AWAN MENDUNG KOTA BANDUNG
Malam Minggu itu adalah syukuran ulang tahun Ibuku pada usia beliau yang ke
80. Alhamdulillah pada usia tersebut Ibu tetap sehat, ceria dan selalu bahagia
di tengah-tengah anak-anak dan cucu cucunya. Walaupun malam itu hujan turun
hampir disemua sudut kota Bandung dan udara dingin menyengat tubuh namun
rupanya tidak akan cukup mampu mengurangi kehangatan acara syukuran ulang tahun
Ibuku. Ruang keluarga itu penuh dengan doa doa, kegembiraan, senyuman, canda
tawa dan riang nyanyian kebahagiaan yang sempurna bagi Ibuku. Hal yang istimewa
bagiku malam itu adalah kehadiran Kinanti Puspitasari di tengah-tengah keluarga
besarku. Sebetulnya dulu waktu SMA,
Kinanti sering juga datang ke rumah, namun saat ini adalah pertama kali lagi
Kinanti bertemu dengan Ibu. Tentu saja Ibu sangat pangling berjumpa Kinanti
sekarang dengan saat Kinanti masih SMA dulu.
”Ibu kalau ketemu pasti tidak akan mengenal Neng Kinan yang sekarang ini.
Bertambah cantik dan anggun dengan hijab ini!”, kata Ibu. Mendengar ini Kinanti
hanya tersenyum dan bilang terimakasih. Aku melihat wajah Kinanti sangat cantik
dengan senyum penuh dengan rasa senang menerima pujian Ibuku.
”Ibu bersyukur, semua anak-anak Ibu sudah mandiri, sudah berhasil. Hanya
ada satu hal yang menjadi hati Ibu prihatin. Ini Alan yang masih belum dapat
jodoh!”, kata Ibuku kepada Kinanti seolah curhat. Kinanti melirik kepadaku dan
aku hanya bisa angkat bahu.
”Ibu jangan kuatir sebentar lagi nanti aku kenalkan calonku!”, kataku
sambil tertawa.
”Ah Alan. Kamu itu cuma omdo!”, kata Ibuku menggunakan bahasa anak muda
sekarang. Aku kembali tertawa sementara Kinanti hanya tersenyum.
”Alan!. Ibu selalu berdoa agar kamu segera mendapatkan jodohmu. Ibu masih
ingin menyaksikan pernikahanmu sebelum Allah memanggilku!”, kata Ibu.
”Iya Ibu terima kasih. Insya Allah doa Ibu dikabulkan Allah!” kataku dengan
haru. Mendengar curahan hati Ibu, aku benar-benar terharu. Beberapa saat aku
terdiam disamping Kinanti yang juga terdiam. Diam-diam aku melirik Kinanti dan
aku lihat dia tertunduk entah apa yang dipikirkannya.
Malam itu aku melihat Kinanti begitu akrab di tengah-tengah keluarga
besarku. Entah kenapa aku begitu senang melihat suasana keakraban itu. Saat itu
aku hanya membayangkan andai saja Kinanti menjadi bagian dari keluarga besar
ini. Ya andai saja. Apakah dengan demikian aku sudah mendapatkan kebahagiaan
itu?. Sesaat pada malam itu aku seakan sudah bisa melupakan Listya. Ya malam
itu adalah malamnya Kinanti Puspitasari. Canda tawanya Kinanti menyatu dengan
adik-adikku dan keponakanku terutama yang gadis-gadis menambah rasa bahagiaku.
Mungkin sangat wajar saat Kinanti akrab dengan keponakanku karena dia punya
anak gadis seusia mereka. Mereka begitu ceria bercengkerama diselingi tawa-tawa
gembira. Aku juga melihat betapa Ibuku sangat merasakan kebahagiaan di
tengah-tengah kasih sayang keluarga besarnya. Namun yang selalu aku ingat
adalah ketika beliau mengatakan : ”Alan!. Ibu selalu berdoa agar kamu segera
mendapatkan jodohmu. Ibu masih ingin menyaksikan pernikahanmu sebelum Allah
memanggilku!”, kata Ibu. Sebuah ungkapan kegundahan hati Ibu. Kata-kata ini
sangat mengganggu pikiranku. Tidak ada yang bisa aku harapkan sekarang.
Kinanti?. Dia sudah mengemukakan sikapnya untuk hanya sebagai seorang sahabat.
Listya?. Sudah jelas merupakan masa laluku. Hanya doa ibu yang bisa menjadi
harapan.
Dalam perjalanan mengantar pulang Kinanti ke Arcamanik, aku lebih banyak
diam. Maka dalam perjalanan itu hanya terdengar alunan musik ringan dari Tape
di mobil. Ruas jalan Kota Bandung yang baru saja diguyur hujan tetap saja ramai
dan macet apalagi ini malam Minggu walaupun malam sudah hampir larut. Aku
menempuh perjalanan hampir 2 jam dari Kopo sampai di Arcamanik. Bayangkan
kemacetan ada dimana-mana.
”Kinan!, aku tidak mampir ya karena sudah malam. Sampaikan salam untuk Bapa
dan Ibu juga Intan!”, kataku berpamitan kepada Kinanti.
”Terima kasih Alan, hati hati ya!”, kata Kinanti. Setelah mengucapkan
salam, akupun menyalakan mobil dan kembali menuju keramaian lalu lintas kota. Sesampainya
di rumah kelelahan yang mendera telah membuatku langsung terlelap di atas sofa
ruang tengah. Aku baru terjaga ketika Ibu membangunkanku untuk sholat Subuh. Begitu
cepat hari berganti ya Allah. Hari ini hari Minggu dan sore nanti aku harus
kembali ke Surabaya untuk mengisi kembali rutinitas yang membosankan.
Minggu pagi itu aku masih sempat bertemu Kinanti di rumahnya. Aku melihat
Kinanti tidak seceria seperti biasanya.
”Kinan sepertinya kamu kurang sehat!”, tanyaku.
”Mungkin juga Al. Semalam aku tidak bisa tidur lelap!”, kata Kinanti.
”Banyak pikiran? Mungkin aku bisa bantu. Ceritakan padaku agar bebanmu
menjadi ringan!”, kataku. Kinanti hanya tersenyum dan aku juga hanya angkat
bahu.
”Tidak juga banyak pikiran. Aku hanya teringat kata-kata Listya waktu kami
bertemu di Malang tempo hari!”, kata Kinanti. Ini dia yang kutunggu tunggu
cerita tentang Listya. Awalnya aku tidak mau menanyakan hal tersebut ketika aku
lihat Kinanti terlihat agak murung. Namun ternyata dia sendiri yang membuka
ruang untuk berdialog tentang Listya.
”Apa saja yang dia katakan!?”, tanyaku.
”Listya sangat mencintaimu Al. Dia tidak mau membayangkan kamu menikah dengan
orang lain kecuali denganku. Dia menitipkanmu kepadaku!”, kata Kinanti.
Mendengar penjelasan Kinanti ini aku hanya terdiam tidak mau berkomentar lebih
jauh.
”Padahal aku sudah menjelaskan bahwa aku tidak sanggup untuk menggantikan
cintanya yang luhur dan tulus!”, kata Kinanti lagi.
”Sudahlah Kinan tidak perlu lagi dipikirkan lagi hal itu. Bagaimanapun juga
yang terbaik bagiku, Kinanti adalah sahabat sejatiku!”, kataku mencoba
menenangkan hati Kinanti. Namun ternyata aku melihat ada titik air mata di mata
Kinanti. Ya Tuhan dia menangis.
”Alan maafkan aku!”, kata Kinanti lirih.
”Kinan!, tidak perlu minta maaf seperti itu. Aku selalu menerima dan
mengikuti takdirku apa adanya. Jika Allah menghendaki maka itulah kuasa yang
tidak bisa kita tolak!”, kataku. Kinanti masih tertunduk dan terisak. Kembali
aku menenangkannya agar dia melupakan saja apa yang dikatakan Listya.
”Aku juga teringat malam itu apa yang dikatakan Ibumu dengan doanya yang
tulus agar kau mendapatkan jodohmu!”, kata Kinanti.
”Hal yang sama Ibuku juga demikian prihatin dengan kesendirianku!”, kembali
suara Kinanti.
”Ketika Eko mau melamarku, Ibuku terlihat gembira. Namun aku tidak bersedia
menerima lamarannya!”, kata Kinanti lagi. Aku sengaja diam untuk mendengarkan
segala kegundahan hati Kinanti agar terucap untuk melegakan hatinya.
Membiarkannya mengeluarkan curahan hatinya.
”Kau tahu Alan mengapa aku menolak Eko?. Karena sebenarnya Eko sedang dekat
dengan Irma, rekan dosen di Fakultas lain. Irma rekan dosennya walaupun usianya
sudah berumur namun dia masih gadis!”, kembali suara Kinanti.
Wanita memang mahluk yang penuh dengan kebimbangan termasuk Kinanti yang
aku kenal sebagai wanita tegar. Nanti dulu berbicara soal bimbang sebenarnya
bukan hanya wanita tapi lelakipun demikian. Contohnya?. Profesor Alan Erlangga
adalah lelaki penuh kebimbangan untuk menunjukkan cintanya kepada Daisy Listya.
Jika tidak bimbang apa yang terjadi?. Ah sudahlah aku harus menerima takdirku
dengan ikhlas.
”Alan sekali lagi aku minta maafmu!”, suara Kinanti mengagetkanku.
”Okey Kinanti aku sudah memaafkanmu atas kesalahan yang sendiri aku tidak
tahu!”, kataku.
”Alan kesalahanku adalah karena aku tidak mampu menggantikan cinta Daisy
Listya!”, kata Kinanti. Aku terkejut dengan pernyataan Kinanti ini.
”Kinan sudahlah lupakan saja apa yang dikatakan Listya. Aku sendiri juga
sudah ikhlas menerima yang sekarang terjadi. Hentikan tangismu Kinan!”, kataku
perlahan.
”Minggu pagi ini aku inginkan senyummu!, ayo tersenyum Kinanti!”, kataku
dengan nada ABG yang sedang merayu. Kinanti memandangku lalu tersenyum namun
air mata dipipinya masih berurai.
”Nah begitu dong, tapi kalau begini ini namanya tersenyum dalam tangisan!”,
kataku menggoda.
”Alan!. Memang kamu itu orang yang selalu membuatku gembira!”, kata Kinanti
kali ini dia mulai tertawa kecil.
”Apakah hamba boleh membantu mengusap air matamu Tuan Putri?”, aku mulai
bercanda.
”Alan Alan sudah sudah, mulai gila kamu!”, kata Kinanti kali ini sambil
tertawa renyah. He he he akhirnya aku berhasil membuat Kinanti kembali ceria.
Sore itu satu jam sebelum take off aku sudah berada di Bandara Husein
Sastranegara. Walaupun sore itu cuaca mendung namun penerbangan Bandung
Surabaya lancar dan hampir waktu Isya aku sudah tiba di Rumah Menanggal
Surabaya. Setelah mandi, sholat Isya dan makan malam yang sudah disediakan Si
Mbok maka mulailah aku menyusun agenda kerja esok hari. Senin pagi ada sesi
mengisi kuliah siangnya mengisi Pasca Sarjana dan sorenya cek pekerjaan analisa
data mahasiswa di Laboratorium. Ya rutinitas yang membosankan. Namun demikian
aku tetap dapat menjalani rutinitas tersebut dengan baik. Diantara kebosanan
rutinitas itu hanya satu hal yang dapat meberikan rasa gembira itu yaitu jika
ada telepon dari Kinanti. Kami bisa berbincang tentang apa saja. Aku bisa
merasakan persahabatan yang tulus. Sungguh sungguh Kinanti adalah sahabat
sejatiku. Mungkin juga baginya aku adalah sahabat sejatinya. Dalam sebulan
terakhir ini aku hanya bisa berhubungan dengan Kinanti melalui hand phone
karena belum ada agenda acara yang memungkinkan aku ada di Bandung. Demikian
pula Kinanti masih sibuk dengan perkuliahan di Fakultasnya. Namun dalam Minggu
ini aku dikejutkan berita dari Kinanti bahwa dia akan bertunangan dengan Eko
Priotomo, rekan dosennya itu. Oh akhirnya Kinanti menerima Eko sebagai
tunangannya.
”Alan nanti aku jelaskan kenapa aku menerima lamaran Eko!”, kata Kinanti
ketika dia menelponku.
”Aku sangat senang akhirnya sahabatku mendapatkan jodohnya. Kinan jangan
lupa hari pernikahanmu khabari aku!”, kataku.
”Okey Alan aku pasti mengundangmu!”, kata Kinanti dengan rasa senang.
Penjelasan Kinanti kepadaku mengapa sekarang dia menerima lamaran Eko?.
Karena Eko bisa meyakinkannya bahwa Eko sudah tidak berhubungan dengan Irma,
rekan dosennya juga dari fakultas lain. Irma adalah dosen di Fakultas MIPA.
Sebenarnya Irma adalah adik kelasnya Eko sewaktu mereka kuliah di Yogyakarta. Aku
merasa lega akhirnya Kinanti jadi menikah lagi. Namun hati kecilku berkata
bahwa aku seperti kehilangan bagian lain dari hatiku. Ya bagian itu adalah
Kinanti Puspitasari. Setelah aku kehilangan Diana Faria datanglah Daisy Listya,
namun Daisy Listya juga harus pergi dan kini Kinanti Puspitasari. Ada rasa
hampa hinggap di hatiku. Tiba-tiba saja aku merasa sendiri. Aku harus
kehilangan orang-orang yang aku cintai. Ataukah aku tidak diperkenankanNya
untuk memiliki salah satu diantara mereka. Ya aku memang tidak pernah memiliki
siapapun bahkan termasuk diriku sendiri. Maka aku tidak boleh merasa
kehilangan. Kinanti adalah wanita yang tegar, tabah, cerdas, teguh dengan prinsip,
berbudi luhur dan memiliki aura kecantikan lahir batin. Aku bersyukur bisa
mengenal Kinanti. Aku juga bersyukur sempat mengenal dan mencintai Daisy
Listya. Aku juga bersyukur diberi
kesempatan berbahagia dengan Diana Faria. Mereka adalah wanita wanita
istimewa dalam hidupku. Wanita wanita yang selalu ada dalam relung sudut
hatiku. Ya Allah berilah aku kekuatan karena tidak satupun diantara mereka yang
menjadi teman hidupku. Ya Allah apakah ini takdir yang harus aku jalani
andaikata iya semoga Kau selalu memberiku kesempatan berupaya untuk mendapatkan
takdir terbaikku menurut takdirMU.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment