Saturday, October 6, 2012

NovelCorner Episode 3 (4) : MASIH ADAKAH RUANG DI HATIMU

EPISODE 3 SELAMAT BERBAHAGIA BIDADARIKU Di ruang kerja itu aku tidak banyak berbuat apa-apa dan diatas meja itu ada dua proposal skripsi untuk penelitian yang segera saja kutanda tangani tanpa sempat lagi aku baca. Sungguh hari ini penuh dengan gundah penuh dengan resah penuh dengan gelisah penuh dengan sesuatu yang tidak jelas sehingga aku sempat bertanya tanya dimana gerangan keikhlasan yang selama ini ada seakan sirna beberapa saat. Segera tersadar dari kegundahan dan keresahan, kubuka buku harianku untuk aku catatkan sesuatu yang terjadi hari ini. Kututup hari itu dengan kalimat pendek disudut kanan buku harianku. Pagi itu aku terburu buru menuju stasiun Gubeng Surabaya Kota karena aku berjanji mau menjemput Kinanti. Sekarang hari Kamis 25 Februari Kinanti selama dua hari ini berada di Kampusku untuk mengikuti Workshop tentang tanaman obat. Memang begitu cepat hari berlalu dan dua hari lagi dari hari ini Listya akan melangsungkan pernikahannya. Pagi itu kesibukan Stasiun Kereta Api Gubeng semakin ramai karena keberangkatan beberapa Kereta Api diantaranya Argo Wilis menuju ke Bandung, Sancaka pagi menuju Yogyakarta dan Penataran ke Blitar. Selain itu keramaian dan kesibukan di sana juga karena banyak para penjemput masih menunggu kedatangan KA Turangga dari Bandung dan Bima dari Jakarta. Terdengar pengumuman bahwa pada jalur 6 KA Bima dari Jakarta akan segera masuk. Aku masih duduk di teras jalur 6 sementara beberapa penjemput mulai berdiri menunggu kedatangan KA Bima. Menurut jadwal setelah Bima ini adalah Turangga dari Bandung. Tiba-tiba suara hp ku berdering. Ternyata Kinanti. “Alan apakah sekarang sudah di stasiun?”, tanya Kinanti. “Ya Kinan aku menunggumu sebentar lagi keretamu tiba di Gubeng!”, kataku. “Okey Al terima kasih!”, kata Kinanti. Beberapa saat kemudian akhirnya Turangga berhenti di jalur 6 untuk menurunkan para penumpangnya. Dari jauh aku melihat Kinanti sosok yang aku kenal. Aku melambaikan tanganku. Kinanti langsung melihat lambaian tanganku. “Assalaamu alaikum Profesor Alan!”, sapa Kinanti. “Wa alaikum salaam....ha ha ha mulai bercanda!”, kataku. Kami tertawa kemudian bergegas menuju tempat dimana mobilku di parkir. Kinanti minta diantar ke rumah pamannya yaitu adik kandung ibunya di kawasan jalan Sulawesi. Kamipun menuju ke sana. Selama di Surabaya Kinan akan menginap disana. Setelah Kinanti mandi, ganti baju dan sarapan akhirnya kami kembali menuju Kampus dimana Workshop diselenggarakan. Aku sendiri tidak mengikuti acara itu namun berjanji sorenya aku akan menjemput Kinanti. Hari itu agenda kerjaku sangat padat sekali. Sorenya setelah mengisi kuliah aku segera bergegas menuju tempat Workshop dan disana kulihat Kinanti sudah menungguku. “Bagaimana Kinan acara workshopnya?”, tanyaku. “Cukup menarik tapi aku ngantuk sekali soalnya semalaman di Turangga tidak bisa tidur. Oh ya Alan untuk kembali ke Bandung aku sudah dapat tiket Lion Air aku mohon kau mau antar aku ke Bandara Juanda!”, kata Kinanti. “Dengan senang hati Bu Kinan, hamba siap mengantar kemana saja selama di Surabaya ini he he he. Lho Kin kapan kembali ke Bandung?”, tanyaku. “Minggu pagi pukul 9.00 sudah harus check in di Juanda...!”, jawab Kinanti. Sore itu kami segera meninggalkan Kampus. Kuantar terlebih dulu Kinanti menuju jalan Sulawesi dimana ia menginap selama di Surabaya. “Malam ini sebenarnya aku ingin mengajakmu makan malam tapi kamu pasti masih lelah butuh balas dendam untuk tidur ya Kin!”,kataku sambil tertawa. “Besok malam saja Al !”, kata Kinanti. “Okey...aku cabut dulu ya...Assalaamu alaikum!”, kataku berpamitan. Esok malamnya kami berada di sebuah Rumah Makan di Kompleks Manyar Megah Indah dengan menu ikan mas bakar kesukaannya Kinanti. Aku sengaja memang mengajak Kinanti untuk bersantap ikan bakar. Makan malam yang benar-benar santai sambil berbincang masa-masa SMA yang tidak pernah bosan-bosannya. Perbincanganpun akhirnya sampai juga pada topik Diana Faria dan Daisy Listya. Kisah yang sekarang sedang aku alami di Surabaya ini. “Kisah yang mengharukan Alan. Aku memang tidak kenal Diana Faria maupun Daisy Listya tapi aku bisa merasakan dua wanita ini sangat istimewa dihatimu. Wanita-wanita yang penuh dengan pesona !”, kata Kinanti. “Ya Kinan dan besok Sabtu 27 Februari Listya akan melangsungkan pernikahannya. Aku hanya bisa berdoa untuk kebahagiaan Listya. Aku benar-benar harus mencoba tetap tegar..!”, kataku dengan perasaan tak menentu. “Alan, Allah itu sebaik-baik perencana dan Dia juga Maha Mengetahui apa-apa dan siapa yang terbaik bagimu !”, suara Kinanti mengingatkanku. “Ya Kinan terima kasih. Aku sangat yakin itu karena rasanya tidak mungkin Allah mendatangkan Listya padaku jika Dia tidak memiliki rencana yang baik untukku. Aku selalu yakin dengan Allah hanya saja begitu sulitnya untuk memahami rahasiaNya. Hanya melalui petunjukNya kita mampu memahami segala keputusanNya !” kataku. “Betul Al dan manusia tidak pernah berhak untuk memutuskan. Kita hanya pelaku kehidupan yang dikendalikan oleh yang Maha Punya kehidupan!”, kata Kinanti. “Subhanullah. Bersyukurlah kita yang tetap selalu ingat kepadaNya..!”,kataku. Sungguh hanya hamba-hambaNya yang mendapat hidayah yang selalu ingat kepadaNya disaat suka maupun duka. Ya ALLAH hanya Engkaulah yang bisa memberikan ketabahan kepadaku. Aku benar-benar tidak berdaya menghadapi ujian ini tanpa pertolonganMu. Aku hanya pasrah kepadaMU. Aku menyerahkan semua daya dan upayaku hanya padaMU. “Alan aku ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan Daisy Listya. Gadis ini adalah pilihanmu dan aku yakin Listya adalah seorang gadis yang istimewa !”, suara Kinanti mengagetkanku dari lamunanku. Kinanti ingin sekali kenal dengan Listya?. Ya memang Listya bukan gadis sembarangan. Listya mempunyai kedudukan yang sangat istimewa dalam hatiku. “Kalau begitu besok kau mau menemaniku datang ke Resepsi pernikahan Daisy Listya. Kinan kembali ke Bandung baru hari Minggu kan?”, kataku memberi usul untuk menemaniku pergi ke Resepsi Pernikahan Listya. Kinanti setuju atas usul yang kuberikan. Rupanya Kinanti penasaran dengan ceritaku tentang Daisy Listya. Sabtu pagi 27 Februari kami menuju kota Malang untuk menghadiri pernikahan Daisy Listya. Alhamdulillah perjalanan cukup lancar sampai di kota Malang walaupun kemacetan kawasan Porong dan Singosari masih juga seperti hari-hari sebelumnya. Kami menuju Gedung Al-Hikam di jalan Kalpataru ke arah Cengger ayam, tempat dimana resepsi pernikahan Listya berlangsung. Gedung yang tidak terlalu besar ini sudah dipenuhi para undangan untuk mengucapkan selamat kepada mempelai berdua. Dari jauh kulihat Listya dengan ramah menyambut para undangan yang menyampaikan ucapan selamat mereka. Listya sangat cantik sekali dengan pakaian pengantinnya. Tidak bosan-bosannya aku memandang gadis idamanku ini yang sekarang sudah menjadi istri orang lain. Setelah ikut antrian yang panjang, kini tibalah saatnya giliranku menyampaikan ucapan selamat kepada Listya. Ya kini didepanku adalah Listya istrinya Rizal, suami yang berdiri disampingnya. “Pak Alan!”, Listya menyapaku lebih dulu sambil menatapku tajam. Oh Tuhan ini adalah tatapan Diana Faria. Ya di depan gadis ini aku seperti melihat Diana Faria. Aku dapat merasakan cinta pada tatapan mata Listya seperti cintanya Diana Faria. Sejenak aku terdiam sambil menatap Listya. Berilah aku kekuatan ya Allah. “Listya selamat !”, kataku perlahan hampir tak terdengar. Hampir saja aku lupa memperkenalkan Kinanti karena aku tidak dapat meredam perasaanku. “Oh ya Listya, ini Bu Kinanti....!”, kataku sambil memperkenalkan Kinanti padanya. Listya malah kembali menatapku penuh arti. “Bu terima kasih !”, suara Listya sambil tersenyum ramah menyambut uluran tangan Kinanti. Aku melihat bagaimana tatapan Listya ketika kuperkenalkan Kinanti. Tatapan yang seolah mengatakan : “Pak Alan inikah wanita itu?”. Listya seolah ingin mengatakan itu. Ya Allah hanya Engkau yang Maha Pemberi Petunjuk. Aku akan tetap berdoa untuk kebahagiaan Listya. Berikanlah aku kekuatan ya Allah untuk mencintainya hanya karena aku mencintaiMu semata. Selamat Berbahagia Bidadariku. (Bersambung)

Thursday, August 9, 2012

NovelCorner Episode 3 (3) : MASIH ADAKAH RUANG DI HATIMU

Episode 3(3) Selamat Berbahagia Bidadariku : Malam itu setelah menerima telpon dari Kinanti aku tidak bisa tidur entah apa yang kupikirkan. Di meja kecil sebelah tempat tidurku aku melihat Undangan Pernikahan Listya. Memang aku sengaja menaruhnya di sana. Listya sedang apa kau disana?. Sabtu pekan depan Listya akan melangsungkan pernikahannya. Apakah ini yang membuatku tidak bisa tidur ?. Aku selalu teringat Listya, gadis kembarannya Diana Faria. Kadang-kadang ada rasa putus asa ketika aku harus menyadari bahwa sebentar lagi Listya sudah menjadi istri orang lain namun hal itu tidak boleh terjadi. Aku harus tetap berfikir baik kepada Allah. Aku harus kenali diri ini yang ternyata hanya seonggok daging dan sebatang tulang plus segaris rambut yang semakin rapuh dan beruban. Jika ada darah mengalir dan air mata yang tumpah itu hanya sebagian kecil saja dari ketidak berdayaan diri ini. Betapa rapuh dan ringkih diri ini sudah seharusnya aku tahu diri. Allah aku bersimpuh bersimbah peluh, berlutut bertekuk takut, aku hanya membawa sepatah dua patah doa. Akhirnya malam itu aku bersujud beralas sajadah tahajudku dan membiarkan diriku tertidur dalam haribaanNya. Aku selalu ingat FirmanNya : “Karena itu ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadaMu dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu!”. Maka pada malam itu aku benar-benar menikmati ketidak berdayaanku sampai malampun menyentuh waktu subuh. Di ruang kerjaku pagi itu aku sudah menghadapi dua mahasiswa untuk konsultasi bimbingan skripsi. Satu seorang mahasiswi dan satunya seorang mahasiswa. Mereka baru saja selesai menyusun proposal penelitian revisi yang mau diajukan untuk seminar proposal Minggu depan. Aku sebenarnya tinggal tanda tangan tapi kepalaku masih terasa penat karena tadi malam tidak bisa tidur maka aku mengusir kedua mahasiswa tersebut dengan halus. “Okey proposal kalian akan saya baca dulu nanti siang kembali kesini !”, kataku dan mahasiswa tersebut berpamitan. Melihat mereka bimbingan skripsi aku teringat ketika pertama kali bertemu Listya. Waktu itu Listya bersama Amelia sahabatnya, mengajukan proposal penelitian. Aku benar-benar terperangah ketika berbincang atau mendengarkan tutur katanya. Ketika dia tersenyum atau tertawa kecil. Gadis ini sangat lembut hatinya. Aku merasakan aura kecantikan hatinya. Hatiku terasa damai tentram karena mendengar tutur kata lembut gadis ini begitu mempesona. Kesan pertamaku tentang Listya selalu terpatri dalam hatiku. “Pak Alan bagaimana kalau metode spektrofotometri saja yang digunakan?”, tanya Listya suatu hari ketika kami berdiskusi tentang metode analisis instrumen yang akan dipakai dalam skripsinya. “Ya Listya bisa dengan spektrofotometri tapi jauh lebih selektif jika menggunakan HPLC!”, kataku menjelaskan. “Baik pak memang HPLC lebih akurat pemisahannya untuk komponen-komponen penting ini. Tapi pak saya belum begitu familiar dengan alat HPLC karena dulu praktikumnya berkelompok!”, kata Listya ragu. “Jangan kuatir Lis nanti bisa kursus kilat sama Profesor Alan Erlangga..!”, kataku bercanda sambil tertawa. Listyapun tertawa. Oh begitu manisnya dia tertawa. Sebaris gigi-giginya jauh lebih rapi dari model iklan pasta gigi apapun di Televisi. Dialog-dialog ringan ditengah-tengah diskusi tentang skripsi yang serius membuat kami begitu akrab. Gadis ini kecerdasannya tidak diragukan lagi. Kursus kilat HPLC benar-benar kursus kilat betulan, karena cukup hanya satu hari Listya sudah mampu menguasai alat canggih itu. “Lis sekarang saya sudah lega melepasmu untuk bercengkrama dengan HPLC ini jangan kuatir berteman dengan alat ini sangat menyenangkan pokoknya bisa lupa waktu!. Bagiku HPLC sudah seperti istri keduaku”, kataku kembali berseloroh ketika saat itu aku memberikan kursus kilat HPLC. “Lho Pak lalu istri pertamanya kok belum pernah dikenalkan kepada saya!?”, kata Listya juga bercanda karena Listya memang tahu aku belum beristri. “Lis jangan begitu ah. Istri pertamanya masih entah dimana mungkin cewek-cewek tidak ada yang berminat menjadi istriku maka kalau begitu berarti HPLC adalah istri pertamaku...!”, kataku sambil tertawa. Kami bersenda gurau ditengah-tengah keseriusan menganalisis sampel-sampel penelitiannya Listya. Aku juga teringat ketika kami berbincang mengenai hoby. “Membaca buku adalah hoby saya. Buku-buku ilmu pengetahuan atau novel!”, jawab Listya ketika aku bertanya tentang hobinya. “Buku apa yang paling berkesan yang pernah kau baca Lis?”, tanyaku. “Buku buku karya Al-Ghazali sangat bagus untuk menjadi renungan. Kalau buku ilmu pengetahuan yang ada hubungannya dengan kimia farmasi!”, kata Listya. “Kalau Novel?”, tanyaku. “Novel yang bersifat religi lebih aku sukai. Oh ya Pak, saya juga ingin mencoba bikin novel. Nanti kalau sudah jadi Bapak mau baca ya...!”, kata Listya. “Wah bagus Lis..aku tunggu novelmu tapi sekarang selesaikan dulu saja skripsimu..!”, kataku mengingatkan. “Okey beres Pak Profesor!”, jawab Listya sambil tertawa. Ternyata Listya memang sedang menulis novel. Aku mengetahui hal ini ketika draft terakhir skripsinya diserahkan padaku. “Pak rasanya lega sekarang skripsi akhirnya ditandatangani Bapak dan saya siap untuk ujian sidang skripsi. Setelah itu saya mau melanjutkan menulis novel saya...!”, kata Listya tersenyum. Aku menyukai senyumnya karena begitu mirip senyum Diana Faria. “Lis novelnya sudah berapa halaman dan judulnya apa?”, tanyaku. “Episode pertama baru saja saya selesaikan tadi malam. Oh ya judulnya adalah “Masih adakah ruang di hatimu”....bagus ya pak?”, tanya Listya meminta pendapatku. “Masih adakah ruang dihatimu. Judul yang membuat penasaran pembacanya. Lis kok kamu pintar memilih judul?”, aku mengomentari judul novel itu. Listya hanya tertawa kecil. “Rupanya calon sarjana Farmasi juga berbakat menjadi seorang novelis. Berikan dong bocoran sinopsis ceritanya !”, kataku penasaran. “Jangan dulu dong, nanti Bapak tidak penasaran lagi...!”, kata gadis itu. Masa-masa gembira bersama Listya yang mungkin tak akan pernah terulang lagi. Mengingat ingat saat itu ada rasa bahagia namun kembali aku harus realistis karena Minggu depan Listya sudah menjadi istri Rizal Anugerah. Ya Allah aku berdoa semoga mereka bahagia menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah warohmaah. Entah seperti apa perasaanku saat ini. Namun aku tidak boleh mengotori ketulusan hati ini dengan hal-hal yang akan merusak jalan untuk datangnya Ridho ALLAH padaku. Saat ini aku seolah merasakan getaran hati Listya ketika aku ingat bagaimana tatapan matanya memandangku sambil berkata : “Sungguh saya sangat terharu kalau ingat cerita Mbak Diana Faria. Bapak harus mulai mendapatkan teman hidup yang menjadi cahaya mata hati bapak sehingga bapak merasa tentram kepadanya. Saya akan bahagia jika bapak segera menemukan gadis tersebut…!”. Suara Listya masih terngiang ditelingaku. Gadis itu berdoa untukku dengan tulus. Aku seperti mampu membaca sesuatu dalam tatapan matanya. Tatapan mata yang pernah aku kenal dalam suatu masa. Tatapan mata ketulusan penuh dengan kasih sayang yang pernah aku dapati dari Diana Faria. Benarkah Daisy Listya?. Jawabannya hanya dia yang tahu. (BERSAMBUNG)

Monday, July 30, 2012

NovelCorner : Episode 3 (2) MASIH ADAKAH RUANG DI HATIMU

Selamat Berbahagia Bidadariku (2). Mendengar ini aku teringat Listya. Kata-kata Listya yang tidak pernah aku lupakan karena kata-kata itu yang telah membuat aku tersadar. Andai kata-kata tersebut bukan Listya yang mengucapkan, apakah hatiku akan tergugah?. Ya hanya Allah yang dapat membuka hati seseorang hanya kebetulan hal itu terjadi melalui Listya. “Hai Al...kok malah melamun. Oh ya aku sekarang tinggal sama Bapak dan Ibu di Arca Manik. Aku sengaja menemani mereka karena aku kan anak satu-satunya. Kamu masih ingatkan rumahku?”, kata Kinanti. . “Ya tentu dong mana mungkin lupa rumahmu dulu kan markas grup kita!”, kataku. Waktu SMA dulu rumah Kinanti biasa digunakan untuk kumpul dengan sahabat-sahabat. Indra, Erika, Aini dan aku kerap juga belajar bersama di rumah Kinanti. “Oh Alan bagaimana khabar Indra Susanto? Apakah dia jadi menikah dengan Erika?”, tanya Kinanti. “Kinan ternyata waktu begitu cepat berubah. Inilah kehidupan. Erika dijodohkan orang tuanya dengan orang lain. Indra bukan jodohnya Erika. Ternyata jodohnya Indra adalah Aini....!”, kataku. Kinanti terperangah tidak percaya. “Mereka bertiga bersahabat hanya karena Allah. Erika dan Aini dua sahabat seperti saudara kandung. Ketika Indra dan Aini menikah Erikapun hadir merestui pernikahan itu. Betapa indah hidup ini jika cinta hanya berdasarkan cinta ALLAH!”, kataku menjelaskan. Sekarang kulihat Kinanti termenung. “Ya betul Alan. Aku kenal Aini dan Erika dua gadis cantik terhormat, pandai dan cerdas serta berhati mulia. Sekarang aku juga semakin yakin bahwa Allah itu sebaik-baik perencana oleh karena itu mari kita sikapi setiap ujian Allah dengan hati yang lapang...!”, kata Kinanti. Kulihat diwajahnya ada rasa muram dan kesedihan yang dalam. Mungkin Kinanti teringat mendiang suaminya. Sementara aku juga hanyut dengan kata-kata Kinanti yang terakhir ini karena tiba-tiba saja aku teringat Listya yang sebentar lagi akan melangsungkan pernikahannya. Allah itu sebaik-baik perencana oleh karena itu mari kita sikapi setiap ujian Allah dengan hati yang lapang. Sebuah rangkaian kalimat yang perlu direnungkan dalam dalam. Kota Bandung kota kelahiranku kembali menorehkan kenangan ketika aku harus bertemu lagi dengan Kinanti. Teringat masa SMA dulu betapa aku suka gonta ganti pacar dan waktu itu Kinanti adalah salah satu gadis yang tidak mampu aku tundukkan. Kinanti adalah gadis yang selalu mengingatkanku untuk tidak bermain-main dengan cinta. Cinta itu sangat luhur dan terhormat jangan dikotori dengan nafsu. Aku masih ingat kata-katanya. Kinanti adalah gadis terhormat berwibawa seperti Erika dan Aini yang mampu menjaga harga dirinya dengan amanah. Mereka adalah gadis-gadis cantik lahir batin waktu itu dan kalau sekarang, mereka adalah wanita-wanita cantik lahir batin. Teringat masa lalu ketika aku sering mempermainkan cinta dan ketika akhirnya cinta itu berlabuh di hati seorang Diana Faria. Betapa kami saling mencintai dengan tulus. Betapa kami punya rencana hidup bersama untuk mengabdi kepadaNya. Namun apa boleh dikata ternyata cinta sejati itu harus diambil oleh yang Maha Memiliki. Memang Dia adalah Pemilik cinta itu. Barangkali inilah mungkin balasan yang setimpal yang harus diterima oleh seorang Alan Erlangga, Si Playboy kurang ajar yang telah banyak menyakiti hati wanita. Bertemu dengan Kinanti seakan masa-masa SMA dulu kembali terbayang. Aku harus banyak istighfar memohon ampun padaMU ya Allah. Mungkin juga ketika aku mengharapkan cintaku berlabuh di hati seorang Daisy Listya ternyata Allah menentukan lain. Listya akan menikah dengan laki-laki lain. Ampunilah diri hamba ya Allah karena kepada siapa lagi aku memohon ampunan selain kepadaMu yang Maha Pengampun. Berikan pula padaku keikhlasan untuk selalu menerima setiap ujianMu dengan lapang dada. Aku mencintai Listya karena itu aku akan bahagia melihat Listya bahagia. Aku mencintainya hanya karena aku mencintaiMu. Mencintai tidak harus memiliki. Aku memang tidak pernah punya apapun yang harus kumiliki. Sejak pertemuan pada simposium itu, aku dan Kinanti sering berhubungan walau hanya melalui hand phone. Hampir setiap hari selalu saja ada sms dari Kinanti bahkan malamnya kadang-kadang Kinanti menelpon hanya untuk sekedar ngobrol dan tertawa-tawa mengenang masa SMA dulu. Seperti pada malam itu Kinanti menelpon menceritakan kebahagiaan bersama suaminya dan sering kali dia merasa rindu bertemu mendiang suaminya. Jika sudah demikian maka Kinanti bercerita sambil terisak. “Kinan sabar dan ikhlas adalah jalan terbaik untukmu!”, kataku menghibur. “Ya terima kasih Alan. Aku bertemu denganmu waktu itu merasa seperti bertemu dengan malaikat. Selama ini aku tidak bisa bercerita seperti ini. Al mudah-mudahan kamu tidak bosan mendengar cerita-ceritaku ini!”, kata Kinanti. “Ya Kin dengan senang hati aku setia mendengarkan cerita-ceritamu..!”, kataku membesarkan hatinya. Kinanti pada usia yang sama denganku ternyata masih memiliki kecantikan yang alami. Wanita berdarah sunda tulen berkulit kuning langsat ini pesonanya masih menebar. Kinanti. Kinanti. Kinanti Puspitasari. Aku juga merasa heran mengapa Kinanti belum menikah lagi. Rasanya tidak percaya jika tidak ada laki-laki yang berusaha mendekatinya.(BERSAMBUNG)

Thursday, June 7, 2012

NovelCorner : Episode 3 (1) MASIH ADAKAH RUANG DI HATIMU

SELAMAT BERBAHAGIA BIDADARIKU (1) Simposium Farmakologi di ITB berlangsung di Aula Barat dengan peserta yang cukup lumayan banyak. Pada siang itu sehabis rehat aku baru saja selesai menyampaikan presentasi makalahku. Dalam acara diskusi yang cukup hangat, banyak pertanyaan dan pendapat teman-teman sejawat yang menanggapi makalahku. Mereka hampir sebagian besar adalah teman-teman dosen yang sudah aku kenal. Ketika ada seorang peserta wanita bertanya aku memperhatikan dia seperti bukan teman-teman dosen yang selama ini aku kenal. Tapi nanti dulu ketika kusimak bagaimana caranya dia bicara, warna suaranya dan profil wajahnya terutama ketika kuperhatikan matanya yang bagus itu sepertinya aku pernah mengenalnya. Lalu ketika dia menutup pertanyaannya dengan senyum, aku seakan-akan masih ingat senyum itu. Oh benarkah dia?. Maka pada acara rehat sore itu aku berusaha mencari wanita tersebut. Akhirnya diantara kerumunan para peserta yang sedang rehat, aku melihat wanita itu berdiri di dekat pintu keluar. Sejenak kuperhatikan wanita itu. Oh Tuhan semakin aku perhatikan maka semakin aku mengenalnya. Ternyata aku yakin sekarang, dia adalah Kinanti Puspitasari sahabatku sewaktu SMA dulu. Aku agak pangling karena sekarang Kinanti mengenakan jilbab, tapi justru Kinanti semakin cantik dan anggun walaupun memang awalnya dia sudah cantik dan anggun. Segera saja aku bergegas menghampirinya. “Apakah betul penglihatan saya kalau ibu bernama Kinanti Puspitasari ?”, aku sengaja menyapanya dengan nama lengkapnya. “Alan!... syukurlah ternyata kamu masih ingat aku...lucu juga kamu panggil aku ibu!”, katanya tersenyum. Kinanti memang cantik dan anggun dan dulu aku sangat mengaguminya. “Kejutan bisa bertemu Kinanti Puspitasari di kota Bandung ini..!”, kataku sambil tertawa. “Alan padahal Minggu depan aku mau ke Surabaya ke Kampusmu tapi ternyata takdir mempertemukan denganmu lebih cepat. Aku sebelumnya tidak tahu kamu Dosen di sana. Tentu kalau ketemu disana bisa lebih lucu lagi..!”, kata Kinanti tertawa renyah. “Oh ya Kinan rencana ke Surabaya tanggal berapa? Biar aku atur jadwalku sehingga aku bisa menemanimu selama di Surabaya...!”, tanyaku. “Hari Kamis 25 Februari. Wah Alan mau menemaniku selama di Surabaya asyiiik dong....!”, kata Kinanti. Akhirnya kami berbincang akrab maklum sudah 25 tahun tidak bertemu ya sejak lulus SMA Kinanti sebagai anak tunggal ikut orang tuanya ke Malaysia karena ayahnya ditugaskan menjadi staf Kedubes di sana. Kinanti melanjutkan kuliah di Malaysia sampai dengan S3. Saat ini bekerja sebagai tenaga dosen ITB. Kinanti sewaktu SMA memang termasuk siswa yang cerdas. Saat itu tiga gadis cantik yang otaknya cemerlang adalah Erika, Aini dan Kinanti. Tidak ada yang bisa menyaingi mereka bertiga. Paling-paling aku dan Indra baru pada urutan berikutnya. Ternyata di Bandung ini aku bertemu teman lama dan bercerita banyak tentang masa-masa yang sudah lewat. Masa remaja SMA yang penuh dengan nostalgia. “Kinan kamu sekarang pakai jilbab tapi aku tidak pernah lupa sama suaramu, mata dan senyummu...mangkanya tadi waktu kamu bertanya dalam presentasiku aku seperti mengenal ibu ini ha ha ha!”, kataku bercanda. Kinanti hanya tertawa renyah. “Alan jangan berlebihan ah..tapi Al kamu juga tidak banyak berubah dari dulu tetap ganteng. Tentunya sekarang cintamu sudah kau berikan kepada seorang wanita saja...dulu waktu SMA cewekmu kan banyak cuma aku yang tidak jadi korbanmu ha ha ha ha..!”, kata Kinanti. Aku tertawa mendengar apa yang dia katakan. “Kinan zaman SMA dulu hanya tinggal nostalgia jangan kuatir sekarang Alan sudah menjadi orang yang hanya punya satu wanita...tapi poligami kan dibolehkan oleh agama !”, kataku. Kami kembali tertawa dan tidak memperpanjang pembicaraan apalagi diskusi tentang poligami wah bisa berdebat dengan Kinanti satu hari sendiri. “Al aku sekarang sudah punya anak satu, seorang gadis masih kelas 3 SMA tapi ayahnya sudah meninggal. Ngomong-ngomong kamu jadinya sama siapa?. Arinta, Rina, Jesica, Eva, Dian, Linda, Ana...ha ha ha cewek-cewekmu masih ada dalam daftarku. Buntutmu sudah berapa?. Dulu pernah bilang mau bikin anak yang banyak!”, kembali suara Kinanti bercanda. Kembali aku tertawa ketika Kinanti menyebut nama-nama gadis yang pernah menjadi pacarku. Ah masa-masa SMA yang penuh dengan keindahan. Namun aku lebih terkejut ketika Kinan mengatakan suaminya sudah meninggal. “Oh Kinan, aku turut berduka cita ya. Kapan suamimu meninggal?”, tanyaku. “Terima kasih Al. Suamiku meninggal 3 tahun yang lalu karena terkena kanker pencernaan. Mungkin itu yang terbaik untuknya untukku dan anakku harus menerima dengan ikhlas keputusunNya. Oh ya kamu belum jawab pertanyaanku?”, kata Kinanti membelokkan arah pembicaraan. “Pertanyaan yang mana?!”, tanyaku pura-pura lupa. “Anakmu berapa?”, tanya Kinanti. “Aku belum menikah he he he!”, kataku mantap. “Apa? ! Tidak dapat aku percayai playboy sepertimu tidak bisa memilih satu wanitapun untuk menjadi seorang istri. Kamu jangan bercanda Alan..!”, kata Kinanti seolah tidak percaya. Aku tertawa terkekeh terutama mendengar kata playboy yang sudah lama kata tersebut tidak pernah terdengar. “Awas ya Kinan sekali lagi bilang aku playboy. Aku memang belum menikah dan ceritanya panjang.... yang jelas calon istriku meninggal seminggu sebelum hari pernikahan kami !”, kataku. “Oh Alan maafkan aku. Sungguh aku tidak tahu. Turut berduka ya Al. Kapan itu terjadi?”, tanya Kinanti. “Dua puluh tahun yang lalu. Calon istriku adalah teman kuliahku. Okeylah tapi sekarang aku juga sudah ikhlas seperti kamu mengikhlaskan suamimu...!”,kataku. “Ya Al ternyata kita ini tidak pernah punya apa-apa dan seharusnya tidak pernah kehilangan apapun. Kita sendiri saja bukan milik kita..!”,kata Kinanti. (BERSAMBUNG)

Friday, June 1, 2012

NovelCorner MASIH ADAKAH RUANG DI HATIMU Episode 2

Ada Cinta Di Ruang Hampa (4) Mendengar ini terus terang aku jadi sadar betapa jauh usia antara aku dan Listya. Aku berusia 45 tahun sedangkan sekarang Listya baru 21 tahun selisih 24 tahun. Namun aku tidak tahu sebenarnya cinta itu bukan soal usia tapi soal perasaan. Aku melihat Litya adalah sosok dewasa yang sangat berkepribadian lengkap. Listya adalah wanita idealku. Listya walaupun seperti titisan Diana Faria tapi Listya adalah Listya. Gadis ini sudah menjadi dirinya sendiri. Terlalu banyak persamaan antara Daisy Listya dan Diana Faria namun aku harus realistis Listya adalah Listya. Dalam kekalutan seperti ini bagaimanapun aku merasakan kebahagiaan karena telah menerima telpon Listya padahal selama ini setiap aku menelpon dia tidak pernah hp nya diangkat walaupun aku tahu hp nya aktif. Aku tidak mengerti mengapa Listya seperti selalu menghindar dariku. Namun beberapa waktu yang lalu malah Listya ingin bertemu denganku. Rasanya banyak sekali pertanyaan tentang Listya yang sangat aku butuhkan jawabannya. Siapakah orang yang dia kagumi seperti yang diceritakan Amelia?. Apakah memang benar Listya tidak mencintai Rizal?. Jika benar, mengapa dia mau menikah dengan Rizal?. Apakah pernikahan mereka hanya atas dasar hutang budi keluarga Listya kepada keluarga Rizal?. Semua pertanyaan tersebut belum ada satupun jawabannya. Kemana aku harus mencari jawabannya?. Entahlah. Senin pagi bagi para pegawai adalah hari paling malas. Ada ungkapan terkenal yang berbunyi “I don’t like Monday”. Ungkapan itu ternyata bagiku saat ini tidak berlaku walaupun aku juga adalah pegawai negeri. Senin pagi itu aku begitu bersemangat menuju Kampus untuk bekerja. I like Monday he he he melawan arus. Aku tidak tahu Senin pagi ini aku begitu segar dan bersemangat. Apakah mungkin karena sudah menerima telpon dari Listya?. Ha ha ha mungkin juga. Tidak akan pernah habis aku membicarakan Listya karena dia adalah gadis yang telah membangunkanku dari tidur panjang. Seperti biasa pagi itu mobil ku parkir ditempat parkir Fakultas. Di ruang kerjaku yang pertama kulakukan adalah menyalakan komputer. Lalu aku buka agenda hari ini. Pk.8.00 : Mengisi kuliah semester 6. Pk 10.00 : Rapat akreditasi laboratorium. Pk 13.00 : Mengisi kuliah semester 8. Pk 15.00 : free. Agenda cukup padat tapi aku hari Senin ini begitu semangat. Aneh. Kegiatan berikutnya membuka email. Wow ada email dari Indra Susanto, sahabatku sewaktu kami kuliah di Bogor. Rupanya dia mau ke Surabaya untuk menghadiri Seminar Nasional Kimia di ITS 25 Januari ini. Hai nanti dulu 25 Januari itu kan hari ini. Wah Si Indra ada di Surabaya. Aku mencari nomornya di HP ku lalu kutelpon. “Hallo…Alan …Assalaamu alaikum Profesor?”, suara Indra lantang. “Wa alaikum salaam. Indra sudah di Surabaya di ITS?. Pagi ini aku baru saja buka emailmu…andaikata tidak aku tidak tahu jika kamu ada di Surabaya…Sudah mulai seminarnya?”, tanyaku. “Ya ini masih Sidang Pleno. Aku pagi ini baru tiba…!”, kata Indra. “Sebaiknya nanti menginap di tempatku saja. Sore nanti aku jemput. Bagaimana khabar istri tercinta, Aini?”, tanyaku. “Alhamdulillah baik-baik terimakasih. Aini kirim salam untukmu. Kapan kamu kawin katanya he he he!”, kata Indra. “Ha ha ha tahun ini insya Allah!”, kataku mantap. “Serius Al?”, Tanya Indra penasaran “Lho ya serius atuh…kumaha..si Akang teh….aku serius tahun ini insya Allah..he he he!”, kataku kembali menjawab sambil terkekeh kekeh. “Bagaimana bisa serius bung…jawabannya saja tidak meyakinkan…!”, kata Indra. Mendengar ini aku tertawa. Akhirnya kami sepakat sore nanti aku menjemput Indra di ITS untuk menginap di rumahku. Seminar Nasional Kimia di ITS berlangsung dua hari. Sore itu didepan loby Auditorium Perpustakaan Pusat ITS dimana seminar tersebut berlangsung, aku menunggu kemunculan Indra Susanto. Tidak begitu lama Seminar sore itu usai sudah dan para peserta segera meninggalkan ruangan. Diantara orang-orang berhamburan keluar ruangan aku melihat sosok yang sudah tidak asing lagi. “Indra !”, sapaku. Kami saling berpelukan dengan rasa gembira. “Al kau tidak banyak berubah tetap saja ganteng dan awet muda..pasti di Kampusmu banyak digila-gilai mahasiswi. Mereka suka sama Dosen ganteng..!”, kata Indra. Aku tertawa mendengar omongan Indra. “Iya memang mahasiswi-mahasiswi itu menggila-gilai aku. Gila… Gila Gila begitu kata mereka ha ha ha ha!”, kami tertawa. Kami meninggalkan ITS mulai meluncur menusuri jalan Kertajaya menuju arah Darmo-Dr Sutomo-Mayjen Sungkono-Tol dalam Kota dan keluar di Menanggal akses Mesjid Al-Akbar. Rute rutin setiap hari. “Wah Al ini rumah tinggal diisi nyonya rumahnya saja…semua sudah lengkap!”,kata Indra sambil mengamati beberapa lukisan karyaku. “Masih melukis Al?. Dua lukisan dipojok itu aku sudah tahu sewaktu dulu di Bogor sedangkan yang ini rupanya baru!”, sambil mengamati sebuah lukisan cat minyak yang menggambarkan nelayan pantai Kenjeran di senja hari. Lukisan ini aku buat di pantai Kenjeran dalam suasana senja dengan warna orange dominan menjelang Matahari tenggelam. Malam itu setelah makan malam kami duduk sambil berbincang tentang masa lalu di beranda depan. “Al kenalkan dong calon istrimu. Tadi kamu bilang mau nikah tahun ini?”,kata Indra. “Ya tadi aku bercanda. Memang aku sekarang sudah menemukan seorang gadis pengganti Diana Faria !”, kataku. “Alan sampai kapan kamu selalu terbelenggu masa lalumu bersama Diana Faria?. Saatnya kini mulai membuka diri. Lihat disekelilingmu banyak wanita cantik!”,kata Indra. “Dengar dulu jangan potong ceritaku!”, kataku. “Okey siapa nama calon istrimu?”, Tanya Indra. “Daisy Listya!”, kataku mantap tanpa ragu. Sebenarnya aku hanya bermaksud bercerita hal yang saat ini terjadi tapi yang jelas saat ini Listya bukan calon istriku tapi calon istrinya Rizal. “Wah nama yang cantik. Aku yakin orangnya juga cantik. Jangan-jangan Diana Faria kalah cantik!”, Indra mulai berkomentar. “Listya, aku memanggilnya…..dia adalah gadis cantik sangat berkepribadian. Seorang muslimah yang taat pada ajaran Allah. Gadis berjilbab yang ramah tutur kata dan kaya dengan senyum. Usianya baru 21 tahun dan baru saja di wisuda Sarjana Farmasi…!”. “Hah usianya 21 tahun…Alan gadis itu seusia Ratu Aulia, anak gadisku yang bungsu!”, kata Indra terkejut. “Bulan depan dia menikah dengan calon suaminya!”,kataku. Indra tambah terkejut lagi lalu menjabat tanganku sambil mengucapkan selamat. “Tapi bukan menikah denganku!”, kataku. Mendengar penjelasan ini Indra bukan lagi terkejut malah tertawa terbahak-bahak. Kucoba menjelaskan serinci mungkin kisahku dengan Listya. Indra menyimak dengan baik kisah cintaku. “Alan, ini mirip kisah Indra Susanto dan Aini Mardiyah….!”,kata Indra mengingatkan kisah cintanya dengan Aini yang sekarang sudah menjadi istrinya. “Ya mudah-mudahan seperti itu karena kisah cintamu berakhir bahagia!”, kataku berharap. “Alhamdulillah Alan semua kulalui dengan ridho Allah dan aku yakin semua yang Allah kehendaki tidak ada yang mampu mencegah kehendakNya. Mudah-mudahan kisah antara Alan Erlangga dan Daisy Listya berakhir bahagia…!”, kata Indra berfilsofi. Aku hanya tersenyum kecut. Bulan depan Listya mau menikah mana mungkin. Ya mana mungkin. Namun bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin. Untuk saat ini lebih baik aku berdoa untuk kebahagiaan Daisy Listya. Mencintai tidak harus memiliki. Indra adalah sahabatku sewaktu sama-sama SMA dan kuliah S1 di Bogor. Indra adalah sahabat seperjuangan. Banyak ceritaku bersamanya dan banyak pula ceritanya bersamaku. Kami seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan bahkan sampai sekarang. Persahabatan yang tulus penuh dengan pengertian dan saling mengisi. Kami bersahabat dengan berharap kepada cinta Allah semata. Demikianlah malam itu kami mengobrol sampai larut malam hingga dini hari tidak terasa malam yang kami lalui begitu cepat berlalu. Dua hari bertemu dengan sahabatku membawa rasa semangat perjuangan masa lalu seperti terasa saat ini. Ada kata-kata Indra yang menjadi pendorong semangatku yaitu semua yang Allah kehendaki tidak ada yang mampu mencegah kehendakNya. Mudah-mudahan kisah antara Alan Erlangga dan Daisy Listya berakhir bahagia. Semoga begitu. Diujung bulan Januari ini hujan di kota Surabaya masih tetap curahnya tinggi. Setiap sore turun hujan. Hari ini hari Rabu aku ingat Rizal operasi pengambilan batu ginjal. Sekarang sudah pk 16 lewat 5 menit. Mungkin operasinya sudah selesai. Rasanya aku ingin menelpon Listya. Ada keraguan untuk menelpon Listya. Tapi tiba-tiba saja hp ku berbunyi. Oh Listya. “Pak ini Tya…Alhamdulillah operasinya berhasil dan sekarang Mas Rizal sudah siuman….!”, suara Listya dari seberang sana dengan nada gembira. “Alhamdulillah Listya..saya ikut senang sampaikan salam saya untuk Mas Rizal..!”, kataku. “Ya ini sudah saya sampaikan. Kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Bapak..!”, suara Listya penuh haru. Berita gembira ini tentu saja membuat aku bersyukur karena berarti pernikahan Listya dengan Rizal tidak mengalami hambatan. Aku selalu berdoa untuk kebahagiaan Listya. Dalam hati kecilku ada rasa yang tidak bisa aku ungkapkan betapa pedihnya ketika Listya menikah dengan orang lain yang bukan aku. Namun aku harus berusaha untuk tetap tegar dan tabah karena ini jangan-jangan ujian Allah berikutnya yang harus aku hadapi. Teringat FirmanNya :”Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat menjadi penolongmu sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar..!”. Hari itu semua agenda sudah selesai sementara waktu baru menjukkan pk 14.30. Bagiku masih terlalu pagi kalau aku harus pulang walaupun tidak ada kegiatan lagi. Di ruang kerjaku aku mengisi waktu luangku dengan mengisi buku harian yang selalu setia menemani keseharianku. Sementara walaupun hari masih siang ternyata mendung sudah mulai menurung langit disekitarku. Tiba-tiba aku dikejutkan suara ketukan halus di pintu. “Ya masuk!”, kataku. “Assalaamu alaikum !”, suara merdu seorang gadis yang sangat familiar ditelingaku. Oh Tuhan Daisy Listya berdiri di depan pintu yang terbuka sambil tersenyum manis. Aku memandang gadis ini tertegun sejenak terpana namun cepat tersadar. Kombinasi warna gelap jilbab dengan busana muslim warna pink membuat gadis ini terlihat anggun. Sebenarnya pakaian warna apa saja yang dikenakannya Listya tetap cantik dan menarik karena kecantikannya bisa juga dirasakan dengan hati. “Listya…wa-alaikum salaam masuk Lis silahkan duduk..!”,kataku mempersilahkan gadis cantik ini duduk. “Bagaimana kabar Listya juga Mas Rizal?”, tanyaku. “Alhamdulillah baik-baik. Mas Rizal dan Bapak kirim salam untuk Pak Alan!”, kata Listya. “Terima kasih sampaikan salam juga untuk mereka. Oh ya Listya ada kabar kejutan apa nih?”, tanyaku sambil tersenyum. Sejenak gadis ini terdiam. “Saya mengantarkan Undangan Pernikahan saya Pak. Saya sangat berharap bapak bisa hadir di pernikahan saya…!”, kata Listya dengan suara yang sangat pelan. Ada apa Listya seperti merasa sedih bukannya bahagia menghadapi hari pernikahan. Aku menerima Undangan berwarna abu-abu muda dengan tulisan berwarna biru tua. Kombinasi warna yang sejuk. Kubuka Undangan itu. Menikah Daisy Listya dan Rizal Anugerah. “Ya Listya saya akan datang Insya Allah..semoga kita diberikan Allah kesehatan dan kesempatan!”, kataku. “Iya pak terima kasih…!”, kata Listya. Awan mendung semakin tebal dan hujan akan segera turun. “Pak Alan boleh saya mau tanya?” kata Listya. “Boleh Lis mau tanya apa?”, kataku. “Saya boleh tahu orang yang telah menggugah hati pak Alan dari kebekuan selama ini seperti dulu bapak pernah cerita. Mungkin dia nanti jadi calon istri Bapak!”, kata Listya. Aku benar-benar terkejut mendengar kata-kata Listya.Aku hanya terdiam beberapa saat. Aku benar-benar tak bisa menjawab. “Listya ya betul seorang gadis telah membuat perubahan dalam hidup saya seperti dulu saya ceritakan. Namun saya yakin gadis itu tidak tahu kalau dia telah membukakan hati saya…!”, kataku. “Bapak bisa sebutkan orangnya nanti saya bantu biar dia tahu…!”, kata Listya penasaran. Aku kembali terdiam dan tak mampu berkata apa-apa. “Terima kasih Listya mau membantu saya tapi biarlah dia akan tahu dengan sendirinya. Maafkan saya ya Lis!”, kataku. “Tidak apa-apa pak Alan. Sungguh saya sangat terharu kalau ingat cerita Mbak Diana Faria. Bapak harus mulai mendapatkan teman hidup yang menjadi cahaya mata hati bapak sehingga bapak merasa tentram kepadanya. Saya akan bahagia jika bapak segera menemukan gadis tersebut…!” kata Listya, suaranya yang lembut dengan tutur kata yang memukau. Oh Tuhan didepanku ini adalah teman hidupku yang menjadi idaman selama ini. Mengapa mahluk cantik didepanku ini tidak ditakdirkan untuk menjadi istriku?. “Saya mohon pamit dulu Pak. Jangan lupa saya tunggu Undangan Pernikahan bapak !”, kata Listya. Gadis cantik ini berpamitan mengucapkan salam sambil meninggalkan keramahannya. Aku mengantar Listya sampai di ujung pintu. “Hati-hati Listya!”, kataku. Mendengar ini Listya kembali tersenyum manis. Hujan diluar sudah mulai turun membasahi tanah. Aku masih duduk memandang Undangan Pernikahan Daisy Listya. Rasanya seperti mimpi. Aku sudah menemukan gadis yang mampu menggantikan Diana Faria namun gadis ini ternyata harus menikah dengan orang lain. Apa sebenarnya yang terjadi. Aku sungguh-sungguh tidak mengerti. Aku mencoba terus memahami arti hidup ini hari demi hari. Aku harus mulai mencoba pula melupakan harapanku terhadap Listya. Biarlah dia bahagia dengan orang yang dicintainya. Aku harus mencoba menjadikan hatiku memiliki ruang yang luas sehingga bisa menerima cobaan apapun yang terjadi padaku. Harus ku akui saat ini memang ada rasa cinta disalah satu ruang hatiku yang hampa. Cinta yang sudah terlantar selama 20 tahun. Entah akan kuberikan kepada siapa lagi jika bukan kepada Daisy Listya. Entahlah. (Bersambung)

Monday, May 21, 2012

NovelCorner MASIH ADAKAH RUANG DI HATIMU Episode 2

Ada Cinta Di Ruang Hampa (3) Seperti biasa di kawasan Porong kemacetan kendaraan sudah menjadi rutin apalagi Minggu sore seperti ini banyak kendaraan dari arah Malang menuju Surabaya. “Oh maaf Pak…saya ketiduran…!”, suara Amelia membangunkanku dari lamunan. Aku tersenyum melihat Amelia seperti orang linglung. “Tidak apa apa Tuan Putri!”, kataku sambil ketawa. “Ah Pak Alan saya jadi malu…oh ya sayang sekali tadi tidak ketemu Listya.. Sebenarnya saya sudah hubungi hand phone nya tapi tidak diangkat mungkin Listya masih istirahat tidur kelelahan habis piket malam !”, kata Amelia. “Ya Mel tapi yang penting kita sudah menjenguk tunangan Listya dan kita tahu dia sudah berangsur sehat. Oh ya apakah Amel tahu kapan mereka melangsungkan pernikahannya?”, tanyaku. “Dulu Listya pernah cerita akan menikah bulan Maulud ini tapi dia juga pernah curhat sama saya Pak tentang pernikahannya ini…!”, kata Amelia. “Curhat bagaimana Mel?”, tanyaku penasaran. “Listya baru bertunangan dengan Rizal kira-kira sebulan sebelum wisuda dan saat itu sekaligus lamaran. Listya sebenarnya belum tahu apakah dia mencintai Rizal atau tidak karena yang dia lakukan adalah hanya menyenangkan kedua orang tuanya yang banyak berhutang budi kepada keluarga Mas Rizal….selama ini keluarga Mas Rizal banyak membantu biaya kuliah Listya sampai dia lulus sekarang ini!”, kata Amelia. Aku sungguh terkejut. Listya ternyata tidak mencintai Rizal dan dia bertunangan dan menerima lamaran Rizal karena campur tangan orang tua mereka. “Oh begitu…!”, kataku pura-pura tenang menanggapi cerita ini padahal aku sangat terkejut bercampur bahagia karena ternyata Listya belum tentu mencintai Rizal. Sebuah harapan kembali muncul. “Tapi Mel mudah-mudahan Listya akhirnya mau mencintai Mas Rizal karena aku lihat Mas Rizal begitu mencintai Listya..!” kataku. Aku tidak tahu kata-kata ini hanya basa-basi atau tidak tapi itu adalah doa. Ya ALLAH mudah-mudahan itu doa yang tulus. Aku paling takut dengan ke pura-puraan. “Ya Pak tapi menurutku Listya tidak mencintai Mas Rizal…dia mencintai kedua orang tuanya..!”, kata Amelia. Kembali aku terkejut dengan keyakinan Amelia. “Listya pernah bercerita waktu itu walaupun seperti bergurau bahwa dia sedang mengagumi seseorang. Saya bertanya siapa?. Listya hanya tertawa sambil berkata rahasia…!”, kata Amelia membuatku semakin penasaran. Tapi aku tetap mencoba diam tidak bereaksi. “Pak kan aneh kalau Listya mengagumi seseorang soalnya dia terbiasa dikagumi orang-orang. Cewek-cewek saja suka sama dia karena keramahannya apalagi cowok. Banyak yang mencoba mendekati Listya tapi dia selalu menghindar dan menolaknya dengan sopan. Saya jadi yakin rupanya dia memang sedang mengagumi seseorang hanya sampai sekarang dia tidak pernah cerita siapa yang dia maksud…tapi yang jelas orang yang dikagumi Listya tidak sembarang orang!”, kembali kata Amelia. Wah makin banyak nih informasi tentang Listya. Oh bahagianya orang yang dikagumi Listya. Diskusi tentang Listya ditengah kemacetan jalan Porong justru membuat betah sehingga tidak terasa kami sudah keluar dari kemacetan yang panjang dan sekarang sudah meluncur di jalan Tol Porong – Surabaya. Sementara itu masih banyak informasi baru yang keluar dari bibir mungil Amelia, sahabatnya Listya. “Oh ya dia juga pernah bicara tentang Pak Alan…katanya Bapak itu orangnya sabar, telaten dan sangat perhatian. Dia merasa bangga menjadi mahasiswi bimbingan Bapak. Lalu pernah bertanya-tanya Pak Alan itu pacarnya siapa ya kok masih betah sendirian..!”, kembali suara Amelia. Aku cukup terkejut juga mendengar cerita Amelia ini. “Tahu nggak pak…waktu itu saya sempat menggoda Listya dengan pertanyaan Lis kamu naksir ya sama pak Alan?. Aku lihat dia terkejut mendengar pertanyaan ini kemudian sambil tersenyum Listya menjawab yang jelas pak Alan tak mungkin naksir aku dia kan pasti menganggapku seperti anaknya usia Pak Alan kan sama dengan Bapakku….!”, suara Amelia polos. Mendengar ini aku tersenyum. Tapi mungkin saja aku naksir kamu Listya he he he. Memang Amel ini kalau sudah bercerita ngerumpi susah untuk dihentikan tapi malah aku dapatkan info gratis tentang Listya. Tidak terasa akhirnya kami sudah memasuki jalan Tol dalam kota. Aku mengambil pintu keluar Tol arah Satelit menuju TVRI di Jalan Mayjen Sungkono kemudian menuju Jalan Dr.Sutomo menyebrang Jalan Raya Darmo kearah Kertajaya. Amelia tinggal di kawasan Dharmahusada dan persis didepan rumahnya aku mengantar Amelia. “Amel saya sangat berterima kasih sudah mau menemani sepanjang hari ini ”, kataku. “Ya pak sama-sama. Bapak singgah dulu?”, Amelia menawarkan agar aku singgah. “Okey Mel lain kali saja thanks..!”, kataku lalu segera aku berpamitan. Hari yang sangat melelahkan namun juga menyenangkan karena banyak cerita tentang Listya. Hampir magrib akhirnya aku tiba di rumah. Seperti biasa si Mbok sudah menyiapkan secangkir kopi dan makanan kue di atas meja beranda rumah. Aku benar-benar sangat lelah sekali. Tiba-tiba hand phone ku bernyanyi. Siapa ya?. Oh Listya. “Assalaamu alaikum….”, jawabku. “Saya Tya pak…”, suara Listya diseberang sana. “Oh ya Listya…saya masih hafal suaramu..!”, kataku. Tentu saja suaranya yang merdu mana mungkin aku bisa lupa. “Saya takut bapak lupa karena lama kita tidak pernah saling telepon..oh ya pak maaf tadi saya tidak bisa menemui waktu bapak menjenguk mas Rizal…!”, kata Listya. “Tidak apa-apa Lis yang penting Mas Rizal sudah semakin membaik dan mudah-mudahan besok Rabu operasinya berjalan lancar dan sukses..!”. “Iya pak terima kasih doanya dan kunjungannya untuk Mas Rizal. Ini sekarang sudah sampai Surabaya pak?”. “Ya Lis alhamdulillah sudah di rumah baru saja sampai..!”. “Syukurlah perjalanannya dari Malang Surabaya lancar. Minggu lalu saya ke Kampus pak ada urusan penyelesaian administrasi dan juga mau ketemu bapak tapi waktu itu sedang ke Bandung….!”, kata Listya. “Ya saya juga dengar dari Amel ada Listya namun waktu itu sayang sekali kita tidak bisa ketemu…oh ya Lis sekali lagi mudah-mudahan Mas Rizal cepat sembuh sehingga semua rencana berjalan lancar. Saya dengar Listya bulan Maulud ini sudah mau menikah...saya ikut berbahagia Lis!”, suaraku agak bergetar karena menahan perasaan yang tidak menentu. Beberapa saat Listya terdiam. “Ya pak terima kasih!”, jawab Listya pendek. Kudengar suaranya seperti menahan tangis bukan suara kebahagiaan mungkin karena Rizal sakit sehingga Listya merasa sedih. “Insya Allah Listya mas Rizal sembuh. Tidak perlu khawatir semuanya sudah ditangani dokter. Saya akan terus berdoa untuk kebaikannya dan juga kelancaran pernikahan Listya!”, kataku menghibur. Beberapa saat tidak ada jawaban Listya. Gadis ini seperti terdiam membisu. Cukup lama terdiam sehingga ada kekosongan pembicaraan sampai akhirnya aku kembali bersuara : “Hallo Listya…kamu baik-baik saja?. Listya?”, tanyaku. “Ya pak…tidak apa apa. Maaf pak saya sudahi dulu ya…sekali lagi terima kasih untuk semuanya untuk doanya…saya juga berdoa mudah-mudahan Bapak juga segera mendapatkan kebahagiaan dengan orang yang menggugah perasaan bapak yang dulu pernah cerita sama saya…sekali lagi saya minta maaf pak..assalaamu alaikum…”, kata Listya suaranya seperti menahan tangis. “Wa alaikum salaam!”, jawabku. Apa yang terjadi. Mengapa Listya tidak nampak bahagia menghadapi hari pernikahannya?. Kemudian kata-katanya tentang orang yang menggugah perasaanku seperti ada perasaan cemburu dari nada bicaranya. Dia tidak tahu orang tersebut adalah dirinya. Ada apa denganmu Listya. Teringat cerita Amelia bahwa Listya mau menikah karena keluarganya berhutang budi kepada keluarga Rizal. Namun kenapa tidak, Rizal adalah pemuda yang baik sudah bekerja mapan dari keluarga berkecukupan dan kesanku Rizal sangat sayang kepada Listya. Mengapa Listya tidak mencintai Rizal?. Lalu siapa orang yang saat ini sangat dikagumi oleh Listya seperti diceritakan Amelia?. Teringat pula cerita Amelia ketika menggoda Listya : “Tahu nggak pak…waktu itu saya sempat menggoda Listya dengan pertanyaan Lis kamu naksir ya sama pak Alan?. Aku lihat dia terkejut mendengar pertanyaan ini kemudian sambil tersenyum dia menjawab yang jelas pak Alan tak mungkin naksir aku dia kan pasti menganggapku seperti anaknya usia Pak Alan kan sama dengan Bapakku….!”, (BERSAMBUNG)

Tuesday, May 15, 2012

NovelCorner MASIH ADAKAH RUANG DI HATIMU

EPISODE 2 Ada Cinta Di Ruang Hampa (2) Amelia mengajakku ke Ruang Paviliun Anggrek yang ada di lantai 3. Sesampai di sana ada beberapa Perawat yang sedang piket di Loby Ruangan Masuk. Di depan kamar pasien, Amelia mengetuk pintu perlahan. Seseorang membukakan pintu. Seorang lelaki yang rasanya pernah ketemu ya ini adalah Pak Sofyan, Bapaknya Listya. ”Oh Amel...sama Pak Alan!”, katanya ramah. Rupanya beliau masih ingat namaku. ”Mari silahkan masuk pak!”, sambil membukakan pintu. Aku baru saja memperhatikan Pak Sofyan ya kira-kira usianya sama denganku sekitar 45 tahun. Nanti dulu di ruangan ini tidak nampak Listya. Ya tidak ada Listya di situ hanya ada Rizal ya Rizal nama tunangannya Listya, sedang terbaring dengan infus semntara disampingnya ada seorang gadis seusia Listya mungkin adiknya. Melihat aku datang, Rizal kelihatan sangat senang. ”Terima kasih Pak Alan mau menjenguk saya....!”, kata Rizal. ”Ya Mas Rizal..saya baru tahu dari Amel kemarin mangkanya baru sekarang bisa menjenguk..oh ya bagaimana diagnosa terakhir dari dokter Ahli disini?”, tanyaku. ”Sudah diketahui ada batu ginjal yang harus diambil dan kemungkinan adanya infeksi yang cukup serius. Tahap awal ini batu ginjal harus segera di operasi setelah itu baru penyembuhan infeksi ginjal !”, kata Rizal. ”Syukurlah kalau sudah ketahuan penyakitnya. Rencana operasinya kapan?”. ”Insya Allah Rabu pekan depan. Mohon doa restunya Pak!”, kata Rizal. ”Ya Mas Rizal semoga semuanya berjalan lancar dan operasinya sukses..!”. ”Oh iya...Tya baru saja tadi pagi gantian jaga dengan adik saya. Perkenalkan Pak Alan ini adik saya....Risa!”, kata Rizal sambil memperkenalkan adiknya yang berdiri disampingnya. Aku menjabat uluran tangannya. Rizal mengatakan adiknya baru masuk Perguruan Tinggi di Malang. Gadis manis ini agak pendiam kesan itu terlihat waktu Risa mengucapkan namanya demikian pelan nyaris tidak terdengar namun gadis ini masih sempat tersenyum malu. Ya Risa disamping pendiam juga nampaknya pemalu. ”Risa anak bungsu ya !”, tanyaku. Dia hanya tersenyum mengangguk. He he he gadis bungsu pendiam dan pemalu. ”Ya Pak kami hanya dua bersaudara. Saya sendiri anak sulung dan Risa ini satu-satunya adik saya..!”, kata Rizal menjelaskan. Ya kami mengobrol cukup akrab tidak terasa hari sudah siang. Akhirnya aku dan Amel berpamitan sambil mengharapkan Rizal segera sembuh dan operasi batu ginjalnya lancar. Pak Sofyan mengantar sampai pintu. ”Terima kasih pak Alan sudah berkunjung, sayang sekali tidak ketemu dengan Tya!”, kata Pak Sofyan. Semua orang disitu memang memanggil Listya dengan Tya. Teman-teman Kampusnya dulu seperti Amel memanggil Listya dengan Lis atau Listya. ”Tidak apa-apa Pak kan sudah bertemu dengan Rizal yang penting segera sembuh. Titip salam saja untuk Listya mudah-mudahan tabah menghadapi cobaan ini...”, kataku mencoba menghibur Bapaknya Listya. ”Ya Pak terima kasih...nanti salamnya saya sampaikan kepada Tya. Aku dan Amelia akhirnya meninggalkan RS Saiful Anwar Malang. Setelah mampir makan siang terlebih dulu di sebuah Cafe Jalan Soekarno-Hatta, tempat langgananku jika aku berkunjung ke Malang, akhirnya kami kembali meluncur menuju Surabaya. Sepanjang perjalanan hujan turun menemani kami. Aku melihat Amel sudah kelihatan ngantuk dan tertidur dalam alunan musik dari tape mobil yang mengalunkan lagu For You To remember nya Leon Haines Band dan Good bye nya Air Supplay. Selesai lagu itu disambung dengan lagu Richard Marx :”……If I see you next to never, how can we say forever …..Wherever you go, whatever you do . I will be right here waiting for you . Whatever it takes or how my heart breaks . I will be right here waiting for you…….” Lagu-lagu itu memang akan selalu mengingatkanku kepada Listya. Ya I will be right here waiting for you. Saat saat aku masih biasa bertemu dengannya di jalan trotoar Kampus atau di koridor Laboratorium atau di Ruang HPLC atau di Ruang kerjaku sambil diskusi tentang skripsinya. Ya Daisy Listya mengapa aku tidak dapat menghapus bayanganmu dari dalam anganku. Mengapa aku tidak bisa memindahkan dirimu dari ruang hatiku karena sekarang seolah dirimu sudah mengisi ruang dimana dulu Diana Faria berada. Listya padahal sebentar lagi kau akan melengsungkan pernikahan dengan orang yang kau cintai yaitu Rizal. Mengapa dirimu begitu kuat mencengkram perasaanku seperti halnya dulu Diana Faria membelengguku dalam jebakan masa lalu. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang Engkau rencanakan untukku ya ALLAH. (BERSAMBUNG)

Friday, May 11, 2012

NovelCorner : MASIH ADAKAH RUANG DI HATIMU

EPISODE 2 (1) ADA CINTA DI RUANG HAMPA Di ruang HPLC sore itu aku baru saja menyalin beberapa data dari bank data file yang ada di sana. Beberapa waktu yang lalu di ruang ini aku bersama Listya berbincang tentang Diana Faria. “Kita sebenarnya tidak pernah memiliki apapun maka oleh sebab itu kita tidak pernah kehilangan apapun. Hanya Allah Yang Maha Memiliki!”. Kutipan kata-kata Listya yang sangat menyentuh hatiku. Aku seperti terbangun dari mimpi. Ya gadis itu yang telah membangunkan mimpi burukku. Daisy Listya seakan mau berkata bahwa Diana Faria bukan milikku tapi semata-mata hanya milik ALLAH. Oh Tuhan 20 tahun sudah aku telah menyia-nyiakan waktu. Ampuni hambaMU yang telah menganiaya diri sendiri. Ampuni hambaMU yang sudah tidak tahu diri merasa memiliki yang bukan haknya padahal segala seuatu hanya Engkaulah yang berhak. Ya didepan komputer itu aku sebenarnya lebih banyak termenung dari pada memperhatikan data peneltian yang mau kujadikan bahan Simposium Farmakologi di ITB. Siapa lagi yang membuat aku lebih banyak termenung selain Daisy Listya. Dua minggu yang lalu aku terakhir bertemu Listya di hari Wisuda. Padahal baru dua minggu yang lalu tapi rasanya seperti sudah dua tahun yang lalu. Mungkin karena aku sangat merindukannya...entahlah. Kini selalu terngiang-ngiang ucapan Daisy Listya : “Kita sebenarnya tidak pernah memiliki apapun maka oleh sebab itu kita tidak pernah kehilangan apapun. Hanya Allah Yang Maha Memiliki!”. Aku sangat bersyukur kepada ALLAH sudah berkenalan dan merasa dekat dengan Daisy Listya. Sekarang paling tidak hatiku sudah terbuka walaupun sebenarnya harapanku adalah gadis itu. Aku benar-benar merindukannya. Kadang-kadang aku merasa tergoda untuk menghubungi nomor hp nya tapi selalu kuurungkan. Bahkan pernah terpikir agar nomor hp Listya di delete saja agar aku bisa melupakannya. Namun hal itu juga tidak kulakukan. Saat aku merindukan Listya pernah aku berharap tiba-tiba ada sms darinya mungkin hanya mengatakan ‘Pak bagaimana kabar?’ tapi ternyata tidak pernah ada. Listya sudah benar-benar menghilang. Belum pernah aku merasakan kehampaan seperti ini. Mungkin Listya sekarang sudah kembali ke Malang ke rumah orang tuanya. Sebenarnya Malang hanya 90 km dari Surabaya. Aku sendiri kalau sedang bosan di Surabaya sekali-kali rekreasi di Kota Malang yang sejuk. Aku sebenarnya bisa ke Malang untuk bertemu Listya tapi aku tidak tahu alamatnya. Andaikata tahu alamatnyapun lalu sebenarnya apa keperluanku menemuinya?. Tidak ada alasan satupun yang kutemukan jika aku menemui gadis itu. Sudahlah Alan...Listya rupanya dikirim ALLAH hanya untuk dikenang. Gadis itu dikirim ALLAH untuk menggugah hatimu agar kamu mulai terbuka lagi untuk menerima uluran calon teman hidupmu. Suara hatiku seakan memberontak. Aku harus merelakan Listya. Maka sore itu dari Laboratorium HPLC itu aku hanya mendapatkan kehampaan yang amat sangat walaupun disana sebenarnya sudah ada cinta. Hari sudah semakin sore dan hujan baru saja reda ketika aku meninggalkan Laboratorium HPLC menuju ruang kerjaku di Gedung Fakultas Farmasi. Memang pada bulan Januari ini kota Surabaya sedang diguyur hujan hampir setiap sore. Aku menyusuri trotoar jalan dalam Kampus tiba-tiba terdengar seseorang memanggilku. Suara perempuan. Oh ternyata Amelia, sobatnya Listya. ”Mel wah kamu rupanya masih betah di sini saya kira sudah hilang kemana kerja dimana atau diboyong suamimu...!”, kataku bercanda. ”Pak Alan bisa saja. Tadi saya baru ngurus legalisir ijazah dan ada keperluan administrasi dengan Fakultas. Oh ya pak ada salam dari Listya...!”, kata Amelia. Mendengar ini bagaikan ada badai dari Surga bukan angin lagi. Ya hanya salam dari Listya telah membuat aku sangat bahagia. ”Terima kasih sampaikan salam kembali kalau ketemu...!”, kataku berusaha menyembunyikan rasa bahagiaku. ”Dua hari yang lalu saya ketemu Listya di Kampus. Waktu itu dia juga ingin ketemu Bapak tapi katanya Bapak sedang ke Bandung ”, kata Amelia. ”Dua hari yang lalu?. Oh ya saya pulang menjenguk Ibu yang sakit tapi alhamdulillah sekarang sudah sembuh. Kok Listya tidak sms saya atau telpon?”, tanyaku. ”Kata Listya tidak apa-apa, dia hanya ingin ketemu saja!”, Amelia menjelaskan. Oh Tuhan dia ingin ketemu denganku apakah artinya dia juga rindu padaku. Kembali aku merasakan kebahagiaan karena harapan itu kembali muncul. Tapi nanti dulu laki-laki yang dulu waktu wisuda itu kan calon suaminya. Tidak Alan, kau tidak boleh berharap terlalu tinggi biar kalau jatuh tidak lebih sakit. ”Mel ngomong-ngomong kapan saya terima undangan dari Listya tolong kalau ketemu tanyakan ya...oh iya juga dari kamu kapan nih undangan pernikahan!”, tanyaku. ”Wah kalau saya masih lama pak. Kepingin kerja dulu dong..tapi kalau Listya mungkin bulan depan tapi kemarin calon suaminya baru saja masuk rumah sakit namun tidak cerita sakit apa!”, kata Amelia. ”Oh begitu...apakah sekarang masih dirumah sakit? Amel tahu dirawat di rumah sakit mana di Malangnya...!”, tanyaku penasaran. ”Rumah sakit Saiful Anwar Kamar 2 Pavilliun Anggrek, kemarin saya dan teman-teman baru saja menjenguk dan juga ketemu dengan Listya...!”, kata Amelia. ”Saya ingin menjenguk calon suami Listya...bagaimana kalau Amel menemani saya besok Minggu jika Amel tidak punya acara?”, tanyaku. ”Okey Pak saya Minggu tidak ada acara...kita janjian ketemu di Kampus saja bagaimana Pak?” , usul Amelia. ”Okey kita ketemu pk 7.00 ya!”, kataku. Minggu pagi itu aku dan Amelia sudah meluncur di atas jalan Tol menuju Malang. Sampai di Porong yang terkenal dengan Lumpur Lapindonya kendaraan mulai merayap pelan-pelan tidak sampai macet total tapi volume kendaraan cukup padat terutama yang menuju arah Malang. Hari Minggu biasanya orang-orang Surabaya banyak yang rekreasi ke Malang. Ternyata tidak sampai satu jam kemacetan di Porong bisa dilalui dengan lancar. Akhirnya kami sampai di RS Saiful Anwar sudah hampir pk 10.00. Memang perjalanan yang panjang karena macet di Porong, Singosari dan kota Malang sendiri sekarang sudah terlalu padat dengan kendaraan bermotor sehingga kemacetanpun terjadi dimana-mana. (BERSAMBUNG)

Tuesday, April 10, 2012

NovelCorner MASIH ADAKAH RUANG DI HATIMU

EPISODE 1 (4) DAISY LISTYA

Sore itu kami meninggalkan laboratorium HPLC dan seperti permintaan Listya mobilku berhenti didepan gang lalu Listya pun pamit padaku tersenyum sambil melambaikan tangan. Mobil Kijang Kapsulku kembali meluncur di jalan kota Surabaya yang padat kendaraan sore hari itu. Dari arah Kertajaya aku meluncur lurus menuju jalan Dr Sutomo tidak berbelok ke arah Darmo. Sengaja aku menggunakan Tol Dalam Kota sehingga langsung bisa masuk akses Mesjid Al-Akbar bisa lebih cepat dan menghemat waktu untuk menuju Menanggal. Hari itupun terasa begitu panjang namun ada rasa lega ketika aku ingat bahwa Daisy Listya sudah tahu semuanya tentang Diana Faria.
Sejak pertemuan di Laboratorium HPLC itu aku hampir dua pekan tidak bertemu dengan Daisy Listya. Oh tidak dua hari yang lalu Daisy Listya menyerahkan draft Skripsi yang terakhir untuk kutanda tangani dan saat itu juga aku menyetujui skripsinya untuk diajukan dalam Ujian Akhir pada awal Nopember ini. Rasa rindu melanda jiwaku tidak bertemu dengan Daisy Listya. Aku ingin menghubungi hand phonenya tapi tidak kulakukan karena aku fikir Daisy Listya sedang sibuk mempersiapkan Ujian Akhir namun paling tidak pada awal Nopember itu aku jelas akan bertemu Daisy Listya di Ruang Sidang Ujian Skripsi.
Ada tiga Profesor termasuk aku dan dua orang Doktor yang menguji Daisy Listya. Namun gadis cantik ini begitu tenang menjawab semua pertanyaan para Penguji. Ruang ujian skripsipun tidak membuat gadis itu menjadi gugup dan tegang. Semua para Penguji sangat terkesan dengan semua jawaban Daisy Listya. Aku sendiri merasa lega ketika hasil ujian skripsi Listya mendapat nilai A. Ada rasa bangga sebagai pembimbingnya lalu aku menyalaminya sambil mengucapkan selamat.
“Lis..selamat perjuanganmu sudah membawa hasil, saya turut gembira dan bahagia..!”, kataku dan Listya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum manis. Sejak bertemu di Ruang Ujian skripsi itu aku sama sekali tidak pernah lagi bertemu Daisy Listya. Entah kemana gadis itu seolah menghilang. Hari ini adalah hari yang ke 13 aku tidak bertemu dengannya. Aku memang tidak berusaha untuk menghubungi hand phone nya karena pernah suatu hari aku menghubunginya melalui hp ternyata tidak pernah aktif atau kalau aktif tidak pernah diangkat. Aku tidak tahu mengapa begitu. Hari berganti hari minggu berganti minggu dan tanpa terasa hari wisudapun sudah didepan mata. Aku berharap bisa bertemu Daisy Listya di hari wisuda itu. Acara wisuda itupun berjalan lancar sejak dimulai pk 8 tadi pagi sampai siang ini. Para mahasiswa begitu gembira merayakan kelulusan mereka bersama orang-orang tercinta. Di halaman Aula itu aku berusaha mencari sosok yang selama ini kurindukan yaitu Daisy Listya. Tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku. Aku menoleh kearah suara panggilan itu. Oh Tuhan ya dia Daisy Listya bersama kedua orang tuanya dan ada seorang lelaki disampingnya. Siapa dia?
“Listya selamat sudah lulus ya !”, kataku sambil menjabat tangannya.
“Terima kasih pak Alan atas bimbingan bapak saya bisa lulus !”, kata Listya.
“Oh tidak Lis...semua itu hasil jerih payahmu dan perjuangan yang tidak kenal lelah dan Listya pantas lulus karena hanya orang yang cerdas yang bisa berprestasi!”, kataku.
“Terima kasih pak. Oh ya perkenalkan ini Ayah dan Ibu saya dan ini calon suami saya !”, kata Listya sambil memperkenalkan orang-orang yang ada disampingnya. Aku menyambut jabatan tangan mereka. Ketika mendengar kata calon suami, maka tiba-tiba saja rasa hatiku seperti hancur berkeping-keping. Oh tidak jangan sampai seperti itu. Aku harus tegar. Mereka berpamitan dan Listya masih sempat berkata padaku :
“Pak Alan kalau nanti menikah dengan gadis yang telah menggugah hati bapak jangan lupa saya diundang ya pak!”, kata Listya sambil tersenyum manis. Oh Tuhan kata-katanya ini justru menambah kepedihanku. Daisy Listya pun pamit meninggalkan senyumnya dihatiku.
Sejak pertemuan terakhir itu aku benar-benar mengisi hari-hariku dengan kehampaan. Oh padahal aku harus tegar. Teringat apa yang pernah dikatakan Listya bahwa “Kita sebenarnya tidak pernah memiliki apapun maka oleh sebab itu kita tidak pernah kehilangan apapun. Hanya Allah Yang Maha Memiliki!”. Sungguh benar apa yang dikatakan gadis itu. Ya ALLAH berilah aku kekuatan. Aku harus bangun dari mimpi.
Sore itu diberanda depan rumahku aku duduk termenung sambil memperhatikan tetes tetes hujan bulan Desember ini jatuh kebumi. Ditanganku sebuah buku harian usang aku buka lembar demi lembar. Aku sudah tidak pernah mengisi buku harianku lagi dan ini adalah lembaran pertama buku harianku setelah hampir 20 tahun tidak pernah kusentuh. Aku menulis tentang Daisy Listya untuk mengabadikan perasaanku padanya :
Sejak pertama kali aku memandang wajahnya rasanya wajah itu seperti sudah kukenal jauh lebih lama. Saat itu aku sempat tertegun tak percaya. Wajah ini sangat akrab dengan hatiku. Entah berapa puluh tahun yang lalu rasanya aku pernah mengenal wajah cantik ini. Wajah teduh yang dapat membuat hati menjadi tentram. Berkali-kali aku berbincang dengannya. Banyak yang tidak dapat aku ungkapkan betapa lembutnya dia dalam bicara. Setiap katanya mengandung kelembutan hatinya. Setiap aku berbincang dengannya setiap itu pula aku seperti pernah merasakan perasaan seperti ini entah berapa puluh tahun yang lalu. Candanya, senyumnya dan tawanya rasanya seperti pernah akrab dalam hidupku. Sapaannya pada saat aku menelpon melalui HP sangat menyenangkan dan ramah.
Aku pernah mengatakan kepadanya, bahwa aku sangat mengagumi kepribadiannya. Mendengar ini, dia hanya tersenyum manis. Dia tetap rendah hati. Bahkan dia mengatakan bahwa aku terlalu berlebihan dan sambil bercanda dia berkata bahwa aku hanya menebar fitnah. He he he menfitnah bahwa dia cantik. Sungguh aku sangat terkesan dengan sikap gadis ini menghadapi pujian. Memang hanya ALLAH yang berhak menerima pujian.
Aku adalah orang yang tidak dapat berpura-pura. Aku adalah orang yang selalu mengatakan sesuatu sesuai dengan isi hatiku. Wajar setiap orang memiliki masa lalu. Namun jika masa lalu itu ada didepan mata mengapa aku harus diam saja. Aku adalah orang yang ingin selalu mengatakan sesuatu sesuai dengan isi hatiku.
Dimataku dia adalah gadis yang berbeda dibandingkan gadis remaja seusianya. Dia sangat sederhana dan bersahaja. Senangnya hatiku setiap hari bertemu dikoridor laboratorium itu karena pasti dia akan tersenyum padaku dan aku bisa merasakan kebahagiaan. Namun sayang sekali kebahagiaan itu ternyata hanya datang beberapa saat saja.
Aku tentu saja harus membiarkan dia dapat meraih masa depannya sendiri. Dia sudah mendapatkan kekasih hatinya yang terbaik yang sebanding dengan kebaikan hatinya, kesetiaan cintanya. Aku juga yakin dia sangat berbahagia dengan teman hidup yang setia. Gadis ini memiliki aura kecantikan yang sempurna maka sudah pasti teman hidupnya juga harus memiliki ahlakul karimah yang sempurna, taat kepada Allah.
Kini diakhir Desember ini dia sudah pergi hanya dengan meninggalkan senyum ramahnya. Kini disini tak ada lagi canda ria, tawa renyah dan senyum ramah. Dia kini sudah pergi. Entah kapan aku bisa bertemu lagi dengannya. Entah kapan, aku tidak tahu. Dia pergi seakan membawa separuh jiwaku. Cinta masalaluku ada disana. Aku akan setia untuk mengenangnya.
Saat ini aku hanya bisa memohon kepadaMU kabulkanlah doaku : Ya ALLAH Lindungilah dia dari kejahatan penghianatan dan karuniakanlah dia cinta, kasih sayang dan kesetiaan. Maha Besar ALLAH Yang Maha Pengasih dan Penyayang, kutitipkan dia padaMU.

(Bersambung).

Wednesday, March 21, 2012

Novel Corner MASIH ADAKAH RUANG DI HATIMU

EPISODE 1 (3) DAISY LISTYA

Hari ini hari Jumat berarti Listya sudah tiga hari mengerjakan sampel-sampel penelitiannya dengan HPLC. Sehabis memberikan kuliah untuk mahasiswa semester 6, aku menyempatkan diri berkunjung ke Laboratorium HPLC di Gedung sebelah Timur. Laboratorium ini ada di lantai 2 khusus untuk kegiatan praktikum mahasiswa dengan menggunakan instrumen laboratorium yang mutakhir seperti HPLC, GC, TLC-Densitometer,IR-Spectrophotometer, GC-Mass Spectrophotometer. Sore itu hampir semua kegiatan praktikum sudah selesai sekitar pk 15 tadi dan aku baru memiliki waktu untuk mengunjungi Listya walaupun sudah sesore ini mudah-mudahan Listya masih berada disana. Aku menaiki tangga satu demi satu untuk menuju ke lantai 2 dan dari koridor setelah pintu masuk aku dapat melihat melalui jendela berkaca lebar Bidadari itu sedang asyik dengan HPLC nya. Balutan jilbab di wajahnya justru menambah aura kecantikannya. Beberapa saat aku berdiri disitu menikmati wajah Bidadari itu. Ya ALLAH aku belum habis mengerti apa dibalik maksudMu mengirimkan dia padaku?. Apakah Kau juga mau mengizinkanku untuk memilikinya?. Ataukah ini hanya ujian bagiku agar aku segera tergugah untuk mengikuti sunah nabiMU. Menikah walaupun ternyata bukan dengan Daisy Listya. Lalu denga siapa?. Audray? Oh no. Aku hanya berpasrah diri kepadaMU. Entah berapa lama aku berdiri disitu dan memang Laboratorium di lantai 2 itu sudah tutup kecuali Laboratorium HPLC. Aku dikejutkan suara yang memanggilku.
“Hayoo Pak Alan lagi ngintip ya!”, suara seorang gadis mengagetkanku. Ternyata Amelia, teman akrabnya Daisy Listya.
“Amel bikin kaget saja kamu ini...mau jemput Listya ya!”, tanyaku.
“Bukan !, saya mau pulang duluan oh ya pak Alan mau ketemu Listya? Kebetulan pak tolong ditemani Listya ya soalnya saya ada janjian..!”, Si Amel tiba-tiba saja masuk ke dalam. Mereka kelihatan berbincang-bincang. Apa boleh buat akupun akhirnya masuk menemui mereka.
“Terima kasih Pak mau menemani saya !”, kata Listya.
“Lis tadi pak Alan ngintip kamu lho...he he he!”, kata Amelia. Busyet kurang ajar Si Amel. Memang anak ini ceplas ceplos. Selama ini dia memang sering menyindir-nyindir seperti ini dan nampaknya Amelia tahu gelagat bahwa aku menyukai Daisy Listya. Bidadari itu hanya tersenyum manis mendengar selorohan Amelia.
“Tak usah didengar Lis omongannya Amel. Masa saya ngintip kamu melalui kaca jendela sebesar ini padahal kalau mengintip kan harus melalui lobang yang kecil misalnya lobang kunci.....!”, kataku sambil ketawa agak gugup sedikit. Akhirnya kami tertawa maka Ameliapun pergi pamit meninggalkan kami berdua. Masih ada lima sampel lagi yang belum di inject kan. Sambil menunggu running kami mulai mengobrol. Tadinya aku bingung dari mana aku mulai bercerita tapi akhirnya cerita tentang Diana Fariapun usai juga. Ada rasa lega dalam dadaku ketika cerita itu bisa juga diucapkan didepan Daisy Listya. Aku melihat wajah Listya sedikit sedih mendengar ceritaku.
“Saya turut berduka pak walaupun sekarang sudah terlambat 20 tahun yang lalu..tentu bapak sangat mencintai mbak Diana Faria?”, tanya Listya.
“Ya begitulah tapi ternyata Allahlah yang memilikinya. Saya sendiri kadang-kadang heran mengapa kita harus saling memiliki kalau pada akhirnya harus kehilangan?”, kataku. Daisy Listya masih terdiam kutunggu tutur kata apa yang nanti keluar dari bibir yang indah itu.
“Kita sebenarnya tidak pernah memiliki apapun maka oleh sebab itu kita tidak pernah kehilangan apapun. Hanya Allah Yang Maha Memiliki!”, kata Listya.
Oh Allah gadis semacam apa yang sedang berhadapan denganku ini. Apakah dia BidadariMU. Kata-katanya sangat bijak dan dalam. Aku benar-benar terdiam dan terpaku dalam ketermenunganku. Ya betul aku tidak pernah memiliki apapun maka akupun tidak pernah kehilangan apapun. Aku telah membuang waktu 20 tahun hanya karena merasa kehilangan Diana Faria. Padahal hanya Allah yang memiliki dia. Allah Maha Memiliki. Aku benar-benar tertunduk syahdu mendengar ucapan Daisy Listya. Entah berapa lama aku terdiam ketika suara lembut Listya kembali menyapaku.
“Pak sudahlah lupakanlah yang telah lalu. Lebih baik melihat hari esok!”, kata Listya. Justru ini Listya, aku ingin melangkah menuju hari esok bersamamu tapi aku belum boleh mengatakan hal ini pada saat ini.
“Okey Lis terima kasih kata-katamu tadi benar-benar sangat menyentuh kalbu terdalamku. Rasanya aku seperti bari tersadar dari mimpi berkepanjangan. Mimpi adalah mimpi yang tetap menjadi sia-sia karena bukan alam nyata. Betul apa katamu aku harus membuka lembaran baru. Sebenarnya beberapa bulan ini ada seseorang yang telah mampu mencairkan kebekuan hatiku selama 20 tahun ya seseorang gadis yang sangat aku kagumi. Dia memang bukan Diana Faria tapi dia adalah orang yang telah kembali membuat hidupku menjadi hidup. Dia yang telah mampu menyentuh hatiku seperti Diana Faria dulu....wah wah wah sorry Lis kok jadinya aku jadi sentimentil begini....sorry sorry Lis! aku terlalu banyak bicara”, kataku mengakhiri kata-kataku yang terlalu emosional.
“Tidak apa apa Pak Alan. Sebaiknya bapak harus mengeluarkan seluruh perasaan bapak jangan didiamkan saja. Saya bersedia mendengarkan dan saya bersyukur jika bapak sekarang sudah menemukan orang yang kembali membuat bapak merasa hidup kembali!”, kata Daisy Listya.
“Ya Lis terima kasih okey tidak terasa hari sudah sore begini dan sampel sampel HPLC kelihatannya sudah habis..!”, kataku.
“Betul pak kita harus segera pulang!”, kata Daisy Listya.
“Sebaiknya Listya pulang bareng saya. Kostnya dimana?”, tanyaku.
“Karang Menjangan pak tapi masuk gang. Saya nanti diturunkan di depan gang saja. Terima kasih pak!”, kata Listya.
(BERSAMBUNG)

Thursday, February 23, 2012

NOVEL CORNER

EPISODE 1(2) DAISY LISTYA

Suara ketukan dipintu ruang kerjaku membangunkan lamunanku. Entah sudah berapa lama aku melamun tentang Daisy Listya dan Diana Faria sementara jari-jariku masih terpaku tak bergerak di atas keyboard Laptop merk Jepang itu. Ya sebenarnya aku sedang membuat makalah untuk Simposium di ITB.
“Assalaamu alaikum....!” suara lembut seorang gadis yang sangat akrab ditelingaku. Di depan pintu berdiri Listya sambil tersenyum manis. Oh Tuhan gadis ini cantik sekali, bukan kecantikan yang biasa. Apakah seperti ini wujud Bidadari yang ada di Surga?. Aku tidak tahu.
“Assalaamu alaikum...pak Prof kok terbengong!”, kata gadis itu.
“Wa alaikumussalaam warohmatullahi wabarokaatuh...wah jangan panggil Prof gitu...panggil saja Alan Erlangga !”, aku menjawab salam Listya dengan gugup. He he he gara-gara terpesona jadi aja tergagap gagap.
“Bagaimana kabarnya Lis?”, tanyaku.
“Alhamdulillah baik pak Alan....mohon maaf saya tidak telepon dulu langsung menuju kesini. Soalnya perbaikan skripsi hasil revisi sudah terlambat diserahkan seharusnya kemarin pak!”, kata Listya.
“Oh tak apa apa hanya terlambat satu hari saja. Bagaimana ada kesulitan mengolah data hasil analisis HPLC nya?!”, tanyaku. HPLC (High Performance Liquid Chromatography adalah piranti laboratorium canggih untuk analisis komponen individu suatu zat).
“Alhamdulillah semua sudah saya selesaikan perhitungannya pak hanya saya tidak tahu apakah sudah betul. Juga tentang pengolahan data statistiknya...!”,kata Listya.
“Baik Lis nanti saya periksa data data itu, kira-kira dua hari lagi bisa diambil hasil koreksian dari saya okey!”, kataku menegaskan.
“Iya pak terima kasih.....dan kalau begitu saya mohon pamit dulu pak takut mengganggu bapak sepertinya sedang bekerja serius...!”, kata Listya sambil bergegas meninggalkan ruanganku.
“Lho kok buru buru Lis....Tidak, Listya tidak mengganggu kok..okey!”, kataku meyakinkan Listya agar tetap tinggal untuk mengobrol. Namun gadis itu tetap bergegas sambil mengucapkan salam hilang dibalik pintu ruanganku. Begitu cepat bidadari itu berlalu meninggalkanku di ruangan itu kesepian. Maha Besar Engkau Ya Allah aku telah dipertemukan dengannya. Ya hanya dipertemukan saja entahlah selanjutnya aku tidak tahu karena selama ini hanya berhubungan sebatas antara Dosen Pembimbing dengan mahasiswi yang sedang menyusun skripsinya. Ya harus cepat disadari bahwa Daisy Listya bukan Diana Faria. Tentu saja. Hanya saja aku tak mampu menghadapi kenyataan setiap bersama dengannya pesonanya benar-benar membuatku tak berdaya. Perasaan perasaan indah bersama Diana Faria seolah kembali tumbuh padahal Daisy bukan Diana. Termenung di depan Laptop yang masih terbuka telah membuatku tersenyum sendiri. Aku seperti menjadi anak remaja tujuh belasan lagi atau paling tidak mahasiswa dua puluh satuan. Akhirnya Laptop itupun aku tutup dan pekerjaan membuat makalah kembali terbengkalai. Tidak terasa jam sudah menunjukkan pk 5 sore dan aku harus bergegas bersiap untuk pulang. Kijang Kapsul berwarna biru tua itu meluncur ditengah-tengah deru sepeda motor yang membanjiri jalan-jalan di kota Surabaya. Apalagi setelah memasuki Jalan Ahmad Yani, sepeda motor semakin padat memenuhi jalan utama keluar kota yang semakin sempit saja rasanya. Aku berputar di Bundaran Waru menuju arah Menanggal ya memang rumahku disana disekitar Masjid Al-Akbar kira-kira 200 meter ke arah Timur Masjid megah kebanggaan masyarakat Surabaya itu.
Malam itu juga skripsi Daisy Listya aku koreksi sampai detail. Memang sengaja aku harus lebih cepat mengoreksi skripsi itu agar bisa lebih cepat pula bertemu dengan Daisy Listya. Selesai merevisi skripsi itu waktu masih menunjukkan jam 21, belum terlalu malam mungkin lebih baik aku menelpon hp nya Daisy Listya. Di seberang sana suara Listya menyambut salamku.
“Wa alaikum salaam pak...!”, suaranya merdu dan lembut sekali, gadis ini memiliki hati yang lembut.
“Lis..maaf belum tidur kan?”, tanyaku basa-basi.
“Lho Bapak ini bagaimana ya belum kan ini lagi ngomong sama Bapak!”, suara tawanya riang dan aku hanya tersenyum mendengar canda seperti ini.
“Iya ya...begini Lis skripsi sudah saya koreksi termasuk data HPLC nampaknya ada beberapa sampel hasilnya masih kurang akurat. Listya harus meluangkan waktu untuk mengulang analisa HPLC paling tidak minggu ini agar bulan depan sudah bisa masuk agenda ujian akhir skripsi. Bagaimana Lis?”, kataku menjelaskan.
“Ya Pak kalau begitu besok saja saya booking HPLC dulu. Mudah-mudahan sedang kosong sehingga minggu ini sudah bisa saya kerjakan analisanya!”, kata Listya. Terus terang selama dia ngomong di hp tidak lagi kuperhatikan apa yang dia omongkan tapi aku begitu menikmati suara lembutnya seakan-akan suara hatinya bisa langsung aku dengar.
“Hallo Pak...kok diam saja!”, suara Daisy Listya mengagetkanku. Rupanya aku malah melamun.
“Oh ya ya sorry Lis aku tadi ngelamun sebentar he he he!”, kataku.
“Wah inget sama pacar ya Pak!”, kata Listya. Busyet dia bisa nebak rek.
“Bukan Lis, kamu itu ada ada saja. Okey kalau begitu mulai besok Listya mulai bikin program dan jadwal sesuai saran saya ya..!”, kataku mengalihkan pembicaraan.
“Ya Pak secepatnya nanti saya segera mengambil hasil revisi Bapak. Apakah besok boleh. Bapak punya waktu?”, tanyanya. Untukmu waktu selalu ada Listya.
“Okey saya tunggu di Kantor saya pagi-pagi saja Lis sampai ketemu besok. Assalaamu alaikum !”, kataku.
“Terima kasih Pak. Wa alaikum salaam.!”, suara Daisy Listya menutup pembicaraan. Oh Tuhan besok aku ketemu dia lagi rasanya sudah tidak sabar namun waktu baru menunjukkan pk 21 lewat seperempat. He he he aku harus mengarungi malam yang panjang.
Pagi itu mungkin si Mbok yang sudah ikut aku bertahun-tahun pasti heran kok tidak biasanya aku tidak menyentuh sarapan favoritku, nasi goreng?. Ya betul sebelum pk 6 aku sudah bergegas menuju Kampus Dharmawangsa Dalam, Kijang Kapsul biru tua itupun meluncur di jalan Tol dalam kota. Tidak sampai setengah jam sudah sampai di Jalan Kertajaya dan tinggal satu perempatan lagi belok kiri lurus kemudian memutar sampailah di Jalan Dharmawangsa Dalam dimana Fakultas Farmasi berada. Kuparkir mobil di halaman Fakultas. Tepat pk 7 kurang lima menit aku sudah duduk di meja kerjaku. Seperti biasa aku lihat terlebih dulu agenda hari ini. Ada waktu 1 jam sebelum nanti pk 8 mengisi kuliah mahasiswa semester 6. Setelah itu rapat panitia simposium farmakologi. Terdengar suara pintu diketuk. Daisy Listya. Ya dia berdiri didepan pintu dengan senyum yang sangat manis. Ya ALLAH kenapa Kau pertemukan aku dengannya jika nantinya Kau pisahkan aku darinya.
“Lis silahkan duduk!”, kataku mempersilahkan Listya duduk.
“Hari ini Bapak nampak segar sekali!!”, kata Listya. Mendengar ini aku tertawa kecil. Ya iyalah Lis wong aku mau ketemu kamu kan harus segar.
“Biasa kalau masih pagi begini pasti segar nanti sudah siang pasti kusut karena kerjaan makin numpuk he he he!”, kataku bercanda. Listya hanya tersenyum.
“Oh ya Lis ini skripsimu sudah saya koreksi coba dibaca ulang jika ada yang belum jelas bisa tanya saya sekarang!”, kataku sambil menyerahkan draft skripsi yang cukup tebal. Kulihat Listya membaca dengan seksama lembar demi lembar sementara aku dengan penuh hidmat juga mengagumi wajah cantik didepanku. Matanya sangat teduh sangat menyejukkan bila memandang, bibirnya terukir tipis dimana tutur kata santun dan senyum manis berasal darinya sementara hidung mancung dan wajah oval berkulit putih dalam balutan jilbab menambah keanggunan gadis ini. Ketika dia diam ada wibawa yang dalam ketika dia bicara ada pesona pada tutur katanya. Oh Tuhan dia seperti Diana Faria. Tapi tidak tidak tidak dia adalah Daisy Listya. Entah berapa lama aku dapat dengan leluasa memandang kecantikan bidadari didepan mataku ini ketika suara merdu itu memecah kesunyian yang ada.
“Terima kasih pak. Semuanya sudah mengerti segera akan saya perbaiki koreksian bapak. Hari ini juga saya akan booking HPLC agar besok sudah bisa mulai kerja!”, kata Listya.
“Okey Lis...semoga semua berjalan lancar dan sukses biar cepat wisuda!”, kataku. Mendengar kata wisuda artinya dia selesai sudah jadi mahasiswiku akankah aku masih bisa bertemu dengannya?. Jawabannya tidak tahu.
“Ya pak doa dan bimbingan bapak yang membuat saya bersemangat menyelesaikan skripsi ini segera. Kalau begitu saya pamit dulu Pak Alan!”, kata Listya dan aku mengangguk tersenyum sambil bersalaman. Hari ini berjalan begitu lambat rasanya walaupun agenda kegiatanku sudah rampung semua. Apakah karena aku bertemu Listya hanya sebentar saja. Suatu hari aku ingin mengajaknya berbincang lebih lama. Ya suatu hari aku harus bercerita tentang Diana Faria. Suatu hari aku harus mengatakan bagaimana perasaanku kepadanya. Ya suatu hari. Maka sore itu rutinitasku kembali terjebak kemacetan di Jalan Ahmad Yani ketika aku pulang kerja menuju rumah di Menanggal. Sekitar satu jam kemacetan yang terjadi di sana sehingga aku baru sampai rumah sudah menjelang Isya. Besok tidak boleh terjadi lagi seperti ini lebih baik lewat Tol dalam kota saja. Sebentar di halaman rumahku ada Honda Jazz parkir sepertinya aku mengenal mobil itu. Wow Audray Lin. Dia adalah mahasiswi bimbinganku asal Malaysia sudah lulus dua tahun yang lalu. Ada kejutan apa nih Audray.
“Hallo Pak Profesor apa kabar?”, suara Audray menyambutku di ruang tamu dengan tawanya yang renyah.
“Hallo juga Di lama tidak bertemu pasti bawa kabar baik ya sudah lama menunggu?”, tanyaku.
“Tidak juga Pak..baru kira kira lima menit lebih sedikit!”, jawab Audray.
“Sejak kapan tiba di Surabaya?”, tanyaku.
“Minggu sore pak!”, kata Audray. “Malam Minggu besok sepupuku mau menikah mangkanya aku ke Surabaya. And so pasti mampir ketempat Profesorku!”, kata Audray sambil tertawa renyah. Audray mempunyai Tante yang menikah dengan Pria Tionghoa kelahiran Surabaya. Selama kuliah di Fakultas Farmasi, Audray tinggal dengan Tantenya.
“Wah pak boleh nih aku tanya kok tidak-ada tanda-tanda ada Nyonya rumah apa bapak masih betah jomblo terus?”, tanya Audray. Memang gadis ini sangat ceplas-ceplos dan agresif. Logat Malaysianya memang sudah hilang karena tinggal di Surabaya paling tidak sudah 4 tahun. Sebenarnya aku paling risi menghadapi Audray ini sejak dia masih mahasiswa dulu maupun sekarang. Dalam 2 bulan terakhir ini sudah tiga kali gadis ini berkunjung ke rumah.
“Siapa bilang....sudah ada calon nyonya Profesor Alan Erlangga hanya sekarang belum saatnya diperkenalkan!”, kataku menjawab pertanyaannya Audray.
“Wow siapa gadis yang berbahagia itu? Atau bapak cuma bercanda?”, suara Audray mulai kelihatan panik. Aku tersenyum melihat tingkah Audray.
“Tidak bercanda Di...okey nanti jika saatnya tiba aku perkenalkan..lho sampai lupa, kau mau minum apa Audray?”, kataku mengalihkan pembicaraan.
“Terima kasih pak aku akan segera pamit tapi besok aku ingin mampir ke Kampus tentu kalau bapak punya waktu kita bisa berbincang di sana..okey..”, kata Audray. Akhirnya gadis itu menuju halaman rumahku, menghidupkan Honda Jazz pink itu dan meluncur meninggalkanku. Audray, Audray dari dulu kamu itu bikin aku merinding dan takut he he he. Untung aku lelaki baik jika tidak entahlah ketemu gadis seperti Audray yang agresif dan ceplas ceplos tentu saja seperti kucing garong dapat ikan gurih. Audray Lin dan Daisy Listya ooooh bagai langit dan bumi.
(BERSAMBUNG)

Monday, February 20, 2012

NOVEL CORNER

EPISODE 1
DAISY LISTYA

Nama gadis itu Daisy Listya. Teman-teman memanggilnya cukup dengan Lis. Namun ada juga yang memanggilnya Sisi dari Daisy atau Tya dari Listya. Aku sendiri lebih suka memanggilnya dengan Listya atau Lis. Kata teman-temannya, Daisy Listya adalah nama yang indah. Mudah diingat, bukan saja karena nama yang hanya dua kata tapi konon kata mereka gadis ini memiliki aura kecantikan yang berkepribadian. Memiliki karakter yang kuat dalam berprinsip. Penampilan fisik yang alami dengan postur yang sangat proporsional yang menjadi impian gadis-gadis seusianya. Bahkan kata teman-teman prianya dia masih nampak sexy walaupun seluruh tubuhnya sudah dibalut dengan jilbab dan baju muslim yang lengkap. Memang dasar lelaki pikiran pikirannya selalu ngeres. Gadis ini termasuk periang. Usianya masih 21 tahun. Saat ini masih kuliah di Fakultas Farmasi Semester 8 pada sebuah Perguruan Tinggi Negeri Terkenal di Surabaya. Dari pengakuannya Daisy Listya adalah gadis kelahiran kota apel Malang berasal dari keluarga sederhana memiliki seorang adik perempuan yang masih duduk di bangku SMP. Ayahnya hanya seorang pegawai negeri sipil sementara ibunya adalah ibu rumah tangga biasa. Namun demikian gadis ini memiliki prestasi akademik yang sangat mengesankan. Indeks Prestasi Kumulatif terakhirnya adalah 3,81 dari skala 4. Luar biasa. Ya Daisy Listya adalah mahasiswi bimbinganku dalam menyelesaikan skripsi S1 nya. Tepatnya sejak mulai semester 5 gadis ini selalu aktif mengikuti kuliah-kuliahku.

Memang seperti apa yang dikatakan mereka Daisy Listya adalah gadis yang istimewa. Jika berbicara tutur katanya sangat ramah dan santun. Walaupun gadis ini periang tapi bukan berarti bicaranya banyak bahkan dia hanya berbicara hal-hal yang perlu saja. Setiap perbincangan dengannya selalu mengandung hikmah kebaikan. Sungguh luar biasa gadis ini. Berbincang-bincang dengannya sangat menyenangkan, betah berlama-lama dan anehnya membuat hati menjadi tentram. Sudah sejak lama memang Daisy Listya adalah mahasiswiku yang spesial dibandingkan dengan mahasiswi-mahsiswiku yang lain. Selama 20 tahun aku menjadi Dosen di fakultas ini baru kali ini aku menemukan mahasiswi yang sangat istimewa seperti Daisy Listya.
Saat ini pada usiaku yang 45 tahun rasanya untuk pertama kalinya hati ini mulai terbuka lagi setelah 20 tahun yang lalu aku kehilangan Diana Faria gadis yang sangat kucintai karena kecelakaan lalu lintas. Diana dan Daisy memang berbeda namun ada satu kesamaan diantara mereka yaitu kelembutan hatinya tercermin dari sikap sehari-harinya. Dari latar belakang keluarga juga bagai langit dan bumi. Diana berasal dari keluarga berada berpendidikan. Ayahnya adalah Direktur sebuah perusahaan kosmetik di Bogor. Ibunya wanita asal Lebanon dari kalangan berada. Namun hal itu tidak menjadikan Diana menjadi gadis yang glamour. Diana adalah gadis sederhana sama seperti Daisy. Saat itu setelah dirawat intensif karena kecelakaan itu rupanya Diana tidak bisa ditolong. Dia menghembuskan nafas terakhirnya persis seminggu sebelum hari pernikahan kami. Sungguh saat itu duka nestapa yang sangat mendalam harus aku jalani setiap hari. Sejak itu aku menjadi orang yang tertutup terhadap wanita entahlah Diana bagiku adalah cinta pertamaku yang seolah-olah cinta itu dibawanya pula ke alam baka. Namun alhamdulillah pelarianku saat itu pelarian yang positif yaitu fokus terhadap karirku sebagai dosen. Aku sempat mengambil pendidikan S2 dan S3 di Australia selama 8 tahun. Pada usia 34 tahun gelar S3 bisa kuraih dan di Fakultasku saat itu aku punya predikat Doktor Farmasi paling muda usia. Hanya dalam waktu tidak sampai 5 tahun predikat Profesor bisa kuraih pada usia 40 tahun. Alhamdulillah prestasi ini adalah hasil kerja keras yang sebenarnya akibat pelarian dari duka nestapa yang berkepanjangan karena ditinggal orang yang sangat kucintai.
Rasanya suatu keajaiban jika Daisy Listya telah mampu mencairkan hatiku yang sudah 20 tahun membeku. Sungguh suatu keajaiban. Setiap bertemu Listya ada rasa semangat dan gairah lagi seperti dulu semasa kebersamaanku dengan Diana Faria. Entahlah ini gejala apa namanya namun aku tetap harus bersyukur dan jangan terlalu berharap banyak apakah Daisy Listya akan menyambut cintaku. Tentu dong harus aku sadari usianya yang baru 21 tahun mungkin seusia anakku jika saat itu aku jadi menikah dengan Diana. Usianya kurang dari separuh usiaku. Aku memang tidak terlalu berharap lagi pula gadis cantik seperti Listya mana mungkin belum punya pacar. Biarlah sementara ini aku hanya bisa menikmati kegairahan hidupku muncul kembali. Biarlah untuk sementara aku merasakan kebahagiaan yang dulu pernah kumiliki. Biarlah setiap aku bertemu Listya hatiku terasa damai tentram karena mendengar tutur kata lembut gadis ini begitu mempesona.

(BERSAMBUNG)