Foto : Hensa/koleksi pribadi
EPISODE 18
MENIKMATI
RASA GELISAH
Sepagi ini aku sudah
berdiskusi serius dengan dokter Wim tentang pengobatan Antiretroviral. Terapi
antiretroviral itu berarti mengobati infeksi HIV dengan beberapa obat. Karena
HIV adalah retrovirus maka obatnya juga biasa disebut sebagai obat antiretroviral
(ARV). Seniorku dokter Wim sangat berpengalaman menangani Pasien penderita HIV.
Aku sangat beruntung berkesempatan magang bersama beliau. Dokter Wim berdiskusi
mengenai obat-obat ARV ini. Salah satu obat anti-HIV adalah golongan nucleoside reverse transcriptase inhibitor atau
NRTI, juga disebut analog nukleosida. Obat golongan ini menghambat perubahan
bahan genetik HIV dari bentuk RNA menjadi bentuk DNA. ARV dinilai dapat menekan replikasi HIV.
He he he sangat
mengasyikkan juga diskusi bersama beliau ini dan catatan dalam buku kecilku
semakin penuh dan padat saja dengan istilah-istilah yang terdengar begitu
rumit. Paling tidak bagiku hari ini adalah hari-hari yang penuh dengan topik
mengenai HIV. Semakin sering aku mendengar topik ini maka aku semakin teringat
kepada Mutiara yang saat ini sedang terbaring sakit. Teringat Mutiara maka ada rasa rindu
menyapaku. Teringat saat Mutiara terbaring sakit maka ada rasa khawatir yang
tak bisa aku ungkapkan. Tadi pagi aku menelpon Mutiara. Berbincang serius
mengenai keluhan sakitnya. Aku selalu membesarkan hatinya dengan kata-kata bahwa
Mutiara hanya butuh istirahat. Sebenarnya itu hanya kata-kata untuk menghibur,
padahal aku menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih serius dari hanya sekedar
butuh istirahat.
Saat istirahat makan
siang, Bunga menelponku menanyakan Mutiara. Terus terang aku sangat gembira
menerima telpon Bunga ini.
“Mutiara belum bisa
kembali ke Surabaya. Saat ini harus rawat inap di Rumah Sakit!”, kataku
menjawab pertanyaan Bunga.
“Berarti Mutiara sakitnya
cukup serius nih?”, tanya Bunga.
“Demamnya masih belum
turun normal. Sekarang ini sedang menunggu hasil tes gejala typus!”.
“Belum ada kabar hasil uji
labnya?”.
“Belum. Mudah-mudahan
tidak terjadi apa apa dengan Mutiara. Hai ngomong ngomong kamu sekarang di
Kampus atau di Rumah?”, tanyaku kepada Bunga.
“Aku masih di Perpustakaan
Kampus!”.
“Pasti kamu sama Arman
ya!”, aku mulai menggoda Bunga.
“Herman jangan bicarakan
soal Arman. Dia hanya teman biasa. Perkara dia ada hati denganku itu bukan urusanku!”,
kata Bunga ketus.
“Waduh Bunga bisa galak
juga ya!. Okey aku tidak lagi membicarakan soal Arman !”, kataku.
“Nah gitu dong. Her, aku
ini kepingin ke Pasuruan, kapan kamu punya waktu menemaniku. Pergi sendirian
malas!”, kata Bunga mengalihkan pembicaraan.
“Kalau Minggu ini aku lagi
disibukkan oleh pasien istimewa!”.
“Pasien istimewa apa
maksudnya?”.
“Pasien yang terjangkit
HIV!”, kataku. Beberapa saat Bunga tidak bereaksi dengan penjelasanku. Bunga
nampaknya sedang berfikir.
“Hallo, hallo Bunga. Apakah
masih di sana?”.
“Ya ya Herman. Aku masih
di sini. Mendengar HIV aku jadi teringat Mutiara. Masa lalunya yang kelam penuh
dengan risiko tinggi!”, kata Bunga. Kali ini aku yang terdiam membisu
memikirkan kata-kata Bunga.
“Herman mudah-mudahan
tidak terjadi terhadap Mutiara. Kita berdoa yang terbaik untuknya. Namun aku
benar-benar merasa khawatir!”, suara Bunga penuh haru.
“Ya Bunga, segala
sesuatunya biar kita serahkan
se-penuhnya kepada Allah!”.
Rasa khawatir itu ternyata
bukan dirasakan olehku saja ternyata Bunga pun merasakan hal yang sama.
Puncaknya adalah ketika malam itu aku dikejutkan oleh kedatangan Om Franky ke
tempat Kostku. Pasti beliau membawa kabar penting tentang Mutiara. Sebenarnya
ini adalah kunjungan Om Franky yang kedua. Dulu saat pertama kali berkunjung
bersama sama dengan Mutiara.
“Herman maaf mengganggu
waktu istirahatmu!”, kata Om Franky.
“Tidak apa apa. Ini Om tadi
dari Kantor langsung ke sini?”.
“Iya Herman. Tadinya mau
bicara lewat handphone namun rasanya lebih baik langsung berdiskusi denganmu!”.
“Diskusi tentang apa Om?”.
“Tentang kesehatan
Mutiara!”.
“Oh bagaimana kabar
terakhir mengenai hasil uji Laboratoriumnya. Tadi pagi saya sempat telpon dia
tapi belum bercerita tentang hasil uji itu!”.
“Hasil laboratorium
negatif untuk uji typus namun heran demamnya sampai saat ini masih sering
kambuh!”.
Ya Allah inilah puncak
rasa khawatirku. Mendengar berita ini aku benar-benar merasa takut kalau hal
ini akan terjadi pada Mutiara.
Gejala-gejala yang sekarang sedang dialami Mutiara mirip dengan gejala-gejala
orang yang terinveksi HIV. Dalam ilmu kedokteran disebut Sindrom Retroviral
Akut ( Acute Retroviral Syndrom-ARS).
Ya Allah betapa rasa takut ini menyelimutiku terutama saat aku harus
menyebutkan kata-kata HIV.
“Herman apakah diperlukan
test untuk HIV?”, suara dari pertanyaan Om Franky ini seperti petir di siang
bolong. Apalagi disaat yang sama aku sedang merasa khawatir terhadap kesehatan
Mutiara. Aku beberapa saat hanya bisa terdiam membisu.
“Om Franky untuk alasan
medis memang ada baiknya dilakukan test itu !”, kataku dengan rasa lesu.
“Saya sendiri mempertimbangkan
bahwa Mutiara memiliki riwayat yang berisiko tinggi saat ada dalam dunia yang
kelam itu!”, kata Om Franky bijak.
“Iya Om. Inilah yang
selama ini saya khawatirkan!”.
“Bagaimana menurutmu
apakah riwayat kelam Mutiara perlu diinformasikan kepada dokter di
Manado?”,tanya Om Franky. Aku terdiam sejenak, karena ini menyangkut kehormatan
keluarga.
“Sebaiknya Om bisa
bicarakan dengan keluarga besar karena hal ini menyangkut kehormatan
keluarga!”.
“Baik Herman. Bagi saya
sendiri lebih baik dokter diberitahu tentang riwayat kelam Mutiara bagi
kepentingan tes HIV itu !”, kata Om Franky.
“Iya Om karena untuk
kepentingan kesehatan Mutiara juga akhirnya !”.
“Secepatnya saya akan
komunikasikan dengan Mutiara dan Mamanya. Agar secepatnya pula dilakukan test
HIV !”, kata Om Franky.
Saat ini ada beberapa
jenis uji laboratorium yang dapat digunakan untuk mengetahui seseorang
terjangkit HIV atau tidak, yaitu uji anti-HIV, antigen P24 dan polymerase chain reaction (PCR). Dari ketiga uji tersebut maka uji
anti-HIV merupakan jenis uji HIV yang banyak digunakan untuk memastikan apakah
seseorang terinfeksi HIV atau tidak. Uji anti-HIV ini dinilai paling mudah untuk dilakukan
dan relative akurat jika dibandingkan dengan jenis uji HIV lainnya. Uji
anti-HIV dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi yang dihasilkan oleh
sistem kekebalan tubuh dalam melawan HIV. Antibodi HIV pada umumnya terbentuk
antara 3 - 6 minggu setelah terinfeksi, atau pada seseorang yang pembentukan
antibodinya relatif lambat maka terbentuknya
antara 3 - 6 bulan setelah yang bersangkutan melakukan tindakan berisiko
tertular HIV. Melihat kondisi Mutiara saat ini aku mencoba menghitung hari hari
ke belakang disaat Mutiara berhenti dari kegiatan yang sangat berrisiko
tertular HIV itu sekitar 3 – 4 bulan yang lalu. Bukankah sekarang gejala itu
sudah mulai kelihatan dan untuk memastikan apakah terinfeksi atau tidak memang
diperlukan tes HIV. Ya Allah berikan perlindungan kepada Mutiara.
Setelah bertemu dengan Om
Franky malam itu aku seakan sedang
menunggu sesuatu yang aku khawatirkan selama ini. Mutiara sekarang memiliki
resiko tinggi karena lingkungannya dulu adalah komunitas yang bisa me-nyebarkan
virus HIV. Selama ini justru inilah yang aku paling takutkan. Akupun jadi
kembali teringat apa yang dikatakan Bapakku bahwa aku harus berani menghadapi
tantangan di depan. Ya Allah berilah aku kekuatan untuk menghadapi segala
rintangan dan cobaan. Aku yakin Engkau tidak akan mengujiku diluar batas
kemampuanku.
Besok Om Franky terbang ke
Manado. Selain ada urusan bisnis juga sekaligus akan bertemu dengan Mutiara dan
Mamanya untuk membicarakan tentang test HIV itu. Aku berharap semua berjalan
sesuai dengan harapan. Malam ini sebenarnya aku ingin menelpon Mutiara namun
aku urungkan mengingat waktu sudah hampir tengah malam. Walaupun waktu sudah
larut malam namun aku begitu sulit untuk memejamkan mata. Selalu terbayang apa
yang nanti terjadi dengan Mutiara. Aku
tahu, selama ini dalam masyarakat kita, penderita HIV/AIDS selalu dianggap
sebagai sosok yang berdosa dengan kata lain orang tersebut sedang dihukum oleh
Tuhan. Sungguh sangat menyedihkan sampai saat ini masih ada sebagian orang dalam masyarakat kita yang menggeneralisasi anggapan
seperti ini. Padahal semua tahu bahwa seseorang yang terjangkit virus HIV/ AIDS
itu disebabkan oleh banyak faktor,
antara lain misalnya karena penggunaan narkoba, seks bebas, transfusi darah,
dan kelahiran/masa perinatal. Pada kasus kelahiran dan transfusi darah,
penderita merupakan korban yang selayaknya dirangkul kembali agar tidak mengalami
depresi berat. Untuk penderita karena
faktor seks bebas dan penggunaan narkoba, walaupun hal tersebut merupakan konsekuensi
dari masing-masing orang yang berbuat, namun dari segi moral, kita harus tetap bersikap humanis, karena aku yakin bagi Tuhan,
manusia adalah sama. Mereka bisa dirangkul untuk berbenah kembali menata
kehidupannya.
Memikirkan hal tersebut
entah apa yang akan terjadi nanti dengan Mutiara. Aku hanya pasrah kepada
keputusan Allah. Semua sudah berupaya. Mutiara sudah keluar dari dunia
kelamnya. Mutiara sudah kembali ke tengah-tengah keluarganya. Selayaknya
Mutiara sudah seharusnya menemukan
kebahagiannya yang dulu pernah hilang. Namun entah apa nanti yang akan terjadi.
Aku benar-benar menikmati rasa gelisah ini sendirian.
BERSAMBUNG