Bagian 2
KINANTI DI HATIKU
Pada usia yang ke 45 ini Kinanti masih tetap cantik walaupun kini sudah memiliki putri yang berusia remaja. Kinanti lebih muda setahun usianya denganku. Memiliki wajah khas Sunda dengan kulit kuning langsat. Matanya yang indah dan senyumnya yang ramah menambah karakter kecantikannya semakin sempurna. Wanita diciptakan Allah untuk cantik dan kecantikan yang sejati adalah kecantikan yang bisa dirasakan dengan hati. Wanita tidak boleh menyalahi kodratnya untuk cantik. Aku teringat saat Kinanti remaja SMA dulu. Gadis ceria yang cerdas, cantik, ramah penuh dengan pesona. Saat itu tahun masih 80-an ketika kami masih duduk di kelas dua SMA. Masih terbayang Kinanti dengan seragam putih abu abunya adalah seorang gadis remaja ibarat bunga yang sedang mekar. Harum bunga dan keindahannya menyebar kemana mana. Tentu banyak kumbang disekitarnya yang ingin hinggap untuk meraih sari madunya. Salah satunya adalah aku. Memang sewaktu SMA dulu aku sangat mengagumi kecantikan Kinanti dan kepribadiannya yang lembut. Aku teringat waktu itu mencoba untuk mendekati Kinanti bukan untuk main-main seperti terhadap gadis-gadis lainnya. Kinanti adalah gadis yang istimewa bagiku. Sebenarnya aku mengutarakan cintaku pada Kinanti waktu itu benar-benar keluar dari lubuk hatiku namun aku juga memaklumi saat Kinanti menolak dengan halus karena memang reputasiku yang membuat Kinanti tidak percaya padaku.
Aku jadi teringat ketika pertama kali lagi bertemu dengan Kinanti di sebuah Simposium Farmakologi di Bandung, ada dialog yang menarik.
“Ngomong-ngomong kamu jadinya sama siapa?. Arinta, Riana, Jesica, Eva, Dian, Dinda, Anita...ha ha ha cewek-cewekmu masih ada dalam daftarku. Buntutmu sudah berapa?. Dulu pernah bilang mau bikin anak yang banyak!”, kata Kinanti mengajukan pertanyaan bertubi tubi dengan nada canda. Waktu itu aku hanya tertawa ketika Kinanti menyebut nama-nama gadis yang pernah menjadi pacarku. Memang masa-masa SMA selalu penuh dengan kenangan. Entah sudah berapa puluh tahun aku tidak bertemu dengan Arinta, Riana, Jesica, Eva, Dian, Dinda dan Anita. Terakhir aku bertemu Arinta dalam Reuni. Saat itu Kinanti tidak hadir dalam reuni SMA tersebut. Aku lupa reuni itu tahun berapa yang jelas aku sudah menjadi Dosen di Surabaya dan Diana Faria masih mendampingiku. Saat itu Arinta didampingi suaminya. Mereka kelihatan bahagia. Riana dan Jesica juga saat reuni itu hadir. Eva, Dian, Dinda dan Anita sampai sekarang aku belum pernah bertemu, mudah-mudahan mereka berbahagia dengan keluarganya masing-masing. Bagiku lembaran masa SMA itu indah ataukah malah lembaran hitam karena sering menyakiti hati wanita?. Aku sudah memohon ampunanNya dan berusaha melupakannya. Jika saat itu Kinanti Puspitasari menolak cintaku tentu sangat wajar karena itu bagi Kinanti berarti cinta Alan Erlangga yang ke berapa. Sebenarnya bagi wanita hanya mengharapkan cinta terakhir seorang lelaki tidak pernah peduli cinta yang keberapa. Namun apa betul begitu?. Aku tidak tahu.
“Alan lebih baik kita bersahabat seperti selama ini!”, kata Kinanti saat itu. Penolakkan yang sangat halus dan Kinanti adalah satu satu nya gadis saat itu yang tidak bisa aku tundukkan. Cap playboy Alan Erlangga saat itu yang telah merusak pendekatanku kepada Kinanti. Aku benar-benar ditolak oleh Kinanti. Sebenarnya inilah cinta pertamaku yang kandas. Kinanti adalah cinta pertamaku. Ya benar. Aku baru menemukan lagi cintaku ketika Diana Faria memberikannya kepadaku dengan ketulusan sepenuh hatinya. Ketika hidupku penuh dengan cinta ini ternyata Allah menghendaki cinta yang lain. Allah pun mengambil apa yang dimilikiNya. Aku harus rela kehilangan cintaku lalu ketika aku menemukan sebuah cinta dalam diri Daisy Listya ternyata Allah pun memiliki rencana yang lain.
Apakah aku harus kembali menyentuh cinta pertamaku dari seorang Kinanti Puspitasari?. Pertanyaan sesungguhnya sudah terjawab karena Kinanti sudah bersikap tegas. Coba simak apa yang dikatakannya kepadaku.
”Alan maafkan karena aku tidak bisa menggantikan cinta Listya. Cintanya sangat luhur kepadamu. Bagiku yang terbaik buatmu adalah sahabatmu!”.kata kata Kinanti itu selalu terngiang dalam telingaku.
Aku pikir benar apa kata Kinanti lebih baik bersahabat. Hubungan yang tulus tanpa pamrih adalah persahabatan. Paling tidak hubungan yang tidak pernah berujung pada kebencian adalah persahabatan. Cinta dan benci perbedaannya hanya tipis sekali dalam hubungan kekasih seperti sebuah kata bijak : "Cintailah apa yg kau cintai sewajarnya,mungkin suatu hari ia akan menjadi sesuatu yang kau benci. Bencilah apa yang kau benci sewajarnya,mungkin suatu hari ia akan menjadi sesuatu yang kau cintai".
Entah kenapa aku tiba tiba saja teringat teman Kinanti sesama rekan dosen di Kampus namanya Eko Priotomo. Kinanti mengenalnya sudah cukup lama karena dulu sama sama mengambil program S3. Eko Priotomo juga sudah dikenal baik oleh keluarga Kinanti. Sekarang Eko berstatus seorang duda hampir tiga tahun yang lalu istrinya sudah tiada karena penyakit kanker payudara. Eko memiliki dua orang anak putra dan putri seusia Intan. Eko ini sudah mencoba ingin melamar Kinanti untuk menjadikannya sebagai teman hidup Eko. Namun Kinanti tidak bersedia atau mungkin belum bersedia.
“Tidak semudah itu Alan. Sudah lama aku mencoba meyakinkan diriku namun selalu saja aku tidak mampu menemukan jawabannya !”, demikian kata Kinanti waktu itu ketika aku menanyakan kesiapannya untuk menerima lamaran Eko. Sebenarnya apa yang kurang dari Eko Priotomo. Seorang Doktor Farmasi lulusan luar negeri, dosen di sebuah Perguruan Tinggi Top di Bandung. Kesan pertama ketika aku pertama kali mengenalnya, Eko adalah seorang yang ramah. Saat itu aku diperkenalkan oleh Kinanti ketika aku berkunjung ke rumah Kinanti dan kebetulan Eko ada di sana.
“Oh ini pak Alan yang sering diceritakan mbak Kinan itu?”, kata Eko.
“Wah pak Eko, apa betul Kinan suka menceritakan saya?”, kataku sambil melirik Kinanti. Nampaknya Kinanti bereaksi cepat dengan raut wajah tersipu.
“Alan maksud Mas Eko, aku pernah bercerita tentang kamu, teman sekolahku dulu yang sekarang masih tetap jomblo padahal dulu ceweknya banyak!”, kata Kinanti melirik kepadaku sambil tersenyum. Mendengar ini aku tertawa demikian pula Eko. Begitulah salah satu keakraban Eko. Aku sendiri heran mengapa Kinanti menghindari lamaran Eko. Apakah mungkin masih mencintai mendiang suaminya?. Ya mungkin juga seorang wanita tidak mudah melupakan semua kenangan indah dalam hidupnya apalagi kenangan kebahagiaan bersama suami tercinta. Tiga tahun sudah Kinanti menyendiri. Tiga tahun tidak ada artinya apa apa dibandingkan tahun tahun sebelumnya ketika mendiang suaminya masih mendampinginya. Memang tidak mudah melupakan kenangan indah itu. Mungkin saat ini bagi Kinanti belum ada seorang lelaki yang layak mengisi ruang kosong dihatinya yang dulu diisi cinta mendiang suaminya. Kinanti Puspitasari wanita tegar mandiri dengan karirnya yang sukses. Reputasinya sebagai dosen sangat berkelas karena kecerdasannya. Wanita cantik seperti Kinanti harus mendapatkan Pendamping yang layak dan setara dengannya. Aku pikir Eko Priotomo memenuhi kriteria setara tersebut namun Kinanti telah menampiknya. Lalu sebenarnya siapa yang sedang kau tunggu Kinanti?.
Beberapa hari terakhir ini aku merasakan Kampus ini begitu sepi. Padahal setiap aku mengisi kuliah yang hadir sekitar 50 orang lebih mahasiswa. Seharusnya aku tidak merasa kesepian. Mungkin karena aku sudah tidak lagi menemukan Daisy Listya diantara mahasiswa tersebut. Ya mungkin itu. Daisy Listya yang sudah menjadi masa lalu. Tiba-tiba Handphoneku berdering. Oh Kinanti.
“Assalaamu alaikum Kinan!”, sapaku.
“Wa alaikum salaam..Alan sedang sibuk ya!”.
“Tidak juga aku baru saja mengisi kuliah sekarang sudah di Ruang kerjaku!. Aku sedang melamun”, kataku.
“Melamun tentang Listya?”, suara Kinanti menebak.
“Kok kamu tahu?. Tidak juga karena selain Listya juga melamun tentang Kinanti Puspitasari!”, kataku mulai menggoda. Terdengar suara tawa kecilnya Kinanti diseberang telpon sana. Aku juga ikut tertawa.
“Alan jangan coba coba merayuku ya aku sudah hafal rayuan playboy mu!”, kembali suara Kinanti sambil tertawa.
“Okey Kinan aku sudah kehilangan akal bagaimana caranya merayumu!”, kataku. Suara tawa kecil Kinanti masih terdengar menimpali kata kataku ini.
“Alan kamu pasti kaget sekarang aku sedang di Malang!”.
“Kinan jangan bercanda ah!”.
“Benar kan kamu pasti kaget!. Pasti lebih kaget lagi sekarang aku bersama Listya!”, kata Kinanti mantap. Sungguh benar-benar aku tercengang benarkah?.
“Hah Kinan sudahlah jangan bercanda begitu!”, kataku tenang namun sebenarnya sangat penasaran apa benar Kinanti sedang bersama Listya di Kota Malang.
“Kalau kamu tidak percaya ini handphone ini aku berikan kepada Listya biar kamu bisa ngomong sendiri!”, kembali suara Kinanti membuatku penasaran.
“Assalaamu alaikum pak Alan. Masih hafal suara saya?”, suara lembut yang sangat kurindukan setiap saat dan saat ini ada dalam telingaku. Ya suara Daisy Listya.
“Listya wa alaikum salam!”, aku rasanya agak gugup juga mungkin karena rasa rindu yang sudah sekian lama kepadanya.
“Bagaimana kabar pak?”.
“Alhamdulillah baik baik Lis. Bagaimana juga kabarmu dan Mas Rizal?”.
“Alhamdulillah kami juga baik baik. Rasanya lama sekali kita tidak jumpa ya Pak sejak terakhir acara pelepasan Program Profesi Apoteker itu!”.
“Iya Listya sudah lama sekali namun yang penting kita masih saling mendoakan dari jauh!”, kataku. Rasanya dialog ini begitu kaku. Aku kembali teringat kenangan indah bersama Daisy Listya. Jika teringat semuanya maka aku merasakan hanya ada kepedihan dalam hati ini.
Rupanya Kinanti sedang ada acara seminar di salah satu Hotel di Malang. Kinanti menyempatkan menelpon Listya dan mereka bertemu di Hotel itu. Setelah acara seminar itu Kinanti langsung kembali ke Bandung melalui Bandara Juanda. Sebenarnya Kinanti ingin bermalam di Surabaya sekalian bertemu denganku namun besoknya Kinanti ada acara Raker di Bandung. Bagaimanapun pembicaraan singkat dengan Listya melalui HP Kinanti itu bagiku hanya menambah rasa pedih karena ketidak berdayaanku memiliki cinta Listya. Aku masih berharap ada cerita lanjutan dari Kinanti tentang Daisy Listya sewaktu mereka bertemu di Malang.
Minggu depan aku harus ke Bandung kebetulan di akhir pekan itu Ibuku ulang tahun. Saat itu adalah waktu yang baik untuk mengajak Kinanti bertemu Ibu dan sekalian juga bisa ketemu adik-adikku yang lain. Biarlah rencana ini tidak aku ceritakan kepada Kinanti. Saat nanti di Bandung aku akan memberi kejutan kepadanya. Saat itu pula mudah-mudahan aku bisa mendengar cerita lengkap dari Kinanti tentang Listya. Ternyata tidak mudah untuk melupakanmu Daisy Listya.
(Bersambung)