Sampul Novel Bunga Mutiara (Foto Hensa)
EPISODE 21
BERAKHIRNYA
SEBUAH MIMPI
Ruangan dokter Beny,
dokter senior spesialis penyakit dalam ini terasa hening beberapa saat ketika
tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.
“Ya silahkan masuk!”, kata
dr Beny mempersilahkan masuk.
Lalu pintupun terbuka.
Seorang wanita cantik berkulit putih separuh baya paling berusia sekitar 45
tahunan, berdiri di sana. Aku hanya menebak apakah ini Mamanya Mutiara?.
Kulihat garis garis wajahnya memang mirip
Mutiara.
“Oh Bu Maya, silahkan
duduk!”, kembali suara dokter Beny. Kemudian Om Franky menyambut kedatangan Bu
Maya yang ternyata memang benar, dia adalah Mamanya Mutiara. Om Franky
memperkenalkan aku kepadanya. Ketika aku memanggilnya dengan kata ‘Tante’,
langsung Bu Maya menyuruhku memanggilnya ‘Mama’.
“Herman, aku sudah banyak
mendengar cerita tentangmu dari Mutiara. Saat sekarang bertemu denganmu seakan
aku sudah mengenalmu bertahun-tahun!”, kata Mamanya Mutiara. Aku hanya terdiam.
“Herman, kamu tahu saat Mutiara
mendengar kedatanganmu di Manado wajahnya kembali ceria. Dia sangat menunggu
kehadiranmu. Bagi Mutiara, kau itu seperti malaikat penolong, betapa banyak
harapan harapannya berhasil kau bangkitkan kembali. Akhirnya Mutiara menemukan
kembali jati dirinya!”, Mamanya Mutiara berkata terbata-bata dengan berurai air
mata. Om Franky berusaha menghibur dengan memeluknya.
“Bagi Mutiara,Hermansyah
adalah masa depannya namun ternyata Tuhan kembali harus memberikan ujianNya.
Mungkin Tuhan sangat sayang kepada Mutiara sehingga dia harus selalu menerima
ujian ini!”, kembali suara Mamanya Mutiara sambil terisak. Suasana di Ruang
dokter Beny itu benar-benar sangat mengharukan.
“Bu Maya semoga bisa
bersabar. Kami tetap berupaya menuju tindakan medis lanjut dengan terapi
antiretroviral dengan persetujuan pihak keluarga!”, kata dokter Beny.
“Tentu dokter. Apapun yang
dilakukan untuk kesembuhan Mutiara, kami pasti setuju!”, kata Mamanya Mutiara
sudah mulai tenang. Suasanapun sudah
kembali mencair. Kemudian Om Franky meminta izin untuk segera menjenguk Mutiara
di Ruangannya.
“Dokter ijinkan kami
menjenguk Mutiara dan terima kasih atas penjelasan lengkap kondisi medis serta
dukungannya selama ini!”, suara Om Franky.
“Ya sama-sama Pak Franky.
Silahkan!”, kata dokter Beny mempersilahkan kami meninggalkan ruangannya.
Kami menuju Ruangan dimana
Mutiara di rawat. Kami menyusuri koridor menuju tangga terdekat dan selama
perjalanan Mama Maya selalu bercerita tentang Mutiara yang begitu senang akan
bertemu denganku.
“Herman, Mutiara sudah
tidak sabar ingin bertemu denganmu!”, kata Mama Maya. Aku melihat masih ada
sisa tangisan di sudut kedua matanya.
“Iya Ma, saya juga sudah
tidak sabar ingin bertemu segera!”, kataku. Aku merasakan ada kegundahan dalam
tutur kataku itu. Rasa gundah, gelisah, khawatir dan rasa takut kehilangan. Ya
Allah kenapa jatungku berdetak semakin cepat saat sebentar lagi akan bertemu
Mutiara. Aku tidak mau membayangkan kondisi Mutiara saat ini. Mendengar
informasi dari Om Franky tempo hari, Mutiara memang sudah sangat parah.
Aku sekarang sudah ada di
depan pintu Ruangan tempat Mutiara dirawat. Mama Maya membukakan pintu dan Om
Franky masuk diikuti olehku.
“Tiara coba tebak siapa
yang datang ini!”, suara Mamanya. Aku melihat Mutiara melihat kedatanganku
dengan wajah yang ceria. Ya Allah walaupun wajah cantiknya kelihatan pucat
dengan kedua pipi yang sudah cekung digerogoti virus HIV namun senyum itu
adalah senyum kerinduannya kepadaku. Aku hanya bisa memandangnya dengan penuh
haru.
“Mas Herman!”, suara
Mutiara setengah berteriak. Aku menghampiri dan memegang lengannya. Kupandangi
wajah cantiknya yang selama ini aku rindukan. Mutiarapun memandangku dengan
kedua matanya yang indah itu. Bibirnya berkali kali memanggil namaku pelan
hampir berbisik. Wajahnya memang kelihatan sangat lelah namun saat dia
memandangku kelihatan sorot mata yang hidup dan senyum manis penuh dengan
harapan. Kondisi tubuhnya sangat memprihatinkan kelihatan kurus karena bobot
badan yang terus menyusut. Mamanya hanya bisa terisak memandang adegan haru di
depan matanya sedangkan Om Franky terdiam membisu dengan wajah penuh kesedihan.
“Mas, aku kangen sekali!”,
suara Mutiara pelan dan air matanya mulai menetes di kedua pipinya yang
sekarang sudah cekung itu. Aku mengusap tetesan air mata itu dengan lembut.
“Tiara, aku juga merasa
kehilanganmu!”, kataku sambil tetap erat memegang tangannya. Mutiara tersenyum.
Aku lihat wajahnya yang cantik itu sangat lelah namun senyumnya tetap manis. Saat
saat seperti ini aku hanya bisa berbisik kepadaNya. Ya, berikanlah untuk Mutiara jalan yang terbaik menurutMu.
Informasi medis dari
dokter Beny sudah jelas bagaimana kondisi Mutiara saat ini. Aku sekarang sudah
melihat fakta dari kondisi kesehatan Mutiara sudah sangat parah. Infeksi
oportunistik herpes simplex virus tipe 2 bagi penderita HIV adalah hal yang
sangat serius karena sistem imunitas tubuhnya yang terus menurun akibat
HIV, menyebabkan Mutiara memasuki
stadium yang kritis.
“Mas Herman, aku
merindukan suasana Surabaya. Aku merindukan saat kita berbincang di teras depan
tempat kostku. Aku merindukan duduk bersamamu di Halte depan Rumah Sakit itu.
Aku merindukan bertemu denganmu di Perpustakaan itu. Aku selalu merindukan
setiap petuahmu yang membuat hidupku menjadi cerah!”, suara Mutiara pelan
sambil menatapku dengan senyum di bibirnya.
Kembali aku hanya diam
membisu dan membiarkan Mutiara mengeluarkan semua isi hatinya. Mutiara yang
malang, kemana para lelaki tuna susila yang biadab itu pada saat Mutiara
seperti ini. Tentu saja mereka tidak akan ada yang datang menjenguknya karena
mereka memang hanya butuh tubuhnya.
“Mas Herman saat saat
seperti ini baru aku menyadari bahwa Tuhan sedang mengujiku. Pernah Mas Herman
bilang orang yang sering mendapat ujian itu pertanda mau naik kelas. Andaikata
benar aku sangat bahagia. Namun aku ini penuh dengan kenistaan sangat layak
masuk neraka. Aku harus rela menerimanya. Ternyata aku juga adalah mahlukNya
yang tidak berdaya melawan nerakaNYa. Sedangkan Sorga adalah tempat yang tidak
layak bagiku yang berlumpur penuh dengan dosa ini !”, suara Mutiara semakin
lemah, lalu nafasnya terputus-putus. Kini tiba-tiba saja kondisinya sangat drop
kemudian aku melihat dia pingsan.
Kami segera memanggil
Suster yang selama ini merawatnya. Kemudian Suster segera menghubungi dokter
Beny. Mereka secepatnya menangani Mutiara sementara Mama Mutiara dan Om Franky
dipersilahkan menunggu di luar ruangan. Mama Mutiara masih menangis dalam pelukan Om
Franky. Aku sendiri diizinkan dokter Beny untuk menemaninya memeriksa kondisi
Mutiara. Faktor psikologis yang membuat Mutiara depresi berat. Aku bisa
memahami betapa kecewanya Mutiara karena HIV dan infeksi herpes simplex tipe 2,
menyebabkannya harus melupakan untuk menjadi istriku. Itulah kenyataan yang
harus aku hadapi kini. Fakta yang sangat menyakitkan dan menyedihkan.
Saat itu kesedihan harus
aku rasakan secara mendalam. Bagaimana tidak, Mutiara telah mampu membuatku
jatuh hati. Wanita yang telah banyak menciptakan rindu dalam setiap waktuku. Hari
hari yang aku lalui bersamanya adalah hari hari yang penuh keceriaan dan
kebahagiaan. Kecantikannya selalu mengingatkanku kepada kebesaran ciptaanNya.
Dalam hatiku selalu
tertanam kesadaran bahwa Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan
dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya - Tiada satupun
urusan yang tanpa campur tanganNya. Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. Dia
Maha Memiliki apa apa yang di langit dan di bumi dan diantara keduanya. Siapa
yang mampu menolak takdirNya ?. Ya Mutiara sudah menerima takdirNya. Setahun
kemudian wanita pujaanku ini tidak mampu lagi bertahan melawan virus yang ganas
itu.
Sore hari yang mendung itu
aku masih duduk di bangku Halte depan Rumah Sakit itu. Orang-orang yang
menunggu Angkot satu-persatu bergegas menaiki kendaraan kota itu sehingga di
Halte hanya tinggal aku dan seorang gadis berambut panjang. Tiba-tiba saja
sebuah mobil Eropa bermerk berhenti dan gadis cantik berambut panjang itu
membuka pintu lalu berlalu dari pandanganku. Bukankah dia Mutiara?. Tidak,
Mutiara sudah tiada, bukan, bukan dia. Lalu siapa gadis cantik berambut panjang
yang pergi bersama mobil Eropa bermerk itu?. Hujan sudah mulai turun. Aku masih
di Halte itu sendirian. Sementara hari sudah mulai gelap tiba-tiba saja sebuah
mobil sedan kecil merapat. Seorang gadis
semampai keluar dari mobil sambil membawa payung.
“Herman ayo kita pulang!”,
suara Bunga. Aku hanya menurut saja ketika aku digandeng menuju mobil lalu
kamipun berlalu meninggalkan Halte itu. Mobil meluncur menembus lebatnya hujan
sementara Bunga mengendarai dengan hati-hati.
“Herman, kamu harus
bangkit. Mutiara sudah tenang di alam sana!”, kata Bunga.
“Ya Bunga. Mutiara selalu
saja ada di hatiku. Tadi di Halte itu aku juga melihat kembali bayangannya !”.
“Mungkin itu hanya
hayalanmu karena kamu belum bisa merelakannya pergi!”.
“Mungkin begitu Bunga!”.
“Andaikan kau
mencintainya, relakan dia. Ikhlaskan karena kita tidak pernah menjadi pemilik
siapapun. Hanya Allah yang Maha Memiliki!”, kata Bunga.
Aku berusaha untuk tetap
tabah menghadapi ujian ini. Sangat berat memang namun sekali lagi aku memiliki
sahabat sejati yaitu Bunga Putri Pertiwi. Dia selalu ada pada saat aku
membutuhkannya. Aku teringat pesan terakhir Mutiara bahwa dia sudah menitipkan
diriku seutuhnya kepada Bunga. Mutiara juga akan merasa bahagia andai aku
menjadi teman hidup Bunga. Namun apakah Bunga memang mencintaiku?. Sedangkan sekarang
cintaku sudah hilang seolah dibawa pergi oleh Mutiara. Lalu cinta yang mana
yang harus aku berikan kepada Bunga?. Aku hanya berdoa semoga suatu hari nanti Bunga
dapat menemukan kembali cintaku yang hilang. Semoga.
Novel ini dapat dipesan di sini :
No comments:
Post a Comment