Foto : Hensa/Cover Novel Masih Adakah Ruang Di Hatimu
Novel nya dapat di pesan sekarang di http://mizan.com/buku_selfpub/masih-adakah-ruang-di-hatimu.html
Bagian 10
SAATNYA AKU BAHAGIA
”Kadang kadang saat ini aku
merasakan cintamu seperti yang pernah kau katakan dulu padaku. Kadang pula aku
ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima cintamu
karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy Listya!”.
Ini adalah salah satu sms Kinanti Puspitasari tempo hari ketika dia memutuskan
untuk menerima lamaran Eko. Sekarang rencana pernikahan mereka akhirnya kandas
begitu saja karena kebodohan penghianatan Eko kepada Kinanti. Bagiku sms
Kinanti ini jauh lebih berarti
dibandingkan dengan batalnya pernikahan Kinanti dengan Eko. Aku semakin merasakan bahwa Kinanti adalah
harapan terakhirku karena Daisy Listya
sudah menjadi masa laluku. Inilah realita yang sekarang aku harus hadapi. Suatu
hari aku harus kembali mengutarakan niatku untuk menjadikan Kinanti sebagai
teman hidupku. Sejak gagalnya pernikahan dengan Eko, aku merasakan Kinanti
begitu dekat denganku. Hampir setiap hari selalu kontak melalui hand phone. Aku
bisa memaklumi jika Kinanti saat ini sangat butuh orang yang dapat menenteramkan
hatinya. Andai Kinanti memilih aku sebagai orang yang menjadikan curahan
hatinya kukira wajar saja. Aku sejak dulu memang sahabatnya. Aku sejak SMA dulu
pernah mengemukakan cintaku. Saat ini orang terdekat bagi Kinanti tentu saja
aku. Aku bisa memastikan apa yang sekarang dilakukan Kinanti bukan sebuah
pelarian tapi kepercayaannya kepadaku sebagai seorang sahabat. Kepercayaan Kinanti
harus aku hargai dengan ketulusan cintaku. Namun aku tetap harus berjuang untuk
bisa menggapai cinta wanita cantik ini. Tidak mudah memang karena yang menjadi
acuan Kinanti adalah cinta Daisy Listya. ”Kadang
pula aku ingin meraih cintamu itu namun aku menyadari aku tidak layak menerima
cintamu karena ada cinta yang jauh lebih luhur untukmu yaitu cinta Daisy
Listya!”. Sepenggal sms Kinanti tempo hari
membuktikan hal itu. Aduuuh memang mumet.
Sabtu pagi ini aku menerima kabar Kinanti sore nanti minta dijemput di
Bandara Juanda. Kinanti bersedia menemaniku ke Resepsi Pernikahan Audray hari
Minggu besok. Alhamdulillah mudah-mudahan ini pertanda baik. Aku tetap harus
berjuang untuk mendapatkan cintanya. Maka sore itu aku sudah menunggu di Pintu
Kedatangan Bandara Juanda. Aku melihat Kinanti menuju pintu keluar. Kelihatan
agak kurusan mungkin sehabis sakit tempo hari masih belum pulih namun wajahnya
tetap kelihatan segar dan senyumnya tetap manis menenteramkan.
”Assalaamu alaikum Bu Kinan, bisa saya bantu!”, kataku mulai menggoda
sambil mengambil tas yang dibawanya. Kinanti hanya tersenyum sambil menepuk
bahuku. Kami bergegas menuju tempat parkir lalu meluncur menuju Tol Bandara.
”Alan dari Kampus langsung ke Juanda?”, tanya Kinanti.
”Iya tadi siang ada kerjaan tunda di Laboratorium setelah itu langsung
menjemputmu di Juanda. Bagaimana kesehatanmu. Kok agak kurusan?”, tanyaku.
”Alhamdulillah sehat. Kurus?. Kamu mengejekku ya. Aku ini masih gembrot!”,
kata Kinanti pura pura marah.
”Iya iya jangan galak dong dibilang kurus malah galak. Kinanti kurus atau
gembrot sama saja Kinanti yang ramah dan.......galak!”, kataku sambil ketawa.
”Ramah sama galak tidak bisa dicampur!”, kata Kinanti.
”Galak yang ramah itu artinya menyenangkan. Tidak ada lho yang begitu
kecuali Kinanti Puspitasari yang selalu ku kagumi!”, kataku mulai gombalnya
keluar.
”Sudah Alan jangan ngawur!”, suara Kinanti pura-pura marah.
”Oh ya bagaimana kabar Intan?”, tanyaku.
”Alhamdulillah baik. Intan kirim salam untukmu juga Bapak dan Ibu!”, kata
Kinanti.
”Intan Cuma kirim salam saja tidak titip pesan kepadaku?”, tanyaku terus
menggoda. Aku lihat Kinanti tersenyum penuh arti. Aku mengerti mengapa Kinanti
tersenyum pasti memang ada pesan dari Intan anak gadis Si Mata wayangnya.
”Kok tahu saja kalau ada pesan!”, kata Kinanti.
”Iya dong!. Apa isi pesan Intan”, kataku.
”Intan bilang padaku, Bu sampaikan salam kangenku untuk Ayah Alan!”, kata
Kinanti sambil tersenyum melirikku.
”Hah Intan bilang Ayah Alan. Berarti sudah mendapat restu nih!”, kataku.
”Restu dari siapa?”, tanya Kinanti.
”Restu dari Intan atuh. Oh ananda Intan Ayah juga kangen nih!”, kataku dan
kali ini Kinanti tertawa berderai mendengar candaanku. Bercanda tapi serius
nih. Sebenarnya aku sudah tahu kalau Intan memang mendukungku untuk segera menikahi
Ibunya.
Tidak terasa akhirnya kami tiba di jl Sulawesi tempat Paman Kinanti. Selama
di Surabaya, Kinanti menginap di Rumah Pamannya. Aku sudah sangat familiar
dengan keluarganya. Paman Kinanti ini adalah Paman dari garis Ibunya. Beliau
sudah Pensiun dari pekerjaannya sebagai pegawai di sebuah Perusahaan
Perkebunan. Sambutan ramah aku rasakan ketika kami tiba di sana. Aku tidak lama
segera berpamitan karena hari sudah mulai sore.
Pesta Pernikahan Audray dilaksanakan di Rumah Om dan Tantenya Kawasan Darmo.
Resepsi dengan konsep Pesta Kebun terasa meriah sekali.
”Terima kasih Pak Alan dan Bu Kinan sudah hadir di sini!”, suara Audray
menyambut uluran tangan kami. Aku dan Kinanti setelah menyampaikan ucapan
selamat kepada mempelai berdua segera saja berbaur dengan tetamu lainnya
menikmati hidangan yang lezat. Aku lihat Audray dan Suaminya berdampingan mesra
penuh kebahagiaan. Tiba-tiba saja aku teringat Daisy Listya. Mataku melihat ke
seluruh penjuru arah angin hanya ingin melihat apakah Listya ada diantara
tetamu yang hadir. Rupanya Kinanti juga mencari Listya.
”Alan! aku belum melihat Listya hadir di sini!”, kata Kinanti.
”Iya Kinan. Mungkin tadi sudah duluan. Kita yang datang agak siang!”,
kataku.
”Ya mungkin juga. Aku belum sempat telpon dia. Nanti malam saja aku telpon
Listya!”, kata Kinanti.
Anehnya aku merasakan hal yang tidak enak. Listya nampaknya tidak hadir
pada Resepsi Audray ini. Ada apa ya?. Sewaktu perjalanan pulang rupanya Kinanti
merasa ingin menelpon Listya.
”Assalaamu alaikum Bu Kinan!”, suara Listya diseberang sana. Kinanti
sengaja posisi Hand Phone nya di ”on” kan sehingga aku bisa mendengar
pembicaraan mereka.
”Listya bagaimana kabar?”, tanya Kinanti.
”Alhamdulillah baik Bu. Maaf tidak bisa hadir diacara resepsinya Audray.
Mas Rizal masuk Rumah Sakit Bu!”, kata Listya.
”Ya Tuhan bagaimana kondisinya sekarang?”, tanya Kinanti.
”Sudah ditangani Dokter Bu. Doa nya Bu Kinan ya!”, kata Listya.
”Iya Listya. Saya juga mohon maaf tidak bisa menjenguk karena sore ini
sudah kembali ke Bandung. Salam dari Pak Alan juga nih semoga Mas Rizal segera
pulih!”, kata Kinanti.
”Terima kasih Bu Kinan dan Pak Alan!”, suara Listya terharu.
Aku cukup prihatin mendengar kondisi kesehatan Rizal anugerah, suami
Listya. Hal ini pasti ada hubungannya dengan cangkok ginjalnya. Memang tidak
mudah upaya cangkok organ tubuh ini. Banyak resiko yang harus ditempuh. Semoga
saja Rizal segera pulih dan Listya selalu tabah menghadapi cobaan demi cobaan.
”Al kelihatannya ada komplikasi dan masalah pada hasil cangkok ginjalnya!”,kata
Kinanti.
”Iya aku juga berfikir begitu!”, kataku pendek.
”Semoga Listya tetap tabah menghadapi ujian ini!”, kata Kinanti khawatir.
Betapa dua wanita ini saling mencintai karena Allah sungguh mulia mereka.
”Ya semoga Allah memberikan yang terbaik untuk mereka!”, kataku.
Hari Minggu ini seharian bersama Kinanti berjalan begitu cepat. Tiba-tiba
saja sudah sore hari dan aku harus mengantar Kinanti kembali menuju Bandara
Juanda. Sambil menunggu jam keberangkatan kami duduk santai di sebuah Kafe.
”Kinan hari rasanya begitu cepat berlalu ya!”, kataku agak serius.
”Ya Alan rasanya waktu begitu singkat tiba-tiba saja aku sudah harus balik
ke Bandung lagi!”, kata Kinanti.
”Aku tidak mengerti setiap bersamamu rasanya waktu begitu cepat berlalu!”,
kataku sambil menatap Kinanti. Aku lihat wanita cantik ini tersenyum manis.
”Aku juga tidak mengerti kenapa waktu begitu cepat berlalu setiap Kinanti
bersamamu!”, kata Kinanti masih sambil tersenyum. Aku memegang kedua tangan
Kinanti dan wanita cantik ini menatapku. Aku menyukai mata Kinanti yang tajam
dan indah apalagi sedang menatapku begini.
”Kinan aku sedang berfikir apakah kau mau memaafkan kesalahan masa laluku
yang tidak pernah kau sukai!”, kataku.
”Alan, aku sudah memaafkanmu sejak dulu kita berpisah saat SMA. Kalau belum
kumaafkan mana mungkin sekarang aku bersamamu!”, kata Kinanti pelan.
”Baik Kinanti. Aku merasa lega kini dan aku ingin membuktikan bahwa aku
memang sahabat sejatimu. Insya Allah aku selalu ada untukmu!”, kataku.
”Terima kasih Alan!”, kata Kinanti dan tangannya memegang tanganku sangat
erat sekali seolah tidak ingin melepaskannya. Aku lihat ada setitik air mata
jatuh di pipinya.
”Kinan rasanya aku ingin selalu bersamamu. Kadang ada rasa rindu disaat kau
jauh di Bandung sana!”, kataku.
”Biarkan Alan rasa rindu kita ini tetap ada!”, kata Kinanti pelan. Aku
mulai merasakan keharuan yang sangat dalam dalam diri Kinanti. Aku sekarang
sangat yakin Kinanti mulai mebuka hatinya untukku tapi aku tidak mau terburu
buru. Apa yang terjadi jika ternyata Kinanti masih tetap menganggapku hanya seorang
sahabat saja seperti selama ini. Tentu saja aku akan kecewa. Akhirnya Kinanti
harus segera bersiap menuju pintu keberangkatan.
”Alan aku pulang dulu ke Bandung ya jaga dirimu!”, kata Kinanti.
”Baik Kinan. Oh ya jangan lupa sampaikan salam untuk Intan dari Ayah
Alan!”, kataku. Kinanti mengangguk sambil tersenyum manis. Senyum yang menurut
perasaanku penuh dengan arti. Aku hanya bisa memandang punggung Kinanti diujung
koridor itu Kinanti masih sempat melambaikan tangannya kepadaku.
”Biarkan Alan rasa rindu kita ini tetap ada!”, kata Kinanti. Ini kata-kata
yang kembali terekam dalam hatiku. Ya biarkan rasa rindu kita tetap ada dan
terus ada tanpa batas. Ya Allah andaikan Kinanti adalah takdir terbaikku
menurutMu maka jadikanlah Kinanti teman hidupku dengan penuh keridhoanMu.
Aku merasakan hari hari ke depan
menjadi hari hari yang penuh harapan. Memang seharusnya jadikanlah setiap hari
penuh dengan harapan kebahagiaan. Ujian yang datang silih berganti semata mata
hanya untuk membuat diri ini semakin tangguh dan berani menghadapi hidup. Ada
orang bilang hidup ini hanya menunggu kematian tapi berani menghadapi hidup
tidak sama dengan hidup yang hanya menunggu kematian. Entahlah. Saat ini aku
hanya ingin berkata untuk diri sendiri bahwa kini saatnya aku bahagia. Semoga.
No comments:
Post a Comment