Friday, October 31, 2014

Cerpen Hensa : REUNI BERSAMA INTAN PERMATASARI

1414066433289749202
Foto : Hensa


   Ketika mendengar kabar ada Reuni Akbar SMA, aku seperti ingin berteriak gembira. Bukan apa-apa, jika benar Reuni itu terlaksana aku sangat berharap bertemu dengan Intan Permatasari. Tiga Puluh Sembilan tahun yang lalu aku lulus dari SMA sebuah Kota kecil di lereng Gunung Ciremai. Tidak terasa hampir empat dasa warsa sudah aku meninggalkan kota kelahiranku. Selama itu hanya pada saat Hari Lebaran saja aku menyempatkan berkunjung ke sana untuk bersilaturahmi dengan para kerabat dari Ibuku. Pada saat Lebaran itu kadang-kadang aku sempat bertemu dengan teman dan sahabat lama baik saat SMP maupun SMA. Namun selama itu pula aku belum pernah berjumpa lagi dengan Intan Permatasari. Sempat suatu hari saat mudik Lebaran tiga tahun yang lalu aku mendengar kabar tentang Intan saat aku bertemu dengan Diana teman sebangkunya saat SMA dulu.
“Hensa bagaimana kabarmu?”, suara Diana.
“Alhamdulillah baik. Kamu juga kelihatan tetap cantik!”, kataku. Diana hanya tertawa mendengar pujianku.
“Hensa tahun lalu aku bertemu dengan Intan lho!”, kata Diana.
“Oh iya. Bagaimana dia kabarnya, dimana sekarang tinggalnya, anaknya sudah berapa?” tanyaku bertubi-tubi. Diana kembali tertawa mendengar pertanyaan beruntunku yang heboh itu.
“Sabar pertanyaannya satu-satu nanti aku jawab okey Bos!”, kata Diana kalem.
“Oke Bos!”, kataku.
“Saat itu Intan juga tanya kamu. Aku bilang Hensa sekarang tinggal di Jawa Timur sana. Sudah punya dua putra. Intan juga bilang ingin ketemu kamu!”, kata Diana. Mendengar ini aku merasakan rasa haru berarti Intan masih ingat padaku.
“Kukira dia sudah lupa padaku”, kataku bergumam.
“Hensa mana mungkin dia melupakanmu. Kamu kan cowok pertama yang berani mengutarakan cinta padanya!”, kata Diana.
“Ya tapi sampai sekarang Intan belum pernah mengucapkan balasan apapun terhadap perasaanku sampai akhirnya kami berpisah kota untuk melanjutkan studi masing-masing!”, kataku. Diana sebagai teman dekat Intan pasti tahu betul rahasia perasaan Intan dan semua yang menyangkut aku dan Intan.
“Hensa tahu tidak sampai saat ini Intan belum menikah” suara Dina memecahkan suasana. Aku sangat terkejut mendengar berita ini.
“Diana kenapa begitu ya?”.
“Aku juga tidak tahu. Sebagai wanita yang karirnya sukses mungkin Intan sudah agak sulit menemukan pergaulan yang setara dengannya.” kata Diana. Intan Permatasari bekerja di sebuah Perusahaan Ekspor-Impor di Jakarta. Dia memegang jabatan yang sangat penting dalam perusahaannya, demikian Diana menceritakan karir Intan saat ini.
“Hensa saat ini Intan masih cantik seperti dulu. Kabar baik lainnya dia kirim salam untukmu dan keluarga”, kata Diana.
“Terima kasih Diana”, kataku.
Itulah kabar terakhir tentang Intan Permatasari. Ah aku jadi ingat saat aku mengutarakan cintaku padanya. Intan bagiku adalah sahabat di Sekolah maupun di luar Sekolah. Dia teman grup belajarku. Setiap ada PR Matematika, Goniometri, Ilmu Ukur Ruang,Ilmu Pesawat Mekanika, Kimia, Fisika, Biolgi Intan adalah jagoanya. Gadis ini juara di Kelasku. Aku bersyukur bisa bersahabat dengannya. Akupun bersyukur diantara teman prianya, Intan lebih percaya padaku. Mungkin karena aku ini orangnya polos dan agak sedikit religius entahlah. Jika pada saat ada acara Sekolah yang diselenggarakan malam hari maka aku selalu diminta untuk menemaninya. Begitupula Ibunya nampak sekali suka padaku walaupun kepada siapapun tetap ramah. Sejak kelas tiga SMP kami memang sudah bersahabat. Banyak teman pria yang lain berusaha untuk mendekati Intan namun selalu dengan halus Intan menghindarinya. Setiap ada teman pria yang mendekatinya maka Intan selalu bercerita kepadaku. Hingga pada suatu kesimpulan inilah saatnya aku maju. Saat kelas tiga SMA itulah aku memutuskan untuk mengutarakan cintaku kepada Intan.
Saat itu baru saja kami menerima pengumuman kelulusan Ujian Akhir SMA dan Alhamdulillah aku dan Intan lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Kami keluar dari Ruangan Aula setelah Pengumuman itu. Berjalan menuju sebuah tempat yang bernama Samoja Opat yang ada di seberang jalan depan Sekolahku. Tempat ini penuh dengan rindang pepohonan. Aku dan Intan sering datang ke tempat ini hanya untuk sekedar ngobrol santai. Siang itu kamipun menuju ke sana hanya sekedar ingin mengukir nama-nama kami pada sebuah pohon di situ. Intan + Hensa, demikian dua nama itu terukir di batang sebuah pohon besar. Lalu kami duduk di atas sebuah batu menghadap ke arah Sekolahku.
“Intan tahun depan kita sudah meninggalkan SMA tercinta kita ini. Kamu mau kuliah dimana?” tanyaku.
“Hen rencanya aku ingin kuliah di Yogya. Di sana ada Om Budi, adik Ibu. Kalau Hensa rencana kuliah dimana?”, tanya Intan.
“Aku mungkin kuliah di Bogor. Aku suka pelajaran kimia. Di sana ada Perguruan Tinggi Kimia mungkin aku kuliah di sana”, kataku.
“Hensa, nanti kita berjauhan ya. Aku di Yogya dan kamu di Bogor”, suara Intan pelan. Aku melihat wajah gadis ini kelihatan murung sama seperti halnya perasaanku. Aku merasakan suasana kesedihan tergambar dalam wajah Intan.
“Aku kalau kangen gimana?”, suara Intan. Aku tertegun tidak bisa bicara.
“Kita bisa berkirim surat atau telepon ya Hen!”, kembali suara Intan.
“Intan saat saat seperti ini aku merasakan kesedihan. Yang aku takutkan selama ini ternyata akan terjadi. Kita nanti akan berpisah”.
“Iya Hensa. Walaupun nanti kita jauh tapi hati kita tetap dekat”, kata Intan.
“Intan!. Maukan kau mendengarkan apa yang selama ini aku rasakan?”, akhirnya aku mulai membuka kata untuk curahan hati ini. Mendengar ini Intan Hanya menatapku tajam. Aku juga memandang gadis cantik ini. Mata indahnya dan wajah cantiknya dengan rambut hitam panjang sebatas bahu benar-benar memukauku. Maha Besar Allah Sang Pencipta gadis cantik ini. Kami saling berpandangan.
“Intan selama ini ternyata aku sangat mencintaimu!”, kataku tegas. Aku lihat Intan hanya tertunduk. Beberapa saat kami terdiam. Tidak ada jawaban dari bibir mungil gadis ini. Aku melihat Intan mulai terisak. Titik air matanya mulai membasahi pipinya. Siang itu begitu hening. Hanya angin semilir menerpa dedaunan rindang di Samoja Opat itu. Peristiwa itu begitu berkesan bagiku walaupun hingga saat ini aku tidak pernah mendengar sepatah katapun jawaban dari Intan.
Sejak lulus kuliah dari Bogor, sudah 30 tahun ini aku menghabiskan kehidupanku di sebuah Kota Pesisir Jawa Timur. Kota ini sudah seperti kota kelahiran keduaku, kota tempat aku menggapai semua masa depanku. Intan Permatasari walaupun tidak bisa begitu saja dilupakan namun di kota ini aku merasa lebih realistis menjalani kehidupanku. Kabar tentang Reuni Akbar Lintas Angkatan mulai tahun 1961 sampai tahun terakhir benar-benar acara yang sangat aku nantikan hanya dengan satu harapan yaitu bertemu dengan Intan Permatasari. Reuni Akbar ini seakan membuka kembali lembaran-lembaran lama. Aku sungguh sungguh ingin menghadiri acara reuni ini maka segera saja mengatur jadwal kerjaku agar pada hari H Reuni tersebut benar-benar tidak berbenturan  dengan tugas-tugas kantor. 
Hari yang ditunggu itu akhirnya datang juga. Kegiatan Reuni dimulai dengan acara jalan sehat Sabtu pagi dilanjutkan dengan Bazar serta pertandingan Final Basket antar SMA/SMK. Aku sendiri tidak bisa mengikuti acara-acara tersebut. Aku baru bisa hadir pada malam Minggunya yaitu acara Malam Temu Kangen. Malam itu aku melangkah dengan penuh harapan ingin ketemu dengan Intan Permatasari. Memasuki Gerbang Sekolah sudah banyak para alumni. Mereka mungkin angkatan yang muda-muda karena tidak ada yang mengenaliku. Ketika tiba-tiba seseorang memanggilku. Ternyata disana sudah berdiri Diana sambil melambaikan tangannya. Aku segera menghampiri Diana. Kami saling bersalaman.
“Hensa baru datang ya. Tadi pagi tidak ikut jalan sehat?”, tanya Diana.
“Iya. Oh ya teman-teman yang lain mana?”. Tiba-tiba muncul berbarengan Dony, Kadir, Agus, Neni, Eli, Bunga namun tidak ada Intan Permatasari. Kemanakah kamu Intan. Setelah ngobrol-ngobrol kangen akhirnya mereka, teman-temanku itu pamit padaku karena kebetulan mereka adalah Panitia pada acara ini. Aku berjalan menuju Panggung yang megah di tengah-tengah antara Aula dan lapangan terbuka. Udara malam itu sangat sejuk dan langit cerah penuh Bintang. Berjalan sendiri melintasi koridor melewati kelas-kelas yang dulu pernah menjadi tempatku belajar. Lalu aku kembali lagi menuju arah panggung dimana acara puncak Temu Kangen dilangsungkan. Belum sampai sisi Panggung aku melihat seorang wanita duduk sendirian kebetulan disebelahnya juga ada kursi kosong. Aku seperti mengenal betul siapa wanita itu. Menggunakan gaun berwarna hitam rambut panjang sebatas bahu dengan perawakan semampai. Ya Allah tidak salah lagi, dia Intan Permatasari. Aku menghampirinya setengah berlari.
“Intan!”, kataku menyapa. Wanita itu menoleh dan menatapku sambil tersenyum.
“Hensa!”, katanya membalas sapaanku. Aku duduk disampingnya. Intan masih cantik seperti dulu. Masih terbayang saat dia mengenakan seragam putih abu-abu. Ya wanita di depanku ini Intan Permatasari.
“Aku sengaja datang ke reuni ini semata-mata hanya karena ingin bertemu denganmu!”, kata Intan. Mendengar ini aku tersenyum.
“Kamu sudah punya putra berapa?”, tanya Intan lagi.
“Putraku dua sekarang mereka sudah bekerja mungkin sebentar lagi aku mau menikahkan putra pertamaku.”
“Berbahagialah Hensa. Sementara aku hingga saat ini masih sendiri!”, suara Intan seperti tersendat dikerongkongan. Aku melihat wajahnya penuh kesedihan. Wajah Intan masih cantik seperti dulu pada saat itu aku mengutarakan cintaku kepadanya. Saat ini seakan aku sedang mengalami adegan ulang 39 tahun yang lalu. Aku lihat tiba-tiba Intan menangis tersedu lalu dia berkata dalam tangisnya.
“Hensa sebenarnya aku juga mencintaimu. Maaf sangat terlambat menjawab kata cintamu!”, kata Intan sambil masih menangis. Sementara itu di Panggung Temu Kangen baru saja disampaikan oleh MC bahwa lagu jadul berikutnya adalah Andaikan Kau Datang. Sementara lagu itu mengalun, Intan masih terisak. Suasana yang mengharukan diringi alunan lagu Koes Puls itu. Kemudian dia menatapku tajam seakan-akan tatapan ini adalah yang terkhir kalinya.
“Maafkan Hensa, aku tidak bisa memberikan kebahagiaan untukmu”, katanya pelan.
“Aku sekarang lega karena sudah bertemu denganmu dan aku berharap kamu sudah tahu isi hatiku juga mau mmemaafkanku”,kembali kata Intan sambil berdiri menatapku.
“Hensa aku pamit dulu ya”, kata Intan sambil berlalu meninggalkanku dengan isak tangisnya. Saat itu aku benar-benar terpaku tidak bisa berbuat apa-apa setelah beberapa lama baru aku tersadar kalau Intan sudah pergi dariku. Aku berlari mengejarnya sampai Pintu Gerbang Sekolah. Tidak ada. Mungkin masih di Tempat Parkir. Tidak ada satupun kendaraan yang keluar dari tempat parkir. Intan telah pergi. Aku telah membiarkan dia pergi, Kenapa aku tidak menahannya. Malam itu sampai acara usaipun aku benar-benar tidak bisa menikmati kemeriahan Temu Kangen ini.
“Hai Hensa kenapa kamu kelihatan murung?”, suara Diana menyadarkanku dari kegundahan hati karena ditinggal Intan.
“Aku tadi bersama Intan Permatasari tapi dia pergi meninggalkanku!”,kataku menjelaskan.
“Intan Permatasari katamu Hensa?”.
“Iya aku tadi berbincang, bernostalgia. Lalu Intan menyatakan cintanya kepadaku sambil minta maaf kalau cintaku baru terbalas sekarang!”. Aku lihat Diana terbengong seperti orang yang benar-benar tidak percaya pada ceritaku ini.
“Intan menangis tersedu dan berpamitan padaku. Aku tidak bisa mencegahnya pergi”, kataku pelan penuh kegundahan. Kembali aku melihat Diana menarik nafas dalam-dalam.
“Hensa. Aku lupa memberitahumu!”, kata Diana.
“Memberi tahu tentang apa Diana?”, tanyaku penasaran.
“Memberitahu tentang Intan”, kata Diana datar.
“Ada apa dengan Intan ?”.
“Intan sudah tiada setahun yang lalu karena menderita kanker kista ovarium”, kata Diana kali ini kulihat matanya berkaca-kaca. Mendengar ini aku hanya tertegun dan tidak percaya jika tadi aku memang benar-benar bertemu dengan Intan Permatasari. Aku merasakan ada tepukan lembut dipunggungku. Ya tepukan dari Diana agar aku bisa tabah. Aku masih tertunduk sambil membayangkan saat tadi Intan mengatakan cintanya padaku. Intan Permatasari almarhumah hadir dalam Reuni ini untuk menyatakan cintanya padaku. Ya ALLAH semoga Intan selalu mendapat perlindungan dan kedamaian di sisiMU.



Bandung 23 Oktober 2014

Monday, July 21, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 21 (TAMAT)

Sampul Novel Bunga Mutiara (Foto Hensa)

EPISODE 21
 BERAKHIRNYA SEBUAH MIMPI

Ruangan dokter Beny, dokter senior spesialis penyakit dalam ini terasa hening beberapa saat ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.
“Ya silahkan masuk!”, kata dr Beny mempersilahkan masuk.
Lalu pintupun terbuka. Seorang wanita cantik berkulit putih separuh baya paling berusia sekitar 45 tahunan, berdiri di sana. Aku hanya menebak apakah ini Mamanya Mutiara?. Kulihat garis garis  wajahnya memang mirip Mutiara.
“Oh Bu Maya, silahkan duduk!”, kembali suara dokter Beny. Kemudian Om Franky menyambut kedatangan Bu Maya yang ternyata memang benar, dia adalah Mamanya Mutiara. Om Franky memperkenalkan aku kepadanya. Ketika aku memanggilnya dengan kata ‘Tante’, langsung Bu Maya menyuruhku memanggilnya ‘Mama’.
“Herman, aku sudah banyak mendengar cerita tentangmu dari Mutiara. Saat sekarang bertemu denganmu seakan aku sudah mengenalmu bertahun-tahun!”, kata Mamanya Mutiara. Aku hanya terdiam.
“Herman, kamu tahu saat Mutiara mendengar kedatanganmu di Manado wajahnya kembali ceria. Dia sangat menunggu kehadiranmu. Bagi Mutiara, kau itu seperti malaikat penolong, betapa banyak harapan harapannya berhasil kau bangkitkan kembali. Akhirnya Mutiara menemukan kembali jati dirinya!”, Mamanya Mutiara berkata terbata-bata dengan berurai air mata. Om Franky berusaha menghibur dengan memeluknya.
“Bagi Mutiara,Hermansyah adalah masa depannya namun ternyata Tuhan kembali harus memberikan ujianNya. Mungkin Tuhan sangat sayang kepada Mutiara sehingga dia harus selalu menerima ujian ini!”, kembali suara Mamanya Mutiara sambil terisak. Suasana di Ruang dokter Beny itu benar-benar sangat mengharukan.
“Bu Maya semoga bisa bersabar. Kami tetap berupaya menuju tindakan medis lanjut dengan terapi antiretroviral dengan persetujuan pihak keluarga!”,  kata dokter Beny.
“Tentu dokter. Apapun yang dilakukan untuk kesembuhan Mutiara, kami pasti setuju!”, kata Mamanya Mutiara sudah mulai tenang.  Suasanapun sudah kembali mencair. Kemudian Om Franky meminta izin untuk segera menjenguk Mutiara di Ruangannya.
“Dokter ijinkan kami menjenguk Mutiara dan terima kasih atas penjelasan lengkap kondisi medis serta dukungannya selama ini!”, suara Om Franky.
“Ya sama-sama Pak Franky. Silahkan!”, kata dokter Beny mempersilahkan kami meninggalkan ruangannya.
Kami menuju Ruangan dimana Mutiara di rawat. Kami menyusuri koridor menuju tangga terdekat dan selama perjalanan Mama Maya selalu bercerita tentang Mutiara yang begitu senang akan bertemu denganku.
“Herman, Mutiara sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu!”, kata Mama Maya. Aku melihat masih ada sisa tangisan di sudut kedua matanya.
“Iya Ma, saya juga sudah tidak sabar ingin bertemu segera!”, kataku. Aku merasakan ada kegundahan dalam tutur kataku itu. Rasa gundah, gelisah, khawatir dan rasa takut kehilangan. Ya Allah kenapa jatungku berdetak semakin cepat saat sebentar lagi akan bertemu Mutiara. Aku tidak mau membayangkan kondisi Mutiara saat ini. Mendengar informasi dari Om Franky tempo hari, Mutiara memang sudah sangat parah.
Aku sekarang sudah ada di depan pintu Ruangan tempat Mutiara dirawat. Mama Maya membukakan pintu dan Om Franky masuk diikuti olehku.
“Tiara coba tebak siapa yang datang ini!”, suara Mamanya. Aku melihat Mutiara melihat kedatanganku dengan wajah yang ceria. Ya Allah walaupun wajah cantiknya kelihatan pucat dengan kedua pipi yang sudah cekung digerogoti virus HIV namun senyum itu adalah senyum kerinduannya kepadaku. Aku hanya bisa memandangnya dengan penuh haru.
“Mas Herman!”, suara Mutiara setengah berteriak. Aku menghampiri dan memegang lengannya. Kupandangi wajah cantiknya yang selama ini aku rindukan. Mutiarapun memandangku dengan kedua matanya yang indah itu. Bibirnya berkali kali memanggil namaku pelan hampir berbisik. Wajahnya memang kelihatan sangat lelah namun saat dia memandangku kelihatan sorot mata yang hidup dan senyum manis penuh dengan harapan. Kondisi tubuhnya sangat memprihatinkan kelihatan kurus karena bobot badan yang terus menyusut. Mamanya hanya bisa terisak memandang adegan haru di depan matanya sedangkan Om Franky terdiam membisu dengan wajah penuh kesedihan.
“Mas, aku kangen sekali!”, suara Mutiara pelan dan air matanya mulai menetes di kedua pipinya yang sekarang sudah cekung itu. Aku mengusap tetesan air mata itu dengan lembut.
“Tiara, aku juga merasa kehilanganmu!”, kataku sambil tetap erat memegang tangannya. Mutiara tersenyum. Aku lihat wajahnya yang cantik itu sangat lelah namun senyumnya tetap manis. Saat saat seperti ini aku hanya bisa berbisik kepadaNya. Ya, berikanlah untuk Mutiara jalan yang terbaik menurutMu.
Informasi medis dari dokter Beny sudah jelas bagaimana kondisi Mutiara saat ini. Aku sekarang sudah melihat fakta dari kondisi kesehatan Mutiara sudah sangat parah. Infeksi oportunistik herpes simplex virus tipe 2 bagi penderita HIV adalah hal yang sangat serius karena sistem imunitas tubuhnya yang terus menurun akibat HIV,  menyebabkan Mutiara memasuki stadium yang kritis.
“Mas Herman, aku merindukan suasana Surabaya. Aku merindukan saat kita berbincang di teras depan tempat kostku. Aku merindukan duduk bersamamu di Halte depan Rumah Sakit itu. Aku merindukan bertemu denganmu di Perpustakaan itu. Aku selalu merindukan setiap petuahmu yang membuat hidupku menjadi cerah!”, suara Mutiara pelan sambil menatapku dengan senyum di bibirnya.
Kembali aku hanya diam membisu dan membiarkan Mutiara mengeluarkan semua isi hatinya. Mutiara yang malang, kemana para lelaki tuna susila yang biadab itu pada saat Mutiara seperti ini. Tentu saja mereka tidak akan ada yang datang menjenguknya karena mereka memang hanya butuh tubuhnya.
“Mas Herman saat saat seperti ini baru aku menyadari bahwa Tuhan sedang mengujiku. Pernah Mas Herman bilang orang yang sering mendapat ujian itu pertanda mau naik kelas. Andaikata benar aku sangat bahagia. Namun aku ini penuh dengan kenistaan sangat layak masuk neraka. Aku harus rela menerimanya. Ternyata aku juga adalah mahlukNya yang tidak berdaya melawan nerakaNYa. Sedangkan Sorga adalah tempat yang tidak layak bagiku yang berlumpur penuh dengan dosa ini !”, suara Mutiara semakin lemah, lalu nafasnya terputus-putus. Kini tiba-tiba saja kondisinya sangat drop kemudian aku melihat dia pingsan.
Kami segera memanggil Suster yang selama ini merawatnya. Kemudian Suster segera menghubungi dokter Beny. Mereka secepatnya menangani Mutiara sementara Mama Mutiara dan Om Franky dipersilahkan menunggu di luar ruangan.  Mama Mutiara masih menangis dalam pelukan Om Franky. Aku sendiri diizinkan dokter Beny untuk menemaninya memeriksa kondisi Mutiara. Faktor psikologis yang membuat Mutiara depresi berat. Aku bisa memahami betapa kecewanya Mutiara karena HIV dan infeksi herpes simplex tipe 2, menyebabkannya harus melupakan untuk menjadi istriku. Itulah kenyataan yang harus aku hadapi kini. Fakta yang sangat menyakitkan dan menyedihkan.
Saat itu kesedihan harus aku rasakan secara mendalam. Bagaimana tidak, Mutiara telah mampu membuatku jatuh hati. Wanita yang telah banyak menciptakan rindu dalam setiap waktuku. Hari hari yang aku lalui bersamanya adalah hari hari yang penuh keceriaan dan kebahagiaan. Kecantikannya selalu mengingatkanku kepada kebesaran ciptaanNya. 
Dalam hatiku selalu tertanam kesadaran bahwa Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya - Tiada satupun urusan yang tanpa campur tanganNya. Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. Dia Maha Memiliki apa apa yang di langit dan di bumi dan diantara keduanya. Siapa yang mampu menolak takdirNya ?. Ya Mutiara sudah menerima takdirNya. Setahun kemudian wanita pujaanku ini tidak mampu lagi bertahan melawan virus yang ganas itu.
Sore hari yang mendung itu aku masih duduk di bangku Halte depan Rumah Sakit itu. Orang-orang yang menunggu Angkot satu-persatu bergegas menaiki kendaraan kota itu sehingga di Halte hanya tinggal aku dan seorang gadis berambut panjang. Tiba-tiba saja sebuah mobil Eropa bermerk berhenti dan gadis cantik berambut panjang itu membuka pintu lalu berlalu dari pandanganku. Bukankah dia Mutiara?. Tidak, Mutiara sudah tiada, bukan, bukan dia. Lalu siapa gadis cantik berambut panjang yang pergi bersama mobil Eropa bermerk itu?. Hujan sudah mulai turun. Aku masih di Halte itu sendirian. Sementara hari sudah mulai gelap tiba-tiba saja sebuah mobil  sedan kecil merapat. Seorang gadis semampai keluar dari mobil sambil membawa payung.
“Herman ayo kita pulang!”, suara Bunga. Aku hanya menurut saja ketika aku digandeng menuju mobil lalu kamipun berlalu meninggalkan Halte itu. Mobil meluncur menembus lebatnya hujan sementara Bunga mengendarai dengan hati-hati.
“Herman, kamu harus bangkit. Mutiara sudah tenang di alam sana!”, kata Bunga.
“Ya Bunga. Mutiara selalu saja ada di hatiku. Tadi di Halte itu aku juga melihat kembali bayangannya !”.
“Mungkin itu hanya hayalanmu karena kamu belum bisa merelakannya pergi!”.
“Mungkin begitu Bunga!”.
“Andaikan kau mencintainya, relakan dia. Ikhlaskan karena kita tidak pernah menjadi pemilik siapapun. Hanya Allah yang Maha Memiliki!”, kata Bunga.

Aku berusaha untuk tetap tabah menghadapi ujian ini. Sangat berat memang namun sekali lagi aku memiliki sahabat sejati yaitu Bunga Putri Pertiwi. Dia selalu ada pada saat aku membutuhkannya. Aku teringat pesan terakhir Mutiara bahwa dia sudah menitipkan diriku seutuhnya kepada Bunga. Mutiara juga akan merasa bahagia andai aku menjadi teman hidup Bunga. Namun apakah Bunga memang mencintaiku?. Sedangkan sekarang cintaku sudah hilang seolah dibawa pergi oleh Mutiara. Lalu cinta yang mana yang harus aku berikan kepada Bunga?. Aku hanya berdoa semoga suatu hari nanti Bunga dapat menemukan kembali cintaku yang hilang.  Semoga. 

Novel ini dapat dipesan di sini : 

Thursday, June 5, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 20

Foto : Sampul Novel Bunga Mutiara/Hensa 2014


EPISODE 20
 ASA ITU SELALU ADA
Akhirnya berita menyedihkan itu sampai juga kepada Mutiara. Pagi itu saat aku baru saja sampai di Ruang Kerjaku, Mutiara menelponku. Sambil terisak dia men-ceritakan berita menyedihkan itu dari dokter yang baru saja berkunjung pagi itu. Aku mendengar isak tangisnya begitu pilu.
“Tiara. Bersabarlah. Tuhan tidak akan memberi cobaan diluar kemampuan kita!”, kataku mencoba mengutip Firman Allah untuk menenangkan hati Mutiara.
“Iya Mas. Hanya kepadaNya aku pasrahkan segala-nya. Aku hanya bersedih memikirkanmu Mas Herman!”, suara Mutiara masih terisak. Mendengar penuturannya aku sangat terharu. Mutiara bersedih justru karena memikirkan masa depanku. Ya andai Tuhan mengizinkan aku menikah dengannya lalu apa yang terjadi saat Mutiara sudah menjadi istriku?. Sedangkan dia saat itu terkena infeksi HIV. Ya Allah berikanlah ketabahan kepada kami.
Beberapa saat aku tertegun lalu tetap berusaha menghibur dan membesarkan hatinya.
“Sudahlah Tiara jangan bersedih. Sekarang ikuti saja program yang sudah disiapkan oleh dokter. Tiara harus tabah. Insya Allah semuanya akan baik-baik saja !”.
“Mas Herman. Ini yang kutakutkan selama ini. Itulah sebabnya aku tidak pantas untukmu Mas. Aku berharap Mas Herman segera bangun dari mimpi buruk ini!”, suara Mutiara begitu tegar mengucapkan kalimat ini.
“Tiara selalu aku katakan janganlah berputus asa kepada pertolongan Tuhan. Aku tidak sedang bermimpi buruk. Bahkan Mimpi indahku adalah dirimu Mutiara!”, kataku pelan.
Aku tidak bisa menyembunyikan kerapuhan hatiku. Siapapun yang mengalami hal sepertiku ini tentu tak bisa dengan mudah untuk tabah semudah kata itu diucapkan.
“Mas Herman, aku sudah tak sabar ingin bertemu denganmu!”, kembali suara Mutiara. Mendengar kata-kata Mutiara ini aku rasanya seperti mau menangis. Dia begitu rindu seperti halnya aku merindukannya.
“Iya Tiara, aku juga sudah kangen ingin bertemu!”, kataku. Berpisah dengannya belum sebulan namun rasanya seperti sudah berabad abad.
Aku teringat ketika masih di Surabaya berat badan Mutiara turun beberapa kg namun saat itu tidak pernah aku perhatikan sebagai suatu hal yang serius. Malah saat itu aku sering memujinya dengan mengatakan bahwa Mutiara bertambah langsing semakin bertambah cantik. Lalu saat mendengar pujianku itu Mutiara mencubit lenganku mesra. Namun setelah test HIV ini turunnya berat badan menjadi hal yang serius. Aku belum tahu kondisi Mutiara saat ini. Terakhir Om Franky menceritakan keadaanya sangat memprihatinkan. Ya Allah semoga mukjizatMu menyertainya.
Sudah aku duga biasanya jika ada berita dari Mutiara pasti selalu ada telpon dari Bunga. Ya Bunga menelponku ingin bertemu. Maka siang itu Bunga bertemu denganku di Kantin Rumah Sakit pada jam makan siang.
“Herman. Menerima telpon Mutiara pagi tadi aku sangat prihatin. Aku berikan semangat kepadanya agar dia tetap tabah. Kamu juga yang tabah ya !”, kata Bunga.
“Terima kasih Bunga. Kamu memang sahabat sejatiku. Aku sendiri saat ini hanya ingin bertemu dengan Mutiara. Biar aku bisa memberikan semangat kepadanya secara langsung!”.
“Herman itu lebih baik. Kamu ada disisinya akan membuat Mutiara lebih tenang dan lebih tabah. Kapan rencana ke Manado ?”, tanya Bunga.
“Aku punya jadwal longgar hari Sabtu pekan depan. Rencananya aku pergi dengan Om Franky !”, kataku.
“Aku sebenarnya ingin ikut menjenguk Mutiara namun minggu depan ada seminar proposal. Titip salamku saja !”, kata Bunga.
“Ya Bunga tidak apa-apa. Tetap doakan kebaikan untuk Mutiara. Saat seperti ini hanya kamu yang selalu ada disampingku untuk mendukungku. Terima kasih Bunga!”, kataku terharu. Kulihat Bunga hanya menatapku sendu.
“Aku sahabatmu sejak kecil sudah pasti akan selalu ada saat kau bersedih seperti ini !”, kata Bunga.
“Sebenarnya aku selalu yakin semua yang terjadi pasti selalu atas campur tanganNya. Namun aku juga kadang-kadang merasa rapuh menghadapi cobaan ini!”, kataku.
“Herman selama ini aku mengenalmu sebagai seorang yang ulet dan tegar menghadapi apapun. Aku yakin kau bisa menghadapi cobaan ini!”, kata Bunga berusaha selalu menghiburku.
“Insya Allah. Mudah-mudahan aku seperti yang kau kenal selama ini. Aku juga selalu berharap agar kau tetap mendoakan agar cobaan ini segera berakhir!”, kataku.
Pertemuan yang singkat dengan Bunga namun memiliki banyak arti. Bagiku Bunga adalah seorang gadis yang istimewa. Dia selalu hadir saat kapanpun aku harapkan. Walaupun Mutiara adalah pujaan hatiku, namun seakan pada semua relung hatiku, Bunga selalu ada.
Malam itu aku harus menyelesaikan laporan tugas rutinku di Rumah Sakit. Ada perasaan kalut dan pikiran tidak tenang, bukan karena aku belum menyelesaikan laporan itu namun karena seorang pasien Ibu Rumah Tangga yang terkena virus HIV itu kondisinya semakin menurun. Setiap hari aku bersama dokter Wim selalu memantau Pasien ini di Ruangan isolasi. Bahkan dokter Wim menemukan indikasi adanya stadium lanjut dari virus ini dengan hasil temuan jumlah sel CD4 dalam darah yang di bawah 250 per mikroliter. Sel kekebalan tubuh yang disebut CD4 (Cluster of Differentiation), merujuk pada klaster protein yang membentuk reseptor pada permukaan sel tersebut. Diketahui banyak sekali klaster, tetapi dalam hubungan dengan HIV/AIDS maka CD4 dan CD8 yang paling utama dan paling sering dibahas. Padahal obat antiretroviral (ARV) perlu dimulai sedini mungkin karena progresivitas penyakit terjadi setelah banyak sel CD4 yang hancur.  Terapi ARV yang tepat bisa menekan replikasi HIV, namun rupanya pasien ini sangat terlambat memeriksakan keluhannya. Adanya infeksi oputunistik yang juga menyerang tubuhnya menambah parah kondisi pasien tersebut.
Pagi harinya pasien Ibu Rumah Tangga itu akhirnya sudah tidak mampu lagi bertahan. Dia meninggal dunia setelah dirawat selama dua pekan. Aku hanya bisa termenung di sudut Ruangan itu.
Aku kembali teringat Mutiara seperti apakah kondisinya saat ini. Aku benar-benar tidak mengetahui data mediknya. Mungkin nanti saat di Manado aku bisa berdiskusi lebih dalam dengan dokter yang menangani Mutiara. 
Sabtu pagi itu, aku dan Om Franky bertolak ke Manado menggunakan penerbangan pagi dari Bandara Juanda Surabaya. Penerbangan Alhamdulillah lancar sampai Bandara Sam Ratulangi. Kami langsung menuju RS Ratumbuisang dimana Mutiara dirawat.
Sebelum menjenguk Mutiara, Om Franky me-ngajakku ke Ruangan dokter Beny yaitu dokter spesialis yang merawat Mutiara di Rumah Sakit itu. Om Franky yang mengenal lebih dulu dr Beny memperkenalkanku kepadanya sebagai calon suami Mutiara. Kami berdiskusi cukup lama di Ruangan dr Beny.
“Setelah Mutiara positif terinfeksi HIV. Kami lakukan juga pemeriksaan banyaknya jumlah sel kekebalan tubuhnya yaitu sel CD4. Hasilnya dibawah dibawah 300 per mm kubik darah. Sangat mencemaskan!”, kata dr Beny.
“Betul dokter jumlah sel CD4 menjadi indikator yang amat penting dalam menentukan tingkat kekebalan tubuh manusia. Dari hasil laboratorium jumlah sel kekebalan tubuh Mutiara sangat mengkhawatirkan!”, kataku sambil memperhatikan data medis yang ditunjukkan dr Beny.
“Iya seharusnya jumlah sel  dalam batas normal ada pada kisaran 500-1000 sel per milimeter kubik darah agar mampu mempertahankan diri dari komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan AIDS khususnya mencegah terjadinya infeksi oportunistik!”, kata dokter spesialis yang merawat Mutiara.
“Satu hal lagi hal yang sangat menyedihkan adalah ditemukan adanya konplikasi sehingga terjadi infeksi oportunistik dari penyakit menular herpes genitalis!”, kembali suara dr Beny.
Aku dan Om Franky hanya terdiam dan saling pandang mendengar penjelasan Beliau yang sangat gamblang dan jelas tentang kondisi medik Mutiara.
“Penanganan medis selanjutnya adalah mengobati infeksi oportunistiknya baru terapi antiretroviral bisa dilakukan!”, kembali dokter Beny menjelaskan tindakan medis berikutnya.

Kondisinya Mutiara saat ini sangat parah. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengannya. Aku ingin segera saja keluar dari Ruangan dr Beny dan berlari menemui Mutiara. Ya Allah betapa aku harus tetap yakin setiap kehadiranMu dalam hatiku maka asa itu selalu ada.

BERSAMBUNG 

Monday, June 2, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 19


Foto : Hensa

EPISODE 19
 MENGHADAPI KENYATAAN

Menunggu kabar penting adalah hal yang sangat mendebarkan sekaligus membosankan dan bisa jadi menyebalkan. Apalagi ini kabar penting tentang hasil test HIV untuk Mutiara. Bagaimana tidak, karena hal itu maka  semua kegiatanku menjadi tidak fokus. Terakhir aku menerima telpon dari Mutiara yang mengabarkan kesediaannya untuk test HIV namun diiringi dengan rasa kepasrahannya yang cenderung putus asa.
“Tiara bersabarlah. Kita harus selalu berbaik sangka kepadaNya. Tuhan itu selalu memilik rencana yang terbaik!”, kataku menghibur Mutiara untuk mengurangi rasa risaunya.
“Ya Mas. Sekarang aku serahkan segalanya hanya kepada yang Maha Memiliki!”, kata Mutiara.
Ada satu hal lagi yang penting dalam pembicaraan via telpon itu yaitu bahwa Mutiara sekali lagi mengungkapkan isi hatinya tentang ketidak pantasannya menerima cintaku.
“Mas Herman. Jangan ragukan mengenai cintaku. Aku juga sangat yakin dengan cintamu. Namun aku adalah wanita yang tidak pantas untuk mendampingi hidupmu. Walaupun kita tidak bisa hidup bersama, biarlah cinta kita hanya tercatat dalam catatan Malaikat!”, suara Mutiara sendu.
“Tiara jangan berputus asa kepada pertolonganNya. Kita harus tetap menatap ke depan. Jauh ke depan menuju tempat kebahagiaan yang sesungguhnya!”, kataku tetap membesarkan hatinya.
Menghadapi kenyataan ini aku benar-benar harus berbesar hati dan tidak pernah berhenti berharap agar Allah pasti selalu memberikan keputusanNya yang terbaik untukku dan untuk Mutiara. Dialog singkat via handphone dengan Mutiara walaupun bisa mengobati rasa rinduku kepadanya namun juga mengundang keresahan dan kerisauan. Melihat kondisi dan masa lalu Mutiara, ada kemungkinan memiliki risiko tinggi terhadap adanya infeksi HIV. Jika hasil tesnya positif, maka masih diperlukan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya infeksi oportunistik dan tingkat stadiumnya. Apabila ditemukan adanya infeksi oportunistik, maka infeksi tersebut akan diobati terlebih dahulu setelah itu pengobatan antiretroviral (ARV) bisa dimulai.  Bagaimanapun orang yang terkena HIV sangat sulit disembuhkan, terapi ARV hanya bisa untuk menghambat tingkat infeksinya sehingga penderita memiliki harapan hidup lebih lama. Dalam hati aku hanya bisa bergumam, Mutiara nasibmu. Apapun yang terjadi denganmu aku tetap mencintaimu.
Akhirnya kabar itu datang juga. Sore itu aku baru saja bergegas pulang menuju tempat Parkir kendaraan ketika handphoneku berbunyi dan Om Franky menyampaikan kabar hasil test HIV untuk Mutiara. Berita dari Om Franky ini seperti dugaanku dari awal memang ternyata Mutiara terinfeksi HIV. Kekhawatiranku selama ini terbukti sudah namun aku tidak mampu berbuat apa-apa. Masa lalu Mutiara memang memiliki tingkat risiko yang tinggi untuk terinfeksi HIV.
“Herman, kamu harus bersabar ya!”, suara Om Franky menghiburku.
“Iya Om terima kasih!”, kataku pendek.
“Mutiara rencana selanjutnya akan dirawat di Rumah saja untuk privasi keluarga!”, kata Om Franky.
“Sebaiknya begitu. Oh ya apakah Mutiara sudah tahu hasil test ini?”.
“Mungkin belum. Ini tadi baru saja saya dikabari dokter yang merawat Mutiara. Kemudian langsung menelponmu !”, kata Om Franky.
“Biarlah nanti dokter yang merawatnya saja yang menyampaikan hasil test ini!”, kataku.
“Iya Herman sebaiknya begitu mungkin baru besok pagi kabar itu sampai kepada Mutiara dan Mamanya!”.
“Om Franky kapan ada rencana ke  Manado lagi?”.
“Minggu ini belum ada rencana, mungkin Minggu depan. Kamu ada rencana menjenguk Mutiara?”.
“Iya Om tapi saya harus lihat dulu jadwal tugas dan agenda kegiatan Rumah Sakit!”.
“Begini saja saya bisa sesuaikan nanti agar kita bisa pergi bersama!”, kata Om Franky.
“Okey baik Om terima kasih!”.
Surabaya pada sore itu sebenarnya udaranya sangat cerah namun bagiku terasa begitu mendung, kelabu bahkan kelam. Aku meluncur ditengah-tengah lalu lintas yang sore itu begitu padat dengan perasaan risau. Sesampainya di tempat kost rasa lelah yang tiada terkira mendera seluruh badan ini rasanya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mutiara ketika mendengar bahwa hasil test HIV nya positif. Tentu saja dia sangat terpukul. Aku harus memberikan dukungan yang sempurna kepadanya.
Malam itu aku menelpon Mutiara dan rupanya diapun sedang menunggu telpon dariku.
“Tiara, bagaimana kabarmu sayang!”.
“Mas Herman. Ini pertama kali aku dipanggil sayang jadi tambah kangen ingin segera bertemu!”, kata Mutiara ada sedikit keceriaan. Aku baru sadar dengan kata ‘sayang’ tadi ketika Mutiara menjawab teleponku. Ya memang aku adalah cowok paling pelit bilang sayang sama cewek. Apalagi kalau cuma basa-basi.
“Ya Tiara, memang aku sayang sama kamu!. Apalagi kalau bicara kangen sejak kamu pergi ke Manado rasanya Surabaya sudah menjadi kota yang sepi!”, kataku bercanda tapi serius juga sih karena aku memang merasa kehilangan Mutiara.
“Mas. Aku senang mendengar Mas Herman sayang dan kangen sama Mutiara!”, terdengar suara Mutiara sangat ceria. Sudah lama aku tidak mendengar keceriaan Mutiara seperti ini. Aku sangat terharu sekali. Biarlah aku selalu menghiburnya.
“Tentu Tiara rinduku ini sudah sampai ubun-ubun. Aku sudah kangen sama senyummu. Kangen mendengar tawamu. Kangen melihat ngambekmu. Pokoknya kangen semuanya!”.
“Mas Herman. Mulai gombal lagi nih!”, kali ini Mutiara tertawa kecil. Tawa rianya sedikit mengobati kerinduanku kepadanya.
“Aku ada rencana ke Manado untuk melepaskan rasa rinduku kepada Mutiaraku!”, kataku perlahan.
“Mas Herman! Apa betul?”, suara Mutiara setengah berteriak dengan rasa gembira.
“Insya Allah. Rencananya nanti pergi bersama dengan Om Franky!”, kataku.
“Oh Tuhan. Terima kasih. Aku bisa bertemu denganmu Mas!”, kata Mutiara.
“Tiara sebaiknya aku sudahi dulu ya kangen-kangenannya. Saatnya Tiara istirahat biar besok bangun pagi sudah kembali segar!”.
“Iya terima kasih. Mas Herman juga harus istirahat setelah seharian bekerja di Rumah Sakit.  Nanti kalau bobo mimpikan aku ya Mas!”, kata Mutiara.
“Mudah-mudahan aku juga bisa hadir dalam mimpimu Tiara!”, kataku penuh haru.
“Selamat malam Mas Herman. Cup sayang dari jauh!”, kata Mutiara.
“Selamat tidur Mutiara, sayangku!”, kataku penuh kasih sayang.
Dialog malam itu penuh dengan sentuhan yang sangat mengharukan. Canda ria yang terjadi menambah kepedihan hatiku karena pada saat esok hari tiba, Mutiara bangun dari tidurnya kemudian saat itulah berita yang menyedihkan harus dia terima.  Sungguh tragis. Betapa berat cobaan yang harus kami rasakan. Bagaimana caranya aku harus menata perasaannya agar Mutiara bisa tetap tabah menatap ke depan. Namun aku sendiri sebenarnya juga sangat rapuh menghadapi kenyataan ini.

BERSAMBUNG

Thursday, May 29, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 18

Foto : Hensa/koleksi pribadi

EPISODE 18
 MENIKMATI RASA GELISAH
Sepagi ini aku sudah berdiskusi serius dengan dokter Wim tentang pengobatan Antiretroviral. Terapi antiretroviral itu berarti mengobati infeksi HIV dengan beberapa obat. Karena HIV adalah retrovirus maka obatnya juga biasa disebut sebagai obat antiretroviral (ARV). Seniorku dokter Wim sangat berpengalaman menangani Pasien penderita HIV. Aku sangat beruntung berkesempatan magang bersama beliau. Dokter Wim berdiskusi mengenai obat-obat ARV ini. Salah satu obat anti-HIV adalah golongan nucleoside reverse transcriptase inhibitor atau NRTI, juga disebut analog nukleosida. Obat golongan ini menghambat perubahan bahan genetik HIV dari bentuk RNA menjadi bentuk DNA. ARV dinilai dapat  menekan replikasi HIV.
He he he sangat mengasyikkan juga diskusi bersama beliau ini dan catatan dalam buku kecilku semakin penuh dan padat saja dengan istilah-istilah yang terdengar begitu rumit. Paling tidak bagiku hari ini adalah hari-hari yang penuh dengan topik mengenai HIV. Semakin sering aku mendengar topik ini maka aku semakin teringat kepada Mutiara yang saat ini sedang terbaring sakit.  Teringat Mutiara maka ada rasa rindu menyapaku. Teringat saat Mutiara terbaring sakit maka ada rasa khawatir yang tak bisa aku ungkapkan. Tadi pagi aku menelpon Mutiara. Berbincang serius mengenai keluhan sakitnya. Aku selalu membesarkan hatinya dengan kata-kata bahwa Mutiara hanya butuh istirahat. Sebenarnya itu hanya kata-kata untuk menghibur, padahal aku menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih serius dari hanya sekedar butuh istirahat.
Saat istirahat makan siang, Bunga menelponku menanyakan Mutiara. Terus terang aku sangat gembira menerima telpon Bunga ini.
“Mutiara belum bisa kembali ke Surabaya. Saat ini harus rawat inap di Rumah Sakit!”, kataku menjawab pertanyaan Bunga.
“Berarti Mutiara sakitnya cukup serius nih?”, tanya Bunga.
“Demamnya masih belum turun normal. Sekarang ini sedang menunggu hasil tes gejala typus!”.
“Belum ada kabar hasil uji labnya?”.
“Belum. Mudah-mudahan tidak terjadi apa apa dengan Mutiara. Hai ngomong ngomong kamu sekarang di Kampus atau di Rumah?”, tanyaku kepada Bunga.
“Aku masih di Perpustakaan Kampus!”.
“Pasti kamu sama Arman ya!”, aku mulai menggoda Bunga.
“Herman jangan bicarakan soal Arman. Dia hanya teman biasa. Perkara dia ada hati denganku itu bukan urusanku!”, kata Bunga ketus.
“Waduh Bunga bisa galak juga ya!. Okey aku tidak lagi membicarakan soal Arman !”, kataku.
“Nah gitu dong. Her, aku ini kepingin ke Pasuruan, kapan kamu punya waktu menemaniku. Pergi sendirian malas!”, kata Bunga mengalihkan pembicaraan.
“Kalau Minggu ini aku lagi disibukkan oleh pasien istimewa!”.
“Pasien istimewa apa maksudnya?”.
“Pasien yang terjangkit HIV!”, kataku. Beberapa saat Bunga tidak bereaksi dengan penjelasanku. Bunga nampaknya sedang berfikir.
“Hallo, hallo Bunga. Apakah masih di sana?”.
“Ya ya Herman. Aku masih di sini. Mendengar HIV aku jadi teringat Mutiara. Masa lalunya yang kelam penuh dengan risiko tinggi!”, kata Bunga. Kali ini aku yang terdiam membisu memikirkan kata-kata Bunga.
“Herman mudah-mudahan tidak terjadi terhadap Mutiara. Kita berdoa yang terbaik untuknya. Namun aku benar-benar merasa khawatir!”, suara Bunga penuh haru.
“Ya Bunga, segala sesuatunya  biar kita serahkan se-penuhnya kepada Allah!”.
Rasa khawatir itu ternyata bukan dirasakan olehku saja ternyata Bunga pun merasakan hal yang sama. Puncaknya adalah ketika malam itu aku dikejutkan oleh kedatangan Om Franky ke tempat Kostku. Pasti beliau membawa kabar penting tentang Mutiara. Sebenarnya ini adalah kunjungan Om Franky yang kedua. Dulu saat pertama kali berkunjung bersama sama dengan Mutiara.
“Herman maaf mengganggu waktu istirahatmu!”, kata Om Franky.
“Tidak apa apa. Ini Om tadi dari Kantor langsung ke sini?”.
“Iya Herman. Tadinya mau bicara lewat handphone namun rasanya lebih baik langsung berdiskusi denganmu!”.
“Diskusi tentang apa Om?”.
“Tentang kesehatan Mutiara!”.
“Oh bagaimana kabar terakhir mengenai hasil uji Laboratoriumnya. Tadi pagi saya sempat telpon dia tapi belum bercerita tentang hasil uji itu!”.
“Hasil laboratorium negatif untuk uji typus namun heran demamnya sampai saat ini masih sering kambuh!”.
Ya Allah inilah puncak rasa khawatirku. Mendengar berita ini aku benar-benar merasa takut kalau hal ini akan  terjadi pada Mutiara. Gejala-gejala yang sekarang sedang dialami Mutiara mirip dengan gejala-gejala orang yang terinveksi HIV. Dalam ilmu kedokteran disebut Sindrom Retroviral Akut ( Acute Retroviral Syndrom-ARS). Ya Allah betapa rasa takut ini menyelimutiku terutama saat aku harus menyebutkan kata-kata HIV.
“Herman apakah diperlukan test untuk HIV?”, suara dari pertanyaan Om Franky ini seperti petir di siang bolong. Apalagi disaat yang sama aku sedang merasa khawatir terhadap kesehatan Mutiara. Aku beberapa saat hanya bisa terdiam membisu.
“Om Franky untuk alasan medis memang ada baiknya dilakukan test itu !”, kataku dengan rasa lesu.
“Saya sendiri mempertimbangkan bahwa Mutiara memiliki riwayat yang berisiko tinggi saat ada dalam dunia yang kelam itu!”, kata Om Franky bijak.
“Iya Om. Inilah yang selama ini saya khawatirkan!”.
“Bagaimana menurutmu apakah riwayat kelam Mutiara perlu diinformasikan kepada dokter di Manado?”,tanya Om Franky. Aku terdiam sejenak, karena ini menyangkut kehormatan keluarga.
“Sebaiknya Om bisa bicarakan dengan keluarga besar karena hal ini menyangkut kehormatan keluarga!”.
“Baik Herman. Bagi saya sendiri lebih baik dokter diberitahu tentang riwayat kelam Mutiara bagi kepentingan tes HIV itu !”, kata Om Franky.
“Iya Om karena untuk kepentingan kesehatan Mutiara juga akhirnya !”.
“Secepatnya saya akan komunikasikan dengan Mutiara dan Mamanya. Agar secepatnya pula dilakukan test HIV !”, kata Om Franky.
Saat ini ada beberapa jenis uji laboratorium yang dapat digunakan untuk mengetahui seseorang terjangkit HIV atau tidak, yaitu uji  anti-HIV, antigen P24 dan polymerase chain reaction (PCR). Dari ketiga uji tersebut maka uji anti-HIV merupakan jenis uji HIV yang banyak digunakan untuk memastikan apakah seseorang terinfeksi HIV atau tidak. Uji  anti-HIV ini dinilai paling mudah untuk dilakukan dan relative akurat jika dibandingkan dengan jenis uji HIV lainnya. Uji anti-HIV dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi yang dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh dalam melawan HIV. Antibodi HIV pada umumnya terbentuk antara 3 - 6 minggu setelah terinfeksi, atau pada seseorang yang pembentukan antibodinya relatif  lambat maka terbentuknya antara 3 - 6 bulan setelah yang bersangkutan melakukan tindakan berisiko tertular HIV. Melihat kondisi Mutiara saat ini aku mencoba menghitung hari hari ke belakang disaat Mutiara berhenti dari kegiatan yang sangat berrisiko tertular HIV itu sekitar 3 – 4 bulan yang lalu. Bukankah sekarang gejala itu sudah mulai kelihatan dan untuk memastikan apakah terinfeksi atau tidak memang diperlukan tes HIV. Ya Allah berikan perlindungan kepada Mutiara.
Setelah bertemu dengan Om Franky malam itu aku seakan  sedang menunggu sesuatu yang aku khawatirkan selama ini. Mutiara sekarang memiliki resiko tinggi karena lingkungannya dulu adalah komunitas yang bisa me-nyebarkan virus HIV. Selama ini justru inilah yang aku paling takutkan. Akupun jadi kembali teringat apa yang dikatakan Bapakku bahwa aku harus berani menghadapi tantangan di depan. Ya Allah berilah aku kekuatan untuk menghadapi segala rintangan dan cobaan. Aku yakin Engkau tidak akan mengujiku diluar batas kemampuanku.
Besok Om Franky terbang ke Manado. Selain ada urusan bisnis juga sekaligus akan bertemu dengan Mutiara dan Mamanya untuk membicarakan tentang test HIV itu. Aku berharap semua berjalan sesuai dengan harapan. Malam ini sebenarnya aku ingin menelpon Mutiara namun aku urungkan mengingat waktu sudah hampir tengah malam. Walaupun waktu sudah larut malam namun aku begitu sulit untuk memejamkan mata. Selalu terbayang apa yang nanti terjadi dengan Mutiara.  Aku tahu, selama ini dalam masyarakat kita, penderita HIV/AIDS selalu dianggap sebagai sosok yang berdosa dengan kata lain orang tersebut sedang dihukum oleh Tuhan. Sungguh sangat menyedihkan sampai saat ini masih  ada sebagian orang  dalam masyarakat kita yang menggeneralisasi anggapan seperti ini. Padahal semua tahu bahwa seseorang yang terjangkit virus HIV/ AIDS itu disebabkan oleh  banyak faktor, antara lain misalnya karena penggunaan narkoba, seks bebas, transfusi darah, dan kelahiran/masa perinatal. Pada kasus kelahiran dan transfusi darah, penderita merupakan korban yang selayaknya dirangkul kembali agar tidak mengalami depresi berat. Untuk penderita karena faktor seks bebas dan penggunaan narkoba, walaupun hal tersebut merupakan konsekuensi dari masing-masing orang yang berbuat, namun dari segi moral, kita harus tetap  bersikap humanis, karena aku yakin bagi Tuhan, manusia adalah sama. Mereka bisa dirangkul untuk berbenah kembali menata kehidupannya.

Memikirkan hal tersebut entah apa yang akan terjadi nanti dengan Mutiara. Aku hanya pasrah kepada keputusan Allah. Semua sudah berupaya. Mutiara sudah keluar dari dunia kelamnya. Mutiara sudah kembali ke tengah-tengah keluarganya. Selayaknya Mutiara sudah seharusnya  menemukan kebahagiannya yang dulu pernah hilang. Namun entah apa nanti yang akan terjadi. Aku benar-benar menikmati rasa gelisah ini sendirian.

BERSAMBUNG