Friday, June 1, 2012
NovelCorner MASIH ADAKAH RUANG DI HATIMU Episode 2
Ada Cinta Di Ruang Hampa (4)
Mendengar ini terus terang aku jadi sadar betapa jauh usia antara aku dan Listya. Aku berusia 45 tahun sedangkan sekarang Listya baru 21 tahun selisih 24 tahun. Namun aku tidak tahu sebenarnya cinta itu bukan soal usia tapi soal perasaan. Aku melihat Litya adalah sosok dewasa yang sangat berkepribadian lengkap. Listya adalah wanita idealku. Listya walaupun seperti titisan Diana Faria tapi Listya adalah Listya. Gadis ini sudah menjadi dirinya sendiri. Terlalu banyak persamaan antara Daisy Listya dan Diana Faria namun aku harus realistis Listya adalah Listya.
Dalam kekalutan seperti ini bagaimanapun aku merasakan kebahagiaan karena telah menerima telpon Listya padahal selama ini setiap aku menelpon dia tidak pernah hp nya diangkat walaupun aku tahu hp nya aktif. Aku tidak mengerti mengapa Listya seperti selalu menghindar dariku. Namun beberapa waktu yang lalu malah Listya ingin bertemu denganku. Rasanya banyak sekali pertanyaan tentang Listya yang sangat aku butuhkan jawabannya. Siapakah orang yang dia kagumi seperti yang diceritakan Amelia?. Apakah memang benar Listya tidak mencintai Rizal?. Jika benar, mengapa dia mau menikah dengan Rizal?. Apakah pernikahan mereka hanya atas dasar hutang budi keluarga Listya kepada keluarga Rizal?. Semua pertanyaan tersebut belum ada satupun jawabannya. Kemana aku harus mencari jawabannya?. Entahlah.
Senin pagi bagi para pegawai adalah hari paling malas. Ada ungkapan terkenal yang berbunyi “I don’t like Monday”. Ungkapan itu ternyata bagiku saat ini tidak berlaku walaupun aku juga adalah pegawai negeri. Senin pagi itu aku begitu bersemangat menuju Kampus untuk bekerja. I like Monday he he he melawan arus. Aku tidak tahu Senin pagi ini aku begitu segar dan bersemangat. Apakah mungkin karena sudah menerima telpon dari Listya?. Ha ha ha mungkin juga. Tidak akan pernah habis aku membicarakan Listya karena dia adalah gadis yang telah membangunkanku dari tidur panjang. Seperti biasa pagi itu mobil ku parkir ditempat parkir Fakultas. Di ruang kerjaku yang pertama kulakukan adalah menyalakan komputer. Lalu aku buka agenda hari ini. Pk.8.00 : Mengisi kuliah semester 6. Pk 10.00 : Rapat akreditasi laboratorium. Pk 13.00 : Mengisi kuliah semester 8. Pk 15.00 : free. Agenda cukup padat tapi aku hari Senin ini begitu semangat. Aneh. Kegiatan berikutnya membuka email. Wow ada email dari Indra Susanto, sahabatku sewaktu kami kuliah di Bogor. Rupanya dia mau ke Surabaya untuk menghadiri Seminar Nasional Kimia di ITS 25 Januari ini. Hai nanti dulu 25 Januari itu kan hari ini. Wah Si Indra ada di Surabaya. Aku mencari nomornya di HP ku lalu kutelpon.
“Hallo…Alan …Assalaamu alaikum Profesor?”, suara Indra lantang.
“Wa alaikum salaam. Indra sudah di Surabaya di ITS?. Pagi ini aku baru saja buka emailmu…andaikata tidak aku tidak tahu jika kamu ada di Surabaya…Sudah mulai seminarnya?”, tanyaku.
“Ya ini masih Sidang Pleno. Aku pagi ini baru tiba…!”, kata Indra.
“Sebaiknya nanti menginap di tempatku saja. Sore nanti aku jemput. Bagaimana khabar istri tercinta, Aini?”, tanyaku.
“Alhamdulillah baik-baik terimakasih. Aini kirim salam untukmu. Kapan kamu kawin katanya he he he!”, kata Indra.
“Ha ha ha tahun ini insya Allah!”, kataku mantap.
“Serius Al?”, Tanya Indra penasaran
“Lho ya serius atuh…kumaha..si Akang teh….aku serius tahun ini insya Allah..he he he!”, kataku kembali menjawab sambil terkekeh kekeh.
“Bagaimana bisa serius bung…jawabannya saja tidak meyakinkan…!”, kata Indra. Mendengar ini aku tertawa. Akhirnya kami sepakat sore nanti aku menjemput Indra di ITS untuk menginap di rumahku. Seminar Nasional Kimia di ITS berlangsung dua hari. Sore itu didepan loby Auditorium Perpustakaan Pusat ITS dimana seminar tersebut berlangsung, aku menunggu kemunculan Indra Susanto. Tidak begitu lama Seminar sore itu usai sudah dan para peserta segera meninggalkan ruangan. Diantara orang-orang berhamburan keluar ruangan aku melihat sosok yang sudah tidak asing lagi.
“Indra !”, sapaku. Kami saling berpelukan dengan rasa gembira.
“Al kau tidak banyak berubah tetap saja ganteng dan awet muda..pasti di Kampusmu banyak digila-gilai mahasiswi. Mereka suka sama Dosen ganteng..!”, kata Indra. Aku tertawa mendengar omongan Indra.
“Iya memang mahasiswi-mahasiswi itu menggila-gilai aku. Gila… Gila Gila begitu kata mereka ha ha ha ha!”, kami tertawa. Kami meninggalkan ITS mulai meluncur menusuri jalan Kertajaya menuju arah Darmo-Dr Sutomo-Mayjen Sungkono-Tol dalam Kota dan keluar di Menanggal akses Mesjid Al-Akbar. Rute rutin setiap hari.
“Wah Al ini rumah tinggal diisi nyonya rumahnya saja…semua sudah lengkap!”,kata Indra sambil mengamati beberapa lukisan karyaku.
“Masih melukis Al?. Dua lukisan dipojok itu aku sudah tahu sewaktu dulu di Bogor sedangkan yang ini rupanya baru!”, sambil mengamati sebuah lukisan cat minyak yang menggambarkan nelayan pantai Kenjeran di senja hari. Lukisan ini aku buat di pantai Kenjeran dalam suasana senja dengan warna orange dominan menjelang Matahari tenggelam. Malam itu setelah makan malam kami duduk sambil berbincang tentang masa lalu di beranda depan.
“Al kenalkan dong calon istrimu. Tadi kamu bilang mau nikah tahun ini?”,kata Indra.
“Ya tadi aku bercanda. Memang aku sekarang sudah menemukan seorang gadis pengganti Diana Faria !”, kataku.
“Alan sampai kapan kamu selalu terbelenggu masa lalumu bersama Diana Faria?. Saatnya kini mulai membuka diri. Lihat disekelilingmu banyak wanita cantik!”,kata Indra.
“Dengar dulu jangan potong ceritaku!”, kataku.
“Okey siapa nama calon istrimu?”, Tanya Indra.
“Daisy Listya!”, kataku mantap tanpa ragu. Sebenarnya aku hanya bermaksud bercerita hal yang saat ini terjadi tapi yang jelas saat ini Listya bukan calon istriku tapi calon istrinya Rizal.
“Wah nama yang cantik. Aku yakin orangnya juga cantik. Jangan-jangan Diana Faria kalah cantik!”, Indra mulai berkomentar.
“Listya, aku memanggilnya…..dia adalah gadis cantik sangat berkepribadian. Seorang muslimah yang taat pada ajaran Allah. Gadis berjilbab yang ramah tutur kata dan kaya dengan senyum. Usianya baru 21 tahun dan baru saja di wisuda Sarjana Farmasi…!”.
“Hah usianya 21 tahun…Alan gadis itu seusia Ratu Aulia, anak gadisku yang bungsu!”, kata Indra terkejut.
“Bulan depan dia menikah dengan calon suaminya!”,kataku. Indra tambah terkejut lagi lalu menjabat tanganku sambil mengucapkan selamat.
“Tapi bukan menikah denganku!”, kataku. Mendengar penjelasan ini Indra bukan lagi terkejut malah tertawa terbahak-bahak. Kucoba menjelaskan serinci mungkin kisahku dengan Listya. Indra menyimak dengan baik kisah cintaku.
“Alan, ini mirip kisah Indra Susanto dan Aini Mardiyah….!”,kata Indra mengingatkan kisah cintanya dengan Aini yang sekarang sudah menjadi istrinya.
“Ya mudah-mudahan seperti itu karena kisah cintamu berakhir bahagia!”, kataku berharap.
“Alhamdulillah Alan semua kulalui dengan ridho Allah dan aku yakin semua yang Allah kehendaki tidak ada yang mampu mencegah kehendakNya. Mudah-mudahan kisah antara Alan Erlangga dan Daisy Listya berakhir bahagia…!”, kata Indra berfilsofi. Aku hanya tersenyum kecut. Bulan depan Listya mau menikah mana mungkin. Ya mana mungkin. Namun bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin. Untuk saat ini lebih baik aku berdoa untuk kebahagiaan Daisy Listya. Mencintai tidak harus memiliki.
Indra adalah sahabatku sewaktu sama-sama SMA dan kuliah S1 di Bogor. Indra adalah sahabat seperjuangan. Banyak ceritaku bersamanya dan banyak pula ceritanya bersamaku. Kami seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan bahkan sampai sekarang. Persahabatan yang tulus penuh dengan pengertian dan saling mengisi. Kami bersahabat dengan berharap kepada cinta Allah semata. Demikianlah malam itu kami mengobrol sampai larut malam hingga dini hari tidak terasa malam yang kami lalui begitu cepat berlalu. Dua hari bertemu dengan sahabatku membawa rasa semangat perjuangan masa lalu seperti terasa saat ini. Ada kata-kata Indra yang menjadi pendorong semangatku yaitu semua yang Allah kehendaki tidak ada yang mampu mencegah kehendakNya. Mudah-mudahan kisah antara Alan Erlangga dan Daisy Listya berakhir bahagia. Semoga begitu.
Diujung bulan Januari ini hujan di kota Surabaya masih tetap curahnya tinggi. Setiap sore turun hujan. Hari ini hari Rabu aku ingat Rizal operasi pengambilan batu ginjal. Sekarang sudah pk 16 lewat 5 menit. Mungkin operasinya sudah selesai. Rasanya aku ingin menelpon Listya. Ada keraguan untuk menelpon Listya. Tapi tiba-tiba saja hp ku berbunyi. Oh Listya.
“Pak ini Tya…Alhamdulillah operasinya berhasil dan sekarang Mas Rizal sudah siuman….!”, suara Listya dari seberang sana dengan nada gembira.
“Alhamdulillah Listya..saya ikut senang sampaikan salam saya untuk Mas Rizal..!”, kataku.
“Ya ini sudah saya sampaikan. Kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Bapak..!”, suara Listya penuh haru. Berita gembira ini tentu saja membuat aku bersyukur karena berarti pernikahan Listya dengan Rizal tidak mengalami hambatan. Aku selalu berdoa untuk kebahagiaan Listya. Dalam hati kecilku ada rasa yang tidak bisa aku ungkapkan betapa pedihnya ketika Listya menikah dengan orang lain yang bukan aku. Namun aku harus berusaha untuk tetap tegar dan tabah karena ini jangan-jangan ujian Allah berikutnya yang harus aku hadapi. Teringat FirmanNya :”Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat menjadi penolongmu sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar..!”.
Hari itu semua agenda sudah selesai sementara waktu baru menjukkan pk 14.30. Bagiku masih terlalu pagi kalau aku harus pulang walaupun tidak ada kegiatan lagi. Di ruang kerjaku aku mengisi waktu luangku dengan mengisi buku harian yang selalu setia menemani keseharianku. Sementara walaupun hari masih siang ternyata mendung sudah mulai menurung langit disekitarku. Tiba-tiba aku dikejutkan suara ketukan halus di pintu.
“Ya masuk!”, kataku.
“Assalaamu alaikum !”, suara merdu seorang gadis yang sangat familiar ditelingaku. Oh Tuhan Daisy Listya berdiri di depan pintu yang terbuka sambil tersenyum manis. Aku memandang gadis ini tertegun sejenak terpana namun cepat tersadar. Kombinasi warna gelap jilbab dengan busana muslim warna pink membuat gadis ini terlihat anggun. Sebenarnya pakaian warna apa saja yang dikenakannya Listya tetap cantik dan menarik karena kecantikannya bisa juga dirasakan dengan hati.
“Listya…wa-alaikum salaam masuk Lis silahkan duduk..!”,kataku mempersilahkan gadis cantik ini duduk.
“Bagaimana kabar Listya juga Mas Rizal?”, tanyaku.
“Alhamdulillah baik-baik. Mas Rizal dan Bapak kirim salam untuk Pak Alan!”, kata Listya.
“Terima kasih sampaikan salam juga untuk mereka. Oh ya Listya ada kabar kejutan apa nih?”, tanyaku sambil tersenyum. Sejenak gadis ini terdiam.
“Saya mengantarkan Undangan Pernikahan saya Pak. Saya sangat berharap bapak bisa hadir di pernikahan saya…!”, kata Listya dengan suara yang sangat pelan. Ada apa Listya seperti merasa sedih bukannya bahagia menghadapi hari pernikahan. Aku menerima Undangan berwarna abu-abu muda dengan tulisan berwarna biru tua. Kombinasi warna yang sejuk. Kubuka Undangan itu. Menikah Daisy Listya dan Rizal Anugerah.
“Ya Listya saya akan datang Insya Allah..semoga kita diberikan Allah kesehatan dan kesempatan!”, kataku.
“Iya pak terima kasih…!”, kata Listya. Awan mendung semakin tebal dan hujan akan segera turun.
“Pak Alan boleh saya mau tanya?” kata Listya.
“Boleh Lis mau tanya apa?”, kataku.
“Saya boleh tahu orang yang telah menggugah hati pak Alan dari kebekuan selama ini seperti dulu bapak pernah cerita. Mungkin dia nanti jadi calon istri Bapak!”, kata Listya. Aku benar-benar terkejut mendengar kata-kata Listya.Aku hanya terdiam beberapa saat. Aku benar-benar tak bisa menjawab.
“Listya ya betul seorang gadis telah membuat perubahan dalam hidup saya seperti dulu saya ceritakan. Namun saya yakin gadis itu tidak tahu kalau dia telah membukakan hati saya…!”, kataku.
“Bapak bisa sebutkan orangnya nanti saya bantu biar dia tahu…!”, kata Listya penasaran. Aku kembali terdiam dan tak mampu berkata apa-apa.
“Terima kasih Listya mau membantu saya tapi biarlah dia akan tahu dengan sendirinya. Maafkan saya ya Lis!”, kataku.
“Tidak apa-apa pak Alan. Sungguh saya sangat terharu kalau ingat cerita Mbak Diana Faria. Bapak harus mulai mendapatkan teman hidup yang menjadi cahaya mata hati bapak sehingga bapak merasa tentram kepadanya. Saya akan bahagia jika bapak segera menemukan gadis tersebut…!” kata Listya, suaranya yang lembut dengan tutur kata yang memukau. Oh Tuhan didepanku ini adalah teman hidupku yang menjadi idaman selama ini. Mengapa mahluk cantik didepanku ini tidak ditakdirkan untuk menjadi istriku?.
“Saya mohon pamit dulu Pak. Jangan lupa saya tunggu Undangan Pernikahan bapak !”, kata Listya. Gadis cantik ini berpamitan mengucapkan salam sambil meninggalkan keramahannya. Aku mengantar Listya sampai di ujung pintu.
“Hati-hati Listya!”, kataku. Mendengar ini Listya kembali tersenyum manis.
Hujan diluar sudah mulai turun membasahi tanah. Aku masih duduk memandang Undangan Pernikahan Daisy Listya. Rasanya seperti mimpi. Aku sudah menemukan gadis yang mampu menggantikan Diana Faria namun gadis ini ternyata harus menikah dengan orang lain. Apa sebenarnya yang terjadi. Aku sungguh-sungguh tidak mengerti. Aku mencoba terus memahami arti hidup ini hari demi hari. Aku harus mulai mencoba pula melupakan harapanku terhadap Listya. Biarlah dia bahagia dengan orang yang dicintainya. Aku harus mencoba menjadikan hatiku memiliki ruang yang luas sehingga bisa menerima cobaan apapun yang terjadi padaku. Harus ku akui saat ini memang ada rasa cinta disalah satu ruang hatiku yang hampa. Cinta yang sudah terlantar selama 20 tahun. Entah akan kuberikan kepada siapa lagi jika bukan kepada Daisy Listya. Entahlah.
(Bersambung)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment