Saturday, April 19, 2008

CerPen Corner

NAMANYA INDRA

Episode III

Bulan Maret ini tepat hari jadiku yang ke-28. Sebuah ucapan ulang tahun dari Papa telah membuatku termenung. Ucapan tulus yang mampu melelehkan titik air mata di pipiku. Papa menulis dalam surat itu bahwa aku harus mulai lagi memikirkan kehidupan pribadiku. Aku seharusnya tidak menutup diri. Papa ingin agar aku menikah sebelum Papa pensiun. Apa lagi adikku yang lain, Ratna telah pula mendahuluiku. Kupeluk surat itu. Kurasakan kehangatan pelukan Papa. Semua itu adalah peristiwa yang terjadi empat tahun yang lalu. Kulihat jam ditanganku. Pukul 14.00 kurang 15 menit. Ini berarti tidak sampai setengah jam aku dapat menghadirkan dengan utuh peristiwa yang terjadi empat tahun yang lalu. Sementara itu tinggal 15 menit lagi jam kantor segera usai. Maka kubereskan buku-buku, kertas kerja, alat-alat tulis yang berserakan di atas mejaku. Aku segera berkemas untuk pulang sebab aku khawatir Papa menunggu terlalu lama. Benar saja di lobi itu ada Papa sudah menungguku. Dan seperti biasanya aku dan Papa selalu bersama-sama baik pergi maupun pulang dari kantor. Kini aku sudah tidak bekerja lagi di Bogor tapi pindah ke tempat dimana Papa bekerja. Sekaligus kini aku kembali berada di tengah-tengah keluarga. Di tengah-tengah tentramnya sapa lembut Papa dan Mama. Kembali berada di kota dimana masa laluku terawat rapi namun kini tinggal puing yang mustahil bisa dibangun kembali.
Pulang kantor tadi aku langsung tidur setelah makan siang dan sholat dzuhur. Walaupun begitu ketika aku bangun sore harinya, kepala ini masih terasa pusing. Tapi kupaksakan untuk bangun sebab aku ingat ini malam Minggu. Tentu aku harus mempersiapkan diri untuk menyambut kehadiran Sang Kekasih. Kulihat Mama di ruang tengah sedang asyik membaca koran. Di sana tidak nampak Irna dan Riris, dua adik perempuanku yang masih kuliah. Mungkin mereka pergi berenang dan sampai sore ini belum kembali. Sedang Papa belum kembali dari tugas luar kota.
“Hai kau baru bangun!”, kata Mama ketika melihat aku duduk di sisinya.
“Pening kepalaku!”, kataku.
“Sebetar lagi sembuh. Kan ini malam Minggu!”, kata Mama menggoda. Aku berpura-pura cemberut. Melihat ini Mama malah tertawa. Sementara penyiar RCTI sedang menyiarkan Seputar Indonesia.
Setahun yang lalu aku mengenalnya. Terus terang saat itu aku tak pernah tertarik kepadanya. Seorang lelaki yang tidak terlalu istimewa malah terlalu biasa. Mempunyai perawakan kecil dan tidak tinggi. Umurnya dua setengah tahun lebih muda. Berarti kini ia berumur 28 tahun. Namun demikian aku mencintainya seperti halnya dia mencintaiku. Kadang-kadang aku ragu mengapa aku tidak memilih Anton yang jauh lebih baik dari dia. Tinggi, atletis, gagah mirip Indra Wibowo atau Firman seorang sarjana pertanian yang bisa kubanggakan di tengah keluarga atau Bayu, anak seorang pengusaha besar di kotaku. Entahlah, mengapa aku bisa mencintai dia. Padahal aku tahu, aku tidak bisa membanggakan dia didepan Papa, Mama, adik-adik seperti aku membanggakan Indra Wibowo. Apakah hanya karena dia yang mengusik diamku pada usiaku yang hampir senja ini?. Apakah hanya karena dia lah yang selama ini berani mendekatiku?. Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan pernah terjawab. Ketukan pintu kamar membuyarkan lamunanku. Lalu kulihat Irna masuk.
“Mbak Sari!. Itu Mas Indra sudah datang lho!”, kata Irna.
“Ya sebentar. Atau kau temani ngobrol dulu Ir, sementara aku ganti pakaian!”, kataku.
“Riris yang menemani!”, kata Irna. Setelah selesai ganti pakaian, cepat-cepat kutemui Sang Kekasih.
Di ruang tamu itu Indra sedang duduk menunggu. Melihat aku datang, dia tersenyum dan akupun tersenyum. Maka ruangan itu penuh dengan senyum. Tentu saja lelaki yang duduk didepanku ini bukan Indra Wibowo. Dia adalah Indra Susanto. Indra yang sederhana. Indra yang tidak istimewa. Indra yang biasa-biasa saja, tidak pernah menarik. Indra yang tak bisa dibanggakan kepada siapapun. Tapi juga Indra yang kucintai. Apakah hanya karena ia bernama Indra sehingga aku mencintainya?. Satu pertanyaan lagi yang tidak akan pernah terjawab. Mungkin jawabnya persis sama ketika aku bertanya, apakah benar aku mencintai dia?. Tepat pukul sepuluh lewat lima, seperti biasanya Indra Susanto berpamitan.
“Selamat malam mbak Sari!, ucapnya.
“Selamat malam!”, jawabku.
Lalu malampun hanyut dalam keheningan panjang dan tak kutemukan jawaban apakah benar aku mencintai dia.


THE END

2 comments:

Anonymous said...

Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the Dieta, I hope you enjoy. The address is http://dieta-brasil.blogspot.com. A hug.

Anonymous said...

hai....nice cerpen corner nya ditunggu cerita yang lain di cerpen corner juga artikel-artikel religinya..

best regard

hape