Tuesday, April 1, 2008

CerpenCorner

NAMANYA INDRA
Episode II

Di kamar itu aku masih termenung. Baru saja aku selesai membaca surat Indra. Surat itu masih kugenggam ketika perasaan cemburu menyelinap dalam relung hati. Aku seakan tidak percaya apa yang ditulis Indra dalam suratnya. Dalam surat itu ia bercerita. Suatu malam Indra berkencan dengan seorang gadis. Indra mengenal gadis itu karena gadis itu putri komandannya. Sudah tentu mereka akrab. Indra sering menemani gadis itu. Demikian Indra menulis dalam suratnya. Kucoba untuk menahan perasaan cemburu ini. Aku harus menghargai kejujuran Indra.
“Percayalah Sari!. Aku cuma berteman. Dia menganggapku kakaknya, demikian pula aku menganggapnya adik!”, kata Indra suatu sore ketika berkunjung ke Yogya. Aku tersenyum pertanda aku mempercayai kata-kata Indra. Aku mengira kencan-kencan Indra dengan gadis itu tidak akan berbuntut panjang. Ternyata ceritanya bertambah menarik ketika orang tua gadis itu meminta kepastian Indra.
“Dulu juga ibu sudah bertunangan tapi toh nikahnya bukan sama tunangan ibu melainkan sama bapak sekarang ini!”, ini adalah jawaban Sang ibu gadis itu ketika Indra mengatakan bahwa ia sudah bertunangan. Kini aku harus mengambil keputusan yang tegas. Sebab kulihat Indra ragu-ragu mana yang harus dipilih. Aku menyadari posisi Indra oleh karena gadis itu adalah putri komandannya.
“Sari!. Mengapa harus begitu keputusanmu?”, tanya Indra.
“Kupikir selama ini Mas Indra lebih dekat dengan dia daripada denganku. Apalagi kini orang tua gadis itu meminta kepastian Mas Indra!”, kataku.
“Tidak Sari. Aku tidak setuju dengan keputusanmu. Kita harus jadi menikah!”, kata Indra. Aku tersenyum pahit. Senyum ini kutelan dan apa yang telah kuputuskan tak pernah bisa berubah lagi.
Pernah Indra berniat keluar dari dinas ketentaraanya untuk menghindari gadis itu lalu menikah denganku. Tapi aku tetap pada keputusanku. Pertimbanganku adalah terlalu besar pengorbanan Indra jika hal itu dilakukannya sebab sekian tahun ia menempuh pendidikan Akabri adalah untuk meraih cita-citanya selama ini. Entah berapa kali Indra menjumpaiku ketika aku sudah mulai bekerja di Bogor. Kesekian kali pula ia membujuk agar aku kembali kepadanya. Namun aku tetap pada pendirianku. Keputusan ini kuambil tanpa setetespun air mata jatuh dari kelopak mataku. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku demikian tabah. Apalagi jika kuingat hampir 12 tahun aku membina cinta dengan Indra. Rasanya seperti mimpi ternyata harus berakhir seperti ini. Kadang-kadang kesedihan melilit hatiku ketika aku ingat peristiwa-peristiwa manis dan indah bersama Indra. Ketika ia pertama kali menciumku. Bagiku saat itu adalah ciuman pertama. Demikian indah dan manis. Kini aku hanya bisa tersenyum pahit. Papa dan Mama sangat terkejut mendengar berita itu sebab sebelumnya aku tidak pernah memberitahu pemutusan hubungan pertunanganku dengan Indra. Sudah tentu mereka sangat prihatin atas kejadian yang menimpa diriku.(BERSAMBUNG EPISODE III)

1 comment:

Anonymous said...

wah. bersambung. :)

salam kenal juga.
maaf mampir baliknya telat.