholat akupun menikmati secangkir teh panas yang sudah disediakan Si mbok. Sebenarnya makan malampun sudah tersedia di meja makan tapi rasanya aku masih kenyang sehingga semua menu makan malam di meja makan itu sama sekali tidak aku sentuh. 
Malam ini terasa begitu panjang. Seharusnya rasa lelah yang mendera tubuhku ini segera mengantarkanku tertidur lelap, namun anehnya aku justru merasakan rasa segar dan gembira. Aku tidak tahu mengapa demikian, apakah  mungkin karena faktor bertemu dengan Daisy Listya tadi sore itu. Bisa juga iya karena aku memang tidak bisa menyembunyikan perasaanku ini apalagi ini fakta bahwa Daisy Listya tidak bisa begitu saja harus hilang dari lembaran hidupku. Diana Faria saja yang sekarang sudah tiada masih saja terasa hadir ada dalam hatiku apalagi Daisy Listya. Apakah ini berarti Kinanti Puspitasari tidak memiliki arti bagiku?. Nanti dulu karena ini juga fakta Kinanti adalah satu-satunya wanita saat ini yang sangat realistis menjadi masa depanku. Ya hanya Kinanti yang mungkin saat ini akan menjadi perjuangan cinta terakhirku. Benarkah?. Hanya Allah yang Maha Tahu aku hanya bisa berkata : ”Bismillah......!”.

(BERSAMBUNG)








Sunday, November 17, 2013

Novel Hensa EPISODE AKHIR CINTAKU Bagian 7

Foto : Hensa/koleksi pribadi
CERITA PILU SAHABAT HATIKU

Episode cerita pilu itu tersaji didepanku. Kinanti sore itu seperti biasa menelpon Eko untuk pulang bersama. Namun kali ini Eko tidak bisa pulang karena harus mengerjakan laporan yang belum selesai jadi Eko mempersilahkan Kinanti pulang duluan. Kinanti rupanya tidak langsung menuju tempat parkir dimana mobilnya di parkir di sana tapi ia menuju arah Gedung Fakultas dimana Eko saat itu berada. Memang Gedung Fakultas mereka berdekatan hanya menyebrang jalan lalu berbelok ke arah kanan. Entah ada perasaan ingin tahu saat itu dalam diri Kinanti apa yang sedang dikerjakan Eko di ruang tempat kerjanya. Sebenarnya Kinanti hanya ingin menemani calon suaminya itu yang sedang kerja lembur. Suasana koridor di Gedung Fakultas itu sudah mulai sepi maka Kinantipun berjalan menelusuri koridor itu menuju Ruang Kerja Eko. Kinanti berdiri di depan pintu namun ia ragu mau mengetuk pintu itu. Sayup-sayup terdengar suara suara aneh dari seorang wanita yang sepertinya sedang dicumbu. Kinanti terkejut apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana. Pintu itupun diketuknya dengan keras. Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan Eko berdiri di sana. Kinanti tanpa ba dan bu langsung masuk ke dalam ruangan. Ya Tuhan Kinanti masih sempat melihat Irma sedang memakai kembali pakaiannya. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Kinanti. Dia hanya memandang Irma dan Eko lalu bergegas meninggalkan mereka berdua.
Itulah kisah pilu yang baru saja diceritakan Kinanti kepadaku. Setelah selesai bercerita, wanita cantik ini masih menangis tersedu di depanku.
”Sudahlah Kinan. Semuanya sudah terjadi. Tidak perlu kau tangisi dan kau ratapi seorang Penghianat. Hanya membuang waktumu yang sangat berharga !”, kataku berusaha menenangkan Kinanti namun dia tetap menangis.
Seorang wanita menangis itu disebabkan hanya oleh dua hal. Pertama hatinya perih karena tersakiti oleh penghianatan yang kedua hatinya berbunga karena dicintai penuh dengan kesetiaan. Saat ini aku melihat Kinanti begitu rapuh. Aku tidak melihat Kinanti yang tegar kokoh dengan pendirian dan prinsipnya. Aku juga sebenarnya memaklumi apa yang dirasakan Kinanti saat ini. Penghianatan yang sangat biadab itu telah mengotori hubungan cinta yang seharusnya tetap di jaga dan dirawat agar tetap suci. Kinanti pasti sangat sakit hatinya dan kecewa ketika cinta suci yang ia berikan berbalas dengan penghianatan. Kini Kinanti sangat membutuhkan pegangan. Tentu saja akulah orangnya yang ia perlukan. Aku tidak ingin Kinanti merasakan kesedihan ini berlarut-larut. Aku melihat Kinanti masih tersedu.
”Kinanti lihatlah ada aku disini. Aku yang selalu bersamamu!”, kataku sambil menatapnya. Mendengar kata-kataku itu Kinanti mulai tenang.
”Iya Alan terima kasih. Aku sangat membutuhkanmu!”, suara Kinanti pelan dengan tatapan mata yang masih basah dengan air mata. Malam itu suasana Cafe di jalan WR Supratman itu begitu tenang. Alunan musik yang terdengarpun penuh dengan lagu lagu melankolis.
”Kinan ternyata dia tidak setara denganmu. Kau harus mendapatkan cinta yang setara dengan keluhuran cintamu!”, kataku lagi kulihat Kinanti sudah tidak   menangis lagi.
”Ya Alan seharusnya aku bersyukur karena Allah sudah tunjukkan kepadaku siapa sebenarnya dia. Allah juga yang menunjukkan bahwa teman hidupku bukan dia, mungkin ada yang jauh lebih baik!”, kata Kinanti dengan suara pelan.
”Kalau begitu mulai saat ini kau harus kembali tersenyum. Dunia ini beberapa hari ini sangat merindukan senyummu terutama Alan Erlangga!”, kataku mulai menggoda.
”Alan Gombal!”, Kinanti mulai tersenyum.
”Senyum Kinanti adalah masa depanku!”, kataku semakin menggoda.
”Hei apa maksudmu?”, suara Kinanti setengah berteriak.
”Ssssst enggak ada maksud apa-apa!”, kataku ringan sambil cengengesan. Aku lihat Kinanti cemberut namun yang namanya Kinanti cemberutpun tetap cantik. Ada perasaan lega pada saat Kinanti sudah mulai lagi menemukan jati dirinya. Begitulah seharusnya seorang wanita yang tegar dan tangguh menghadapi apapun yang dialaminya. Sejak awal memang aku yakin Kinanti mampu menghadapi persoalan ini. 
 Boleh dikatakan aku di Bandung hanya semalam. Berangkat dari Juanda-Surabaya Sabtu sore tiba di Husen-Bandung hampir Magrib. Malam itu juga ketemu Kinanti di sebuah Cafe Jl WR Supratman. Besoknya Minggu pagi sudah check in lagi di Husen menuju Surabaya dengan penerbangan paling pagi. Tadi Kinanti masih sempat telpon hanya sekedar mengucapkan selamat jalan tapi bagiku hal itu sangat berharga.
”Alan terima kasih sudah mau bertemu denganku dan memberiku semangat baru. Selamat jalan ya kabari aku jika sudah sampai Surabaya!”, kata Kinanti. 
Semua aku lakukan untuk Kinanti. Sekarang rasanya ada perasaan lega yang membuatku merasa tenang. Mudah-mudahan demikian pula dengan Kinanti kembali menemukan dirinya, menemukan kedamaiannya, menemukan cinta sejatinya.
Dalam perjalanan pulang kembali ke Surabaya itu memang pikiranku penuh dengan Kinanti. Penerbangan pendek Bandung – Surabaya hanya memakan waktu yang pendek juga namun dalam waktu yang pendek itu penuh dengan pikiran perjalanan panjang penuh liku saat bersama Kinanti. Sesampainya di Surabaya segera saja aku mengabari Kinanti.
”Alhamdulillah Alan sudah sampai rumah!”, terdengar suara Kinanti.
”Alhamdulillah Kinan perjalanan lancar cuacanya juga bagus. Semoga juga hari ini menjadi hari baik bagimu!”, kataku. Terdengar Kinanti tertawa kecil.
”Bagiku tiada hari yang tidak baik semua hari adalah hari baik. Hari menjadi tidak baik ketika ada seseorang yang berbuat tidak baik!”, kata Kinanti berfilsafat.
”Ya sudahlah Kinan. Hari yang tidak baik itu sudah berlalu dan tak akan mungkin kembali. Tetaplah tatap ke depan sesekali saja menengok ke belakang hanya untuk sekedar memperbaiki yang perlu diperbaiki!”, kataku.
”Okey Alan aku suka kata-katamu. Persis yang dikatakan Listya tadi malam dia menelponku!”, kata Kinanti. Rupanya Kinanti juga curhat kepada Listya.
”Oh ya, pasti Listya selalu memberimu semangat!” kataku penasaran.
”Iya Alan. Dia mengatakan Bu Kinan harus melihat ke depan karena kita hidup akan menuju ke sana jangan buang buang waktu hanya untuk menyesali sesuatu yang sudah terjadi!”, kata Kinanti menjelaskan apa yang dikatakan Listya.
”Malam itu seusai bertemu denganmu aku memang menelpon Listya. Tentu saja dia kaget mendengar berita ini!”, kata Kinanti.
”Kinan memang baik juga Listya tahu tentang keadaanmu saat ini dan tentu saja Listya pasti terkejut dengan berita batalnya pernikahanmu!”, kataku kemudian aku segera menyudahi percakapan ini agar tidak berkepanjangan dikhawatirkan akan mengingatkan kembali Kinanti pada peristiwa yang menyakitkan itu.
Pertemuan singkat dengan Kinanti di Bandung itu seolah menjadi titik tolak baru bagiku untuk kembali meraih harapanku. Hari hari ke depan bagiku merupakan hari hari penuh harapan apalagi Intan ”Si Cantik Kinanti muda” selalu memberi dukungan agar aku tetap fight memperjuangkan cintaku untuk Ibundanya. Biasanya Intan menelponku saat jam makan siang, seperti siang itu aku baru saja selesai makan siang dan sholat dhuhur, aku menerima telpon Intan.
”Wa alaikum salaam!”, aku membalas salam nya Intan.
”Om Alan sedang apa?”.
”Baru saja selesai sholat dan makan siang. Intan sudah makan siang belum?. Sekarang ada kuliah apa saja?”, kataku balik bertanya.
”Intan sudah makan Om.  Hari ini kuliahnya sudah tadi pagi baru nanti ada Praktikum Kimia Dasar sampai sore nanti. Om Alan, Intan telpon gini ganggu nggak nih?” tanya gadis itu dengan bahasa remajanya.
”Oh tidak apa apa. Om Alan malah senang apalagi membawa khabar tentang Ibumu!”, kataku melai memancing. Aku mendengar Intan tertawa lepas.
”Rupanya Om Alan kangen sama Ibu ya!”.
”Iya dong malah kangen juga sama anak gadis Si Mata wayangnya!”, kataku menggoda dan kembali terdengar suara tawa merdu Intan Permatasari. Sungguh memang Intan ini adalah Kinanti saat muda dulu. Suaranya juga merdu persis Ibunya.
”Om Alan. Saat ini Ibu sudah kelihatan mulai kembali bergairah tidak lagi bersedih. Ibu sering menerima telpon dari mbak Listya selain dari Om Alan. Mereka kalau ngobrol sangat serius sekali. Mbak Listya selalu memberi semangat kepada Ibu. Melihat keadaan Ibu sekarang, Intan merasa lega. Ngomong-ngomong bagaimana perkembangan pedekatenya Om?”, tanya Intan.
”Pedekate yang mana Intan?”, kataku pura-pura bego.
”Aduuuh Om Alan ya pedekate sama Ibu dong!”, suara Intan menggerutu.
”Oh itu beres doong. Pelan-pelan saja Om Alan tidak mau tergesa-gesa karena Om Alan tidak mau ditolak yang ketiga kalinya!”, kataku. Intan tertawa mendengar ucapanku.
”Lho Intan. Dalam hidup Om Alan hanya Ibumu yang sudah menolak dua kali cintanya Om Alan. Pertama dulu sewaktu SMA dan kedua baru saja sebelum Ibu memutuskan memilih Om Eko. Mangkanya tidak mau terburu buru kalau sampai terjadi penolakan yang ketiga kali wah kiamat dunia ini!”, kataku serius. Kembali terdengar suara tawa Intan.
”Tenang saja Om kali ini pasti berhasil. Ibu kalau malam suka berharap harap ada telpon dari Om Alan!”, kata Intan. Mendengar ini aku hanya tersenyum.
Intan Permatasari putri Si Mata wayangnya telah menjadi teman akrabku setiap saat. Aku banyak mendapat informasi tentang Ibunya dan rupanya Intan sangat mengharapkan agar Ibunya menikah denganku. Namun aku hafal betul siapa Kinanti, seorang wanita yang mempunyai pendirian yang kokoh bagaikan karang. Hei tapi nanti dulu, karang kalau setiap hari disentuh oleh ombak mungkin akan luluh juga. Sentuhlah karang itu dengan penuh kasih sayang. Ya aku harus tetap berjuang Kinanti adalah harapan terakhirku. Harapanku yang paling logis. Kinanti belum jadi masa laluku walaupun dia pernah ada di masa laluku namun juga belum nyata menjadi masa depanku. Cinta itu harus diperjuangkan. Tidak ada kata terlambat ini saatnya aku harus memperjuangkan cintaku. Ada sebuah tanya kenapa dulu aku tidak berjuang untuk cintaku kepada Daisy Listya?. Sebelum menjawab muncul lagi pertanyaan berikutnya yaitu apa dulu memang aku tidak pernah memperjuangkan cintaku kepada Daisy Listya?.  Mungkinkah itu sudah takdirku dariNya ketika aku tidak mendapatkan cintaku kepada Daisy Listya. Apakah mungkin ada takdirNya lagi untuk takdirku ini?. Entahlah aku lebih baik berserah diri saja kepadaNya untuk semua yang kuperjuangkan andai memang aku sudah berjuang. Untuk Kinanti ini aku berharap dengan izinNya berilah aku takdir cintaku yang utuh. Hanya cintaku yang utuh yang dapat mengobati rasa pilu sahabat hatiku ini.
(BERSAMBUNG)






Thursday, November 14, 2013

Novel Hensa EPISODE AKHIR CINTAKU (Bagian 6)


Foto : Cover Novel Kemarau Panjang Di Kota Hujan by Hensa
Bagian 6
DIALOG KECIL DI SEBUAH KANTIN

Sejak peristiwa fragmen satu babak di Bandung itu, Kinanti sangat jarang lagi berkomunikasi denganku. Sudah sebulan berlalu dan Kinanti hanya dua kali menghubungiku melalui hand phonenya. Satu kali saat dia membalas smsku tentang kapan tanggal pernikahan mereka dan satu lagi saat Kinanti memberitahukan bahwa dia sedang di Surabaya tapi tidak sempat mampir. Sebenarnya semakin jarang berkomunikasi dengan Kinanti semakin baik baginya dan bagiku tentunya. Kinanti bisa fokus mempersiapkan pernikahannya yang hanya tinggal sebulan lagi dari sekarang. Ya bulan depan Kinanti Puspitasari sudah menjadi istri Eko Priotomo. Saat saat seperti ini apa sebenarnya yang kurasakan. Kehampaan hati?. Karena tiadanya cinta dari dambaan hati selama ini?. Ataukah kehampaan hati dari ketiadaan teman hidup?. Hati terasa hampa, kosong akibat dari kesendirian?. Entahlah aku tidak pernah bisa menjawabnya.
Aktivitasku hari ini benar-benar super sibuk. Menjadi Penguji dalam ujian skripsi beberapa Mahasiswa S1. Setelah jam istirahat ada meeting di Gedung Rektorat sampai sore acaranya pembahasan program fakultas dan rencana kerja sama dengan Australia bahkan acaranya masih dilanjutkan besok paginya.  Kesibukan kesibukan seperti itu ternyata tidak juga mampu menghilangkan rasa kesendirianku. Sore itu Kampus sudah mulai sepi sementara aku di Ruang kerjaku masih termangu memegang hand phoneku sambil membaca berulang-ulang sms nya Kinanti yang benar-benar sangat berkesan :
”Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”.
Mungkin hanya sms Kinanti ini yang sekarang bisa menghiburku. Bagiku sms ini sangat berharga karena aku bisa merasakan ternyata Kinanti juga mencintaiku namun Kinanti merasa tidak layak cintanya harus disamakan dengan cinta Daisy Listya  yang dianggapnya jauh lebih tulus dan lebih luhur daripada cintanya. Namun apakah mungkin aku masih bisa meraih cinta Daisy Listya?. Jelas tidak mungkin. Sebenarnya yang paling mungkin adalah aku bisa meraih cinta Kinanti apalagi Listya sudah merestui. Namun kenapa Kinanti masih juga tidak mau membuka hatinya untukku?. Terakhir aku ketahui bahwa Intan, putrinya lebih merestui diriku sebagai teman hidupnya namun kenapa Kinanti memilih Eko?.
Dalam dua hari ini kembali aku ada di Bandung menjadi Pembicara Seminar Farmasi Universitas Pajajaran di Jatinangor. Aku teringat kalau Intan sekarang kuliah di Kampus ini. Mumpung aku masih ada di Kampus ini kucoba menghubunginya melalui nomor selulernya.
”Hallo! Om”, suara seorang gadis menjawab panggilan hand phone ku.
”Intan bagaimana khabar?”, kataku.
”Alhamdulillah baik Om. Bagaimana dengan Om Alan sendiri?. Kok lama gak pernah telpon ke Bandung?”, mendengar ini aku hanya tertawa.
”Sekarang Om Alan justru sedang di Bandung bahkan sedang di Kantin Fakultasmu!”, kataku.
”Ah jangan bercanda Om. Aku kepingin ketemu tunggu disitu ya Om!”, kata Intan penuh gembira. Hanya beberapa menit aku lihat Intan memasuki Kantin Kampus dan langsung menuju mejaku.
”Assalaamu a’laikum Om Alan!”, sapa gadis ini.
”Wa a’laikum salaam. Silahkan duduk Intan!”, kataku mempersilahkan duduk. Aku lama tidak berjumpa dengan Intan. Kecantikan ibunya nampak sekali ada dalam diri gadis berusia 19 tahun ini. Terutama matanya yang indah. Wajah oval dibalut jilbab dengan hidung bangir dan bibir selalu penuh dengan senyum sungguh Intan Permatasari adalah gadis penuh pesona. Intan bagiku seperti Kinanti muda. Melihat Intan aku jadi teringat Kinanti. Anak gadis Kinanti ini benar-benar mewarisi semua kecantikan ibunya termasuk kecerdasannya.
”Om Alan sudah kangen nih sama Intan!”, kataku sungguh sungguh.
”Kangen sama aku apa sama Ibu?”, kata Intan tertawa. Akupun menjelaskan kepada Intan sedang ada acara Seminar selama dua hari ini di Kampusnya.
”Oh ya bagaimana Ibu baik-baik?. Persiapan pernikahannya lancar-lancar saja kan!”, aku memang sengaja bertemu Intan hanya ingin mencari kabar tentang Kinanti, Ibunya.
”Iya Om mudah-mudahan lancar. Sedang mencetak Undangan tapi belum selesai. Tapi Om Alan, akhir-akhir ini Ibu sering murung. Aku juga tidak tahu kenapa. Aku tidak berani bertanya!”, suara Intan pelan.
”Mungkin bukan murung itu karena Ibumu sedang fokus memikirkan acara pernikahan itu!”, kataku mencoba menetralkan anggapan Intan.
”Om pernah suatu hari Ibu bertanya padaku apakah Ibu pantas menerima cinta Om Alan. Lalu aku menjawab tentu saja Bu. Namun aku jadi heran yang terjadi Ibu malah menerima lamarannya Om Eko!”, kata Intan lagi. Mendengar ini aku terdiam. Aku yakin Kinanti memang mencintaiku apalagi jika membaca sms nya tempo hari isinya sudah bernada mengutarakan cintanya. Memang kadang-kadang wanita itu sulit diduga. Begitu sulit diduga walau hanya sekedar ingin tahu saja perasaan hatinya sedang sedih ataukah gembira apalagi menduga perasaan cintanya.
”Hei Om Alan kok melamun!”, suara Intan mengagetkanku. Aku hanya tersenyum.
”Oh ya Om apakah Ibu tahu sekarang Om Alan sedang ada di Bandung?”.
”Tidak Intan. Ibumu tidak tahu, memang Om Alan sengaja tidak memberitahu Ibu ya takut mengganggu kesibukannya!”, kataku. Intan hanya mengangguk tanda setuju. Dialog kecil di sebuah Kantin Kampus itu bagiku sangat berarti. Banyak informasi tentang Kinanti yang aku dapat dari Intan. Ada hal yang menarik dalam pertemuan di Kantin itu, ketika kami berpisah Intan masih sempat berkata :
”Om Alan tetap semangat dong. Cinta sejati harus diperjuangkan!”, kata Intan sambil tersenyum manis. Aku tertawa mendengar kata kata itu.  Akhirnya kamipun berpisah diujung pintu Kantin itu.
Sejak dialog kecil di Kantin Kampus tiga hari yang lalu itu rupanya komunikasi dengan Intan semakin sering saja. Pembicaraan yang diceritakan Intan seputar kemurungan Kinanti, ibunya dan persiapan pernikahannya. Setiap malam ada saja yang diceritakan Intan melalui HP nya. Kadang-kadang aku sendiri yang sengaja telpon Intan untuk mengetahui situasi terkini tentang Kinanti.
”Om, aku pernah cerita sama Ibu bahwa lelaki yang cocok untuk Ibu itu hanya Om Alan. Aku juga bilang bahwa Om Alan pantas menjadi Ayahku!”, kata Intan suatu malam ketika kami berbincang.
”Oh begitu lalu apa jawaban Ibumu?”, tanyaku penasaran.
”Ibu menjawab bahwa Ibu itu tidak layak menerima cinta Om Alan karena ada wanita lain yang cintanya lebih luhur dan tulus!”, begitu kata Ibu.
Mendengar cerita itu aku hanya terdiam. Kinanti tetap sangat menghormati Listya dan anehnya Listya sendiri sudah ikhlas cintanya diambil alih oleh Kinanti. Listya rela jika aku menjadi suami Kinanti. Oh Tuhan harus bagaimana aku menghadapi dua wanita luhur budi ini. Faktanya aku harus merelakan mereka menikah dengan pilihan hatinya masing masing. Listya sudah menjadi istri Rizal Anugerah dan Kinanti sebentar lagi akan menjadi istri dari Eko Priotomo. Kadang aku befikir sebenarnya Allah ini sedang merencanakan apa terhadapku. Rencana bagaimana hidupku. Rencana siapa jodohku. Terbukti ada tiga wanita yaitu Diana Faria, Daisy Listya dan Kinanti Puspitasari yang masih juga belum dizinkan Allah untuk menjadi teman hidupku. Mereka adalah wanita-wanita pilihanNya yang sangat istimewa dalam hatiku. Sementara usiaku semakin lama semakin menuju ujung hari senja. Apakah Allah akan membiarkanku tetap sendiri karena selalu terbelenggu dengan masa laluku.  Aku tidak boleh ragu dengan ketetapanNya yang selalu menjadi yang terbaik. Tetap optimis dan harus menjalani hidup ini apa adanya. Aku jadi  ingat kata-kata Intan : ”Om Alan tetap semangat dong. Cinta sejati harus diperjuangkan!”. Ha ha ha aku jadi tertawa sendiri.
 Malam ini aku baru saja selesai mengoreksi beberapa skripsi dan masih sedang membaca sebuah thesis S3 ketika tiba-tiba Intan menelponku. Intan ingin menyampaikan berita yang sangat penting sekali.
”Om Alan maaf Intan telpon malam-malam begini karena ada berita yang tidak menggembirakan!”, kata Intan diujung telpon. Aku bertanya-tanya berita tentang apa sehingga tidak menggembirakan.
”Ada berita apa Intan?”, kataku penasaran.
”Ibu membatalkan pernikahannya dengan Om Eko!”, kata Intan.
”Apa yang terjadi dengan Ibumu?”, tanyaku terheran heran.
”Ceritanya panjang Om. Ibu sekarang masih menangis di kamarnya!”, kata Intan. Aku sebenarnya ingin bicara dengan Kinanti namun saat ini bukan saat yang tepat untuk bicara dengannya.
”Om Alan mau menolong Intan?”, tanya Intan.
”Tentu saja mau tapi maksud Intan bagaimana?”, tanyaku.
”Temui Ibu di Bandung dan Om Alan harus bisa membuat Ibu tidak bersedih karena peristiwa ini!”, kata Intan.
”Baik Intan. Hanya Om Alan masih belum mengerti penyebab pernikahan ini harus dibatalkan!”, tanyaku.
”Menurut Ibu ada pihak yang berhianat dan Ibu menyaksikannya sendiri penghianatan itu!”, kata Intan.
”Menyaksikan bagaimana maksudnya?”,tanyaku.
”Biar nanti saja ceritanya Om!”, kata Intan.
”Oke Intan besok pagi Om Alan ke Bandung tapi apakah Ibumu mau bertemu dengan Om Alan!”, kataku ragu.
”Tentu saja mau Om. Ini saja Intan disuruh Ibu untuk telpon Om Alan!”, kata Intan.
Batalnya pernikahan Kinanti entah kenapa membuat hati merasa lega. Apakah itu artinya aku kembali memiliki harapan terhadap Kinanti?. Belum tentu. Aku hafal betul siapa Kinanti Puspitasari. Wanita tangguh yang sangat sukar ditundukkan. Bagiku cinta wanita itu harus diperjuangkan sepenuh hati. Semakin sulit perjuangan itu maka semakin tinggi mutu dari cinta yang aku peroleh karena cinta dengan mutu tinggi tidak mudah untuk didapatkan. Apakah aku masih punya harapan pada cinta itu?. Aku harus yakin Allah akan mendatangkan kebahagiaan kepada orang yang harapannya telah terputus. Hal ini agar semua mahlukNya terdorong untuk mengalihkan harapannya kepada Allah dan mensucikan niat untuk bertawakkal kepadaNya. Tiada harapan sebaik baik harapan kecuali selalu mengharapkan cintaNya.  
”Om Alan tetap semangat dong. Cinta sejati harus diperjuangkan!”, nah ini kata kata Intan Permatasari, putri Si mata wayang Kinanti Puspitasari yang membuat aku kembali bersemangat untuk mengejar cintaku yang hilang.

(BERSAMBUNG)



Wednesday, November 13, 2013

Novel Hensa EPISODE AKHIR CINTAKU Bagian 5


Foto : Hensa/Koleksi Pribadi

MENIKMATI HARI INI

Walaupun rasa penat masih terasa namun aku tetap harus berangkat ke Kampus. Banyak yang harus aku kerjakan. Tumpukan skripsi dan thesis yang harus aku revisi dan tentu saja beberapa kertas kerja dan makalah yang dalam dua hari ini masih terbengkalai padahal deadline nya sudah semakin dekat. Seperti biasa setelah berjuang dengan kemacetan lalu lintas Kota Surabaya akhirnya aku tiba di Kampus langsung saja aku menuju ruanganku di lantai 2 Fakultas Farmasi. Aku lihat meja kerjaku berantakan tidak karuan, padahal aku biasanya selalu merapikan meja sebelum pulang kerja namun beberapa hari ini kebiasaan baikku itu entah hilang kemana. Efek psikologis dari hati yang sedang galau telah ditunjukkan oleh kondisi berantakannya meja kerja he he he. Aku merapikan meja kerja itu. Satu demi satu kertas, buku buku dan apa saja yang ada disitu dirapikan atau disingkirkan dan ditempatkan kembali ke dalam laci atau rak buku. Tiba-tiba selembar kertas terjatuh lalu aku pungut kembali. Ternyata sebuah Undangan Peresmian Apotek dari Audray siang ini. Apotek ini berada di di Pucang Adi. Audray Lin salah satu dari Mahasiswiku yang punya prestasi baik. Audray berasal dari Malaysia mempunyai Tante yang menikah dengan Pria Tionghoa kelahiran Surabaya. Selama kuliah di Fakultas Farmasi, Audray tinggal dengan Tantenya. Gadis ini sangat ceplas-ceplos dan agresif. Logat Malaysianya memang sudah hilang karena tinggal di Surabaya paling tidak sudah 4 tahun lebih. Sebenarnya aku paling risi menghadapi Audray ini sejak dia masih mahasiswa dulu sering menggodaku dan Audray adalah tipe gadis yang agresif apalagi dia tahu aku masih bujangan. Aku teringat ketika dia menjadi biang keladi hampir retaknya hubunganku dengan Listya. Ah lupakanlah yang sudah berlalu. Aku lihat kembali Kartu Undangan dari Audray. Mengharap kehadiran Bapak/Ibu/Sdr dalam rangka peresmian APOTEK SENTOSA. Insya Allah aku harus hadir untuk memberikan apresiasi kepada Audray. Bagaimanapun juga dia adalah mahasiswiku yang berprestasi dan patut untuk dihargai.

Siang itu aku sudah berada di Apotek Sentosa. Melihat aku datang, Audray menyambutku dengan senyum dan perasaan gembira. Aku sempat terpana memandang Audray dengan cara berpakaiannya. Audray terlihat anggun dengan rambut terurai. Tidak lagi kulihat rok mini yang ketat yang mempertontonkan keseksiannya. Ternyata Audray Lin bisa juga berdandan anggun seperti ini. Berpakaian tertutup rapi sopan justru memberi kesan kecantikannya yang asli dengan kecantikan wajah khas oriental. Aku memang masih terpana terkagum kagum dan tabiat lamaku akhirnya kambuh juga dengan ceplosnya memuji Audray.
”Ah pak Alan bisa saja. Terima kasih pujiannya!”, kata Audray. Aku juga terperanjat dengan respon jawaban Audray yang sopan penuh kewajaran. Tidak ceplas ceplos seperti biasanya. Aku dipersilahkan duduk di barisan kursi paling depan. Audray masih sibuk melayani tamu-tamu lainnya sementara aku ditemani Omnya mengobrol akrab. Bagi keluarga ini memang aku dikenal baik karena dulu juga sering berkunjung ke rumah keluarga ini. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Kebanyakan tamu-tamu itu adalah rekan-rekan bisnis Tante dan Omnnya. Acara Pembukaan itu singkat saja. Sambutan dari Pak Tanuwijaya, omnya Audray juga singkat. Tak lupa beliau memperkenalkan Apoteker yang menangani Apotek Sentosa yaitu Audray Lin. Acara dilanjutkan dengan ramah tamah dan makan siang. Setelah makan siang itu aku segera berpamitan karena harus mengisi kelas Pasca Sarjana. Audray sempat mengantarku sampai tempat parkir mobil.
”Pak Alan terima kasih kehadiran dan dukungannya!”, kata Audray.
”Sama sama Di. Sekali lagi selamat ya dan semoga sukses dengan bisnismu!”, kataku. Audray hanya mengangguk tersenyum. Akupun segera berpamitan dengan melambaikan tanganku.
Sepanjang perjalanan menuju Kampus aku sempat tidak percaya bahwa Audray Lin ternyata bisa juga seanggun itu. Aku sangat terkesan dengan Audray Lin pada pertemuan siang ini. Hanya sebentar bertemu tapi pertemuan itu sangat berkualitas. Aku jadi teringat sejak peristiwa foto-fotoku dengannya yang membuat Daisy Listya prihatin dan berburuk sangka kepadaku. Sejak itu Audray banyak berubah dan yang lebih terharu bagaimana Audray merasa menyesali semua yang dia lakukan. Saat itu dia sudah minta maaf kepadaku juga kepada Listya atas foto foto rekayasanya. Pada kesempatan lain Audray pun sempat mencurahkan semua isi hatinya kepadaku. Pengakuan seorang gadis masa kini yang tegas  dan jujur.
”Pak Alan. Aku menyadari bahwa aku bukan orang yang menjadi impian bapak selama ini!”, kata Audray ketika kami berbincang bincang di beranda rumahnya.
”Apalagi aku adalah gadis dengan etnis Tionghoa dan seorang Katholik tentu semakin menjadi jauh dari kriteria bapak!”, kata Audray lagi.
”Didi!”, aku memanggil Audray dengan panggilan kecil keluarganya yaitu Didi.
”Jangan berkata seperti itu. Semua manusia itu sama yang membedakan dihadapan Tuhan adalah sejauh mana pengabdian dan kesetiaan kepadaNya..!”, kataku menjelaskan.
”Didi  berbicara mengenai jodoh sebaiknya serahkan kepadaNya. Dialah yang Maha Tahu pilihan teman hidup terbaik untuk kita!. Dia lah sebaik baik Penentu”, kataku.
”Pak Alan kadang kadang aku iri kepada Listya. Dia seorang wanita yang lembut begitu ramah cara bertutur katanya kepada siapapun. Listya adalah wanita rupawan yang juga berhiaskan hati yang cantik!”, suara  curahan hati Audray keluar dari bibirnya dengan wajah yang mendung.
”Di kecantikan itu sangat relatif. Kamu juga cantik. Kau harus banyak bersyukur kepada Tuhan. Memiliki tubuh yang ideal impian bagi kebanyakan gadis-gadis. Pasti banyak gadis-gadis yang iri padamu. Semua lelaki juga pasti suka kepadamu. Kecantikan fisik ini semakin menjadi tinggi nilainya ketika kau mau menutupinya dengan rapi dan menghiasinya pula dengan budi pekerti yang luhur!”, kataku lagi dengan khotbah yang lebih panjang. Namun aku melihat ada secercah bahagia di wajah Audray ketika dia mendengar kata-kataku itu.
”Terima kasih Pak Alan. Memang cinta itu tidak bisa dipaksakan. Cinta harus memiliki frekuensi dan chemistry yang sama!”, kata Audray.
Dialog tadi adalah saat-saat terakhir kami bertemu Audray dan kembali aku berjumpa Audray saat peresmian Apoteknya. Aku melihat Audray yang kujumpai kali ini adalah Audray yang baru terlahir kembali. Audray yang penuh percaya diri. Audray yang sudah tidak lagi mempedulikan apakah dia seorang Tionghoa atau Katholik atau siapapun tapi Audray yang peduli dengan dirinya sendiri sebagai hamba Sang Pencipta. Audray yang memiliki hak yang sama dan kewajiban yang sama. Hak untuk dicintai dan kewajiban untuk mencintai. Selanjutnya Tuhan lah yang menentukan jodoh terbaiknya dan Tuhan Maha Mengetahui serta sebaik-sebaik Penentu.
Tidak sadar rupanya kata-kata itu juga bisa berlaku kepadaku. Alan mempunyai  hak untuk dicintai dan kewajiban untuk mencintai dan Tuhan Maha Mengetahui serta sebaik-sebaik Penentu. He he he lamunan kecil itu aku akhiri ketika aku sudah memasuki pelataran parkir Fakultas. Aku segera begegas menuju ruang kerjaku mengambil laptop dan bahan-bahan untuk memberikan kuliah lalu menuju Gedung Pasca Sarjana yang berada dua blok dari Fakultas Farmasi. Waktu dua jam memberikan kuliah berlalu begitu saja. Ya itu hanya rutinitas biasa. Sudah berapa banyak mahasiswa yang juga menganggap bahwa kuliah kuliah yang mereka terima adalah rutinitas yang harus dilalui semata mata hanya untuk menggapai rutinitas berikutnya. Mungkin dulu ketika aku masih mahasiswa seperti mereka sama saja memiliki pola fikir seperti itu. Memang sangat jarang orang menuntut ilmu untuk ilmu pengetahuan itu sendiri namun kebanyakan mereka menuntut ilmu untuk kepentingan materi. Untuk saat sekarang ini terlalu idealis memiliki sikap seperti itu yang sedikit dimiliki orang banyak. Oh rutinitas mengapa harus membelengguku?. Nanti dulu jangan merasa terbelenggu oleh rutinitas. Aku jadi teringat apa yang dikatakan seorang Filsuf Terkenal Penulis Kitab Ihya Ulumuddin yaitu Imam Al-Ghozali. Simak apa yang dikatakannya.
”Hari ini adalah milikmu. Jika tiba waktu pagi, janganlah engkau menunggu petang datang. Hari ini adalah hari yang sebenarnya engkau menghirup udara, hidup dan membuka mata. Hidupmu adalah hari ini. Hidupmu bukan hari kemarin yang telah meninggalkan kenangan baik maupun kenangan buruk. Janganlah engkau tenggelam dalam mengingat masa lalu. Jangan pula terlena merenungkan keindahan hidup yang pernah dulu kau jalani. Namun hidupmu juga bukan hari esok yang belum tentu engkau akan menjumpainya. Janganlah engkau terlena pada harapan harapan dan angan-angan masa depan. Jangan pula engkau merasa cemas dan takut untuk menghadapi hari esok. Lebih baik fikirkan saja hari ini. Hari ini adalah hidupmu, hari yang telah dinaungi oleh sinar Matahari dan engkau mendapati waktu siangmu adalah harimu yang sebenarnya. Oleh karena itu usiamu hanya sehari yaitu hari ini. Maka tanamkanlah di dalam hatimu sebuah kehidupan yang nyata pada hari ini seakan akan dirimu dilahirkan pada hari ini dan mati pada hari ini pula....”
Sungguh indah ungkapan yang sangat filosofis ini telah membuatku benar-benar menikmati hari ini. Nikmatilah hari ini. Nikmatilah rutinitas. Nimatilah kemacetan lalu lintas. Nimmatilah kegalauan hati. Nikmatilah kesibukan. Nikmatilah skripsi skripsi dan thesis yang menumpuk untuk dikoreksi. Nikmatilah kesepian dan kehampaan hati. Nikmatilah waktu yang membosankan. Nikmatilah kejenuhan. Nikmatilah kesendirian. Nikmatilah rasa kehilangan. Nikmatilah. Sungguh benar-benar aku menimati hari ini. Lalu bolehkah aku menimati hari ini dengan membaca ulang sms Kinanti yang kemarin?. Kubaca kembali sms Kinanti yang satu ini :
”Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”.
Ternyata menikmati hari ini dengan membaca sms Kinanti jauh lebih bermakna daripada merenungi nasib ditinggalkan Kinanti menikah dengan Eko Priotomo. Oleh karena itu untuk sementara lupakanlah hari esok ketika Kinanti akan bersanding dengan calon suaminya. Memang faktanya bahwa kebahagiaan itu adalah ketika orang yang aku cintai mendapatkan kebahagiaannya. Akupun tidak pernah ragu tetap menatap hari esok dengan senyum. Senyum kepedihan. Tersadar dari lamunan ternyata aku masih menikmati hari ini. Alhamdulillah.


(BERSAMBUNG)