Ruang kuliah hari itu
begitu hening dan sekitar 50 mahasiswa
mengikuti kuliah Biokimia dengan khusyu.
Di kelas itu terus terang aku tidak begitu fokus mengikuti kuliah karena perhatianku
lebih banyak tertuju kepada seorang gadis cantik yang duduk di baris kedua dari
depan persis disamping kiriku. Gadis itu bernama Erika. Sejak SMP di kotaku dia
adalah cinta monyetku. Di SMA ternyata dia adalah cinta remajaku. Saat ini
ketika sudah duduk di Perguruan Tinggi di kota Bogor ini ternyata dia masih
juga menjadi cinta masa depanku. Dalam dunia pelajaran sekolah, sejak SMP dulu,
Erika adalah gadis yang pintar. Di kelas dia menjadi pesaingku dalam hal
prestasi belajar. Sewaktu di SMA juga demikian bahkan ketika masuk Perguruan
Tinggi di Bogor, Erika dan Aku diterima tanpa testing alias melalui jalur
prestasi di sekolah.
Ya iyalah saat itu di
sekolah aku rangking satu sedangkan Erika rangking dua. Pantas dong. Apalagi
nilai ijazahku rata-rata 9. Okeylah aku sudahi cerita ini, nanti dikira sombong
mau pamer prestasi belajarku.
Hari demi hari kami
lalui dengan senyum dan canda penuh dengan warna warni bahagia. Hampir semua
teman di Kampusku selalu mengatakan, wah sekarang ini kucing dan anjing bisa
akur. Dulu kami memang sering perang mulut berdebat lalu pura-pura musuhan bak
kucing dan anjing. Tentu saja aku hanya tersenyum ketika diantara mereka ada
yang mengatakan bahwa aku yang jadi anjing gila sedang Erika adalah kucing
garong. Tapi menurut pendapatku justru Erika yang cocok sebagai kucing gila
yang menyukai anjing garong. Ah masa bodo amat deh. Sementara itu ada yang
lebih penting lagi bahwa sudah hampir sebulan yang lalu gadis yang bernama
Erika Amelia Mawardani konon yang paling aku cintai itu telah melangsungkan
pertunangannya. Ah tentu para pembaca akan berkata, berbahagialah yang bernama
Indra Susanto. Selamat bahagia atas pertunangan dengan Erika. Nanti dulu.
Ternyata tidak demikian sebab Erika tidak bertunangan denganku. Erika telah
bertunangan dengan seorang dokter berstatus duda cerai mati beranak dua. Hah.
Memang betul. Orang tua Erika menjodohkannya dengan dokter itu yang tentu saja
lebih mapan dariku.
Siang itu aku menuju perpustakaan di
lantai dua dan aku masih juga iseng menghitung tangga-tangga perpustakaan itu
walaupun sudah tahu ada berapa banyaknya. Perpustakaan pada siang yang mendung
ini sangat sepi. Di pojok sana kulihat Alan, teman kuliahku dan disampingnya
Aini Mardiyah, gadis cantik berjilbab sahabat dekat Erika.
“Asyik amat kau ?”
kataku menyapa. Alan sedang membaca buku Food
Chemistry nya Meyer. Rupanya dia
mau ujian her.
“Duduk sini ‘ndra !”
katanya sambil menutup Meyernya.
“Kau tahu, ketika
kudengar Si Riri bertunangan dengan Dokter itu, aku seakan akan mendengar
berita kematianmu”, katanya lagi. Aku tertawa sumbang sementara Aini
disebelahku hanya tersenyum.
“Tidak perlu
mendengar berita kematian jika hanya ditinggal seorang gadis. Iya kan Indra?”,
komentar Aini terhadap perkataan Alan. Aku mengangguk sambil tertawa. Tawaku
terasa getir.
“Itu hanya sebuah
kisah Al. Mungkin sudah saatnya berakhir”, kataku perlahan seolah jiwaku merasa
kuat tapi sebenarnya sangat rapuh.
“Ya benar kita harus
berani menghadapi kenyataan. Erika kemarin mencurahkan semua isi hatinya
padaku. Aku tak dapat berkata apa-apa kecuali seperti yang aku katakan padamu
Indra!”, kembali suara Aini penuh dengan petuah positif. Aku senang bersahabat
dengannya. Kata-katanya selalu mengandung hikmah. Layaklah Aini mengenakan
jilbab dan busana muslimah yang sopan. Namun demikian penampilan Aini menurutku
cukup modis tidak ketinggalan zaman bahkan aku melihat gadis ini memiliki
kecantikan yang khas dengan jilbab dan busana muslimahnya. Kecantikan Aini
penuh dengan aura keindahan, keramahan, kedamaian dan kesejukkan. Kecantikan
yang alami. Lihat senyumnya. Rasanya aku belum pernah melihat senyum semanis
dan sesejuk itu. Seakan-akan senyum itu ada dimana-mana membawa keramahan
hatinya.
“Kalian saling
mencintai bukan ?”, kata Alan.
“Tentu saja Al!”’
kata Aini yang malah menjawab sambil menoleh kepadaku.
“Seperti yang kalian
lihat!”, kataku perlahan. Lalu aku mengajak pembicaraan segera saja diganti
dengan topik yang lain.
Maka pada siang itu kutinggalkan Perpustakaan
dengan hati yang kosong dan kuturuni tangga-tangga perpustakaan itu yang selalu
saja kuhitung walaupun aku tahu ada berapa banyaknya.
Apa yang akan terjadi
denganku selanjutnya?. Silahkan ikuti Novel ini Episode demi Episode sampai
akhir.
Selamat menikmati hidangan.Untuk koleksi silahkan pesan Novel ini ke :
http://www.dapurbuku.com/tatacara/cara-memesan-buku-via-sms-sistem-manual
No comments:
Post a Comment