Thursday, May 29, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 18

Foto : Hensa/koleksi pribadi

EPISODE 18
 MENIKMATI RASA GELISAH
Sepagi ini aku sudah berdiskusi serius dengan dokter Wim tentang pengobatan Antiretroviral. Terapi antiretroviral itu berarti mengobati infeksi HIV dengan beberapa obat. Karena HIV adalah retrovirus maka obatnya juga biasa disebut sebagai obat antiretroviral (ARV). Seniorku dokter Wim sangat berpengalaman menangani Pasien penderita HIV. Aku sangat beruntung berkesempatan magang bersama beliau. Dokter Wim berdiskusi mengenai obat-obat ARV ini. Salah satu obat anti-HIV adalah golongan nucleoside reverse transcriptase inhibitor atau NRTI, juga disebut analog nukleosida. Obat golongan ini menghambat perubahan bahan genetik HIV dari bentuk RNA menjadi bentuk DNA. ARV dinilai dapat  menekan replikasi HIV.
He he he sangat mengasyikkan juga diskusi bersama beliau ini dan catatan dalam buku kecilku semakin penuh dan padat saja dengan istilah-istilah yang terdengar begitu rumit. Paling tidak bagiku hari ini adalah hari-hari yang penuh dengan topik mengenai HIV. Semakin sering aku mendengar topik ini maka aku semakin teringat kepada Mutiara yang saat ini sedang terbaring sakit.  Teringat Mutiara maka ada rasa rindu menyapaku. Teringat saat Mutiara terbaring sakit maka ada rasa khawatir yang tak bisa aku ungkapkan. Tadi pagi aku menelpon Mutiara. Berbincang serius mengenai keluhan sakitnya. Aku selalu membesarkan hatinya dengan kata-kata bahwa Mutiara hanya butuh istirahat. Sebenarnya itu hanya kata-kata untuk menghibur, padahal aku menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih serius dari hanya sekedar butuh istirahat.
Saat istirahat makan siang, Bunga menelponku menanyakan Mutiara. Terus terang aku sangat gembira menerima telpon Bunga ini.
“Mutiara belum bisa kembali ke Surabaya. Saat ini harus rawat inap di Rumah Sakit!”, kataku menjawab pertanyaan Bunga.
“Berarti Mutiara sakitnya cukup serius nih?”, tanya Bunga.
“Demamnya masih belum turun normal. Sekarang ini sedang menunggu hasil tes gejala typus!”.
“Belum ada kabar hasil uji labnya?”.
“Belum. Mudah-mudahan tidak terjadi apa apa dengan Mutiara. Hai ngomong ngomong kamu sekarang di Kampus atau di Rumah?”, tanyaku kepada Bunga.
“Aku masih di Perpustakaan Kampus!”.
“Pasti kamu sama Arman ya!”, aku mulai menggoda Bunga.
“Herman jangan bicarakan soal Arman. Dia hanya teman biasa. Perkara dia ada hati denganku itu bukan urusanku!”, kata Bunga ketus.
“Waduh Bunga bisa galak juga ya!. Okey aku tidak lagi membicarakan soal Arman !”, kataku.
“Nah gitu dong. Her, aku ini kepingin ke Pasuruan, kapan kamu punya waktu menemaniku. Pergi sendirian malas!”, kata Bunga mengalihkan pembicaraan.
“Kalau Minggu ini aku lagi disibukkan oleh pasien istimewa!”.
“Pasien istimewa apa maksudnya?”.
“Pasien yang terjangkit HIV!”, kataku. Beberapa saat Bunga tidak bereaksi dengan penjelasanku. Bunga nampaknya sedang berfikir.
“Hallo, hallo Bunga. Apakah masih di sana?”.
“Ya ya Herman. Aku masih di sini. Mendengar HIV aku jadi teringat Mutiara. Masa lalunya yang kelam penuh dengan risiko tinggi!”, kata Bunga. Kali ini aku yang terdiam membisu memikirkan kata-kata Bunga.
“Herman mudah-mudahan tidak terjadi terhadap Mutiara. Kita berdoa yang terbaik untuknya. Namun aku benar-benar merasa khawatir!”, suara Bunga penuh haru.
“Ya Bunga, segala sesuatunya  biar kita serahkan se-penuhnya kepada Allah!”.
Rasa khawatir itu ternyata bukan dirasakan olehku saja ternyata Bunga pun merasakan hal yang sama. Puncaknya adalah ketika malam itu aku dikejutkan oleh kedatangan Om Franky ke tempat Kostku. Pasti beliau membawa kabar penting tentang Mutiara. Sebenarnya ini adalah kunjungan Om Franky yang kedua. Dulu saat pertama kali berkunjung bersama sama dengan Mutiara.
“Herman maaf mengganggu waktu istirahatmu!”, kata Om Franky.
“Tidak apa apa. Ini Om tadi dari Kantor langsung ke sini?”.
“Iya Herman. Tadinya mau bicara lewat handphone namun rasanya lebih baik langsung berdiskusi denganmu!”.
“Diskusi tentang apa Om?”.
“Tentang kesehatan Mutiara!”.
“Oh bagaimana kabar terakhir mengenai hasil uji Laboratoriumnya. Tadi pagi saya sempat telpon dia tapi belum bercerita tentang hasil uji itu!”.
“Hasil laboratorium negatif untuk uji typus namun heran demamnya sampai saat ini masih sering kambuh!”.
Ya Allah inilah puncak rasa khawatirku. Mendengar berita ini aku benar-benar merasa takut kalau hal ini akan  terjadi pada Mutiara. Gejala-gejala yang sekarang sedang dialami Mutiara mirip dengan gejala-gejala orang yang terinveksi HIV. Dalam ilmu kedokteran disebut Sindrom Retroviral Akut ( Acute Retroviral Syndrom-ARS). Ya Allah betapa rasa takut ini menyelimutiku terutama saat aku harus menyebutkan kata-kata HIV.
“Herman apakah diperlukan test untuk HIV?”, suara dari pertanyaan Om Franky ini seperti petir di siang bolong. Apalagi disaat yang sama aku sedang merasa khawatir terhadap kesehatan Mutiara. Aku beberapa saat hanya bisa terdiam membisu.
“Om Franky untuk alasan medis memang ada baiknya dilakukan test itu !”, kataku dengan rasa lesu.
“Saya sendiri mempertimbangkan bahwa Mutiara memiliki riwayat yang berisiko tinggi saat ada dalam dunia yang kelam itu!”, kata Om Franky bijak.
“Iya Om. Inilah yang selama ini saya khawatirkan!”.
“Bagaimana menurutmu apakah riwayat kelam Mutiara perlu diinformasikan kepada dokter di Manado?”,tanya Om Franky. Aku terdiam sejenak, karena ini menyangkut kehormatan keluarga.
“Sebaiknya Om bisa bicarakan dengan keluarga besar karena hal ini menyangkut kehormatan keluarga!”.
“Baik Herman. Bagi saya sendiri lebih baik dokter diberitahu tentang riwayat kelam Mutiara bagi kepentingan tes HIV itu !”, kata Om Franky.
“Iya Om karena untuk kepentingan kesehatan Mutiara juga akhirnya !”.
“Secepatnya saya akan komunikasikan dengan Mutiara dan Mamanya. Agar secepatnya pula dilakukan test HIV !”, kata Om Franky.
Saat ini ada beberapa jenis uji laboratorium yang dapat digunakan untuk mengetahui seseorang terjangkit HIV atau tidak, yaitu uji  anti-HIV, antigen P24 dan polymerase chain reaction (PCR). Dari ketiga uji tersebut maka uji anti-HIV merupakan jenis uji HIV yang banyak digunakan untuk memastikan apakah seseorang terinfeksi HIV atau tidak. Uji  anti-HIV ini dinilai paling mudah untuk dilakukan dan relative akurat jika dibandingkan dengan jenis uji HIV lainnya. Uji anti-HIV dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi yang dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh dalam melawan HIV. Antibodi HIV pada umumnya terbentuk antara 3 - 6 minggu setelah terinfeksi, atau pada seseorang yang pembentukan antibodinya relatif  lambat maka terbentuknya antara 3 - 6 bulan setelah yang bersangkutan melakukan tindakan berisiko tertular HIV. Melihat kondisi Mutiara saat ini aku mencoba menghitung hari hari ke belakang disaat Mutiara berhenti dari kegiatan yang sangat berrisiko tertular HIV itu sekitar 3 – 4 bulan yang lalu. Bukankah sekarang gejala itu sudah mulai kelihatan dan untuk memastikan apakah terinfeksi atau tidak memang diperlukan tes HIV. Ya Allah berikan perlindungan kepada Mutiara.
Setelah bertemu dengan Om Franky malam itu aku seakan  sedang menunggu sesuatu yang aku khawatirkan selama ini. Mutiara sekarang memiliki resiko tinggi karena lingkungannya dulu adalah komunitas yang bisa me-nyebarkan virus HIV. Selama ini justru inilah yang aku paling takutkan. Akupun jadi kembali teringat apa yang dikatakan Bapakku bahwa aku harus berani menghadapi tantangan di depan. Ya Allah berilah aku kekuatan untuk menghadapi segala rintangan dan cobaan. Aku yakin Engkau tidak akan mengujiku diluar batas kemampuanku.
Besok Om Franky terbang ke Manado. Selain ada urusan bisnis juga sekaligus akan bertemu dengan Mutiara dan Mamanya untuk membicarakan tentang test HIV itu. Aku berharap semua berjalan sesuai dengan harapan. Malam ini sebenarnya aku ingin menelpon Mutiara namun aku urungkan mengingat waktu sudah hampir tengah malam. Walaupun waktu sudah larut malam namun aku begitu sulit untuk memejamkan mata. Selalu terbayang apa yang nanti terjadi dengan Mutiara.  Aku tahu, selama ini dalam masyarakat kita, penderita HIV/AIDS selalu dianggap sebagai sosok yang berdosa dengan kata lain orang tersebut sedang dihukum oleh Tuhan. Sungguh sangat menyedihkan sampai saat ini masih  ada sebagian orang  dalam masyarakat kita yang menggeneralisasi anggapan seperti ini. Padahal semua tahu bahwa seseorang yang terjangkit virus HIV/ AIDS itu disebabkan oleh  banyak faktor, antara lain misalnya karena penggunaan narkoba, seks bebas, transfusi darah, dan kelahiran/masa perinatal. Pada kasus kelahiran dan transfusi darah, penderita merupakan korban yang selayaknya dirangkul kembali agar tidak mengalami depresi berat. Untuk penderita karena faktor seks bebas dan penggunaan narkoba, walaupun hal tersebut merupakan konsekuensi dari masing-masing orang yang berbuat, namun dari segi moral, kita harus tetap  bersikap humanis, karena aku yakin bagi Tuhan, manusia adalah sama. Mereka bisa dirangkul untuk berbenah kembali menata kehidupannya.

Memikirkan hal tersebut entah apa yang akan terjadi nanti dengan Mutiara. Aku hanya pasrah kepada keputusan Allah. Semua sudah berupaya. Mutiara sudah keluar dari dunia kelamnya. Mutiara sudah kembali ke tengah-tengah keluarganya. Selayaknya Mutiara sudah seharusnya  menemukan kebahagiannya yang dulu pernah hilang. Namun entah apa nanti yang akan terjadi. Aku benar-benar menikmati rasa gelisah ini sendirian.

BERSAMBUNG 

Sunday, May 25, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 17

Foto : Hensa

EPISODE 17
 MENATA ASA DALAM SEPI

Baru sehari jauh dari Mutiara namun terasa sepi seakan menyelimuti seluruh ruang hatiku. Padahal  baru tadi pagi Mutiara pulang ke Manado namun rasanya sudah seperti bertahun-tahun tidak bertemu. Oh betapa cintaku kepadanya entah sebesar apa sehingga aku harus menanggung rindu seperti ini. Siang tadi aku juga sudah menerima telpon darinya bahwa Mutiara sudah tiba di rumah dengan selamat. Mutiarapun bercerita betapa bahagianya kembali berada ditengah-tengah keluarganya. Terutama saat bertemu Mamanya rasa haru yang tiada terkata dan tangis bahagia tertumpah ruah. Mamanya begitu erat memeluk Mutiara dengan tangisan kepedihan saat mengingat peristiwa tragis yang harus menimpa Mutiara. Aku tidak bisa membayangkan suasana pertemuan mereka, namun dari cerita Mutiara melalui telepon itu betapa mereka begitu bahagia bisa kembali berkumpul.
Menghadapi hari Senin ini aku tidak begitu bersemangat seperti biasanya mungkin sama seperti Senin Senin yang telah lalu bagi sebagian orang yang akan selalu dihadapi dengan kata kata I don’t like Monday. Saat ini sebagian dari orang-orang itu adalah aku. Ini pasti ada hubungannya dengan Mutiara. Ya sungguh aku merasa aneh seakan Mutiara selalu hadir disetiap gerak langkahku. Masalahnya sekarang dia tidak ada di sampingku.
Pagi tadi aku sudah berdialog dengannya melalu telpon seluler untuk sekedar melepas rindu, namun itu tidak cukup menghilangkan keinginanku untuk bertemu dengannya. Ah Hermansyah sekarang sudah mulai lebaaayyyy. Ayo jangan cengeng seperti itu. Tetap fokus pada program-program yang harus dihadapi agar studi bisa cepat selesai. Ayo Hermansyah Al-Buchori. Aku memang hanya bisa tersenyum mendengarkan bisikan hatiku sendiri.
Sore itu pulang dari Rumah Sakit aku sengaja meluncur ke Rumah Bunga sekedar ingin berbincang dan mengisi sepinya hari-hari tanpa Mutiara. Aku juga tidak tahu kenapa harus Bunga tempatku untuk berlabuh. Mungkin karena Bunga selama ini kurasakan sebagai sahabat hatiku. Sepeda motorku meluncur ke kawasan Kertajaya Indah. Tidak begitu lama dari Jalan Dharmawangsa menuju Kertajaya apalagi menggunakan Sepeda motor bisa lebih cepat. Di depan Rumah Tantenya Bunga, aku melihat sebuag Jeep parkir di sana, ya itu milik Arman. Rupanya sekarang sedang ada Arman. Ketika aku mau memparkir motor tiba-tiba Arman keluar bersama Bunga.
“Hei Herman!”, sapa Arman sambil menyodorkan tangan kanannya kemudian kami bersalaman.
“Arman mau kemana?”, tanyaku basa-basi.
“Sory aku pulang duluan tadi baru pulang dari Kampus bersama Bunga!”, kata Arman.
“Oke Arman!”.
Arman pun segera meninggalkan aku dan Bunga. Kulihat Bunga sikapnya biasa saja terhadap Arman, namun aku merasakan bahwa Arman sedang melakukan pendekatan kepada Bunga. Kami duduk di Beranda yang seperti biasanya dan Bunga bersikap seperti wajar saja seolah tidak menganggap suatu hal yang perlu dibicarakan tentang pertemuanku dengan Arman saat itu.
“Tadi siang ada kuliah, aku dijemput Arman dan saat pulangpun dia mengantarku sampai rumah!”, kata Bunga memberikan penjelasan seakan Bunga tahu apa yang aku rasakan.
“Bunga, aku lihat Arman rupanya menaruh hati kepadamu!”, kataku mulai menggoda.
“Ah kamu ngawur saja Herman. Dia Cuma teman biasa!”, suara Bunga dengan mimik wajah cemberut. Aku benar-benar menikmati kecantikan Bunga saat gadis ini cemberut. SubhanAllah.
“Lho kan nggak apa-apa kalau Arman suka padamu apalagi Arman orangnya juga ganteng!”, kataku tambah menggoda.
“Sudahlah jangan membahas Arman!”, kata Bunga dengan rasa kesal. Aku tersenyum. Sebenarnya aku senang dengan penjelasan Bunga tersebut. Entah kenapa aku kok malah senang kalau Arman bukan cowok yang dicintai oleh Bunga. Ah dasar aneh, kok masih ada rasa cemburu jika ada cowok yang sedang mendekati Bunga.
“Oke oke tapi nanti dulu aku suka melihat kamu cemberut seperti itu, malah tambah cantik!”, kataku sambil tersenyum.
“Herman mulai gombal!”, kata Bunga masih sambil cemberut memandangku. Aku hanya tertawa.
Sungguh aneh memang saat ada di samping Bunga aku bisa kembali ceria dan penuh gembira. Saat aku sendiri malah rasa rindu kepada Mutiara mendera relung hatiku. Ya di samping Bunga ini sementara bisa sedikit bergembira. Memang Bunga bagaimanapun juga adalah gadis yang istimewa dalam hidupku.
“Herman bagaimana kabar Mutiara?. Terakhir dia menelponku dua hari yang lalu saat dia mengabari terkena flu berat!”, kata Bunga.
“Iya namun sekarang sudah berangsur membaik!”, kataku.
“Kapan Mutiara kembali ke Surabaya?”, Tanya Bunga.
“Minggu besok rencananya!”.
Namun aku meragukan Mutiara besok Minggu sudah kembali ke Surabaya karena walaupun sakit flunya sudah membaik tapi demamnya masih belum membaik. Berita ini aku dapatkan tadi malam saat aku menelpon Mutiara dan bahkan sempat pula berbincang dengan Mamanya. Apalagi mamanya masih sangat kangen kepada Mutiara. Aku merasakan begitu sepi tanpa Mutiara terutama saat aku sedang sendiri. Aku hanya bisa sedikit terhibur saat bersama Bunga.
“Herman. Saat Mutiara menelponku ada satu hal yang dia sampaikan kepadaku tentangmu!”.
“Apa itu Bunga?”.
“Mutiara merasakan kembali ketidak pantasannya mendampingimu!. Aku katakan padanya. Tiara harus tetap mendampingi Mas Herman karena Mas Herman sangat mencintaimu!”, kata Bunga.
“Ya Bunga. Diapun selalu mengatakan hal itu. Aku selalu memberikan kepastian bahwa aku sangat mencintai apa adanya!”.
Mutiara selalu bilang bahwa dia tidak pantas menerima cintaku karena beban masa lalunya harus juga aku rasakan. Setiap aku mendengar Mutiara meragukan cintanya sendiri seperti itu kepadaku, aku merasakan  seperti akan kehilangan dia.
“Terima kasih Bunga sudah memberikan dukungan kepada Mutiara!”.
“Iya Herman no problem Bos!”, kata Bunga.
“Oh ya aku juga mendukungmu andai Arman bisa jadian denganmu!”, kembali aku menggoda Mutiara.
“Mulai lagi Herman. Okey aku memang sudah punya calon tapi bukan Arman!”, kata Bunga kelihatannya mulai serius.
“Alhamdulillah kenalkan kepadaku dong!”, kataku.
“Tunggu hari yang baik nanti!”, kata Bunga dengan wajah serius. Aku agak menyesal juga dengan godaan tadi. Bunga kelihatannya serius dan ini justru membuatku jadi gusar. Akhirnya Bunga punya kekasih juga, pikirku. Seharusnya aku lega dong. Namun anehnya kenapa aku harus gusar. Pertemuan sore itu dengan Bunga memiliki arti tersendiri bagiku. Bunga adalah gadis yang sangat istimewa bagiku terbukti di sampingnya aku merasakan kegembiraan sehingga sejenak bisa mengurangi rasa kangenku kepada Mutiara.
Firasatku ternyata benar, Mutiara tidak bisa pulang hari Minggu ini. Aku mendapat kabar langsung darinya. Kesehatannya kembali memburuk. Demamnya kembali kambuh dan hari ini Mutiara disarankan untuk diperiksa di Rumah Sakit. Sehari sebelumnya aku sempat menerima telpon dari Om Franky yang mengabarkan Mutiara akan dibawa ke Rumah Sakit untuk rawat inap. Gejala demamnya dikuatirkan ada hubungannya dengan penyakit Thypus atau Demam berdarah. Aku hanya berharap saja semoga Mutiara segera sembuh dan kembali secepatnya ke Surabaya.
Berita ini tentu saja sedikit banyak mengganggu fokusnya pikiranku terhadap pekerjaanku di Rumah Sakit. Apalagi hari ini ada Pasien istimewa yaitu seseorang yang positif terkena HIV. Baru saja aku dikabari dokter Wim tentang hasil test laboratorium yang menunjukkan bahwa pasien tersebut positif terinveksi HIV. Pasien ini adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang diduga tertular HIV dari suaminya yang memang hobi ‘jajan di luar’. Kejadian yang sangat memprihatinkan. Gejala awal Ibu Rumah Tangga ini hanya demam biasa, namun demam ini tidak sembuh. Hingga akhirnya semakin parah tumbuhnya penyakit kulit seperti bisul. Untuk pasien tersebut, tentu saja harus dilakukan tindakan medis lanjut. Saat ini memang ada obat untuk menghambat perkembangan virus HIV dalam tubuh Pasien yang terinveksi. Pengobatan ini dikenal dengan sebutan Terapi Antiretroviral (ARV). ARV ini tidak membunuh virus, namun dapat melambatkan pertumbuhan virus. Waktu pertumbuhan virus dihambat sehingga bisa mengurangi jumlah virus yang menggerogoti system kekebalan tubuh. Hal ini berarti dapat memperpanjang harapan hidup Si Pasien. Mengalami kejadian ini aku jadi teringat saat penyuluhan tentang HIV di sebuah Puskesmas yang pesertanya adalah para PSK sebuah Lokalisasi. Di sana pula aku berkenalan dengan Mutiara.
Oh Tuhan kembali lagi aku jadi teringat Mutiara yang sedang sakit demam. Mudah-mudahan hasil test laboratoriumnya negative untuk penyakit thypusnya. Namun tiba-tiba saja aku merasakan kekhawatiran yang sangat terhadap kesehatan Mutiara. Semoga saja kekhawatiranku hanya sekedar rasa khawatir. Segeralah sembuh Mutiara aku sangat rindu untuk bertemu denganmu. Setiap hari aku selalu menata asa ini sehingga suatu hari menjadi nyata.



 BERSAMBUNG

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 16

Foto : Anggrek15/hensa


EPISODE 16
 PELUKAN MUTIARA

Selama dua Minggu ini kesibukanku semakin menyita waktuku. Senin sampai Sabtu demikian cepat berpacu. Namun demikian aku masih tetap berhubungan via telpon seluler dengan Mutiara dan paling tidak satu kali kunjungan pada malam Minggu. Sedangkan dengan Bunga hanya sekali kontak itu juga saat dia menelponku menanyakan apakah ada rencana pulang kampung ke Pasuruan?. Mungkin Bunga kangen dengan Bapa dan Ibuku sekalian ingin mengajakku bareng. Aku mengatakan kepada Bunga jika saat ini aku sedang sibuk mungkin baru bulan depan aku bisa pulang ke Pasuruan. Aku teringat beberapa hari yang lalu Bunga bercerita tentang keinginan Mutiara untuk berpisah saja denganku karena tidak mau beban masa lalunya menjadi bebanku juga. Ketika hal ini aku tanyakan kepada Mutiara malam Minggu kemarin, Mutiara membenarkan.
“Iya Mas Herman, aku cerita kepada mbak Bunga tapi  dia selalu mendukungku agar aku tetap tabah!”.
“Tiara, insya Allah jangan ragukan cinta kita ini. Semua akan kita hadapi bersama-sama!”, kataku menenteramkan hatinya.
“Mas Herman, aku sangat terharu pada keteguhanmu namun andai nanti kita harus berpisah, harus kita sikapi menjadi satu hal yang terbaik untuk kita!”.
“Tiara jangan berkata seperti itu. Semuanya akan baik-baik saja!”.
Sebenarnya mendengar perkataan Mutiara itu hatiku agak was was juga. Apakah aku sudah siap andai suatu hari nanti aku harus berpisah dengan Mutiara?. Ya andaikata Allah berkehendak untuk memisahkan Mutiara dariku maka tidak ada kekuatan manapun yang bisa mencegahNya. Ya Allah apakah aku sudah siap?.
Pulang dari tugas Rumah Sakit aku langsung mandi kemudian sholat Magrib dan segera meluncur ke sebuah Rumah Makan di kawasan jalan Sulawesi. Ya Om Franky mengajakku untuk bertemu di sana. Pertemuanku dengan Om Franky kali ini adalah yang kedua. Pertama kali diperkenalkan oleh Mutiara dulu saat bertemu di tempat kost Jalan Bali itu. Om Franky adalah adik kandung dari Mamanya Mutiara, orangnya ramah dan baik. Saat ini sebenarnya aku merasakan ada hal yang menunjukkan firasat tidak enak, karena tiba-tiba saja Om Franky memintaku untuk bertemu. Malam itu kami baru saja menyelesaikan makan malam.
“Herman bagaimana kalau kita mulai membicarakan hal-hal yang sangat penting ini !”, kata Om Franky.
“Ya baik Om!”.
“Banyak hal yang terjadi dalam sebulan terakhir ini. Kabar penting pertama adalah Mamanya Mutiara sekarang sudah berpisah dengan suaminya atau Papa tirinya Mutiara!”, kata Om Franky sambil menarik nafas panjang.
“Bagaimanapun juga aku harus membuka cerita pilu ini kepada Mamanya Mutiara agar beban Mutiara menjadi ringan!”, kembali suara Om Franky.
“Bagaimana reaksi Mamanya saat beliau mendengar kisah menyedihkan itu!”, tanyaku.
“Mamanya menangis sambil memanggil manggil Mutiara. Dia sudah lama merindukan ingin bertemu dengan Mutiara. Dia sangat sedih anaknya diperlakukan seperti itu oleh Ayah tirinya sendiri. Sangat biadab !”, kata Om Franky.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancur hati Mamanya Mutiara mendengar kenyataan cerita pilu anak gadisnya waktu itu. Sungguh aku tidak bisa membayangkan. Sangat wajar jika Mamanya Mutiara menceraikan suaminya. Kabar penting berikutnya menurut Om Franky adalah Mutiara akan segera bertemu dengan Mamanya. Hal ini berarti Mutiara akan pulang ke Manado.
“Rencana minggu depan kami akan ke Manado!”, kata Om Franky.
“Om ternyata Mutiara belum cerita kepada saya tentang rencananya ke Manado itu !”.
“Tentu saja Herman, rencana ini dia belum tahu. Jadi kamu yang tahu lebih dulu!”.
Rupanya Om Franky yang mengatur pertemuan Mutiara dengan Mamanya dan rencana ini baru aku yang diberitahukannya. Aku hanya ikut berbahagia karena kini Mutiara sudah bisa kembali berkumpul dengan keluarganya. Ada satu hal penting lagi informasi dari Om Franky yaitu kasus hukumnya tentang Ricki ternyata Mutiara sudah memberikan kesaksian sebagai korban pemerasan. Mutiara melaporkan Ricki kepada pihak yang berwajib karena tindak pemerasan terhadapnya, bukan karena tindakan kekerasan Ricki kepadaku tempo hari.  Belakangan juga terbukti bahwa Ricki juga dilaporkan oleh korban-korban lainnya yang umumnya adalah para Mahasiswi yang pernah dinodainya.
“Itulah Herman begitu banyak beban yang saat ini harus dipikul oleh Mutiara!”, kata Om Franky.
“Iya Om!. Saya juga ikut prihatin namun saya yakin Mutiara adalah wanita yang tegar!”.
“Mutiara pernah bilang yang membuat dia bertahan adalah kamu, Herman!”.
“Alhamdulillah. Dia terlalu berlebihan Om. Mutiara sendiri yang tangguh menghadapi semua cobaan hidupnya!”, kataku mengelak.
“Herman. Bagi Mutiara, kamu itu ibarat Malaikat yang dikirim Tuhan untuk membuatnya merasa tenteram. Setiap yang kau ucapkan selalu membuat hatinya tenang!”, kembali suara Om Franky. Mendengar ini aku hanya terdiam namun dalam hati aku bersyukur kepada kebesaranNya. Sungguh hanya DIA yang Maha Terpuji yang Maha Pemberi segala ketenteraman.
 Esok siangnya saat aku makan siang di Kantin Rumah Sakit itu, aku menerima telpon dari Mutiara.
“Mas aku sangat bahagia bisa kembali bertemu Mama. Namun aku juga sedih harus meninggalkan Mas Herman!”, kata Mutiara diseberang sana mengabarkan rencana pulangnya ke Manado.
“Tiara kan nanti kembali bertemu denganku di Surabaya!”, kataku.
“Ya Mas. Aku nanti harus kerja kembali di Surabaya, tapi rasanya aku sangat sedih harus pergi meninggalkan Mas Herman walaupun hanya sebentar!”, kata Mutiara lagi.
“Sudahlah Tiara hanya beberapa hari saja kita tidak bertemu. Bersabarlah. Sekarang malah kamu bisa melepaskan kerinduanmu terhadap Mama!”,kataku.
“Iya Mas Herman, aku sudah ingin memeluk Mamaku, aku sangat rindu kepadanya!”, kata Mutiara kelihatan riang.
“Oh ya besok Minggu menggunakan penerbangan jam berapa Tiara?”, tanyaku.
“Pukul 8.00 Mas. Aku dijemput Om Franky!”, kata Mutiara.
“Kalau begitu aku langsung menuju Bandara saja nanti bersama Bunga!”, kataku.
“Iya Mas, tadi malam Mbak Bunga juga sudah aku pamiti!”, kata Mutiara.
“Okey Tiara sampai nanti ya!”, kataku.
Aku kadang-kadang heran dengan perasaan wanita. Mutiara pulang ke Manado hanya beberapa hari saja tapi dia begitu berat berpisah denganku. Akhir-akhir ini Mutiara memang sangat peka sekali dengan perasaannya. Selain itu karena pikirannya penuh dengan beban yang cukup berat juga kesehatannya agak menurun. Sering terkena demam dan gejala flu namun hanya sehari sembuh kembali.
Minggu pagi itu aku berjalan beriringan dengan Bunga menuju Pintu Keberangkatan Dalam Negeri Bandara Juanda. Beberapa Penumpang sedang antrian untuk mengambil boarding pass. Sementara aku melihat diantara para penumpang itu adalah Mutiara dan Om Franky.
“Tiara!”, aku memanggil Mutiara.
“Mas Herman!”, pekik Mutiara sambil menghampiriku. Kemudian Mutiara juga menoleh kepada Bunga.
“Kalian akhirnya datang juga. Aku dari tadi menunggu!”, kata Mutiara.
“Om Franky bagaimana kabar?”, aku menyapa Om Franky sementara Bunga hanya mengangguk hormat.
“Baik-baik Herman!”, kata Om Franky. Sementara aku lihat Bunga dan Mutiara berbincang dengan serius dan aku lihat Mutiara seperti menangis mungkin terharu saat harus berpisah dengan Bunga.
“Mudah-mudah perjalanan lancar, selamat sampai di Manado !”.
“Terima kasih Herman ya semoga semua urusan menjadi beres. Aku lihat Mutiara sedih harus meninggalkan Surabaya walaupun hanya beberapa hari !”.
“Tapi mudah-mudahan Mutiara juga bahagia saat kembali bertemu dan berkumpul dengan Mamanya!”, kataku.
“Ya Herman. Terima kasih!”, kata Om Franky. Akhirnya kami berjabat tangan sambil aku ucapkan selamat jalan kepada Om Franky.  Lalu aku lihat Mutiara memeluk Bunga sambil terisak dan Bunga menenangkan wanita ini. Pada saat berpamitan kepadaku, air mata Mutiara masih tergenang di kedua matanya.
“Mas Herman aku pergi dulu!”, kata Mutiara sambil memandangku tak berkedip seolah ini adalah perpisahan terakhirnya. Tiba-tiba aku merasakan rasa haru ketika tiba-tiba saja Mutiara memelukku erat sekali seolah tidak mau melepaskan dirinya dariku. Aku sengaja membiarkan Mutiara memelukku beberapa saat, lalu pelan-pelan Mutiara melepaskan pelukannya.

“Mas Herman jaga dirimu baik-baik!”,kata Mutiara masih dengan mata yang berkaca-kaca. Aku mengangguk pelan sambil memandangnya. Mutiara berjalan menuju Pintu Masuk bersama Om Franky. Aku dan Bunga hanya bisa memandangi punggungnya. Aku lihat rambutnya yang indah terurai sampai di bawah bahunya. Masih juga terbayang kedua matanya yang biasanya berseri seri kini harus berurai air mata. Serta pelukannya yang erat seolah tidak mau melepaskanku. Mutiara mudah-mudahan kau baik-baik saja dan cepatlah kembali kepadaku.

BERSAMBUNG

Saturday, May 24, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 15

Foto : Anggrek16/hensa

EPISODE 15
 KITA MULAI MELANGKAH

Minggu sore itu aku sudah berada ditengah-tengah kesibukan Bandara Juanda untuk menjemput Bunga. Saat itu aku berdiri di depan Pintu Kedatangan Dalam Negeri yang penuh dengan lalu lalang orang-orang yang baru saja tiba di Surabaya. Mataku kini tertuju kepada seorang gadis semampai yang sedang menarik tas dengan langkah tegap dan pasti. Ya Bunga dari jauh sudah kelihatan memasuki pintu keluar. Gadis ini cantik sekali wajah yang tegas tapi lembut dengan pandangan matanya yang tajam serta cara berfikirnya yang cerdas. Sungguh dia seorang gadis yang sempurna, cantik dan pintar. Kudengar ketika namaku dipanggil Bunga maka aku menoleh ke arahnya. Dari jauh Bunga melambaikan tangannya kemudian segera kubalas.
“Herman bagaimana kabar?”.
“Alhamdulillah baik-baik. Kamu sendiri?”.
“Baik dong karena sudah melepas kangen sama Papa dan Mama he he he!”, kata Bunga sambil tertawa. Kami berjalan beriringan menuju Tempat Parkir. Udara cerah Surabaya sore itu benar-benar sangat mengesankan. Keluar dari Bandara lalu lintas agak sedikit macet karena volume kendaraan yang mau keluar harus antrian di Pintu pembayaran parkir namun setelah memasuki Tol Bandara menuju Waru semua berjalan lancar.
“Selama liburan aku selalu menerima kabar gembira dari Mutiara!”, kata Bunga. Aku hanya tersenyum dan ini sudah aku duga sebelumnya antara Bunga dan Mutiara memang tidak bisa dipisahkan. Mereka selalu berhubungan melalui hand phone.
“Iya Bunga. Sabtu kemarin bahkan aku sudah menemui Ibu dan Bapak di Pasuruan!”.
“Tadi malam Mutiarapun bercerita seperti itu. Herman aku bias rasakan betapa saat ini Mutiara sangat bahagia!”, kata Bunga.
“Alhamdulillah Bunga. Ibu sudah merestui demikian juga Bapak namun ada syarat yang harus kupenuhi!”.
“Apa syarat dari Bapak?”, tanya Bunga.
“Beliau sebenarnya tidak menyampaikan secara tersurat namun hanya tersirat dan aku sudah tahu maksud Bapak!”.
“Maksud Bapak bagaimana Her!”, tanya Bunga.
“Kata beliau bahwa aku harus mampu menghadapi tantangan demi tantangan yang ada di depan nanti!”.
“Ya Herman aku juga mengerti betapa banyak risiko yang harus kau hadapi nanti. Namun aku tetap kagum kepadamu betapa cintamu tulus kepada Mutiara!”, suara Bunga.
Aku juga kagum kepada Bunga. Gadis ini sungguh berjiwa besar. Bunga selalu mendukungku memberikan semangat dan nasihat. Semakin lama justru aku semakin merasakan keterbukaan hati Bunga. Semakin terbuka hatinya maka semakin aku kagum kepadanya.
Aku sengaja dari Bandara mengambil rute pulang lebih dulu ke tempat kost kemudian mobil baru aku serahkan  kepada Bunga.
“Herman terima kasih sudah menjemputku di Bandara!”, kata Bunga kemudian membuka pintu dan duduk di belakang kemudi. Aku hanya mengangguk.
“Oh ya Herman besok sore pulang dari Rumah Sakit, kamu bisa ke rumah ?”, kata Bunga.
“Ada hal penting nih!?”, tanyaku.
“Tentu saja sangat penting!”.
“Insya Allah, besok sore aku langsung ke sana!”, kataku.
“Assalaamualaikum!”, kata Bunga memberi salam untuk berpamitan.
“Wa alaikum salaam!”, kataku membalas salam Bunga dan mobil sedan Jepang itupun meluncur meninggalkanku.
Senin pagi kesibukan rutin Rumah Sakit sebenarnya biasa saja namun bagiku rasanya begitu banyak yang harus aku lakukan. Setelah jam istirahat ada jadwal menemani operasi di Ruang Operasi bersama dokter Wijaya spesialis penyakit dalam. Entah mengapa menghadapi pekerjaan hari ini aku benar-benar dalam kondisi yang kurang fokus. Pada saat makan siang itu aku mencoba menelpon Mutiara.
“Hallo Mas Herman!”, suara Mutiara di ujung sana.
“Tiara sudah makan siang?”.
“Belum Mas. Ini tanggung sekali masih ada dua sampel yang harus segera aku selesaikan!”, kata Mutiara.
“Baiklah Tiara, jangan lupa makan siang. Rasa pusingnya sudah hilang?”.
“Lumayan Mas hanya badanku ini masih demam sejak kemarin!”.
“Kalau masih demam sebaiknya Tiara izin pulang awal saja!”, kataku.
“Semoga saja tidak perlu pulang awal karena pekerjaan Laboratorium masih banyak!”.
“Okey Tiara kalau begitu jaga kesehatan ya!”.
“Ya Mas Herman terima kasih!”, suara Mutiara lembut sekali.
Setelah kontak dengan Mutiara ada perasaan semangat untuk mulai lagi bekerja. Setelah istirahat ini aku harus menemani jadwal operasi bersama dokter Wijaya spesialis penyakit dalam. Sungguh Mutiara sudah menjadi spirit yang sangat manjur dalam diriku. Begitu cinta aku kepadanya. Maka saat  di Ruang operasi itu aku begitu semangat penuh dengan dedikasi membantu kelancaran operasi Pasiennya dokter Wijaya. Selama 4 jam operasi akhirnya selesai dengan baik. Alhamdulillah. Satu tugas lagi sudah kutunaikan. Aku benar-benar merasa lega bisa menyelesaikan tugas-tugas hari ini.
Pulang dari Rumah sakit aku langsung meluncur menuju Rumah Tantenya Bunga di Kertajaya. Bunga rupanya sudah menungguku di teras samping rumah. Aku bisa melihat Bunga dari sisi kiri jalan komplek Perumahan itu.
“Herman pintu gerbang tidak di kunci masuk saja!”, suara Bunga. Akupun memarkir sepeda motor di dalam pagar lalu menghampiri Bunga yang sudah duduk menunggu.
“Bagaimana acaramu hari ini?. Sukses?”.
“Alhamdulillah tadi ada jadwal menemani operasi pasien!”, kataku.
“Wah pantesan kamu kelihatan masih tegang dan kelelahan !”, kata Bunga sambil tersenyum.
“Iya dong aku tadi sangat fokus menyelesaikan tugas dengan baik !”.
“Okey Herman sekarang saatnya santai. Sebentar lagi secangkir kopi kesayanganmu akan disajikan Si Mbok agar kamu kembali segar!”, kata Bunga sambil tertawa. Memang tidak lama kemudian Si Mbok sudah membawa hidangan minum sore lengkap beserta kue basah yang sangat lezat.
“Bunga ada berita penting apa nih?”.
“Tentang Mutiara tentu saja!”.
“Ada apa dengan Mutiara?”.
“Malam Minggu itu Tiara benar-benar menumpahkan isi hatinya tentang kejadian di Plaza itu!”.
“Malam itu aku sudah menghiburnya agar melupakan peristiwa itu!”, kataku.
“Herman ada hal yang serius yang harus kau perhatikan baik-baik!”, kata Bunga.
“Apa itu Bunga?”, tanyaku penasaran.
“Mutiara berkata kepadaku bahwa dia merasa tidak pantas untukmu. Mutiara ingin berpisah denganmu!”.
“Dia mengatakan begitu?”.
“Iya. Tiara tidak mau beban masa lalunya harus kamu tanggung pula!. Mutiara ingin agar Hermansyah bisa melupakannya!”, kata Bunga. Kemudian Bunga juga menceritakan bahwa dalam dialog telepon tersebut Mutiara berkata sambil terisak. Bunga tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya bisa menghibur Mutiara.
Mendengar ini aku hanya terdiam. Benar kata Bapak hal ini adalah tantangan bagiku. Aku baru saja mulai mau melangkah namun di depan sudah menghadang semak penuh dengan duri dan onak. Apakah aku harus mundur?. Pada saat aku sedang kebingungan memikirkan Mutiara tiba-tiba terdengar seseorang membunyikan klakson mobilnya. Di depan aku lihat sebuah Mobil Jeep parkir lalu seorang Pria tampan melambaikan tangannya ke arah Bunga. Aku lihat Bunga tidak bereaksi sedikitpun. Pria itu masuk melalui pintu gerbang menuju meja tempat kami.
“Sore Bunga!”, sapa Pria tersebut.
“Sore Arman. Oh ya kenalkan ini dokter Hermansyah Al-Buchari !”, kata Bunga sambil tangannya menunjuk kea rahku. Kami berjabat tangan sambil menyebut nama masing-masing. Aku kaget juga ketika Bunga menyebut namaku lengkap dengan atribut profesi. Seharusnya tidak seperti itu. Lalu aku jadi bertanya-tanya Arman ini siapanya Bunga?.
“Herman lupa aku belum memberitahu bahwa Arman ini teman kuliahku di Pasca Sarjana !”, kata Bunga seakan tahu apa yang menjadi pertanyaan dalam hatiku.

“Oh begitu. Okey mari Mas Arman kita gabung bincang di sini !”, ajakku kepada Arman. Pria bernama Arman ini hanya bilang terima kasih. Lalu aku lihat Arman mengajak Bunga ingin membicarakan sesuatu, dia minta maaf kepadaku. Maka aku hanya mengangguk. Aku lihat di sudut teras yang lain itulah Arman dan Bunga berbincang serius. Aku hanya bisa melihat mereka dari jauh. Ah entahlah apa yang mereka bicarakan, aku sendiri saat ini sedang berfikir tentang Mutiara. Tidak lama rupanya Arman segera berpamitan kepada Bunga. Aku lihat Bunga mengantar Arman sampai gerbang depan itu. Aku mulai berfikir apakah Arman adalah calon kekasih Bunga?. Ataukah memang sudah kekasihnya?. Oh Tuhan andaikata Arman memang kekasih Bunga lalu mengapa aku harus kecewa seperti ini?. Rasa kecewa ini seperti sebuah firasat bahwa aku akan kehilangan Mutiara sekaligus juga kehilangan Bunga?. Benarkah demikian?. Padahal kita baru saja mulai melangkah.

BERSAMBUNG

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 14

Foto : Anggrek14/hensa

EPISODE 14
 TATAPLAH KE DEPAN
  
Suasana makan siang itu sangat berbeda dengan suasana makan siang sebelumnya. Mutiara telah menjadi pembedanya. Ibu kelihatan gembira hanya Bapak saja yang tetap tenang bak air danau yang dalam namun airnya cukup bening sehingga dasar danau itu masih bisa dilihat dari tepiannya. Aku mencoba menebak isi hati Bapak. Aku yakin beliau merestui hubungan kami seperti halnya Ibu, namun ada satu hal yang selalu Bapak tekankan kepadaku bahwa aku akan memiliki tugas yang berat bagaimana aku harus bisa membawa Mutiara menuju pintu RidhoNya. Walaupun itu tidak mudah namun tak mengapa biarlah paling tidak diawal perjalanan ini aku sudah memulai dengan sesuatu yang baik.
Selesai makan siang, kami mengobrol di Ruang keluarga. Ibu begitu riang menyambut Mutiara seolah-olah sudah seperti menantunya saja. Bapak juga sesekali ikut nimbrung bercanda dengan mereka. Sementara aku sendiri lebih banyak diam dan hanya tersenyum diantara dialog-dialog mereka yang lucu. Ramah tamah itu ternyata harus di akhiri dulu karena aku dan Mutiara harus segera kembali ke Surabaya. Kami berpamitan kepada Bapak dan Ibu untuk kembali ke Surabaya.
“Hati-hati Herman, jangan ngebut!”, pesan Bapak.
“Tia hati-hati di jalan ya!”, kata Ibu dan Mutiara mengangguk sambil tersenyum. Pertemuan yang singkat memang, namun penuh dengan arti, penuh dengan harapan. Sepanjang perjalanan Pasuruan – Surabaya aku melihat betapa Mutiara merasakan kebahagiaan. Wajahnya berseri penuh keceriaan. Aku merasakannya seolah Mutiara kini sudah menemukan kembali kebahagiaannya yang dulu pernah hilang. Kini saat Mutiara tersenyum maka senyum itu terasa lebih menampakkan aura wajahnya jauh lebih cantik. Wajahnya yang teduh tidak lagi dirundung mendung. Alhamdulillah ya Allah, aku selalu bersyukur kepadaMu.
Kami tiba di Surabaya belum begitu sore. Setelah mengantar Mutiara ke Jalan Bali itu aku langsung menuju tempat kost dan masih sempat sholat Ashar. Hari yang melelahkan namun melegakan. Sore itu aku benar-benar bersantai di Kamarku sambil membuka netbook menelusuri dunia maya. Facebook, Twitter, berita terbaru media online, semua kujelajahi. Ada secangkir kopi panas dan makanan kecil dalam kemasan yang selalu setia menemaniku. Di atas meja itupun sebenarnya sudah menumpuk kertas-kertas yang berisi bahan untuk laporan kerja selama Jaga Malam tempo hari, namun belum aku sentuh sama sekali. Biarlah hari ini untuk sementara aku ingin terbebas dari rutinitas dan menikmati kebahagiaan. Apalagi nanti adalah malam Minggu yang rencananya aku akan pergi bersama Mutiara.
Selesai sholat Magrib itu aku sudah meluncur menuju kediaman Mutiara. Aku pijit bel di samping pintu ruang tamu itu. Tidak lama kemudian Mutiara sudah berdiri membukakan pintu ruang tamu itu. Aku memandang Mutiara tidak berkedip, hatiku berkata Maha Besar Allah Maha Pencipta mahluk cantik ini. Aku memang terpukau melihat kecantikan Mutiara di depan mataku ini. Gaun malam berwarna gelap dengan corak yang sopan, rambutnya yang hitam terurai dengan wajah berseri dan sorot mata tajam serta senyum ramah penuh kebahagiaan.
“Mas Herman kenapa memandangku seperti itu?. Aku jadi malu!”, suara Mutiara telah menyadarkanku dari rasa terpesona.
“Eh iya enggak apa-apa. Aku seperti sedang berhadapan dengan Bidadari cantik dari Surga!”, kataku sekenanya saja.
“Mas Herman ah rayuan gombal!”, kata  Mutiara pura-pura cemberut lalu mencubit lenganku. Aku hanya mengaduh sambil tertawa. Untuk pertama kalinya dalam hidupku bermalam Minggu dengan seorang wanita adalah dengan Mutiara. Dulu saat masih bersama Bunga memang sering bermalam Minggu namun saat itu selalu rame-rame bersama teman-teman yang lainnya. Saat ini sungguh-sungguh malam Minggu yang spesial bagiku karena hanya bersama Mutiara.
Kami habiskan malam ini di food corner sebuah Plaza terbesar di Surabaya yang ada di jalan Basuki Rahmat. Suasana Plaza yang begitu ramai dengan para Pengunjung. Sambil menikmati santap makan malam kami mengobrol ringan sesekali diselingi dengan tawa karena ada hal-hal yang lucu. Waktu sudah menunjukkan pukul 21, namun suasana masih meriah seperti ini. Plaza terbesar di Surabaya ini memang surganya orang-orang berduit. Tiba-tiba aku dikejutkan ada seseorang menghampiri menuju meja, tempatku bersama Mutiara.
“Hai cantik rupanya ada di sini. Lama tidak berjumpa!”, seorang lelaki menyapa Mutiara. Dia gagah dengan dandanan perlente dari apa yang dikenakannya sudah bias memperlihatkan bahwa dia adalah orang kaya. Seorang Pengusaha kelas kakap. Aku lihat Mutiara begitu gugup bertemu dengan lelaki ini. Aku sebenarnya tersinggung dengan caranya menyapa Mutiara dan hampir saja emosiku terpancing andai tidak dicegah Mutiara.
“Kok tidak bersama Ricki. Boleh aku gabung cantik ?”, kembali suara Lelaki itu dengan pandangan nakal.
“Maaf saya tidak punya waktu!”, kata Mutiara sambil menarik tanganku untuk segera berlalu meninggalkan lelaki itu yang kelihatan terbengong-bengong. Mutiara akhirnya mengajakku untuk pulang saja.  Sepanjang perjalanan itu Mutiara lebih banyak diam dan aku tidak berani lebih jauh mengusiknya. Namun akhirnya tangis itupun terjadi juga di saat kami sudah tiba di Rumah.
“Sudahlah Tiara. Lupakan saja kejadian tadi!”, kataku menenangkannya. Mutiara masih terisak. Aku hanya membiarkan saja dia menangis agar bisa membuat hatinya menjadi lega.
“Mas Herman aku sebenarnya tidak mau lagi membicarakan ini!”, kata Mutiara.
“Ya Tiara sudahlah lupakan saja!. Saat ini sebaiknya tataplah ke depan”, kataku. Mendengar ini kulihat Mutiara sudah bisa tenang.
“Aku selalu dibayangi ketakutan masa laluku yang kotor dan nista!”, kata Mutiara.
“Masa lalu itu tidak akan kembali. Jadi untuk apa ditakutkan. Sudah, sebaiknya Tiara tersenyumlah dunia ini akan jauh lebih indah dengan senyummu!”, kataku sambil menatap wajah Mutiara yang masih tertunduk.  Kulihat kemudian Mutiarapun memandangku.
“Ayo tersenyumlah untukku Mutiara !”, kataku sambil tersenyum memandangnya. Mutiarapun akhirnya tersenyum dan matanya kembali berbinar walaupun masih ada sisa airmata dipipinya.
“Nah begitu dong. Tiara kita harus menatap ke depan. Masa lalu yang kelam buang saja karena sudah tidak berguna. Di depan banyak harapan yang bisa kita raih!”.
“Mas Herman terima kasih. Aku selalu merasa tenang mendengar kalimat-kalimat itu. Mas Aku sangat bahagia bersamamu!”, kata Mutiara terharu.
“Ya kita wajib bersyukur kepadaNya sebagai sumber semua kebahagiaan!”, kataku.
Aku bisa merasakan rasa galau Mutiara ketika dia harus bertemu dengan salah satu mantan ‘pelanggannya’ tentunya mempertimbangkan apa yang aku rasakan saat itu. Ketika aku mengajaknya untuk menatap masa depan barulah aku lihat kegalauan Mutiara sirna begitu saja. Mutiara merasa lega dengan sikapku.  Sampai aku berpamitan untuk pulang aku masih melihat senyum Mutiara terukir dengan manis mudah-mudahan itu menandakan bahwa dia sudah mau menatap ke depan. Aku bisa membayangkan betapa berat beban masa lalu yang harus dirasakan Mutiara disaat dia sudah mulai mencintaiku. Tataplah ke depan. Kalimat yang begitu mudah diucapkan. Bagiku sendiri kalimat ini adalah tantangan terberat dalam hidupku. Aku mempunyai tugas suci membawa Mutiara menuju pintu RidhoNya.

BERSAMBUNG