Showing posts with label Novel Hensa. Show all posts
Showing posts with label Novel Hensa. Show all posts

Tuesday, December 17, 2013

Novel Hensa : Episode Akhir Cintaku (Bagian 13 Tamat)


Foto : Hensa/koleksi Pribadi
Bagian 13
HALAMAN TERAKHIR BUKUKU
Saat ini aku berada diantara kebahagiaan menempuh masa depan dengan Kinanti dan rasa duka Listya karena kepergian suaminya. Sungguh keberadaan yang sangat sulit. Saat ini Listya sedang berduka sedangkan Kinanti berbahagia. Seperti saat malam itu Kinanti menerima telponku dengan penuh keceriaan. Bagaimana tidak, malam itu kami sedang membicarakan tentang acara lamaran sekaligus menentukan tanggal pernikahan. Aku seakan tidak percaya pada akhirnya aku menikah juga dengan seorang pendamping hidupku. Aku seakan lebih tidak percaya lagi ternyata calon istriku adalah Kinanti Puspitasari, teman SMA ku yang dulu pernah menolak menjadi pacarku. Sungguh sesuatu yang menakjubkan dalam perjalanan hidupku bahwa nanti pada hari pernikahan itu yang menjadi istriku adalah Kinanti Puspitasari. Aku yakin mungkin inilah takdirku. Alhamdulillah aku panjatkan Puji Syukur kepadaNya.
Kabar pernikahanku dengan Kinanti rupanya sampai juga kepada Listya. Sore itu ketika aku baru saja tiba di rumah, aku menerima telpon dari Listya.
”Assalaamu alaikum Listya!”, kataku menyambut telponnya.
”Iya Pak Alan wa alaikum salaam. Maaf Pak saya telpon apakah mengganggu Bapak ?”, kata Listya.
”Oh tidak Lis. Saya saat ini sudah di rumah kok!”, kataku.
”Oh gitu. Pak Alan selamat Pak untuk rencana pernikahannya dengan Bu Kinan!”, kata Listya.
”Terima kasih Listya!”, jawabku pendek.
”Tadi pagi Bu Kinan memberi saya kabar tentang rencana pernikahannya dengan Pak Alan bulan Maulud ini. Saya sangat gembira mendengar kabar ini!”, suara Listya penuh haru.
”Listya sekali lagi terima kasih. Mohon doa restunya saja agar semua rencana itu berjalan dengan baik!”, kataku.
”Iya Pak, saya selalu mendoakan untuk kebahagiaan Pak Alan...!”, suara Listya pelan sekali seperti tertahan di tenggorokkan. Kemudian Listya terdiam lama sekali.
”Hallo, hallo, hallo, Listya?”, aku berusaha menyapanya melalui hand phone itu. Aku yakin Listya sedang terisak. Mungkin terharu karena akhirnya aku menikah juga dengan Kinanti.
”Hallo Listya!”, kucoba menyapa lagi.
”Iya Pak!”, kata Listya.
”Listya baik-baik saja?”, tanyaku dengan rasa khawatir.
”Tidak apa-apa. Baik-baik Pak. Ok Pak Alan, saya pamit dulu. Assalaamu alaikum!”, kata Listya sambil menutup hand phone nya.
Ya Allah apa yang harus aku lakukan. Listya nampaknya sedih sekali. Listya bersedih karena suaminya meninggal dunia ataukah bersedih karena aku mau menikah dengan Kinanti?. Ada dua wanita yang sama-sama aku kagumi. Saat ini aku lebih realistis dan bijak untuk memilih Kinanti Puspitasari sebagai calon istriku.  Aku mempertimbangkan bahwa saat ini Daisy Listya masih muda, cantik dan masih memiliki masa depan yang terbentang luas. Daisy Listya masih memungkinkan  mendapatkan teman hidup yang jauh lebih baik dariku. Kinanti memang yang aku pilih karena aku dan Kinanti sudah sama-sama berada di ufuk senja. Aku harus membiarkan cintaku kepada Daisy Listya menjadi sejarah seperti halnya cintaku kepada Diana Faria. Aku harus bisa dan mampu untuk menghadapi realita ini.
Jadwal kompilasi data penelitianku di Laboratorium sengaja aku majukan menjadi Jumat siang ini karena besok Sabtu aku harus ke Bandung menemui Kinanti. Seusai sholat Jumat di Masjid Kampus jl.Erlangga itu aku segera bergegas kembali ke Ruang kerjaku untuk makan siang. Makan siangku hari ini adalah masakan Si Mbok yang sengaja aku bawa dari rumah.  Selesai makan siang segera aku menuju Laboratorium yang jaraknya dari Gedung Fakultas hanya sekitar 50 meter. Siang itu Laboratorium sepi tidak ada satupun mahasiswa yang menggunakan instrumen analisis. Biasanya mereka menggunakan instrumen analisis untuk penelitian skripsi pada hari Sabtu. Aku bekerja di ruang itu penuh dengan ketelitian mengingat data yang aku kompilasi ini untuk digunakan sebagai data pelengkap pengajuan patent suatu produk farmasi. Aku bekerja penuh semangat sehingga sebelum Ashar semua data sudah diolah dan siap disajikan. Aku tersenyum sendiri ketika aku menyadari bahwa aku saat ini benar-benar sangat merindukan Kinanti. Mungkin ini penyebabnya sehingga aku bekerja di Laboratorium itu penuh dengan semangat dan fokus. Halaaaahhh Alan sekarang ternyata sudah mulai terjangkit penyakit anak muda masa kini yaitu lebay he he he. Semua pekerjaan hari ini sudah rampung dan aku sudah bersiap pulang ah alangkah leganya akhirnya aku bisa menyelesaikan aktivitas hari ini. Sabtunya aku benar-benar melepaskan rinduku untuk Kinanti.
Penerbangan yang pendek antara Surabaya – Bandung namun cukup untuk  mengingatkanku kembali peristiwa masa masa SMA itu secara utuh. Masa SMA bersama Kinanti yang begitu indah. Hal ini justru telah membuatku tidak sabar ingin bertemu Kinanti. Tepat pukul 10 aku sudah tiba di Bandara Husein Sastranegara. Kinanti sudah menungguku di sana. Aku melihat wajah cantik Kinanti penuh dengan rasa bahagia menyambut kehadiranku. Tentu saja cahaya kebahagiaan terpancar di wajah Kinanti karena malam ini merupakan malam yang spesial.  Untuk yang pertama kali aku berkunjung ke rumah Kinanti sebagai calon suaminya.
Malam Minggu ini benar-benar aku habiskan bersama Kinanti di sebuah Kafe yang cukup ramai di jalan Riau. Hanya sekedar mengisi makan malam sambil mengobrol bercerita saat saat SMA dulu. Ah alangkah romantisnya. Kadang kami tertawa karena teringat peristiwa konyol saat SMA dulu. Tidak terlalu malam kami kembali ke rumah Kinanti di Arcamanik. Kami melanjutkan obrolan di beranda. Udara Kota Bandung sangat mendukung, cerah tanpa awan dan ada bulan sabit di ufuk langit menandakan awal bulan Qomariah telah tiba.
”Alan ada yang ingin aku bicarakan denganmu!”, kata Kinanti mulai serius.
”Tentang apa Kinan!”, tanyaku.
”Tentang pernikahan kita. Aku hanya minta dua permintaan kepadamu. Tapi ini bukan syarat lho hanya permintaanku!”, kata Kinanti.
”Permintaan apa Kinan, inshaa Allah aku akan memenuhinya!”, kataku yakin.
”Alan setelah kita menikah nanti terlalu riskan bagiku andai nanti aku harus hamil untuk anak kita!”, kata Kinanti.
”Tentu saja Kinan. Bagiku cukup Intan sebagai anak kita. Dia adalah anak putri yang sangat aku banggakan!”, kataku menenangkan Kinanti.
”Alan tidakkah kau ingin memiliki anak dari aliran darahmu sendiri?”, tanya Kinanti.
”Kinanti urusan anak aku serahkan kepada Allah. Aku tidak mau apalagi menuntutmu agar kita punya momongan untuk memberi Intan seorang adik!”, kataku. Aku melihat Kinanti termenung. Wajahnya menatap ke depan.
”Hai jangan melamun!”, kataku. Kinanti terperanjat.
”Lalu permintaanmu yang kedua apa?”, tanyaku.
”Aku teringat Listya. Saat ini dia berteman dengan kesendiriannya. Permintaanku yang kedua setelah kita menikah nanti aku rela jika kau berniat menikahi Listya agar kau bisa memiliki anak !”, kata Kinanti.
”Kinanti sudahlah jangan bicarakan lagi Listya. Dia masih muda suatu hari nanti akan menemukan jodohnya yang sama-sama masih muda. Allah sendiri sudah memberikan takdirku menjadi suamimu!”, kataku. Kinanti masih terdiam. Ketika aku genggam kedua tangannya, dia menatapku.
”Aku hanya ingin memenuhi permintaanmu yang pertama. Lupakan permintaanmu yang kedua. Tersenyumlah sayang!”, kataku. Kinanti tersenyum sambil menatapku tajam. Wanita yang memiliki sepasang mata yang indah ini tersenyum manis.  Aku mencium keningnya penuh kasih sayang.
Sebenarnya aku terkejut mendengar kata-kata Kinanti yang memberi izin kepadaku untuk menikahi Listya. Hanya agar aku punya anak dari darahku sendiri, Kinanti merelakanku untuk menikahi Listya. Wanita cantik ini benar-benar berbudi luhur. Walaupun poligami diperbolehkan oleh Agama namun aku sangat meragukan rasa keadilanku terhadap istri-istriku nanti. Aku bukan Rasulallah. Biarlah aku berbahagia bersama Kinanti walaupun tidak memiliki anak darinya.
Hari hari yang aku lalui di Kampus benar-benar rutinitas yang sangat membosankan. Apakah mungkin hal ini disebabkan oleh rasa tak sabarku menunggu hari pernikahanku bulan depan. Bisa jadi hal itu yang membuat hari-hari berjalan begitu lambat. Hari Senin adalah hari yang sangat lambat dan membosankan karena aku harus menunggu begitu lama untuk bertemu hari Sabtu saat aku bertemu Kinanti. Jika sore menjelang maka ada rasa lega di hati karena sehari sudah aku lalui. Seperti pada sore itu aku begitu gembira. Saat aku sedang membereskan semua buku buku dimeja itu tiba-tiba pintu ruanganku diketuk dan terdengar suara salam. Aku terkejut ketika di sana sudah berdiri Daisy Listya.
”Wa alaikum salaam. Listya mari masuk silahkan duduk!”, kataku.  Tiga  minggu sudah sejak suaminya meninggal, aku baru sekarang ini kembali bertemu Listya. Tetap masih cantik hanya agak kurus dan kelihatan lelah namun wajahnya sudah tidak dipenuhi beban yang berat. Wajah Listya terlihat bebas lepas.
”Pak Alan maaf tadi saya ke ruangan Bapak tapi terkunci maka langsung saja ke sini. Biasanya Pak Alan ada di Laboratorium ini!”, kata Listya. Aku terharu mendengar penuturannya. Aku tahu Listya tidak akan pernah melupakan Laboratorium HPLC yang penuh dengan kenangan ini. Laboratorium ini memang penuh dengan cerita bersama Listya.
”Iya Listya. Memang Laboratorium ini sejak dulu adalah tempat saya untuk mencari inspirasi!”, kataku sambil tertawa. Mendengar ini Listya hanya tersenyum. Aku tiba-tiba teringat kembali masa masa indah di Laboratorium ini bersama Listya.
”Iya Pak Alan. Bagi saya Laboratorium ini penuh dengan cerita. Di sini saya di bimbing oleh Profesor Alan. Di sini juga saya pertama kali jatuh cinta kepada orang yang saya kagumi!”, kata Listya tersenyum. Aku hanya terdiam.
”Oh ya Pak Alan. Saya punya janji kepada Bapak!”, kata Listya.
”Janji apa Listya!”, tanyaku.
”Ini Pak Novel yang saya janjikan!”, sambil menyerahkan sebuah novel dengan sampul berwarna hijau dedaunan dan judul Masih Adakah Ruang Di Hatimu berwarna kuning. Aku menerima novel tersebut sambil menatap kagum.
”Listya terima kasih!”, kataku pendek. Listya hanya tersenyum. Ya Allah senyum ini adalah senyum Diana Faria. Senyum masa laluku. Berikanlah aku kekuatan untuk selalu mengingatMu dan rasa syukur atas semua ciptaanMu.
”Pak Alan. Saya menyampaikan rasa bahagia ini kepada Bapak. Bu Kinan adalah orang yang tepat menjadi teman hidup Bapak. Inshaa Allah saat pernikahan nanti saya akan hadir untuk merasakan kebahagiaan Bapak dengan Bu Kinan!”, suara Listya dengan senyum di bibirnya namun aku lihat kedua matanya basah dengan air mata. Aku hanya bisa memandangnya dalam kebisuan.
”Maaf Pak Alan. Saya menangis, saya bahagia karena orang yang saya cintai sudah mendapatkan kebahagiannya!”, suara Listya pelan penuh haru. Kembali aku hanya bisa terdiam memandang wajah Listya yang bersimbah air mata. Ingin rasanya aku menghapus tetes air mata yang mengalir dipipinya namun aku tidak kuasa. Aku hanya bisa berkata dalam hati, Listya aku bisa merasakan cintamu begitu luhur namun aku tidak tahu apakah takdir yang Allah berikan kepadaku ternyata bukan menikah denganmu. Ataukah takdir yang Allah berikan kepadamu ternyata bukan menikah denganku. Apakah itu takdir kita Listya?.
Peristiwa Jumat sore itu menjadi catatan tersendiri bagiku. Sebuah novel berjudul ’Masih Adakah Ruang Di Hatimu’ yang saat ini aku genggam adalah sebuah ungkapan hati Daisy Listya. Lalu sebuah kalimat dari bibir Listya yang akan selalu ku kenang sampai kapanpun : ” Saya menangis, saya bahagia karena orang yang saya cintai sudah mendapatkan kebahagiannya!”.
Fakta di hatiku bahwa Listya masih ada di hati ini, sama seperti halnya Diana Faria namun fakta dihadapanku saat ini bahwa Kinanti Puspitasari adalah calon terbaik untuk istriku. Dengan izin Allah, bulan depan Kinanti adalah istriku. Dengan izinMu juga aku akan memulai hidup baru. Bimbinglah kami ya Allah.


SELESAI

Sunday, November 24, 2013

Novel Hensa : Episode Akhir Cintaku (Bagian 8)

Foto : Hensa/koleksi pribadi


Bagian 8
INIKAH PELABUHAN AKHIR CINTAKU

Dalam dua pekan ini hampir setiap malam Kinanti selalu menyempatkan menelponku. Setiap itu pula diakhir dialog selalu ditutup dengan isak tangis. Aku dapat merasakan betapa sakit hati Kinanti yang luar biasa menerima perlakuan penghianatan di depan matanya. Sedalam apa luka yang ada dalam hatinya aku bertekad untuk menyembuhkannya. Sebagai sahabat sejatinya, aku selalu setia setiap saat mendengarkan apa yang dirasakan hatinya.
Seperti malam ini aku berdialog dengan Kinanti melalui hand phone.
”Belum tidur Alan?”, tanya Kinanti.
”Belum Kinan nggak tahu nggak bisa tidur nih. Padahal koreksian skripsinya mahasiswa sudah beres semua..!”, kataku.
”Aku juga beberapa hari ini selalu tidur diatas tengah malam walaupun tidak ada yang harus aku kerjakan. Terus terang rasa sakit hati ini begitu sulit hilang!”, suara Kinanti lirih.
”Kinanti yang aku kenal adalah Kinanti yang tegar. Aku yakin Kinanti yang aku kenal ini dengah mudah dapat melupakan Si Penghianat itu!”, kataku.
”Alan kalau Si Penghianat itu sudah aku hilangkan dari hatiku tidak ada satu ruangpun dalam hatiku untuk dia sampai kapanpun!”, kata Kinanti.
”Lalu sekarang ruang hatimu sedang kosong dong!”, tanyaku mulai menggo-da.
”Ruang hatiku sekarang sudah kembali terisi dan jangan harap kepada yang lain untuk mencoba hadir di sana!”, kata Kinanti.
”Oh berarti sudah tidak ada harapan nih!”, tanyaku lagi.
”Entahlah Alan tanya saja kepada dirimu sendiri!”, suara Kinanti sambil tertawa.
Begitulah dialog malam dengan Kinanti berisi percakapan yang hanya sekedar melepas sesak didada bagi Kinanti dan melepas rindu bagiku.
Sebulan sudah peristiwa sangat memilukan itu sudah berlalu. Terakhir aku bertemu Kinanti lagi di Bandung dan aku bersyukur Kinanti sudah mulai kembali pulih. Kegembiraannya, keceriaannya dan wajah bahagianya sudah terlihat dalam sikap sehari harinya. Aku sangat bahagia melihat Kinanti seperti kembali terlahir. Aku memang dari awal sudah yakin Kinanti adalah wanita yang tangguh. Intan, putri Kinanti pernah berkata bahwa ibunya sudah kembali ceria karena banyak dibantu olehku. Menurutku tidak juga mungkin aku hanya sedikit membantu namun yang menolong Kinanti adalah dirinya sendiri yang selalu yakin akan pertolonganNya jauh lebih sempurna. Selama ini aku hanya sering menelpon Kinanti hanya sekedar ingin mendengarkan curahan beban hatinya agar bisa terbagi untukku. Memang aku bisa merasakan setiap Kinanti menerima telepon dariku ada rasa kegembiraan dari nada bicaranya. Kinanti seakan memang selalu menunggu telepon dariku. Apakah ini saatnya aku kembali mengetuk pintu hatinya?. Jangan dulu biarlah waktu terbaik nanti yang akan datang pada saatnya.
Dua hari ini aku harus menghadiri acara workshop tentang Akreditasi untuk Perguruan Tinggi Jawa Timur di sebuah Hotel kota Batu. Jumat sore acarapun sudah selesai namun sebelum aku kembali ke Surabaya aku ingin menikmati sore yang cerah di Kota Malang. Memang fenomena macet sekarang ini sudah dimana-mana. Turun dari Kota Batu sudah dihadang macet di daerah Dinoyo menuju kota bertambah lagi macet di pertigaan Universitas Brawijaya yang tidak ber traffic light. Di pertigaan ini kendaraan yang mau lurus harus belok ke kiri dulu baru berputar balik kanan. Setelah berjuang melepaskan diri dari kemacetan akhirnya aku terdampar di Matos – Malang Town Sequere yaitu sebuah Mall yang cukup terkenal bagi warga Malang yang ada di kompleks Unibraw. Mobil aku parkir di lantai dua karena lantai dasar sudah penuh. Mall besar ini penuh dengan pengunjung. Banyak muda-mudi bahkan pelajar yang masih berseragam mungkin pulang sekolah langsung menuju ke Mall ini. Aku memang hanya sekedar refreshing saja. Melihat-lihat pakaian di sebuah Butik khusus Busana Muslim. Aneka jilbab dengan warna warni dan berbagai model.
”Pak apa yang bisa saya bantu?”, suara karyawati Butik menawarkan bantuannya.
”Oh ya saya hanya lihat-lihat dulu!”, kataku.
”Mbak, mbak yang ini berapa?”, terdengar suara wanita dibelakangku memanggil karyawati Butik itu.
”Maaf Pak silahkan lihat-lihat saya melayani Ibu yang di sana dulu!”, kata Karyawati itu sambil menghampiri wanita yang tadi memanggilnya. Akupun menengok kebelakang. Aku tidak tahu apakah dunia ini sempit atau memang Kota Malang yang sempit. Ternyata wanita itu adalah Daisy Listya. Ah seperti dalam Sinetron di Televisi saja. Aku tersenyum sendiri. Diam-diam aku perhatikan Listya yang sedang memilih busana muslim dan jilbab. Listya sendirian tidak terlihat Rizal, suaminya. Aku segera menghampirinya.
”Assalaamu alaikum Bu Rizal!”, sapaku dengan ramah. Listya menoleh dan nampak dia terkejut.
”Wa alaikum salaam Pak Alan!”, kata Listya setengah berteriak. Aku melihat wajahnya yang cantik itu berbinar. Listya memang benar-benar terkejut bisa bertemu denganku. Bukan dia saja yang terkejut aku juga demikian. Ah dasar seperti Sinetron di Televisi saja he he he.
”Bagaimana khabar Pak Profesor!?”, tanya Listya sambil tersenyum. Ya Allah rasanya lamaaaaa sekali aku tidak menimati senyum wanita yang aku kagumi ini.
”Alhamdulillah baik bagaimana denga Bu Rizal?”, tanyaku balik.
”Alhamdulillah baik juga Pak. Oh ya Bu Kinan baik-baik juga Pak. Saya waktu itu terima kabar dari Bu Kinan tentang batalnya pernikahannya itu. Saya turut prihatin!”, kata Listya.
”Bu Kinan sekarang sudah berangsur baik dan mulai bisa melupakan yang sudah terjadi. Kita doakan saja. Oh ya Listya sendirian?. Mas Rizal tidak ikut menemani?”, tanyaku.
”Mas Rizal sudah dua bulan ini di rumah saja harus istirahat karena cek terakhir adaptasi ginjalnya yang baru mengalami hambatan medis. Setiap Minggu diharuskan cuci darah. Mudah-mudahan bisa pulih kembali!”, kata Listya.
”Iya Listya semoga Mas Rizal kembali pulih!”, kataku. Aku sengaja tidak melanjutkan dialog tentang Rizal karena aku lihat Listya kelihatan murung membicarakan tentang suaminya. Pembicaraan beralih ke bisnis Apotiknya.
”Alhamdulillah Apotik kami lancar lancar saja. Omzetnya lumayan Pak!”, kata Listya.
”Syukurlah Listya. Semoga selalu mendapatkan barokah Allah aamiin!”, kataku mendoakan untuk kemajuan bisnis Apotiknya.
”Oh ya Pak Alan apakah dapat Undangan Pernikahan Audray?”, tanya Listya.
”Audray menikah?. Saya belum dapat Undangannya!”, kataku.
”Saya juga memang belum menerima Undangannya hanya kemarin Audray telepon saya agar bisa hadir dihari Pernikahannya bulan depan!”,kata Listya.
”Mungkin nanti Undangannya baru beredar!. Wah senang sekali akhirnya Audray dapat juga jodoh terbaiknya!”, kataku tanpa ekspresi.
”Lalu Pak Alan kapan mendapatkan jodoh terbaiknya?”, tanya Listya. Pertanyaan yang telak membuatku tidak berkutik dan aku hanya tersenyum tenang.
”Listya insya Allah suatu hari akan hadir jodoh terbaikku doakan ya!”, kataku. Listya hanya terdiam dan aku melihat kembali ada kemurungan di wajahnya. Melihat gelagat ini aku segera mengalihkan pembicaraan ke soal Apotik lagi.
”Lis apakah Apotiknya sudah bisa melayani Askes?”, tanyaku.
”Iya Pak bulan ini sudah mulai kerja sama dengan PT Askes untuk melayani kesehatan bagi rakyat kecil. Keuntungannya kecil juga namun pahalanya besar!”,kata Listya sambil tertawa.
”Kesehatan ini memang menjadi persoalan Nasional yang harus menjadi prioritas utama. Calon Presiden nanti yang ingin terpilih oleh rakyat harus bisa mewujudkan pelayanan kesehatan bagi rakyat kecil!”, kataku.
”Setuju Pak. Kok jadinya seperti kampanye Capres!”, kata Listya kembali tertawa. Tawa Listya yang lepas. Ah rasanya suasana seperti ini begitu aku rindukan bercanda dengan Listya seperti saat dia masih menjadi Mahasiswiku dulu. Namun waktu tidak mungkin diputar kembali ke belakang.
Pertemuan dengan Daisy Listya di Mall itu membuat semua kenangan bersamanya dulu seakan kembali ada di hadapanku. Namun aku harus kembali ke alam nyata. Berpijak di bumi yang nyata. Daisy Listya sudah menjadi masa laluku sama seperti Diana Faria. Sudahlah Alan Erlangga kini masa depanmu adalah Kinanti Puspitasari. Untuk mendapatkan masa depanmu pun Alan Erlangga harus tetap berjuang. Untuk mendapatkan cinta Kinanti Puspitasari tetap harus kau perjuangkan Alan!.  
Perjalanan dari Malang menuju Surabaya melalui jalan Tol baru pengganti jalan raya Porong, lumayan lancar dengan waktu tempuh sekitar dua jam padahal dulu biasanya bisa sampai tiga empat jam saat Tol baru belum selesai. Alhamdulillah aku tiba di rumah dengan sehat dan selamat. Setelah mandi dan sholat akupun menikmati secangkir teh panas yang sudah disediakan Si mbok. Sebenarnya makan malampun sudah tersedia di meja makan tapi rasanya aku masih kenyang sehingga semua menu makan malam di meja makan itu sama sekali tidak aku sentuh. 
Malam ini terasa begitu panjang. Seharusnya rasa lelah yang mendera tubuhku ini segera mengantarkanku tertidur lelap, namun anehnya aku justru merasakan rasa segar dan gembira. Aku tidak tahu mengapa demikian, apakah  mungkin karena faktor bertemu dengan Daisy Listya tadi sore itu. Bisa juga iya karena aku memang tidak bisa menyembunyikan perasaanku ini apalagi ini fakta bahwa Daisy Listya tidak bisa begitu saja harus hilang dari lembaran hidupku. Diana Faria saja yang sekarang sudah tiada masih saja terasa hadir ada dalam hatiku apalagi Daisy Listya. Apakah ini berarti Kinanti Puspitasari tidak memiliki arti bagiku?. Nanti dulu karena ini juga fakta Kinanti adalah satu-satunya wanita saat ini yang sangat realistis menjadi masa depanku. Ya hanya Kinanti yang mungkin saat ini akan menjadi perjuangan cinta terakhirku. Benarkah?. Hanya Allah yang Maha Tahu aku hanya bisa berkata : ”Bismillah......!”.

(BERSAMBUNG)








Sunday, November 17, 2013

Novel Hensa EPISODE AKHIR CINTAKU Bagian 7

Foto : Hensa/koleksi pribadi
CERITA PILU SAHABAT HATIKU

Episode cerita pilu itu tersaji didepanku. Kinanti sore itu seperti biasa menelpon Eko untuk pulang bersama. Namun kali ini Eko tidak bisa pulang karena harus mengerjakan laporan yang belum selesai jadi Eko mempersilahkan Kinanti pulang duluan. Kinanti rupanya tidak langsung menuju tempat parkir dimana mobilnya di parkir di sana tapi ia menuju arah Gedung Fakultas dimana Eko saat itu berada. Memang Gedung Fakultas mereka berdekatan hanya menyebrang jalan lalu berbelok ke arah kanan. Entah ada perasaan ingin tahu saat itu dalam diri Kinanti apa yang sedang dikerjakan Eko di ruang tempat kerjanya. Sebenarnya Kinanti hanya ingin menemani calon suaminya itu yang sedang kerja lembur. Suasana koridor di Gedung Fakultas itu sudah mulai sepi maka Kinantipun berjalan menelusuri koridor itu menuju Ruang Kerja Eko. Kinanti berdiri di depan pintu namun ia ragu mau mengetuk pintu itu. Sayup-sayup terdengar suara suara aneh dari seorang wanita yang sepertinya sedang dicumbu. Kinanti terkejut apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana. Pintu itupun diketuknya dengan keras. Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan Eko berdiri di sana. Kinanti tanpa ba dan bu langsung masuk ke dalam ruangan. Ya Tuhan Kinanti masih sempat melihat Irma sedang memakai kembali pakaiannya. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Kinanti. Dia hanya memandang Irma dan Eko lalu bergegas meninggalkan mereka berdua.
Itulah kisah pilu yang baru saja diceritakan Kinanti kepadaku. Setelah selesai bercerita, wanita cantik ini masih menangis tersedu di depanku.
”Sudahlah Kinan. Semuanya sudah terjadi. Tidak perlu kau tangisi dan kau ratapi seorang Penghianat. Hanya membuang waktumu yang sangat berharga !”, kataku berusaha menenangkan Kinanti namun dia tetap menangis.
Seorang wanita menangis itu disebabkan hanya oleh dua hal. Pertama hatinya perih karena tersakiti oleh penghianatan yang kedua hatinya berbunga karena dicintai penuh dengan kesetiaan. Saat ini aku melihat Kinanti begitu rapuh. Aku tidak melihat Kinanti yang tegar kokoh dengan pendirian dan prinsipnya. Aku juga sebenarnya memaklumi apa yang dirasakan Kinanti saat ini. Penghianatan yang sangat biadab itu telah mengotori hubungan cinta yang seharusnya tetap di jaga dan dirawat agar tetap suci. Kinanti pasti sangat sakit hatinya dan kecewa ketika cinta suci yang ia berikan berbalas dengan penghianatan. Kini Kinanti sangat membutuhkan pegangan. Tentu saja akulah orangnya yang ia perlukan. Aku tidak ingin Kinanti merasakan kesedihan ini berlarut-larut. Aku melihat Kinanti masih tersedu.
”Kinanti lihatlah ada aku disini. Aku yang selalu bersamamu!”, kataku sambil menatapnya. Mendengar kata-kataku itu Kinanti mulai tenang.
”Iya Alan terima kasih. Aku sangat membutuhkanmu!”, suara Kinanti pelan dengan tatapan mata yang masih basah dengan air mata. Malam itu suasana Cafe di jalan WR Supratman itu begitu tenang. Alunan musik yang terdengarpun penuh dengan lagu lagu melankolis.
”Kinan ternyata dia tidak setara denganmu. Kau harus mendapatkan cinta yang setara dengan keluhuran cintamu!”, kataku lagi kulihat Kinanti sudah tidak   menangis lagi.
”Ya Alan seharusnya aku bersyukur karena Allah sudah tunjukkan kepadaku siapa sebenarnya dia. Allah juga yang menunjukkan bahwa teman hidupku bukan dia, mungkin ada yang jauh lebih baik!”, kata Kinanti dengan suara pelan.
”Kalau begitu mulai saat ini kau harus kembali tersenyum. Dunia ini beberapa hari ini sangat merindukan senyummu terutama Alan Erlangga!”, kataku mulai menggoda.
”Alan Gombal!”, Kinanti mulai tersenyum.
”Senyum Kinanti adalah masa depanku!”, kataku semakin menggoda.
”Hei apa maksudmu?”, suara Kinanti setengah berteriak.
”Ssssst enggak ada maksud apa-apa!”, kataku ringan sambil cengengesan. Aku lihat Kinanti cemberut namun yang namanya Kinanti cemberutpun tetap cantik. Ada perasaan lega pada saat Kinanti sudah mulai lagi menemukan jati dirinya. Begitulah seharusnya seorang wanita yang tegar dan tangguh menghadapi apapun yang dialaminya. Sejak awal memang aku yakin Kinanti mampu menghadapi persoalan ini. 
 Boleh dikatakan aku di Bandung hanya semalam. Berangkat dari Juanda-Surabaya Sabtu sore tiba di Husen-Bandung hampir Magrib. Malam itu juga ketemu Kinanti di sebuah Cafe Jl WR Supratman. Besoknya Minggu pagi sudah check in lagi di Husen menuju Surabaya dengan penerbangan paling pagi. Tadi Kinanti masih sempat telpon hanya sekedar mengucapkan selamat jalan tapi bagiku hal itu sangat berharga.
”Alan terima kasih sudah mau bertemu denganku dan memberiku semangat baru. Selamat jalan ya kabari aku jika sudah sampai Surabaya!”, kata Kinanti. 
Semua aku lakukan untuk Kinanti. Sekarang rasanya ada perasaan lega yang membuatku merasa tenang. Mudah-mudahan demikian pula dengan Kinanti kembali menemukan dirinya, menemukan kedamaiannya, menemukan cinta sejatinya.
Dalam perjalanan pulang kembali ke Surabaya itu memang pikiranku penuh dengan Kinanti. Penerbangan pendek Bandung – Surabaya hanya memakan waktu yang pendek juga namun dalam waktu yang pendek itu penuh dengan pikiran perjalanan panjang penuh liku saat bersama Kinanti. Sesampainya di Surabaya segera saja aku mengabari Kinanti.
”Alhamdulillah Alan sudah sampai rumah!”, terdengar suara Kinanti.
”Alhamdulillah Kinan perjalanan lancar cuacanya juga bagus. Semoga juga hari ini menjadi hari baik bagimu!”, kataku. Terdengar Kinanti tertawa kecil.
”Bagiku tiada hari yang tidak baik semua hari adalah hari baik. Hari menjadi tidak baik ketika ada seseorang yang berbuat tidak baik!”, kata Kinanti berfilsafat.
”Ya sudahlah Kinan. Hari yang tidak baik itu sudah berlalu dan tak akan mungkin kembali. Tetaplah tatap ke depan sesekali saja menengok ke belakang hanya untuk sekedar memperbaiki yang perlu diperbaiki!”, kataku.
”Okey Alan aku suka kata-katamu. Persis yang dikatakan Listya tadi malam dia menelponku!”, kata Kinanti. Rupanya Kinanti juga curhat kepada Listya.
”Oh ya, pasti Listya selalu memberimu semangat!” kataku penasaran.
”Iya Alan. Dia mengatakan Bu Kinan harus melihat ke depan karena kita hidup akan menuju ke sana jangan buang buang waktu hanya untuk menyesali sesuatu yang sudah terjadi!”, kata Kinanti menjelaskan apa yang dikatakan Listya.
”Malam itu seusai bertemu denganmu aku memang menelpon Listya. Tentu saja dia kaget mendengar berita ini!”, kata Kinanti.
”Kinan memang baik juga Listya tahu tentang keadaanmu saat ini dan tentu saja Listya pasti terkejut dengan berita batalnya pernikahanmu!”, kataku kemudian aku segera menyudahi percakapan ini agar tidak berkepanjangan dikhawatirkan akan mengingatkan kembali Kinanti pada peristiwa yang menyakitkan itu.
Pertemuan singkat dengan Kinanti di Bandung itu seolah menjadi titik tolak baru bagiku untuk kembali meraih harapanku. Hari hari ke depan bagiku merupakan hari hari penuh harapan apalagi Intan ”Si Cantik Kinanti muda” selalu memberi dukungan agar aku tetap fight memperjuangkan cintaku untuk Ibundanya. Biasanya Intan menelponku saat jam makan siang, seperti siang itu aku baru saja selesai makan siang dan sholat dhuhur, aku menerima telpon Intan.
”Wa alaikum salaam!”, aku membalas salam nya Intan.
”Om Alan sedang apa?”.
”Baru saja selesai sholat dan makan siang. Intan sudah makan siang belum?. Sekarang ada kuliah apa saja?”, kataku balik bertanya.
”Intan sudah makan Om.  Hari ini kuliahnya sudah tadi pagi baru nanti ada Praktikum Kimia Dasar sampai sore nanti. Om Alan, Intan telpon gini ganggu nggak nih?” tanya gadis itu dengan bahasa remajanya.
”Oh tidak apa apa. Om Alan malah senang apalagi membawa khabar tentang Ibumu!”, kataku melai memancing. Aku mendengar Intan tertawa lepas.
”Rupanya Om Alan kangen sama Ibu ya!”.
”Iya dong malah kangen juga sama anak gadis Si Mata wayangnya!”, kataku menggoda dan kembali terdengar suara tawa merdu Intan Permatasari. Sungguh memang Intan ini adalah Kinanti saat muda dulu. Suaranya juga merdu persis Ibunya.
”Om Alan. Saat ini Ibu sudah kelihatan mulai kembali bergairah tidak lagi bersedih. Ibu sering menerima telpon dari mbak Listya selain dari Om Alan. Mereka kalau ngobrol sangat serius sekali. Mbak Listya selalu memberi semangat kepada Ibu. Melihat keadaan Ibu sekarang, Intan merasa lega. Ngomong-ngomong bagaimana perkembangan pedekatenya Om?”, tanya Intan.
”Pedekate yang mana Intan?”, kataku pura-pura bego.
”Aduuuh Om Alan ya pedekate sama Ibu dong!”, suara Intan menggerutu.
”Oh itu beres doong. Pelan-pelan saja Om Alan tidak mau tergesa-gesa karena Om Alan tidak mau ditolak yang ketiga kalinya!”, kataku. Intan tertawa mendengar ucapanku.
”Lho Intan. Dalam hidup Om Alan hanya Ibumu yang sudah menolak dua kali cintanya Om Alan. Pertama dulu sewaktu SMA dan kedua baru saja sebelum Ibu memutuskan memilih Om Eko. Mangkanya tidak mau terburu buru kalau sampai terjadi penolakan yang ketiga kali wah kiamat dunia ini!”, kataku serius. Kembali terdengar suara tawa Intan.
”Tenang saja Om kali ini pasti berhasil. Ibu kalau malam suka berharap harap ada telpon dari Om Alan!”, kata Intan. Mendengar ini aku hanya tersenyum.
Intan Permatasari putri Si Mata wayangnya telah menjadi teman akrabku setiap saat. Aku banyak mendapat informasi tentang Ibunya dan rupanya Intan sangat mengharapkan agar Ibunya menikah denganku. Namun aku hafal betul siapa Kinanti, seorang wanita yang mempunyai pendirian yang kokoh bagaikan karang. Hei tapi nanti dulu, karang kalau setiap hari disentuh oleh ombak mungkin akan luluh juga. Sentuhlah karang itu dengan penuh kasih sayang. Ya aku harus tetap berjuang Kinanti adalah harapan terakhirku. Harapanku yang paling logis. Kinanti belum jadi masa laluku walaupun dia pernah ada di masa laluku namun juga belum nyata menjadi masa depanku. Cinta itu harus diperjuangkan. Tidak ada kata terlambat ini saatnya aku harus memperjuangkan cintaku. Ada sebuah tanya kenapa dulu aku tidak berjuang untuk cintaku kepada Daisy Listya?. Sebelum menjawab muncul lagi pertanyaan berikutnya yaitu apa dulu memang aku tidak pernah memperjuangkan cintaku kepada Daisy Listya?.  Mungkinkah itu sudah takdirku dariNya ketika aku tidak mendapatkan cintaku kepada Daisy Listya. Apakah mungkin ada takdirNya lagi untuk takdirku ini?. Entahlah aku lebih baik berserah diri saja kepadaNya untuk semua yang kuperjuangkan andai memang aku sudah berjuang. Untuk Kinanti ini aku berharap dengan izinNya berilah aku takdir cintaku yang utuh. Hanya cintaku yang utuh yang dapat mengobati rasa pilu sahabat hatiku ini.
(BERSAMBUNG)






Friday, April 26, 2013

KEMARAU PANJANG DI KOTA HUJAN


Ruang kuliah hari itu begitu hening  dan sekitar 50 mahasiswa mengikuti kuliah  Biokimia dengan khusyu. Di kelas itu terus terang aku tidak begitu fokus mengikuti kuliah karena perhatianku lebih banyak tertuju kepada seorang gadis cantik yang duduk di baris kedua dari depan persis disamping kiriku. Gadis itu bernama Erika. Sejak SMP di kotaku dia adalah cinta monyetku. Di SMA ternyata dia adalah cinta remajaku. Saat ini ketika sudah duduk di Perguruan Tinggi di kota Bogor ini ternyata dia masih juga menjadi cinta masa depanku. Dalam dunia pelajaran sekolah, sejak SMP dulu, Erika adalah gadis yang pintar. Di kelas dia menjadi pesaingku dalam hal prestasi belajar. Sewaktu di SMA juga demikian bahkan ketika masuk Perguruan Tinggi di Bogor, Erika dan Aku diterima tanpa testing alias melalui jalur prestasi di sekolah.


Ya iyalah saat itu di sekolah aku rangking satu sedangkan Erika rangking dua. Pantas dong. Apalagi nilai ijazahku rata-rata 9. Okeylah aku sudahi cerita ini, nanti dikira sombong mau pamer prestasi belajarku.
Hari demi hari kami lalui dengan senyum dan canda penuh dengan warna warni bahagia. Hampir semua teman di Kampusku selalu mengatakan, wah sekarang ini kucing dan anjing bisa akur. Dulu kami memang sering perang mulut berdebat lalu pura-pura musuhan bak kucing dan anjing. Tentu saja aku hanya tersenyum ketika diantara mereka ada yang mengatakan bahwa aku yang jadi anjing gila sedang Erika adalah kucing garong. Tapi menurut pendapatku justru Erika yang cocok sebagai kucing gila yang menyukai anjing garong. Ah masa bodo amat deh. Sementara itu ada yang lebih penting lagi bahwa sudah hampir sebulan yang lalu gadis yang bernama Erika Amelia Mawardani konon yang paling aku cintai itu telah melangsungkan pertunangannya. Ah tentu para pembaca akan berkata, berbahagialah yang bernama Indra Susanto. Selamat bahagia atas pertunangan dengan Erika. Nanti dulu. Ternyata tidak demikian sebab Erika tidak bertunangan denganku. Erika telah bertunangan dengan seorang dokter berstatus duda cerai mati beranak dua. Hah. Memang betul. Orang tua Erika menjodohkannya dengan dokter itu yang tentu saja lebih mapan dariku.
            Siang itu aku menuju perpustakaan di lantai dua dan aku masih juga iseng menghitung tangga-tangga perpustakaan itu walaupun sudah tahu ada berapa banyaknya. Perpustakaan pada siang yang mendung ini sangat sepi. Di pojok sana kulihat Alan, teman kuliahku dan disampingnya Aini Mardiyah, gadis cantik berjilbab sahabat dekat Erika.
“Asyik amat kau ?” kataku menyapa. Alan sedang membaca buku Food Chemistry nya Meyer. Rupanya dia mau ujian her.
“Duduk sini ‘ndra !” katanya sambil menutup Meyernya.
“Kau tahu, ketika kudengar Si Riri bertunangan dengan Dokter itu, aku seakan akan mendengar berita kematianmu”, katanya lagi. Aku tertawa sumbang sementara Aini disebelahku hanya tersenyum.
“Tidak perlu mendengar berita kematian jika hanya ditinggal seorang gadis. Iya kan Indra?”, komentar Aini terhadap perkataan Alan. Aku mengangguk sambil tertawa. Tawaku terasa getir.
“Itu hanya sebuah kisah Al. Mungkin sudah saatnya berakhir”, kataku perlahan seolah jiwaku merasa kuat tapi sebenarnya sangat rapuh.
“Ya benar kita harus berani menghadapi kenyataan. Erika kemarin mencurahkan semua isi hatinya padaku. Aku tak dapat berkata apa-apa kecuali seperti yang aku katakan padamu Indra!”, kembali suara Aini penuh dengan petuah positif. Aku senang bersahabat dengannya. Kata-katanya selalu mengandung hikmah. Layaklah Aini mengenakan jilbab dan busana muslimah yang sopan. Namun demikian penampilan Aini menurutku cukup modis tidak ketinggalan zaman bahkan aku melihat gadis ini memiliki kecantikan yang khas dengan jilbab dan busana muslimahnya. Kecantikan Aini penuh dengan aura keindahan, keramahan, kedamaian dan kesejukkan. Kecantikan yang alami. Lihat senyumnya. Rasanya aku belum pernah melihat senyum semanis dan sesejuk itu. Seakan-akan senyum itu ada dimana-mana membawa keramahan hatinya.
“Kalian saling mencintai bukan ?”, kata Alan.
“Tentu saja Al!”’ kata Aini yang malah menjawab sambil menoleh kepadaku.

“Seperti yang kalian lihat!”, kataku perlahan. Lalu aku mengajak pembicaraan segera saja diganti dengan topik yang lain.
 Maka pada siang itu kutinggalkan Perpustakaan dengan hati yang kosong dan kuturuni tangga-tangga perpustakaan itu yang selalu saja kuhitung walaupun aku tahu ada berapa banyaknya.
Apa yang akan terjadi denganku selanjutnya?. Silahkan ikuti Novel ini Episode demi Episode sampai akhir.
Selamat menikmati hidangan.

Untuk koleksi silahkan pesan Novel ini ke :

http://www.dapurbuku.com/tatacara/cara-memesan-buku-via-sms-sistem-manual