Foto : Sampul Novel Bunga Mutiara/Hensa 2014
EPISODE 20
ASA ITU
SELALU ADA
Akhirnya
berita menyedihkan itu sampai juga kepada Mutiara. Pagi itu saat aku baru saja
sampai di Ruang Kerjaku, Mutiara menelponku. Sambil terisak dia men-ceritakan
berita menyedihkan itu dari dokter yang baru saja berkunjung pagi itu. Aku
mendengar isak tangisnya begitu pilu.
“Tiara.
Bersabarlah. Tuhan tidak akan memberi cobaan diluar kemampuan kita!”, kataku
mencoba mengutip Firman Allah untuk menenangkan hati Mutiara.
“Iya
Mas. Hanya kepadaNya aku pasrahkan segala-nya. Aku hanya bersedih memikirkanmu Mas
Herman!”, suara Mutiara masih terisak. Mendengar penuturannya aku sangat
terharu. Mutiara bersedih justru karena memikirkan masa depanku. Ya andai Tuhan
mengizinkan aku menikah dengannya lalu apa yang terjadi saat Mutiara sudah
menjadi istriku?. Sedangkan dia saat itu terkena infeksi HIV. Ya Allah
berikanlah ketabahan kepada kami.
Beberapa
saat aku tertegun lalu tetap berusaha menghibur dan membesarkan hatinya.
“Sudahlah
Tiara jangan bersedih. Sekarang ikuti saja program yang sudah disiapkan oleh
dokter. Tiara harus tabah. Insya Allah semuanya akan baik-baik saja !”.
“Mas
Herman. Ini yang kutakutkan selama ini. Itulah sebabnya aku tidak pantas
untukmu Mas. Aku berharap Mas Herman segera bangun dari mimpi buruk ini!”,
suara Mutiara begitu tegar mengucapkan kalimat ini.
“Tiara
selalu aku katakan janganlah berputus asa kepada pertolongan Tuhan. Aku tidak
sedang bermimpi buruk. Bahkan Mimpi indahku adalah dirimu Mutiara!”, kataku
pelan.
Aku
tidak bisa menyembunyikan kerapuhan hatiku. Siapapun yang mengalami hal
sepertiku ini tentu tak bisa dengan mudah untuk tabah semudah kata itu
diucapkan.
“Mas
Herman, aku sudah tak sabar ingin bertemu denganmu!”, kembali suara Mutiara.
Mendengar kata-kata Mutiara ini aku rasanya seperti mau menangis. Dia begitu
rindu seperti halnya aku merindukannya.
“Iya
Tiara, aku juga sudah kangen ingin bertemu!”, kataku. Berpisah dengannya belum
sebulan namun rasanya seperti sudah berabad abad.
Aku
teringat ketika masih di Surabaya berat badan Mutiara turun beberapa kg namun
saat itu tidak pernah aku perhatikan sebagai suatu hal yang serius. Malah saat
itu aku sering memujinya dengan mengatakan bahwa Mutiara bertambah langsing
semakin bertambah cantik. Lalu saat mendengar pujianku itu Mutiara mencubit
lenganku mesra. Namun setelah test HIV ini turunnya berat badan menjadi hal
yang serius. Aku belum tahu kondisi Mutiara saat ini. Terakhir Om Franky
menceritakan keadaanya sangat memprihatinkan. Ya Allah semoga mukjizatMu
menyertainya.
Sudah
aku duga biasanya jika ada berita dari Mutiara pasti selalu ada telpon dari
Bunga. Ya Bunga menelponku ingin bertemu. Maka siang itu Bunga bertemu denganku
di Kantin Rumah Sakit pada jam makan siang.
“Herman.
Menerima telpon Mutiara pagi tadi aku sangat prihatin. Aku berikan semangat
kepadanya agar dia tetap tabah. Kamu juga yang tabah ya !”, kata Bunga.
“Terima
kasih Bunga. Kamu memang sahabat sejatiku. Aku sendiri saat ini hanya ingin
bertemu dengan Mutiara. Biar aku bisa memberikan semangat kepadanya secara
langsung!”.
“Herman
itu lebih baik. Kamu ada disisinya akan membuat Mutiara lebih tenang dan lebih
tabah. Kapan rencana ke Manado ?”, tanya Bunga.
“Aku
punya jadwal longgar hari Sabtu pekan depan. Rencananya aku pergi dengan Om
Franky !”, kataku.
“Aku
sebenarnya ingin ikut menjenguk Mutiara namun minggu depan ada seminar
proposal. Titip salamku saja !”, kata Bunga.
“Ya
Bunga tidak apa-apa. Tetap doakan kebaikan untuk Mutiara. Saat seperti ini
hanya kamu yang selalu ada disampingku untuk mendukungku. Terima kasih Bunga!”,
kataku terharu. Kulihat Bunga hanya menatapku sendu.
“Aku
sahabatmu sejak kecil sudah pasti akan selalu ada saat kau bersedih seperti ini
!”, kata Bunga.
“Sebenarnya
aku selalu yakin semua yang terjadi pasti selalu atas campur tanganNya. Namun
aku juga kadang-kadang merasa rapuh menghadapi cobaan ini!”, kataku.
“Herman
selama ini aku mengenalmu sebagai seorang yang ulet dan tegar menghadapi
apapun. Aku yakin kau bisa menghadapi cobaan ini!”, kata Bunga berusaha selalu
menghiburku.
“Insya
Allah. Mudah-mudahan aku seperti yang kau kenal selama ini. Aku juga selalu
berharap agar kau tetap mendoakan agar cobaan ini segera berakhir!”, kataku.
Pertemuan
yang singkat dengan Bunga namun memiliki banyak arti. Bagiku Bunga adalah
seorang gadis yang istimewa. Dia selalu hadir saat kapanpun aku harapkan.
Walaupun Mutiara adalah pujaan hatiku, namun seakan pada semua relung hatiku,
Bunga selalu ada.
Malam itu aku harus
menyelesaikan laporan tugas rutinku di Rumah Sakit. Ada perasaan kalut dan
pikiran tidak tenang, bukan karena aku belum menyelesaikan laporan itu namun
karena seorang pasien Ibu Rumah Tangga yang terkena virus HIV itu kondisinya
semakin menurun. Setiap hari aku bersama dokter Wim selalu memantau Pasien ini
di Ruangan isolasi. Bahkan dokter Wim menemukan indikasi adanya stadium lanjut
dari virus ini dengan hasil temuan jumlah sel CD4 dalam darah yang di bawah 250
per mikroliter. Sel kekebalan tubuh yang disebut CD4 (Cluster of
Differentiation), merujuk pada klaster protein yang membentuk reseptor pada
permukaan sel tersebut. Diketahui banyak sekali klaster, tetapi dalam hubungan
dengan HIV/AIDS maka CD4 dan CD8 yang paling utama dan paling sering dibahas. Padahal obat antiretroviral (ARV)
perlu dimulai sedini mungkin karena progresivitas penyakit terjadi setelah
banyak sel CD4 yang hancur. Terapi ARV
yang tepat bisa menekan replikasi HIV, namun rupanya pasien ini sangat
terlambat memeriksakan keluhannya. Adanya infeksi oputunistik yang juga
menyerang tubuhnya menambah parah kondisi pasien tersebut.
Pagi
harinya pasien Ibu Rumah Tangga itu akhirnya sudah tidak mampu lagi bertahan.
Dia meninggal dunia setelah dirawat selama dua pekan. Aku hanya bisa termenung
di sudut Ruangan itu.
Aku
kembali teringat Mutiara seperti apakah kondisinya saat ini. Aku benar-benar
tidak mengetahui data mediknya. Mungkin nanti saat di Manado aku bisa
berdiskusi lebih dalam dengan dokter yang menangani Mutiara.
Sabtu pagi itu, aku dan Om
Franky bertolak ke Manado menggunakan penerbangan pagi dari Bandara Juanda
Surabaya. Penerbangan Alhamdulillah lancar sampai Bandara Sam Ratulangi. Kami
langsung menuju RS Ratumbuisang dimana Mutiara dirawat.
Sebelum menjenguk Mutiara,
Om Franky me-ngajakku ke Ruangan dokter Beny yaitu dokter spesialis yang
merawat Mutiara di Rumah Sakit itu. Om Franky yang mengenal lebih dulu dr Beny
memperkenalkanku kepadanya sebagai calon suami Mutiara. Kami berdiskusi cukup
lama di Ruangan dr Beny.
“Setelah Mutiara positif
terinfeksi HIV. Kami lakukan juga pemeriksaan banyaknya jumlah sel kekebalan
tubuhnya yaitu sel CD4. Hasilnya dibawah dibawah 300 per mm kubik darah. Sangat
mencemaskan!”, kata dr Beny.
“Betul dokter jumlah sel
CD4 menjadi indikator yang amat penting dalam menentukan tingkat kekebalan
tubuh manusia. Dari hasil laboratorium jumlah sel kekebalan tubuh Mutiara
sangat mengkhawatirkan!”, kataku sambil memperhatikan data medis yang
ditunjukkan dr Beny.
“Iya seharusnya jumlah
sel dalam batas normal ada pada kisaran
500-1000 sel per milimeter kubik darah agar mampu mempertahankan diri dari
komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan AIDS khususnya mencegah
terjadinya infeksi oportunistik!”, kata dokter spesialis yang merawat Mutiara.
“Satu hal lagi hal yang
sangat menyedihkan adalah ditemukan adanya konplikasi sehingga terjadi infeksi
oportunistik dari penyakit menular herpes genitalis!”, kembali suara dr Beny.
Aku dan Om Franky hanya
terdiam dan saling pandang mendengar penjelasan Beliau yang sangat gamblang dan
jelas tentang kondisi medik Mutiara.
“Penanganan medis
selanjutnya adalah mengobati infeksi oportunistiknya baru terapi antiretroviral
bisa dilakukan!”, kembali dokter Beny menjelaskan tindakan medis berikutnya.
Kondisinya Mutiara saat
ini sangat parah. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengannya.
Aku ingin segera saja keluar dari Ruangan dr Beny dan berlari menemui Mutiara.
Ya Allah betapa aku harus tetap yakin setiap kehadiranMu dalam hatiku maka asa
itu selalu ada.
BERSAMBUNG