Saturday, September 21, 2013

Novel Hensa EPISODE AKHIR CINTAKU


Foto : Hensa 


Bagian 4

FRAGMEN SATU BABAK

Saat ini aku sedang di Bandung namun sengaja aku tidak mengabari Kinanti. Hari Kamis sampai Jumat aku harus menghadiri acara di Badan Akreditasi Nasional Jakarta dan seperti kebiasaanku Sabtu dan Minggu nya aku pasti mampir ke Bandung untuk melepas rindu kepada Ibuku. Ya kali ini hanya melepas rindu kepada Ibuku bukan lagi melepas rindu kepada Kinanti karena Kinanti sudah ada yang punya. He he he  kalimat itu kok terasa memilukan. Sabtu pagi-pagi aku sudah beraktivitas dengan berolah raga jalan sehat walau hanya keliling komplek Perumahan tapi lumayan sekujur tubuh banjir dengan keringat.
Setelah mandi sarapan pagi akupun rasanya ingin menyusuri jalan-jalan Kota Bandung. Untuk menghindari kemacetan aku memang sengaja menggunakan sepeda motor untuk keliling Kota Bandung. Baru saja keluar dari komplek Perumahan dihadapanku sudah terjadi kemacetan lalu lintas. Sepanjang jalan Cibaduyut itu memang biangnya kemacetan terutama dipagi hari jamnya berangkat kerja dan sekolah lalu di siang hari jamnya pulang sekolah dan sore hari pulang kerja. Kemacetan lalu lintas yang rutin. Belum di ruas ruas jalan lain di Kota Bandung seperti di Jalan BKR, Kopo, Pasir Kaliki, Soekarno-Hatta, Gatot Subroto dan dimana saja jalan di Kota Bandung berpotensi macet. Mungkin kemacetan lalulintas ini sudah merupakan hal yang lumrah di kota seperti Bandung, Surabaya dan Jakarta bahkan mungkin kota kota seperti Malang, Bogor, Cianjur, Cirebon sudah pula mengenal dengan kemacetan.
Aku menjalani rute jalan-jalan di kota Bandung dengan sepeda motor benar-benar bebas dari kemacetan karena dengan sepeda motor masih bisa mengelak diantara sela-sela mobil dan bermanuver jauh lebih lincah. Rute yang aku tempuh menuju jalan Blitung hanya sekedar ingin memandang SMA ku tercinta yang penuh dengan kenangan indah. Ya di SMA ini aku mengenal sahabat sahabat sejatiku. Kinanti Puspitasari, Aini Mardiyah, Erika Amelia, Indra Susanto. Mereka adalah empat sahabat sejatiku. Mengingat kenangan bersama mereka rasanya seperti baru kemarin. Kami pulang sekolah bersama-sama. Belajar bersama sama. Hanya pada saat kuliah kami harus mengambil Perguruan Tinggi yang berbeda. Setelah selesai kuliah kami menempuh jalan hidup yang berbeda pula. Indra dan Aini berjodoh menjadi suami istri. Erika menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya dan Kinanti menikah dengan lelaki Malaysia dan beberapa tahun tinggal di sana sampai akhirnya harus kembali ke Indonesia saat Ayahnya sudah tidak bertugas lagi di sana. 
Waktu begitu cepat berlalu sementara aku masih seperti ini. Aku baru merasakan ada kesendirian yang hadir tiba-tiba. Aku seperti sebatang kara. Aku seperti kehilangan semua yang aku punya. Tidak terasa ternyata aku berdiri di pelataran parkir itu sudah hampir satu jam kemudian aku melanjutkan tur menuju Mesjid Salman di jalan Ganesha. Mesjid ini penuh kenangan ketika aku dan Kinanti sering mengikuti kegiatan ceramah dan diskusi untuk memperluas wawasan keagamaan. Dari jalan Blitung menuju Utara menelusuri jalan Juanda sampai akhirnya belok ke kiri ke arah jalan Ganesha. Mesjid Salman berdiri kokoh penuh dengan wibawa. Di sini ditempa remaja remaja Islam dengan ilmu tauhid dan ahlaq agar memiliki kepribadian muslim dengan aqidah yang berakar kuat dalam hatinya.
Di dalam Mesjid itu aku sempatkan sholat sunah Tahyatulmasjid kemudian sholat Dhuha. Sedikit membacakan wirid wirid pendek dan berdoa kepada ALLAH untuk ketentraman hatiku. Seusai sholat Dhuhur itu aku baru meninggalkan Mesjid Salman kemudian kembali meluncur di jalan Juanda menuju jalan Merdeka dan mendarat di BIP (Bandung Indah Plaza) yaitu sebuah Pusat Perbelanjaan yang sudah menjadi icon belanja di Kota Bandung.  Siang itu Aku duduk di salah satu Food Court menikmati makan siangku hanya dengan semangkuk bakso dan segelas juice strawberry. Rasanya nikmat sekali mungkin karena memang perut ini sudah lapar. Asyik juga ya menelusuri jejak jejak kenangan lama. Dulu waktu masih SMA aku dan Kinanti sering juga ke BIP ini hanya untuk keliling melihat barang-barang atau sekedar belanja seperlunya. Rasanya memang cukup banyak juga kenangan dengan Kinanti. Entah tempat mana saja di Bandung ini yang penuh dengan sejarah remajaku. Aku benar-benar menikmati kesendirianku di Food Court itu. Ketika ada seseorang menepuk bahuku sambil memanggil namaku aku menoleh. Sungguh aku terkejut karena di sana berdiri Kinanti dengan senyumnya. Kinanti tidak sendirian ya dia ditemani oleh Eko Priotomo.
”Alan rupanya sedang ada di Bandung kok aku tidak dikabari?”, kata Kinanti.
”Hai Kinan hallo Mas Eko!”, kataku menyapa mereka.
”Bagaimana khabar Mas Alan?”, tanya Eko. Aku sebenarnya usianya sama tua nya dengan Eko tapi kami memanggil satu sama lain dengan panggilan Mas hanya sebagai rasa hormat saja.
”Alhamdulillah baik baik. Ayo duduk bareng mau pesan makan siang?”, kataku menawarkan.
”Terimakasih Alan baru saja tadi selesai makan siang!”, kata Kinanti.
”Oh ya Mas Eko dan Kinan selamat ya atas pertunangan kalian ngomong ngomong kapan rencana pernikahannya?”, tanyaku.
”Insya Allah setelah lebaran Haji !”, jawab Eko.
”Kinan jangan lupa aku dikabari kalau sudah pasti tanggalnya!”, kataku.
”Iya Mas Alan jangan kuatir!”, kata Eko menjawab sementara Kinanti hanya tersenyum sambil menatapku. Akhirnya tidak lama kami harus berpisah dan sebelum berpamitan Kinanti berkata:
”Alan main ke rumah ya kamu sering ditanyain Si Intan tuh!” kata Kinanti masih sempat menawarkan singgah ke rumahnya.
”Okey Kinan titip salam saja untuk Intan dari Om Alan yang ganteng!”, kataku bercanda sambil tertawa. Aku hanya bisa memandangi punggung mereka ketika mereka beranjak meninggalkanku sendiri. Aku masih duduk termangu disitu. Aku lihat di meja persis di depanku sepasang remaja masih dengan seragam SMA nya sedang menikmati hidangan makan siang. Aku lihat remaja SMA berseragam abu-abu itu bercanda, tertawa dan saling pandang dengan senyum masing-masing. Masa remaja mereka yang penuh dengan keindahan. Melihat mereka teringat masa masa SMA bersama Kinanti. Ah rasanya seperti mimpi atau memang hidup ini sebenarnya hanya sebuah mimpi. Entahlah yang jelas pertemuan di Food Court BIP itu adalah sebuah fragmen satu babak yang ceritanya belum selesai. Entah pula kapan cerita fragmen itu selesai. Entah bagaimana pula akhir dari cerita itu apakah happy ending ataukah sad ending?. Entahlah. Entahlah. Entahlah. Aku seperti sudah tidak memiliki apa apa lagi. Kinanti, Listya, Diana Faria semua sudah menjadi catatan masa lalu.
Menghabiskan hari Sabtu di Kota Bandung tidak terasa karena begitu banyak tempat-tempat nostalgia yang harus aku kunjungi. Malam itu rasa lelah yang amat sangat membuatku tertidur lelap sehabis sholat Isya, bahkan ketika Ibuku membangunkanku untuk makan malam akupun hanya mampu mengiyakan saja. Aku baru beranjak dari tempat tidur ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku memeriksa HP ku mungkin ada sms atau telpon. Lima panggilan tak terjawab semuanya dari Kinanti. Ya ketika aku tertidur rupanya Kinanti menghubungiku melalui Hand phone. Apakah aku harus telpon balik?. Sekarang ini sudah jam sepuluh malam. Mungkin lebih baik besok saja. Ataukah sekarang saja karena sampai lima kali miss call pasti ada yang penting yang ingin dibicarakan. Akhirnya aku mencoba menghubungi HP nya Kinanti.
”Assalaamualaikum Alan!. Kemana saja tadi aku telpon berapa kali tidak diangkat HP mu!”, suara Kinanti diseberang sana.
”Maaf Kinan ini aku baru saja bangun tidur. Tadi seusai Isya aku terlelap mungkin kecapaian karena siangnya sudah keliling Bandung!”, kataku.
”Keliling Bandung kemana saja. Tadi sepulang dari BIP terus kemana?. Aku sebenarnya menunggumu di rumah!. Lalu kapan kamu pulang ke Surabaya ”, kata Kinanti.
”Aduh Kinan tanyanya satu satu. Aku jadi bingung jawabnya he he he!. Seharian tadi aku keliling ke Sekolah kita, Mesjid Salman, BIP, Gasibu, Taman Ganesha, Mesjid Istiqomah!. Rencana kembali ke Surabaya besok pagi dengan Argo Wilis”, kataku.
”Alan kenapa kamu tidak mengabariku lebih dulu kalau mau ke Bandung?”,kembali tanya Kinanti.
”Kinan ya bukan apa apa. Sekarang aku harus bisa membatasi diri apalagi kamu sekarang sudah resmi dilamar Eko dan sebentar lagi akan menjadi istrinya!”, kataku. Beberapa saat aku tidak mendengar respon Kinanti atas penjelasanku.
”Hallo Kinanti!”, kataku. Kinanti nampaknya masih membisu. Berkali-kali aku memanggilnya melalui HP itu namun Kinanti tetap terdiam sampai akhirnya Kinanti menutup HP nya. Aku benar benar tertegun mengalami hal seperti ini. Belum pernah Kinanti bersikap ngambek seperti ini. Apakah ada kata-kataku yang menyinggung perasaannya.  Aku mencoba mengirim sms mengutarakan maafku atas kata kataku yang mungkin tidak berkenan di hati Kinanti namun sms itupun terlantar tiada balasan. Aku benar benar tidak mengerti dengan sikap Kinanti. Selama ini Kinanti tidak pernah sensitif seperti ini. Bagian kalimat manakah yang membuat Kinanti ngambek?. Rasanya tidak ada kalimat yang menyinggung perasaannya. Malam itu tadinya aku mau menuju meja makan karena memang belum makan malam namun tiba-tiba saja jadi malas. Akhirnya aku tetap berada di tempat tidur sampai akhirnya terlelap sampai waktu Subuh.
Stasiun Kereta Api Bandung sudah mulai sibuk di pagi hari itu. Di ruang Tunggu itu aku masih termangu mengingat kejadian tadi malam. Aku mencoba untuk menghubungi HP Kinanti namun tetap tidak diangkat panggilanku. Terdengar suara pemberitahuan bahwa Argo Wilis tujuan Surabaya sudah berada di jalur enam bagi para penumpang agar bersiap siap. Akupun beranjak dari Ruang Tunggu itu dengan rasa gundah. Selama perjalanan menuju Surabaya itupun aku hanya terdiam dan bahkan tertidur dan baru terbangun ketika Petugas Restorasi Kereta menawarkan makan siang. Aku baru ingat kalau tadi malam tidak sempat makan dan tadi pagi pun aku hanya sarapan sepotong roti yang dibuatkan Ibu maka tidak heran kalau di Kereta itu aku melahap makan siang dengan penuh semangat. Badan kembali terasa segar karena mungkin sudah cukup tidur dan makan. Aku memeriksa HP apakah ada sms atau panggilan. Ternyata ada beberapa sms dan semuanya dari Kinanti. Oh Tuhan. Aku mulai membaca sms sms Kinanti satu per satu :
”Alan aku mohon dimaafkan dengan kejadian tadi malam. Aku benar-benar sedih. Malam itu aku menangis karena aku seperti mau kehilanganmu. Aku merasa takut dengan perubahan sikapmu kepadaku hanya karena aku akan menikah dengan Eko!”.
”Aku juga kecewa kenapa kamu tidak menyempatkan waktu untuk mengunjungiku karena banyak yang ingin aku katakan!”.
”Alan sewaktu kau katakan di Bandung ini baru saja keliling ke tempat tempat yang kau sebutkan itu. Bukankah itu adalah tempat-tempat yang dulu sering kita kunjungi?. Aku mencoba merasakan perasaanmu saat ini aku mencoba mengerti dan maafkan aku Alan telah mengambil keputusan yang tidak kau inginkan!”.
”Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”.
”Daisy Listya adalah cinta sejatimu walaupun mungkin tidak bisa kau raih namun andaikan aku harus menggantikan cinta Daisy Listya adalah hal yang tidak bisa disetarakan!”.
”Itulah sebabnya aku tidak bisa memenuhi keinginan Listya agar aku menikah denganmu!”.
”Alan ada yang perlu kau ketahui bahwa sebenarnya Intan, putriku, lebih merestuimu dari siapapun untuk menjadi teman hidupku. Namun alasan-alasan di atas itu yang membuat aku harus memberi keputusan yang lain!”.
”Selamat jalan Alan semoga selamat dan sehat sampai di Surabaya!”.
Aku tertegun membaca semua sms Kinanti. Berulang-ulang aku membaca sms Kinanti, berulang-ulang. Rangkaian kata-kata yang jujur dari seorang wanita yang luar biasa.  Berbahagialah Eko Priotomo, lelaki yang akan menjadi suaminya sementara biarkanlah aku berdoa untuk diri sendiri. Semoga Allah selalu memberikan ketabahan kepadaku.
”Kadang aku merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”. Ini adalah salah satu sms Kinanti Puspitasari yang sangat berarti dalam hidupku.
Kata hatiku berkata :
”Alan sudahlah ingat kembali realita yang terjadi. Semua sudah menjadi lembaran masa lalumu. Diana Faria, Daisy Listya dan kini Kinanti Puspitasari sudah ditakdirkanNya menjadi masa lalumu”.
(BERSAMBUNG)

Monday, September 9, 2013

Novel Hensa EPISODE AKHIR CINTAKU (Bagian 3)



AWAN MENDUNG KOTA BANDUNG
Malam Minggu itu adalah syukuran ulang tahun Ibuku pada usia beliau yang ke 80. Alhamdulillah pada usia tersebut Ibu tetap sehat, ceria dan selalu bahagia di tengah-tengah anak-anak dan cucu cucunya. Walaupun malam itu hujan turun hampir disemua sudut kota Bandung dan udara dingin menyengat tubuh namun rupanya tidak akan cukup mampu mengurangi kehangatan acara syukuran ulang tahun Ibuku. Ruang keluarga itu penuh dengan doa doa, kegembiraan, senyuman, canda tawa dan riang nyanyian kebahagiaan yang sempurna bagi Ibuku. Hal yang istimewa bagiku malam itu adalah kehadiran Kinanti Puspitasari di tengah-tengah keluarga besarku.  Sebetulnya dulu waktu SMA, Kinanti sering juga datang ke rumah, namun saat ini adalah pertama kali lagi Kinanti bertemu dengan Ibu. Tentu saja Ibu sangat pangling berjumpa Kinanti sekarang dengan saat Kinanti masih SMA dulu.
”Ibu kalau ketemu pasti tidak akan mengenal Neng Kinan yang sekarang ini. Bertambah cantik dan anggun dengan hijab ini!”, kata Ibu. Mendengar ini Kinanti hanya tersenyum dan bilang terimakasih. Aku melihat wajah Kinanti sangat cantik dengan senyum penuh dengan rasa senang menerima pujian Ibuku.
”Ibu bersyukur, semua anak-anak Ibu sudah mandiri, sudah berhasil. Hanya ada satu hal yang menjadi hati Ibu prihatin. Ini Alan yang masih belum dapat jodoh!”, kata Ibuku kepada Kinanti seolah curhat. Kinanti melirik kepadaku dan aku hanya bisa angkat bahu.
”Ibu jangan kuatir sebentar lagi nanti aku kenalkan calonku!”, kataku sambil tertawa.
”Ah Alan. Kamu itu cuma omdo!”, kata Ibuku menggunakan bahasa anak muda sekarang. Aku kembali tertawa sementara Kinanti hanya tersenyum.
”Alan!. Ibu selalu berdoa agar kamu segera mendapatkan jodohmu. Ibu masih ingin menyaksikan pernikahanmu sebelum Allah memanggilku!”, kata Ibu.
”Iya Ibu terima kasih. Insya Allah doa Ibu dikabulkan Allah!” kataku dengan haru. Mendengar curahan hati Ibu, aku benar-benar terharu. Beberapa saat aku terdiam disamping Kinanti yang juga terdiam. Diam-diam aku melirik Kinanti dan aku lihat dia tertunduk entah apa yang dipikirkannya.
Malam itu aku melihat Kinanti begitu akrab di tengah-tengah keluarga besarku. Entah kenapa aku begitu senang melihat suasana keakraban itu. Saat itu aku hanya membayangkan andai saja Kinanti menjadi bagian dari keluarga besar ini. Ya andai saja. Apakah dengan demikian aku sudah mendapatkan kebahagiaan itu?. Sesaat pada malam itu aku seakan sudah bisa melupakan Listya. Ya malam itu adalah malamnya Kinanti Puspitasari. Canda tawanya Kinanti menyatu dengan adik-adikku dan keponakanku terutama yang gadis-gadis menambah rasa bahagiaku. Mungkin sangat wajar saat Kinanti akrab dengan keponakanku karena dia punya anak gadis seusia mereka. Mereka begitu ceria bercengkerama diselingi tawa-tawa gembira. Aku juga melihat betapa Ibuku sangat merasakan kebahagiaan di tengah-tengah kasih sayang keluarga besarnya. Namun yang selalu aku ingat adalah ketika beliau mengatakan : ”Alan!. Ibu selalu berdoa agar kamu segera mendapatkan jodohmu. Ibu masih ingin menyaksikan pernikahanmu sebelum Allah memanggilku!”, kata Ibu. Sebuah ungkapan kegundahan hati Ibu. Kata-kata ini sangat mengganggu pikiranku. Tidak ada yang bisa aku harapkan sekarang. Kinanti?. Dia sudah mengemukakan sikapnya untuk hanya sebagai seorang sahabat. Listya?. Sudah jelas merupakan masa laluku. Hanya doa ibu yang bisa menjadi harapan.
Dalam perjalanan mengantar pulang Kinanti ke Arcamanik, aku lebih banyak diam. Maka dalam perjalanan itu hanya terdengar alunan musik ringan dari Tape di mobil. Ruas jalan Kota Bandung yang baru saja diguyur hujan tetap saja ramai dan macet apalagi ini malam Minggu walaupun malam sudah hampir larut. Aku menempuh perjalanan hampir 2 jam dari Kopo sampai di Arcamanik. Bayangkan kemacetan ada dimana-mana.
”Kinan!, aku tidak mampir ya karena sudah malam. Sampaikan salam untuk Bapa dan Ibu juga Intan!”, kataku berpamitan kepada Kinanti.
”Terima kasih Alan, hati hati ya!”, kata Kinanti. Setelah mengucapkan salam, akupun menyalakan mobil dan kembali menuju keramaian lalu lintas kota. Sesampainya di rumah kelelahan yang mendera telah membuatku langsung terlelap di atas sofa ruang tengah. Aku baru terjaga ketika Ibu membangunkanku untuk sholat Subuh. Begitu cepat hari berganti ya Allah. Hari ini hari Minggu dan sore nanti aku harus kembali ke Surabaya untuk mengisi kembali rutinitas yang membosankan.
Minggu pagi itu aku masih sempat bertemu Kinanti di rumahnya. Aku melihat Kinanti tidak seceria seperti biasanya.
”Kinan sepertinya kamu kurang sehat!”, tanyaku.
”Mungkin juga Al. Semalam aku tidak bisa tidur lelap!”, kata Kinanti.
”Banyak pikiran? Mungkin aku bisa bantu. Ceritakan padaku agar bebanmu menjadi ringan!”, kataku. Kinanti hanya tersenyum dan aku juga hanya angkat bahu.
”Tidak juga banyak pikiran. Aku hanya teringat kata-kata Listya waktu kami bertemu di Malang tempo hari!”, kata Kinanti. Ini dia yang kutunggu tunggu cerita tentang Listya. Awalnya aku tidak mau menanyakan hal tersebut ketika aku lihat Kinanti terlihat agak murung. Namun ternyata dia sendiri yang membuka ruang untuk berdialog tentang Listya.
”Apa saja yang dia katakan!?”, tanyaku.
”Listya sangat mencintaimu Al. Dia tidak mau membayangkan kamu menikah dengan orang lain kecuali denganku. Dia menitipkanmu kepadaku!”, kata Kinanti. Mendengar penjelasan Kinanti ini aku hanya terdiam tidak mau berkomentar lebih jauh. 
”Padahal aku sudah menjelaskan bahwa aku tidak sanggup untuk menggantikan cintanya yang luhur dan tulus!”, kata Kinanti lagi.
”Sudahlah Kinan tidak perlu lagi dipikirkan lagi hal itu. Bagaimanapun juga yang terbaik bagiku, Kinanti adalah sahabat sejatiku!”, kataku mencoba menenangkan hati Kinanti. Namun ternyata aku melihat ada titik air mata di mata Kinanti. Ya Tuhan dia menangis.
”Alan maafkan aku!”, kata Kinanti lirih.
”Kinan!, tidak perlu minta maaf seperti itu. Aku selalu menerima dan mengikuti takdirku apa adanya. Jika Allah menghendaki maka itulah kuasa yang tidak bisa kita tolak!”, kataku. Kinanti masih tertunduk dan terisak. Kembali aku menenangkannya agar dia melupakan saja apa yang dikatakan Listya.
”Aku juga teringat malam itu apa yang dikatakan Ibumu dengan doanya yang tulus agar kau mendapatkan jodohmu!”, kata Kinanti.
”Hal yang sama Ibuku juga demikian prihatin dengan kesendirianku!”, kembali suara Kinanti.
”Ketika Eko mau melamarku, Ibuku terlihat gembira. Namun aku tidak bersedia menerima lamarannya!”, kata Kinanti lagi. Aku sengaja diam untuk mendengarkan segala kegundahan hati Kinanti agar terucap untuk melegakan hatinya. Membiarkannya mengeluarkan curahan hatinya.
”Kau tahu Alan mengapa aku menolak Eko?. Karena sebenarnya Eko sedang dekat dengan Irma, rekan dosen di Fakultas lain. Irma rekan dosennya walaupun usianya sudah berumur namun dia masih gadis!”, kembali suara Kinanti.
Wanita memang mahluk yang penuh dengan kebimbangan termasuk Kinanti yang aku kenal sebagai wanita tegar. Nanti dulu berbicara soal bimbang sebenarnya bukan hanya wanita tapi lelakipun demikian. Contohnya?. Profesor Alan Erlangga adalah lelaki penuh kebimbangan untuk menunjukkan cintanya kepada Daisy Listya. Jika tidak bimbang apa yang terjadi?. Ah sudahlah aku harus menerima takdirku dengan ikhlas.
”Alan sekali lagi aku minta maafmu!”, suara Kinanti mengagetkanku.
”Okey Kinanti aku sudah memaafkanmu atas kesalahan yang sendiri aku tidak tahu!”, kataku.
”Alan kesalahanku adalah karena aku tidak mampu menggantikan cinta Daisy Listya!”, kata Kinanti. Aku terkejut dengan pernyataan Kinanti ini.
”Kinan sudahlah lupakan saja apa yang dikatakan Listya. Aku sendiri juga sudah ikhlas menerima yang sekarang terjadi. Hentikan tangismu Kinan!”, kataku perlahan.
”Minggu pagi ini aku inginkan senyummu!, ayo tersenyum Kinanti!”, kataku dengan nada ABG yang sedang merayu. Kinanti memandangku lalu tersenyum namun air mata dipipinya masih berurai.
”Nah begitu dong, tapi kalau begini ini namanya tersenyum dalam tangisan!”, kataku menggoda.
”Alan!. Memang kamu itu orang yang selalu membuatku gembira!”, kata Kinanti kali ini dia mulai tertawa kecil.
”Apakah hamba boleh membantu mengusap air matamu Tuan Putri?”, aku mulai bercanda.
”Alan Alan sudah sudah, mulai gila kamu!”, kata Kinanti kali ini sambil tertawa renyah. He he he akhirnya aku berhasil membuat Kinanti kembali ceria.
Sore itu satu jam sebelum take off aku sudah berada di Bandara Husein Sastranegara. Walaupun sore itu cuaca mendung namun penerbangan Bandung Surabaya lancar dan hampir waktu Isya aku sudah tiba di Rumah Menanggal Surabaya. Setelah mandi, sholat Isya dan makan malam yang sudah disediakan Si Mbok maka mulailah aku menyusun agenda kerja esok hari. Senin pagi ada sesi mengisi kuliah siangnya mengisi Pasca Sarjana dan sorenya cek pekerjaan analisa data mahasiswa di Laboratorium. Ya rutinitas yang membosankan. Namun demikian aku tetap dapat menjalani rutinitas tersebut dengan baik. Diantara kebosanan rutinitas itu hanya satu hal yang dapat meberikan rasa gembira itu yaitu jika ada telepon dari Kinanti. Kami bisa berbincang tentang apa saja. Aku bisa merasakan persahabatan yang tulus. Sungguh sungguh Kinanti adalah sahabat sejatiku. Mungkin juga baginya aku adalah sahabat sejatinya. Dalam sebulan terakhir ini aku hanya bisa berhubungan dengan Kinanti melalui hand phone karena belum ada agenda acara yang memungkinkan aku ada di Bandung. Demikian pula Kinanti masih sibuk dengan perkuliahan di Fakultasnya. Namun dalam Minggu ini aku dikejutkan berita dari Kinanti bahwa dia akan bertunangan dengan Eko Priotomo, rekan dosennya itu. Oh akhirnya Kinanti menerima Eko sebagai tunangannya.
”Alan nanti aku jelaskan kenapa aku menerima lamaran Eko!”, kata Kinanti ketika dia menelponku.
”Aku sangat senang akhirnya sahabatku mendapatkan jodohnya. Kinan jangan lupa hari pernikahanmu khabari aku!”, kataku.
”Okey Alan aku pasti mengundangmu!”, kata Kinanti dengan rasa senang.
Penjelasan Kinanti kepadaku mengapa sekarang dia menerima lamaran Eko?. Karena Eko bisa meyakinkannya bahwa Eko sudah tidak berhubungan dengan Irma, rekan dosennya juga dari fakultas lain. Irma adalah dosen di Fakultas MIPA. Sebenarnya Irma adalah adik kelasnya Eko sewaktu mereka kuliah di Yogyakarta. Aku merasa lega akhirnya Kinanti jadi menikah lagi. Namun hati kecilku berkata bahwa aku seperti kehilangan bagian lain dari hatiku. Ya bagian itu adalah Kinanti Puspitasari. Setelah aku kehilangan Diana Faria datanglah Daisy Listya, namun Daisy Listya juga harus pergi dan kini Kinanti Puspitasari. Ada rasa hampa hinggap di hatiku. Tiba-tiba saja aku merasa sendiri. Aku harus kehilangan orang-orang yang aku cintai. Ataukah aku tidak diperkenankanNya untuk memiliki salah satu diantara mereka. Ya aku memang tidak pernah memiliki siapapun bahkan termasuk diriku sendiri. Maka aku tidak boleh merasa kehilangan. Kinanti adalah wanita yang tegar, tabah, cerdas, teguh dengan prinsip, berbudi luhur dan memiliki aura kecantikan lahir batin. Aku bersyukur bisa mengenal Kinanti. Aku juga bersyukur sempat mengenal dan mencintai Daisy Listya. Aku juga bersyukur diberi  kesempatan berbahagia dengan Diana Faria. Mereka adalah wanita wanita istimewa dalam hidupku. Wanita wanita yang selalu ada dalam relung sudut hatiku. Ya Allah berilah aku kekuatan karena tidak satupun diantara mereka yang menjadi teman hidupku. Ya Allah apakah ini takdir yang harus aku jalani andaikata iya semoga Kau selalu memberiku kesempatan berupaya untuk mendapatkan takdir terbaikku menurut takdirMU.

(Bersambung)