Saturday, April 26, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 13

Foto : Hensa/Anggrek13

EPISODE 13
 TANGISAN DI PELUKAN IBU

Aku masih ingat petuah Bapak saat terakhir bertemu di Pasuruan.  “Hermansyah Al-Buchari sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk menentukan jodohnya. Ilmu agamamu sudah aku anggap cukup untuk bisa menentukan jodohmu sendiri!”, itulah kalimat Beliau yang selalu menjadi tantanganku. Terus terang setelah bertemu Ibu-Bapa di  Pasuruan itu, aku merasa seperti anak sekolah yang punya PR (‘home work’) pelajaran kimia, fisika atau matematik atau kalkulus yang perhitungannya rumit super njelimet, ruwet seperti benang kusut yang tanpa ujung tanpa pangkal. Terus berusaha untuk memahami petuah Bapa namun semakin berusaha malah justru semakin mumet. Bukan karena aku tidak paham ilmunya tapi begitu sulitnya disaat harus aku terapkan pada realita kehidupan.
“Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya dan pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.”
Ilmunya seperti itu semua pasti sudah mengerti namun belum tentu tahu bagaimana cara membawa ilmu itu dalam kehidupan sehari-hari. Aku mencintai Mutiara karena aku ingin mengajaknya dari tempat gelap menuju tempat yang penuh dengan cahayaNya. Cara mencintai yang sangat sederhana namun harus ditempuh melalui jalan yang sangat rumit.
Ketika bertemu Mutiara maka akupun bercerita tentang Ibu. Aku katakan kepadanya bahwa Ibu sangat simpati terhadap kisah kelam dan masa lalu Mutiara. Ibupun ingin segera bertemu langsung dengan Mutiara.
“Benarkah demikian Mas Herman?”, tanya Mutiara seolah tidak percaya dengan semua yang kuceritakan.
“Ya tentu saja benar Tiara. Dalam waktu dekat aku ingin mengajakmu bertemu dengan Ibu!”, kataku.
“Iya Mas, aku juga sudah ingin bertemu dengan Ibu!”, kata Mutiara dengan mata yang berkaca-kaca karena terharu. Aku sudah merasa cukup lega melihat ada rasa bahagia dalam diri Mutiara. Akhirnya kami berencana bertemu Ibu pada hari Sabtu ini adalah waktu yang paling memungkinkan. Hari Senin – Jumat tentu saja hari kerjaku di Rumah Sakit. Apalagi sekarang Mutiara juga sudah mulai bekerja di Laboratorium Medis di sekitar kawasan Jalan Mayjen Sungkono. Sabtu itu hari libur untuk Mutiara sedangkan bagiku malam Sabtu dinas jaga malam sehingga Sabtunya adalah libur.
Kamis sore ini pulang dari Rumah Sakit aku sempatkan mampir ke Rumah kost Mutiara. Sudah dua hari Mutiara menderita demam sehingga dua hari itu pula dia tidak masuk kerja.
“Tiara kelihatan pucat sekali bagaimana demamnya?”, tanyaku saat berbincang di ruang tamu.
“Sudah lumayan Mas. Besok mungkin aku sudah bisa masuk kerja!”, kata Mutiara.
“Syukurlah kalau sudah sehat!”, kataku.
“Harus sehat dong Mas. Hari Sabtu kan mau ketemu Ibu!”, kata Mutiara dengan mata berbinar. Aku tersenyum memandang wanita cantik di depanku ini dan Mutiarapun membalasku dengan senyumnya yang menenteramkan hati.
“Ya Tiara namun harus tetap beristirahat yang cukup jangan sepelekan penyakit flu sekalipun!”, kataku sedikit serius.
“Ya Pak dokter!”, kata Mutiara menggoda.
“Tadi siang sudah minum obat belum?”.
“Sudah Pak dokter…!”, kata Mutiara sambil tertawa.
“Okey bagus!”, kataku sambil mengusap kepalanya seperti seorang Ayah kepada anaknya. Kami tertawa bersama-sama. Alhamdulillah Mutiara hanya flu ringan dan aku lihat sekarang sudah kelihatan segar kembali.
 Jumat sore itu aku kembali berkunjung ke tempat Mutiara. Kebetulan sore itu dia juga baru saja tiba dari tempatnya bekerja di Laboratorium Medis.
“Kita minum teh sore bersama sambil menikmati Mentari senja berwarna jingga!”, kata Mutiara agak sedikit berpuisi romantis. Disitu memang sudah tersedia dua cangkir teh panas manis dengan aroma yang wangi dan tersaji pula pisang goreng keju yang masih hangat. Sungguh nikmat sekali.
“Mas tadi malam, Mbak Bunga telpon aku menanyakan kesehatanku. Mas Herman cerita kepadanya ya?”.
“Oh iya aku cerita kalau Tiara sakit dan sudah dua hari tidak masuk kerja!”, kataku menjelaskan saat aku menelpon Bunga malam itu.
“Aku terharu mbak Bunga begitu baik selalu memperhatikanku!”, kata Mutiara. Mutiara begitu mengagumi Bunga sebagai sosok yang ingin dijadikannya panutan. Karena memang Bunga adalah gadis yang cerdas, cantik, bijak dan dewasa serta mandiri. Sosok seperti ini yang sangat disukai oleh Mutiara dari Bunga. Disisi lain Bungapun sangat kagum kepada Mutiara karena wanita iniadalah seorang wanita yang tangguh memiliki semangat dan pendirian tidak kenal menyerah. Oh Tuhan sesungguhnya dua wanita ini adalah sosok sosok yang menjadi impian dalam kehidupanku.
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini Tiara!?”, tanyaku sengaja mengalihkan pembicaraan.
“Baru saja datang instrument laboratorium yang baru datang dari Jerman Mass spectrophotometer yang harus aku uji kinerjanya!”, kata Mutiara. Alat tersebut adalah alat laboratorium untuk mendeteksi komponen tertentu dari sampel-sampel biologis yang akan diuji.
“Baik Tiara yang penting sekarang aku lihat sudah semakin sehat. Walaupun baru pulang kerja tapi senyumnya masih manis dan segar, tidak kelihatan capek!”, kataku mulai menggoda.
“Rayuan dokter Hermansyah mulai menjebak!”, kata Mutiara sambil tertawa. Mendengar ini aku juga turut tertawa. Sore itu benar-benar kami nikmati bersama penuh keceriaan dan kebahagiaan. Terutama Mutiara kelihatan sekali menunjukkan rasa bahagianya mungkin karena akan bertemu Ibu. Tentu saja pertemuan ini adalah momen yang sangat penting baginya, bukan pertemuan biasa tapi pertemuan yang akan menjadi simbol restu dari Ibuku untuknya.
“Mas Herman. Sungguh aku sudah tidak sabar ingin segera bertemu Ibu. Rasanya tidak percaya kalau Ibu mau bersimpati kepadaku yang penuh dengan dosa ini!”,kata Mutiara sambil tertunduk.
“Besok kita akan ke Pasuruan ketemu Ibu dan juga Bapak, aku sudah memberi kabar kepada beliau. Memang betul Ibu juga ingin segera bertemu denganmu Tiara!”, kataku. Mutiara memandangku dengan tatapan sejuta arti.
“Hei kenapa Tiara memandangku seperti ini ?”.
“Aku seperti mimpi Mas!”, katanya lalu melanjutkan kalimatnya : “Bertemu denganmu adalah anugerah terbaik dalam hidupku. Bertemu dengan mbak Bunga yang selalu mendukungku. Aku seperti sedang bermimpi!”.
“Sudahlah Tiara. Saat ini tidak sedang bermimpi!.kalau tidak percaya biar aku cubit pipimu!”, kataku sambil tanganku pura-pura mau mencubit.
“Eit jangan Mas!”, kata Mutiara menghindari tanganku sambil tertawa. Tawa kami adalah tawa kebahagiaan semoga menjadikan tawa yang penuh dengan barokahNya.
Sabtu pagi itu aku sudah menjemput Mutiara di Jalan Bali. Lalu lintas Surabaya sepagi ini sudah mulai sibuk dengan aktivitas rutin. Menggunakan mobil city car nya milik Bunga aku meluncur dari jalan Bali berbelok menuju arah Kertajaya lurus menuju jalan Sulawesi arah Dr Sutomo melewati perempatan jalan Raya Darmo. Sengaja aku mengambil Tol dalam kota lewat Jalan Mayjen Sungkono. Relatif lancar mungkin karena hari masih pagi sehingga tidak begitu lama akhirnya kami sudah masuk jalan Tol Surabaya – Gempol. Selama dalam perjalanan kulihat Mutiara lebih banyak diam. Aku hanya sesekali saja menegurnya.
“Tiara sedang melamun apa?”.
“Mas, Saat nanti ketemu Ibu rasanya tidak ter-bayangkan betapa malu aku bertemu dengan Beliau!”, kata Mutiara.
“Tidak perlu seperti itu. Ibu sangat sayang padamu Tiara!”, kataku.
“Benarkah Mas?”, tanya Mutiara sambil menatapku. Aku lihat ada air mata di sudut matanya. Aku memaklumi betapa terharunya Mutiara untuk bertemu Ibu kali ini karena baginya ini pertemuan yang sangat istimewa. Rasa haru Mutiara semoga saja merupakan kebahagiaan yang penuh dengan harapannya selama ini.

Alhamdulillah akhirnya aku sudah melihat Gerbang depan Pesantren dan sebentar lagi kami sampailah di Rumah. Aku langsung memarkir mobil seperti biasa di sebelah Selatan Masjid tepat di depan Rumah. Aku lihat Ibu dan Bapak sudah menanti di Teras Rumah. Kamipun turun dari mobil lalu aku menghampiri Bapak dan Ibu sambil mencium tangan beliau. Aku lihat pula Mutiara mencium tangan Bapak dan Ibu kemudian kulihat Ibu memeluk Mutiara dengan erat sekali. Mutiara menangis dalam pelukan Ibu. Tangisan haru yang juga mungkin tangisan kepedihan masa lalu namun bisa juga tangisan harapan kebahagiaan masa depan. Mutiara dalam pelukan Ibu merasakan rasa tenteram yang sesungguhnya yang selama ini ia dambakan. Semoga.

BERSAMBUNG

Thursday, April 24, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 12

Foto : Hensa/Anggrek12

EPISODE 12
 MENAPAK DINDING TERJAL

Tidak seperti biasanya pada libur semester singkat ini dipergunakan oleh Bunga untuk pulang ke Jakarta. Padahal sebelumnya saat libur panjangpun, Bunga lebih betah tetap tinggal di Surabaya atau Pasuruan. Apakah ini ada hubungannya karena aku saat terakhir ini selalu bersama dengan Mutiara?. Memang akhir-akhir ini aku lebih sering bersama Mutiara dan sangat jarang bertemu Bunga. Telepon atau sms pun sudah jarang hanya tadi malam saja aku dikejutkan oleh telpon Bunga bahwa dia mau liburan di Jakarta.
“Kapan ke Jakarta Bunga?”, tanyaku saat itu.
“Minggu pagi!”.
Aku tidak berani bertanya lebih jauh tentang liburan singkat kok harus pulang ke Jakarta.
“Oh ya Herman maukah kau mengantarku ke Bandara Juanda?. Nanti pake mobilku sekalian kamu bawa saja mobil selama aku liburan di Jakarta!”, kata Bunga.
“Ok Bos. Siap!”, kataku biar ada kesan bercanda padahal hati ini sebanarnya masih bertanya-tanya karena seolah sekarang ini Bunga selalu mau menghindar dariku.
“Thanks Herman!”, kata Bunga.  
Pagi itu suasana Bandara Juanda sudah penuh dengan hiruk pikuk. Sepagi ini denyut Bandara ini sudah berpacu dengan waktu. Mungkin juga karena hari Minggu akhir pekan terutama saat liburan sekolah, banyak para Mahasiswa atau Pelajar yang mau bepergian sekedar wisata mengisi liburan mereka. Masih ada waktu satu jam bagi Bunga sebelum check in, kami habiskan di Corner café sambil menikmati minuman hangat dan kue ringan.
“Herman. Semakin lama aku semakin kagum padamu. Bertahun-tahun mengenalmu. Aku tahu luar dalammu dan yang paling membuat takjub ketika kamu mencintai Mutiara!”, kata Bunga. Aku merasakan kata-kata Bunga begitu datar dan wajar tidak ada sedikitpun nada sumbang rasa cemburu.
“Maksudmu kagum bagaimana?”.
“Kamu tahu Her. Semua Pria selalu menginginkan keperawanan seorang gadis. Ya walaupun cukup wajar di Negara kita yang selalu menjunjung tinggi kaidah kesucian seorang gadis dilihat dari keperawanannya!”, kata Bunga.
“Bunga. Aku sendiri heran kenapa aku mencintai Mutiara. Namun yang jelas untuk dicintai, Mutiara tidak perlu harus perawan. Mutiara memiliki ketulusan yang utuh. Cintanya begitu sederhana namun banyak maknanya!”, kataku.
“Mungkin ini yang membuat dokter Hermansyah menjadi seorang luar biasa!”, kata Bunga kali ini ada senyum tersungging di bibir manisnya. Lama rasanya aku tidak melihat senyum manis Bunga seperti ini lagi.
“Alhamdulillah!”, kataku pendek sambil membalas senyumnya.
“Okey Herman terima kasih sudah mengantarku. Aku harus segera check in !”, kata Bunga sambil berdiri dan menyalami tanganku. Bunga berbalik memunggungiku bergegas menuju Pintu Keberangkatan lalu hilang berbaur dengan para penumpang lainnya. Akupun bersiap menuju tempat parkir sambil pikiranku terus menerawang terutama memikirkan bagaimana sikap Ibu kepada Mutiara setelah tahu siapa sebenarnya wanita itu. Dalam perjalanan pulang dari Bandara Juanda itu tiba-tiba saja aku memutuskan untuk ke Pasuruan menemui Ibu dan Bapak. Ya biar aku saja dulu yang bicara tidak perlu Mutiara. Hal ini untuk menjaga andai ada sesuatu yang tidak diharapkan sudah bisa dihindari dari awal. Akhirnya mobil ini mengarah ke Tol Waru – Gempol menuju Pasuruan. Kulihat saat ini baru pukul 9.20 insya Allah sebelum Dhuhur aku sudah tiba di Rumah. Lalu lintas selama perjalanan cukup padat terutama yang menuju arah Kota Malang karena pada hari Minggu biasanya banyak keluarga yang pergi keluar kota hanya untuk mencari suasana segar disekitar Malang. Walaupun lalu lintas cukup ramai namun akhirnya aku sampai juga di kota Pasuruan kemudian menuju ke Desaku arah Selatan dari kota Pasuruan. Hanya 30 menit dari kota Pasuruan sampailah aku di depan Pintu gerbang Pesantren. Mobil aku parkir di halaman Selatan Mesjid persis di depan Rumah kediaman Bapak-Ibu. Aku disambut Ibu di teras depan itu. Aku menghampiri dan mencium tangan Ibu.
“Lho kok kamu sendirian?”, tanya Ibuku.
“Maksud Ibu mestinya sama siapa?”, tanyaku.
“Ya Mutiara lah!”.
“Kok Ibu enggak tanya Bunga padahal Ibu tahu ini mobil yang kupakai punya Bunga?”.
“Ibu kan sudah di kabari Bunga tadi malam, hari ini dia pulang ke Jakarta!”, kata Ibu. Aku hanya garuk-garuk kepala. Rupanya antara Ibu dan Bunga memiliki komunikasi yang baik. Sangat istimewanya Bunga di mata Ibu. Andai saja Mutiara bisa seistimewa itu?. Bahkan aku sendiri hampir saja lupa menelpon Mutiara untuk memberi kabar bahwa hari ini aku ada di Pasuruan. Saat aku menelpon aku pun menjelaskan strategi menghadapi Ibu lalu Mutiara menyetujui langkahku.
Sholat Dhuhur dan makan siangpun usai sudah namun kami rupanya masih duduk di Ruang makan itu. Ibu begitu serius mendengar penjelasanku tentang Mutiara sementara Bapak hanya sesekali saja menyela minta penjelasan. Sungguh saat itu aku benar-benar seperti seorang Mahasiswa yang sedang menghadapi Ujian skripsi dengan para Penguji yang kritis dan cerdas.
“Mutiara, sungguh malang nasibmu nak!”, kata Ibu dengan suara pelan menyerupai bisikan. Ibu sangat menaruh simpati atas kejadian yang menimpa Mutiara. Hal ini yang sangat diluar dugaanku. Ibu tidak berubah sikap terhadap Mutiara. Sebenarnya aku merasa lega namun belum tuntas karena Bapak masih belum memberikan komentar sama sekali.
“Herman, cerita yang sangat tragis. Apakah sekarang Mutiara sudah kembali berhubungan dengan kedua orang tuanya?”, tanya Ibu.
“Belum Bu. Namun sekarang di Surabaya ini Mutiara sudah bertemu dengan Om Franky, adik laki-laki dari Mamanya!”, kataku.
Mutiara pernah bercerita dua minggu yang lalu bahwa dia memutuskan untuk menemui Om Franky. Keputusannya untuk bertemu Om Franky ini ditempuh Mutiara dengan pertimbangan karena kini dia sudah lulus kuliah dan sekaligus juga keluar dari dunia hitam itu, namun demikian Mutiara masih belum siap untuk menemui Mama dan Papa tirinya. Pertemuan mereka sangat dramatis saat itu. Om Franky sebenarnya sudah diminta untuk mencari Mutiara, namun Mutiara demikian pandai bersembunyi dalam setahun terakhir ini. Maka ketika akhirnya mereka bertemu semuanya berakhir dengan haru dan bahagia. 
“Mas Herman, akhirnya aku  harus cerita juga kepada Om Franky tentang peristiwa itu. Tentu sambil berpesan jangan sampai Mamaku tahu!”, kata Mutiara saat itu menjelaskan padaku. Bagiku, keputusan Mutiara ini sangat melegakan karena dia telah kembali ada ditengah-tengah keluarganya. Paling tidak andai nanti aku melamar Mutiara bisa dilakukan melalui Omnya sebagai wakil keluarga.
“Saat itu Om Franky sangat marah dan dengan penuh emosi ingin agar Mamaku bercerai saja dengan Papa tiriku itu!”, kata Mutiara saat itu. Namun untung saja Mutiara bisa membujuk Om Franky agar bersabar untuk kebaikan dirinya.
“Herman!”, kembali suara Ibu memecah keheningan dan membuyarkan lamunanku saat di Ruang makan itu.
“Ya Bu!”.
“Kamu sisihkan waktu untuk mengajak Mutiara ke sini biarlah Ibu dan Bapak bisa berbincang dengan Mutiara lebih akrab lagi!”, kata Ibu.
“Herman!”, kali ini suara Bapak penuh wibawa. Aku terkejut sangat dalam mendengar namaku dipanggil beliau.
“Ya Pa!”, kataku pendek sambil memperhatikan apa yang akan dikatakan beliau pasti hal yang sangat penting sekali.
“Hermansyah Al-Buchari sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk menentukan jodohnya. Ilmu agamamu sudah aku anggap cukup untuk bisa menentukan jodohmu sendiri!”, kembali suara Bapakku, KH Muslim Al-Buchari  dengan kewibawaannya sebagai seorang yang disegani di Pesantren ini. 
Petuah beliau ini adalah tantangan tersendiri bagiku. Aku harus kembali mengingat isi hadist atau ayat dari Kitab Suciku serta penafsirannya yang benar. “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah (wanita yang baik)”. Apakah Mutiara wanita yang baik?. Bagaimana dengan Bunga mana yang lebih baik?. Apakah aku berhak untuk membandingkan kedua wanita ini?. Apakah aku adil menyandingkan Mutiara dan Bunga lalu memilih mana diantara mereka yang terbaik?. Sungguh sangat sulit sekali untuk mendapatkan perhiasan dunia ini karena sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang baik.

 BERSAMBUNG

Wednesday, April 23, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 11

Foto : Hensa/Anggrek 11

EPISODE 11
HATI YANG RESAH

Sebenarnya aku sudah tidak perlu menunggu jawaban karena Mutiara memang mencintaiku. Aku sekarang sudah bisa merasakan cintanya. Ya tidak perlu ucapan cinta dari seorang wanita cukup rasakan dari setiap sikap, ucapan  dan perhatiannya kepadaku. Pertama kali dalam hidupku mengutarakan cinta kepada wanita yaitu kepada Mutiara. Walaupun aku jatuh cinta untuk pertama kali kepada Bunga namun aku saat itu bahkan sampai sekarangpun  belum pernah seberani ini mengutarakan perasaanku. Entah kenapa pada saat aku berhadapan dengan Bunga seolah selalu saja ada tembok tebal yang menyurutkan keberanianku.
Kini setiap sore saat pulang dari Rumah Sakit aku selalu mampir ke Paviliun tempat kost Mutiara di Jalan Bali. Seperti sore itu kami menikmati suasana Surabaya dengan senja yang cerah. Aku juga melihat begitu cerahnya wajah Mutiara. Memancarkan keceriaan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Mutiara beberapa hari ini memang kelihatan bahagia.
“Tiara ceria sekali hari ini!”, kataku sambil memandang Mutiara yang duduk di depanku sambil tersenyum. Matanya yang indah itu berbinar seperti bercahaya.
“Ya Mas saat ini aku sedang berbahagia!”.
“Boleh dong berbagi bahagia!”.
“Tentu boleh Mas Herman!”, kata Mutiara tersenyum.
“Tiara mulailah ceritake bahagianmu!”.
“Mas Herman. Aku bahagia karena aku sudah me-nemukan orang yang kudambakan selama ini walaupun aku juga sedih karena tidak mungkin bisa memilikinya!”, kata Mutiara pelan. Sebentar wanita cantik ini terdiam. Aku juga sengaja diam untuk memberi kesempatan Mutiara melanjutkan perkataannya.
“Kebahagiaan yang lain adalah aku mendapat tawaran pekerjaan di sebuah Laboratorium Medis!”, kata Mutiara.
“Aku turut bergembira, Tiara!. Namun kenapa kamu selalu berfikir tidak mungkin memiliki orang yang kau dambakan selama ini ?”.
 “Mas Herman, maafkan aku. Banyak rintangan yang ada di depan kita. Aku membayangkan apa yang terjadi saat Bapak dan Ibumu tahu siapa aku sebenarnya!”, kata Mutiara.
“Tiara, percayalah aku akan menjelaskan kepada Ibu dan Bapak. Aku yakin beliau akan menerimamu apa adanya!”, kataku.
“Aku ragu Mas. Orang tua dimanapun selalu men-dambakan seorang menantu yang sempurna!”,kata Mutiara. Mendengar ini aku merasakan betapa pedihnya perasaan Mutiara dan tiba-tiba saja aku juga merasa ragu seperti halnya Mutiara. Bagi Bapakku mungkin masih bisa me-nerima Mutiara apa adanya namun Ibu?. Beliau selalu ingin agar aku mendapatkan calon istri yang terbaik. Apakah Mutiara adalah calon istri yang terbaik menurut versi Ibuku?. Aku ragu Ibu mau menerima Mutiara apa adanya, saat Ibu tahu siapa Mutiara dimasa lalu.
“Sudahlah Tiara. Sebaiknya kita jalani saja seperti air mengalir. Jika Tuhan menghendaki tidak ada yang tidak mungkin!”, kataku membesarkan hatinya.
“Iya Mas. Saat ini biarlah aku merasakan kebahagiaan atas anugerah Tuhan mengirim seorang pahlawan hatiku!”, kata Mutiara sambil tersenyum kepadaku.  Aku juga tersenyum sambil kucubit pipinya mesra. 
Maka hari-hari selanjutnya tiada hari bagiku tanpa Mutiara. Aku benar-benar merasakan betapa Mutiara begitu bahagia atas kehadiranku dalam hatinya. Walaupun aku dan Mutiara selalu berdua hingga saat hari-hari berlalu namun aku masih tetap memegang prinsip pergaulan yang sangat terhormat.  Pergaulan yang bukan “pacaran model anak muda masa kini”. Prinsip muhrim dan bukan muhrim selalu aku pertahankan dalam pergaulanku dengan Mutiara. Beberapa temanku bahkan menilai aku adalah cowok yang sangat kolot, ketinggalan zaman. Konon kata mereka aku ini bukan cowok modern. Entahlah. Aku tidak peduli apa yang dikatakan mereka tapi yang jelas ada yang lebih penting yaitu Mutiara menyukai prinsipku. Aku pernah mendengar ketika Mutiara berkata bahwa kebanyakan lelaki hanya menuntut cinta pertama dari seorang wanita. Tidak ada lelaki yang begitu saja mau menerima cinta terakhir dari seorang wanita. Benarkah demikian?. Ya bisa juga benar. Seorang lelaki selalu menuntut sempurnanya seorang wanita tanpa berfikir betapa banyak ketidak sempurnaan dalam dirinya. Ibarat sebuah gelas kaca, wanita selalu dituntut utuh tanpa cacat atau retak apalagi pecah. Ya gelas kaca yang harus dijaga baik-baik. Demikianlah fakta yang terjadi yang justru sudah menempatkan wanita menjadi mahluk yang harus dilindungi kaum lelaki. Lalu lucunya aku malah mau menerima Mutiara apa adanya dengan segala masa lalunya. Mengapa bukan Bunga yang aku pilih untuk teman hidupku?. Bukankah Bunga sempurna sebagai wanita dengan masa lalu yang bersih tanpa noda?. Andai ada yang bertanya padaku seperti itu, aku pasti tidak akan bisa menjawabnya dengan baik.
Hampir dua Minggu ini aku benar-benar tidak pernah kontak dengan Bunga. Aku mungkin terlalu sibuk menyelesaikan program internship di Poliklinik dan Rumah Sakit dan juga sibuk menemani Mutiara. Bunga pun sudah selama dua pekan ini tidak pernah kontak walaupun hanya kirim sms apalagi telephone. Mungkin Bunga sibuk juga menyelesaikan kuliah S2 nya. Tiba-tiba saja aku ingin bertemu dengan Bunga. Aku seperti merasa berdosa padanya setelah aku mengutarakan perasaanku kepada Mutiara. Bagaimanapun juga Bunga bagiku adalah gadis yang pertama kali membuatku merasakan yang namanya jatuh cinta. Saat aku menelpon Bunga ternyata dia sedang dalam perjalanan pulang dari Kampus.
“Ya Herman. Begini saja aku jemput kamu di Halte depan Rumah Sakit itu. Sekarang posisiku sudah masuk Kertajaya tinggal belok ke Dharmawangsa!”, kata Bunga.
“Baik Bunga aku tunggu di Halte itu ya!”, kataku. Segera aku bergegas menuju Halte dimana dulu aku sering bertemu dengan Mutiara. Tidak sampai setengah jam Bunga sudah merapat di samping Halte itu lalu kami meluncur menuju sebuah tempat makan siang di pojok jalan Airlangga arah Karang Menjangan. Ya di sana ada sebuah Rumah Makan yang masakannya sangat disukai oleh Bunga. Siang itu Rumah Makan itu kelihatan ramai pengunjung. Dapat dilihat dari penuhnya halaman parkir, namun beruntung ternyata masih dapat tempat untuk memarkir mobil. Beruntung pula masih dapat meja di pojok sendiri.
“Bunga lama tidak jumpa. Kamu sibuk kuliah ya?”, kataku membuka pembicaraan.
“Tidak juga. Hanya hari ini saja ada kuliah. Aku lebih banyak di rumah mempersiapkan thesis!”, kata Bunga.
“Oh ya Herman!. Mutiara tempo hari menelponku memberitahukan katanya kamu sudah nembak dia ?”, kembali suara Bunga.
“Ya Bunga!. Akhirnya aku memberanikan diri mengutarakan perasaanku padanya namun dia tidak berani menerimaku karena merasa tidak layak!”, kataku.
“Malam itu Mutiara juga mencurahkan isi hatinya padaku. Dia merasa tidak pantas mendampingimu. Aku katakan  padanya bahwa cinta dr Hermansyah sangat tulus jadi jangan ragu!”, kata Bunga dengan ekspresi yang datar. Ketika mengatakan kalimat itu, aku lihat Bunga begitu tegar dan sangat pandai menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya.
 “Akupun berjanji membantunya untuk menjelaskan kepada orang tuamu terutama Ibumu tentang latar belakang Mutiara !”, kata Bunga lagi melanjutkan.
“Ya Bunga terima kasih. Kau selalu ada saat aku sedang seperti apapun. Aku sangat bersyukur kepada Allah bisa mengenalmu!”, kataku pelan. Aku lihat Bunga tertunduk terdiam. Wajahnya terlihat tenang.
“Herman!. Bagiku adalah kebahagian tersendiri saat melihatmu bahagia bersama orang yang menjadi pilihan  untuk teman hidupmu!”, kata Bunga sambil menatapku.
“Aku juga bangga karena kau adalah seorang lelaki yang memilki cinta yang tulus kepada Mutiara,seorang wanita yang memiliki masa lalu kelam penuh noda!”, kembali suara Bunga.  
Aku sangat terpukau dengan kalimat Bunga ini. Gadis cantik di depanku saat ini sedang merasakan kehilangan seseorang. Aku yakin Bunga mencintaiku. Pada saat seperti ini aku kembali menjadi pria yang tidak berdaya meng-hadapi ketulusan seorang gadis seperti Bunga.
“Bunga sampai kapanpun aku selalu merasakan bahwa kau yang terbaik dalam hidupku!”, kataku sambil aku tatap Bunga.
“Terima kasih Herman!”, kata Bunga pendek.
Pertemuan yang singkat dengan Bunga dalam suasana makan siang itu begitu sangat berarti bagiku. Bagaimana tidak, saat itu aku semakin yakin bahwa Bunga begitu tulus merelakanku memilih Mutiara. Akupun semakin yakin ternyata selama ini Bunga mencintaiku. Artinya selama ini yang bego itu adalah aku. Rasa minder yang berlebihan telah membelenggu keberanianku untuk mengungkap perasaanku terhadap Bunga. Ya Allah aku yakin suatu hari nanti Bunga akan mendapat teman hidup yang jauh lebih baik dariku. Bunga akan mendapat pendamping yang setara dengannya.
Setelah pertemuan dengan Bunga itu aku merasakan kelegaan karena aku seolah-olah sudah mendapat restu dari Bunga untuk mencintai Mutiara. Maka malam itu aku menelpon Ibu mengabarkan berita gembira kepada beliau.
“Alhamdulillah Herman!. Akhirnya kamu sudah memilih Mutiara. Lalu Bunga sudah tahu berita ini?”, kata Ibu.
“Sudah Bu!”.
“Ya Syukurlah bukan apa-apa Bunga itu sudah seperti keluarga sendiri jadi dia harus tahu!”, kata Ibu.
Bunga memang sosok yang istimewa bukan saja bagi diriku tapi bagi keluargaku terutama Ibu. Aku bisa melihat sikap Ibu terhadap Bunga sudah seperti kepada anak sendiri. Sejak saat kami sekolah SMP dulu, Ibu seperti sudah memiliki perasaan istimewa terhadap Bunga.
“Herman!”, terdengar kembali suara Ibu di handphone.
“Ya Bu!”.
“Kapan kita melamar Mutiara!”.
“Waduh Ibu iki yo opo. Jangan buru buru gitu. Aku saja belum selesai sekolah!”, kataku gusar.
“Ya Herman jangan tunda-tunda lagi secepatnya saja. Apalagi Mutiara sudah mau wisuda, tunggu apa lagi!”.
“Tapi Bu sebaiknya biarlah aku lulus terlebih dulu agar semuanya tuntas dan beres!”, kataku masih galau mendengar permintaan Ibu.
“Ya sudah. Kamu secepatnya ajak Mutiara ke Pasuruan. Ibu sudah pingin ketemu calon mantu !”, kata Ibu lagi.
“Iya Ibu!’, kataku.
Aku sebenarnya agak resah pada saat nanti Ibu tahu latar belakang Mutiara. Lambat laun Ibu harus tahu siapa Mutiara. Selama ini Ibu hanya mengenal Mutiara sepintas saat bertemu Mutiara di Rumah sakit itu dan saat Mutiara bersama Bunga mengantarku pulang ke Pasuruan. Hanya itu. Ibu belum pernah tahu banyak tentang Mutiara. Aku tidak bisa membayangkan saat Mutiara bercerita banyak tentang masa lalunya. Aku tahu Mutiara akan membuka semua tentang dirinya karena Mutiara pernah berkata bahwa dia tidak mau menutupi semua kenyataan siapa dirinya. Mutiara ingin semua tentang dirinya adalah fakta yang harus terwujud apa adanya. Oh betapa resahnya hatiku andaikan nanti Ibu tidak merestui hubunganku dengan Mutiara.

BERSAMBUNG








Sunday, April 6, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 10

Foto : Hensa/Koleksi Pribadi


EPISODE 10
SEKAT CINTA DUA HATI

Setiap selesai sholat istiqoroh dan sholat tahajud, aku selalu tertidur biasanya aku terbangun saat terdengar adzan Subuh. Malam itu ada yang istimewa, aku bermimpi Mutiara dan Bunga menghampiriku lalu mereka memegang kedua lenganku. Mutiara memegang erat tangan kiriku sedangkan Bunga tangan kananku. Mereka membimbingku berjalan menuju sebuah Istana yang megah. Aku terbangun ketika terdengar suara adzan Subuh itu. Ya memang hanya sebuah mimpi. Apapun itu artinya tetap saja hanya sebuah mimpi. Namun aku juga harus pandai merasakan makna dari mimpi itu. Apakah mimpi ini adalah makna tersirat dari hasil sholat istiqoroh itu. Sungguh aku tidak bisa memasti-kan demikian. Kepastian itu selalu ada padaNya.
Sore itu aku asyik berbincang santai bersama Bunga di teras samping Rumah Tantenya di Kertajaya Indah. Siang tadi kami memang sudah bertemu di Kampus tempat Bunga kuliah lalu berlanjut hingga mampir di sini. Segelas kopi panas dan makanan kecil sudah tersedia untuk dinikmati. Kami ngobrol ngalor ngidul diselingi tawa ria dan canda sampai akhirnya obrolan Bunga mulai menyinggung tentang Mutiara.
“Herman. Boleh aku katakan bahwa walaupun ada dalam lumpur terdalampun yang namanya Mutiara itu tetap Mutiara!”, kata Bunga.
“Ya aku sangat lega akhirnya kau tahu juga siapa Mutiara!”, kataku.
“Aku sangat kagum dan simpati padanya Herman!. Dia wanita yang tangguh. Kau tahu tidak titik balik kehidupan-nya saat berbalik arah?”, tanya Bunga.
“Tidak tahu. Kapan?”.
“Saat Mutiara bertemu dengan dokter Hermansyah!”.
“Ah kamu mulai mengada-ada!”, kataku.
“Dengar Herman berkali-kali aku katakan, Mutiara sangat mengagumimu!”, kata Bunga. Aku hanya meng-angkat bahu sambil tersenyum. Aku lihat Bunga sangat serius menuturkan kalimat demi kalimat.
“Dia merasakan sentuhan damai dalam hatinya pada setiap tutur katamu padanya!”, kata Bunga lagi menambah-kan. Aku masih terdiam mendengarkan kalimat-kalimat yang diucapkan Bunga. Aku melihat ada rasa haru di wajah Bunga.
“Mutiara bercerita semua curahan hatinya dengan berlinang air mata. Aku bisa merasakan nestapanya. Aku juga bisa merasakan cintanya padamu saat dia bercerita tentangmu!”, kata Bunga. Aku masih terdiam sambil memandang Bunga dan ya Tuhan benarkah yang aku lihat ini. Bunga meneteskan air mata saat mengatakan kalimat tadi.
“Maaf Herman. Aku hanya terharu teringat nestapa Mutiara!”, kata Bunga sambil mengusap air matanya.
“Sudahlah Bunga. Kita memang harus memberikan simpati kepada Mutiara!”, kataku.
“Ya Herman. Sambutlah dia, sambutlah cintanya!”, kembali suara Bunga terharu. Aku kembali terdiam tidak berani mengomentari kata-kata Bunga. Sekarang yang ada dalam benakku adalah rasa haru Bunga saat dia tahu kalau Mutiara mencintaiku. Apakah Bunga meneteskan air mata karena terharu atau karena merasa takut kehilangan diriku. Sekarang aku bisa merasakan betapa Bunga memang mencintaiku sampai sampai dia mau berkorban dan  merelakan cintaku untuk Mutiara. Setiap cinta yang tulus pasti hanya bisa dirasakan oleh hati yang tulus pula.
Aku harus berani jujur bahwa apa yang dikatakan Bunga mungkin belum tentu menjadi pilihanku yang terbaik. Kini aku hanya merasa yakin kalau Bunga dan Mutiara memang sama-sama mencintaiku. Jika aku memilih Bunga maka pilihan itu hal yang wajar. Lelaki mana yang tidak tertarik kepada Bunga, gadis cantik, cerdas berasal dari keluarga terhormat. Wajar semua lelaki menyukai Bunga. Jika aku memilih Mutiara, maka inilah pilihan yang akan membuat orang-orang terdekatku mengernyitkan dahi setelah mereka tahu latar belakang siapa Mutiara. Terlalu banyak orang selalu berpandangan terhadap masa lalu padahal kita hidup pada masa kini. Masa lalu sekelam atau seindah apapun tetap hanya menjadi masa lalu. Sedangkan masa kini adalah kenyataan. Menjadi orang baik saat ini adalah kenyataan yang jauh lebih baik dibandingkan kenistaan dimasa lalu. Sebaik-baiknya kebaikan adalah kebaikan yang ada dimasa akhir. Benar apa kata Bunga. Mutiara akan tetap menjadi Mutiara walaupun ditemukan di dalam lumpur kenistaan.  
Sejak mengobrol dengan Bunga di Teras samping rumah Tantenya itu aku jadi selalu teringat kata-kata Bunga.
“Ya Herman. Sambutlah dia, sambutlah cintanya!”.
Kata-kata ini seolah membuat tekadku menjadi bulat  untuk memutuskan memilih Mutiara. Rasa kagumku kepada Bunga yang telah begitu berbesar hati. Takkan pernah kulupakan ketulusan cintanya.
Malam itu laporan dan tugas-tugas masih numpuk namun belum satupun selesai kukerjakan. Aku seperti tersandera wajah Mutiara. Aku rasanya ingin segera bertemu Mutiara dan sesegera itu pula mengemukakan rasa hati ini. Ingin rasanya malam ini aku menelpon Mutiara hanya sekedar meredakan rasa kangen ini. Aku ambil hand phone lalu kucari nomor Mutiara lalu pijit call. Tidak lama terdengar suara merdu yang sangat aku kenal menjawab panggilan HP ku.
“Ya Mas Herman!. Selamat malam!”, suara Mutiara.
“Tiara belum tidur?”.
“Belum Mas masih sedang melamun!”.
“Oh sama dong. Aku juga sedang melamun!”.
“Wah pasti sedang melamunkan mbak Bunga ya!”.
“Bukan dong kalau sedang melamunkan Bunga tentu tidak menelpon Tiara!”.
“Jadi melamunkan siapa?”, tanya Mutiara menyelidik.
“Melamunkan Mutiara!”, kataku. Terdengar ada suara tertawa kecil.
“Mas Herman sekarang sudah berani merayu nih!”, kata Mutiara.
“Iya dong, kan sudah biasa orang yang lagi jatuh cinta biasanya pandai merayu!”, kataku. Aku yakin saat ini wajah Mutiara pasti merona merah seperti tempo hari yang  membuatnya bertambah cantik.
“Wow rupanya mas Herman sedang jatuh cinta. Boleh tahu dong siapa gadis yang beruntung mendapat cintanya dokter Hermansyah yang baik hati ini!”, kata Mutiara.
“Diberitahu nggak yah?”, kataku bercanda.
“Harus diberitahu dong siapa gadis itu?”, kata Mutiara merajuk.
“Jangan sekarang ah lebih baik kapan-kapan saja biar Tiara semakin penasaran!”, kataku lagi. Aku mendengar Mutiara tertawa. Suara merdu dan tawa rianya akhirnya telah mampu mengobati kerinduanku kepada Mutiara. Maka malam itu akhirnya satu demi satu tugas dan laporan bisa kuselesaikan dengan baik walaupun jam tidurku harus mundur hingga larut malam.
Malam itu aku sengaja mampir ke Paviliun tempat kost Mutiara. Sebelumnya aku telpon dulu apakah Mutiara sudah punya acara ternyata Mutiara tidak ada acara keluar rumah. Sesampai di sana, Mutiara menyambutku dengan penuh ramah dan rasa bahagia. Aku bisa melihat matanya berbinar ceria melihat kedatanganku. Di ruang tamu itu aku disambut Mutiara dengan berpakaian sangat sederhana, wajahnya seperti biasa tanpa riasan berlebihan. Namun justru aura kecantikannya tetap terpancar utuh tanpa kepalsuan sedikitpun. Mutiara semakin lama aku semakin  merasakan betapa dekatnya dalam hatiku semua yang ada pada dirinya.
“Hei Mas Herman kenapa menatapku seperti itu?”, kata Mutiara saat aku sedang menatapnya tak berkedip.
“Iya aku seperti sedang memandang seseorang yang tadi malam aku ceritakan kepadamu!”, kataku sambil tersenyum.
“Oh maksudmu seseorang yang telah membuatmu jatuh cinta ya Mas?”, kata Mutiara sambil tersenyum manis. Aku mengangguk sambil terus menatap Mutiara. Menerima tatapanku, Mutiara tersipu walaupun bibirnya masih tersenyum.
“Mas Herman jangan memandangku seperti itu dong!. Aku jadi malu!”, kata Mutiara.
“Tiara!”, kataku sambil aku pegang kedua tangannya. Mutiara memandangku dengan tatapan penuh harapan.
“Seseorang yang membuatku jatuh cinta itu adalah wanita bernama Mutiara!”, kataku pelan.
“Ya Mas terima kasih!”, kata Mutiara. Tiba-tiba Mutiara dengan halus melepaskan genggaman tanganku lalu berdiri dan berjalan ke arah jendela yang menghadap taman di samping rumah itu. Aku hanya menatapnya tanpa kata.
“Mas!, aku sangat bersyukur dan bahagia mendengar kejujuran dan ketulusan hati Mas Herman!. Namun aku tidak berhak untuk menerima cintamu”, kata Mutiara sambil tetap memandang ke luar jendela. Aku berdiri berjalan menghampiri Mutiara.
“Tiara kenapa harus begitu?”.
“Mas, aku ini hanya seorang wanita yang tidak pantas mendampingimu. Seorang wanita kotor yang sedang berusaha membersihkan diri!”, kata Mutiara dengan tatapan kosong dan mata yang berkaca-kaca.
“Tiara dengarlah. Di dunia ini tidak ada manusia yang bersih. Semua manusia kotor dengan dosa dan semua manusia akan selalu berusaha membersihkan diri!”, kataku.
“Mas Herman bukan itu saja. Ada yang lebih layak dan pantas untuk menerima cintamu yaitu Mbak Bunga!”, kembali kata Mutiara.
“Tiara biarlah aku berkata bahwa aku akan selalu menunggu jawabanmu kapanpun aku akan menunggu!”, kataku.
“Jangan Mas. Kita harus berani menghadapi kenyataan. Bagaimanapun diantara kita terlalu banyak perbedaan yang sulit disatukan!”, kata Mutiara.
“Mas. Aku harus tahu diri agar bisa menghadapi kenyataan ini dengan tegar. Bagiku saat ini berteman dengan Mas Herman sudah menjadi kebahagiaan dalam hidupku!”, kembali kata Mutiara sambil berjalan kembali menuju tempat duduk di ruang tamu itu. Aku mengikutinya menuju tempat dudukku.
“Tiara baiklah. Kamu jangan menangis seperti itu. Bagiku yang penting aku sudah mengutarakan isi hatiku dan aku akan terus menunggu jawabanmu!”.
“Mas Herman!”, kata Mutiara sambil menatapku, matanya masih berkaca-kaca dan setetes air mata jatuh dipipinya. Kemudian Mutiara melanjutkan perkataannya:
“Kadang-kadang aku menghayal mendapatkan teman hidup seperti yang kuimpikan. Namun sampai saat ini hal itu masih tetap hanya khayal dan impian semata karena aku tidak mampu untuk membalas cintamu”.
Aku hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan Mutiara. Aku kembali memegang kedua tangannya.
“Tiara!. Khayalan dan impianmu kini sudah menjadi kenyataan!”, kataku. Mutiara memandangku sambil berlinang air mata. Perlahan aku hapus air mata yang menetes di kedua pipinya. Aku benar-benar harus berjuang untuk menembus sekat cinta antara dua hati ini.

BERSAMBUNG