Wednesday, May 21, 2008

CerpenCorner

Episode II

CERITA PENDEK

Kata-katanya yang terakhir ini kucerna baik-baik lalu kusimpan dalam sanubariku agar suatu saat aku dengan mudah dapat mengingatnya kembali. Perkawinan hanyalah sebuah awal perjalanan berikutnya, bukan megahnya sebuah resepsi dan bukan pula indahnya malam pertama tapi cobaan-cobaan, tantangan-tantangan yang harus dihadapi. Sungguh sebuah ungkapan yang sangat indah. Indra Susanto yang dua setengah tahun lebih muda dariku dapat dengan mudah mengungkapkan sebuah realita hidup. Akhirnya Indra yang mengemukakan alasan kepada Papa mengapa pernikahan itu ingin dilangsungkan hanya dengan perayaan sederhana.
Sebenarnya pada saat Papa menanyakan alasan mengapa aku tidak menyetujui pesta pernikahan yang diinginkan Papa, aku telah berbuat tidak jujur kepada diriku sendiri. Mengapa saat itu tidak kukatakan bahwa pesta pernikahan meriah seperti keinginan Papa itu sudah terlambat bagiku. Seharusnya aku jujur kepada diriku sendiri. Mungkin andainya dulu aku jadi menikah dengan tunanganku Indra Wibowo, ceritanya bisa lain. Aku bisa saja mau mengikuti keinginan Papa. Sebab pada saat itu hal tersebut akan memberikan kebanggaan dalam hati Papa, Mama dan keluargaku. Orang tua mana yang tidak bangga mempunyai menantu seorang perwira muda lulusan Akabri?. Sedangkan untukku sendiri akan merupakan kenangan yang paling indah dalam hidupku. Namun kenyataan hal tersebut tidak pernah terjadi. Aku harus kembali pada kenyataan bahwa suamiku adalah Indra Susanto. Seorang yang sederhana bukan seorang yang luar biasa dan tak satupun bagian dari dirinya yang bisa kubanggakan pada siapapun.
Kadang-kadang aku sering bertanya mengapa aku tak ingin pernikahanku dengan Indra Susanto tidak dirayakan semeriah dan semegah seperti yang kuharapkan jika aku jadi menikah dengan Indra Wibowo. Pada saat itu jawabanku sering dihubungkan dengan prinsip-prinsip kesederhanaan Indra Susanto. Padahal yang sebenarnya tidak demikian sehingga aku telah tidak jujur kepada diriku sendiri, kepada Indra Susanto, kepada Papa, kepada keluargaku dan kepada Tuhan.
Layar komputer itu masih tetap bersih tanpa kata dan kalimat karena aku sudah memutuskan bahwa pernikahanku sengan Indra Susanto tidak akan pernah kutulis menjadi sebuah cerita pendek. Aku tidak ingin ketidakjujuranku menjadi sebuah cerita pendek. Maka segera aku mencari bahan lain yang bisa kujadikan cerita pendek. Misalnya tentang kisah cintaku dengan Indra Wibowo. Kisah cinta pertamaku. Tapi sebaiknya tidak usah saja sebab aku takut jika kebetulan Indra Wibowo membaca cerita pendekku ia akan menganggap bahwa aku masih mencintainya.
“Sebuah cinta yang mengharukan!”, begitu komentar Indra Susanto ketika aku selesai bercerita tentang masa laluku. Kuceritakan semuanya sejak aku bertemu Indra Wibowo, bertunangan sampai putus hubungan pertunangan.
“Aku sangat senang jika suatu saat tunanganmu datang menjumpaimu dan kau menerima dia kembali!”, kata Indra.
“Tidak. Itu tidak akan pernah terjadi!”, kataku.
“Andaikan itu terjadi?”.
“Aku tidak akan kembali padanya. Sudahlah sebaiknya hal itu tak perlu diungkit-ungkit lagi!”, kataku. Biasanya Indra hanya bisa tersenyum jika aku sudah berkata demikian. Mungkin Indra Susanto baru sadar apa gunanya mengungkit-ungkit masa lalu.

(Bersambung)

No comments: