Saturday, December 7, 2013

Novel Hensa EPISODE AKHIR CINTAKU (Bagian 12)

Foto : Mesjid KM 97 Tol Cipularang/hensa

Bagian 12
SUARA ADZAN ITU….

Ternyata benar baru saja sehari kami berpisah rasa rindu untuk bertemu itu terbukti. Malam itu Kinanti menelponku. Seperti ada yang lain malam itu aku begitu bahagia menerima teleponnya bak seorang ABG yang memang sedang menunggu telpon dari kekasihnya.
”Wa alaikum salam!”, aku menjawab salam Kinanti.
”Alan sedang apa kamu?”, tanyanya.
”Aku sedang menerima telponmu!”, kataku bercanda. Terdengar suara Kinanti tertawa.
”Alan hari Rabu dan Kamis besok aku menghadiri Seminar Tanaman Obat di Denpasar. Rencananya mau mampir ke Surabaya!”, kata Kinanti.
”Rencana yang bagus. Aku juga sebenarnya mendapat undangan Seminar tersebut tapi tidak bisa hadir namun ada temanku yang mewakili. Kalau Seminarnya di Bandung pasti aku akan hadir!”, kataku mulai nyerempet nyerempet lagi.
”Memang apa istimewanya Bandung?”, tanya Kinanti.
”Bandung sangat istimewa karena di sana ada wanita yang sangat aku kagumi dan cintai!”, kataku.
”Oh iya aku tahu. Maksudmu wanita yang sangat kau kau kagumi itu adalah Ibumu ya!”, kata Kinanti sambil tertawa. Aku juga tertawa mendengar jawaban Kinanti yang tak terduga itu, padahal yang kumaksud bukan hanya Ibuku tapi juga dirinya. Semakin terasa bagiku kini Kinanti mulai bisa membuka hatinya untukku. Benarkah?. Jawabannya harus dibuktikan dengan keberanianku untuk mengutarakan cintaku. Namun apakah Kinanti kali ini mau menerima cintaku?. Apakah aku akan kembali menerima penolakannya dan dia hanya menganggapku hanya sebagai sahabat terbaiknya. Alan ayo maju terus pantang mundur. Alan harus yakinkan dirimu akan ketulusan niatmu. Perbuatan baik pasti akan menghasilkan kebaikan pula.
Sabtu pagi udara begitu cerah. Cuaca yang sangat mendukung keceriaan Kinanti. Aku bisa melihat dan merasakan betapa Kinanti begitu ceria dipagi hari ini. Jumat sore itu aku memang tidak bisa menjemput Kinanti di Bandara Juanda namun Sabtu pagi ini aku sudah berada di jalan Sulawesi, siap untuk menjemput di tempat kediaman Pamannya tentu saja untuk mengajak Kinanti ber week end ria. Semua agenda Laboratorium yang biasa aku kerjakan pada Sabtu itu, sengaja aku tunda. Sabtu ini khusus akan aku persembahkan untuk Kinanti. Sudah sepakat acara week end ini mengunjungi Taman Safari di Pandaan yang letaknya antara Surabaya - Malang. Perjalanan dari Surabaya menuju Pandaan relatif lancar. Hanya dalam waktu satu setengah jam kami sudah tiba di sana. Menggunakan mobil khusus Taman Safari, kami berkeliling bersilaturahmi menemui Singa, Macan, Gajah, Jerapah dan semua binatang yang ada di sana namun sebenarnya bagiku tidak ada yang istimewa. Selama di Taman Safari itu aku justru lebih banyak memperhatikan Kinanti yang kelihatan menikmati sekali liburan dengan udara sejuk pegunungan. Wajah wanita cantik ini kelihatan ceria penuh dengan kegembiraan. Kadang kadang Kinanti tertawa lepas diantara dialog yang sengaja aku ucapkan penuh kelucuan. Melihat hal ini aku bersyukur ternyata Kinanti sudah bisa melupakan kekecewaannya karena kegagalan pernikahannya tempo hari. Setelah lelah berkeliling aku mengajak Kinanti duduk santai di sebuah cafe kecil yang di depannya ada sungai kecil dengan air jernih yang mengalir ke hilir. Sebuah Mushalla walaupun mungil namun bersih tertata bisa digunakan pengunjung untuk Sholat. Aku dan Kinanti pun sempat sholat Dhuhur di sana.
”Kinanti jangan tanya menu makanan Priangan di sini ya!”, sambil aku serahkan daftar menu makanan. Kinanti tersenyum sambil mengambil daftar menu yang aku sodorkan.
”Nah ini Rawon Setan!. Dulu aku pernah di ajak makan Rawon setan waktu di Surabaya!”, kata Kinanti.
”Oh iya waktu itu Kinan pertama kali makan rawon!. Tapi belum pernah makan setan he he he..!”, kataku sambil ketawa. Kinanti tertawa.
Sungguh aku melihat Kinanti bahagia sekali. Aku merasakan ada yang lain dengan Kinanti. Saat ini sikapnya kepadaku begitu penuh harap seolah dia sedang menunggu nunggu wujud sikap dan niatku dulu yang pernah aku utarakan kepadanya. Aku harus memaklumi tidak mungkin Kinanti membuka duluan lembaran lama tersebut. Akulah yang harus membuka lembaran tersebut dan memulainya lagi untuk mengeja dan membaca hatinya. Selama menikmati makan siang itu berkali kali aku mencuri pandang menikmati kecantikan wajah Kinanti.
Maha Besar Allah yang telah menciptakan mahluk secantik ini. Kinanti dari sejak SMA dulu sampai sekarang dalam usianya yang sudah kepala empat masih tetap cantik. Andaikan Kinanti berdampingan dengan anak gadisnya, Intan Permatasari, mereka bak kakak beradik. Orang tidak akan menyangka kalau Kinanti adalah Ibunya. Kinanti dengan mata yang teduh kalau memandang tajam, hidung bangir dan bibir selalu berhias senyum. Aku lah lelaki yang dulu waktu SMA jatuh cinta kepadanya.
”Hei Alan kenapa kamu bengong begitu!?”, suara Kinanti membuatku terkejut dan membuyarkan semua angan dan lamunanku.
”Tidak apa apa!”, kataku agak gugup juga, habis ketahuan kalau lagi memperhatikannya.
”Melamun siapa Alan?”, tanya Kinanti sambil tersenyum.
”Iya melamun ingat teman waktu SMA dulu!”, kataku.
”Oh ya pasti namanya Kinanti Puspitasari ya. Gadis yang pernah menolak cintamu!”, kata Kinanti sambil melirikku menggoda.
”Tepat!”, kataku sambil tertawa karena Kinanti sudah mendahului apa yang akan kukatakan.
”Lalu Alan melamunkan apanya?”, tanya Kinanti. Aku bertambah tertawa mendengar pertanyaan Kinanti ini.
”Aku sebenarnya malu kepada diri sendiri kalau ingat peristiwa itu!”, kataku sedikit agak serius.
”Lho kenapa malu Alan?”, kata Kinanti.
”Kalau saja tahu sebelumnya aku mau ditolak oleh gadis cantik itu, teman SMA ku itu yang sampai sekarang aku masih mengaguminya. Aku pasti tidak akan mengatakan cintaku!”, kataku.
”Oh berarti Alan tidak mencintai gadis teman SMA nya itu!”, kata Kinanti.
”Bukan itu. Maksudnya aku kenapa waktu itu tidak langsung saja melamarnya menjadi istriku!”, kataku. Aku lihat Kinanti tersenyum manis.
”Kalau tetap ditolak bagaimana!”, kata Kinanti.
”Tidak apa apa ditunggu saja sampai diterima!”, kataku.
”Sampai kapan menunggunya!?”, tanya Kinanti mulai menyelidik.
”Sampai gadis teman SMA ku itu mau menerima lamaranku!”, kataku mantap.
”Okey Alan nanti aku sampaikan ya kepada gadis teman SMA mu itu!”, kata Kinanti sambil tertawa kecil.
Mendengar jawaban Kinanti walaupun dalam bentuk gurauan namun membuatku merasa lega. Aku seakan kembali memiliki harapan. Inshaa Allah inilah saatnya aku mengutarakan kembali niat tulusku untuk menjadikan Kinanti teman hidupku.
Sore itu kami meninggalkan Taman Safari kembali menuju Surabaya. Setiap Sabtu sore sudah biasa volume kendaraan semakin padat menuju tempat tempat rekreasi di Malang. Untung saja aku berkendaraan melawan arus yaitu menuju Surabaya jadi relatif lancar sampai tujuan. Sesampai di Tol Waru aku menawarkan Kinanti untuk singgah ke Rumahku di Mananggal. Kinanti setuju dan kamipun menuju ke sana.
”Silahkan Kinan!”,  kataku mempersilahkan Kinanti masuk.
”Mau minum teh atau kopi?”, aku menawarkan minuman.
”Teh saja terima kasih!”, kata Kinanti. Aku menuju kebelakang meminta Si Mbok untuk membuatkan minuman lalu kembali menemui Kinanti di Ruang tamu.
”Alan boleh aku tanya?”, kata kinanti.
”Boleh! Mau tanya apa?” kataku.
”Aku sudah dua kali ke rumahmu ini tapi tidak ada sebuah fotopun di ruang ini yang kumaksud foto Diana Faria. Maaf Alan aku bertanya seperti ini!”,kata Kinanti.
”Tidak apa apa Kinan. Dulu foto Diana Faria ada di ruang kerjaku tapi sekarang sudah lama aku simpan!”, kataku menjelaskan kepada Kinanti.
”Alan bolehkah aku berkenalan dengan Diana Faria walaupun hanya melalui foto!”, tanya Kinanti. Aku mengangguk lalu bergegas mengambil foto Diana Faria di Box pribadiku yang terkunci rapi. Aku menyerahkan foto itu kepada Kinanti.
”Seorang wanita yang cantik wajahnya lembut dengan senyum menawan. Iya Daisy Listya mirip dengan Diana Faria hanya Diana kulitnya lebih putih. Alan sungguh berbahagia dicintai oleh wanita seperti Diana Faria!”, kata Kinanti sambil memandang foto itu tak berkedip.
”Ya Kinan terima kasih. Diana Faria sudah ditakdirkan Allah bukan menjadi jodohku walaupun dia mencintaiku. Aku harus ikhlas menerima takdir ini. Sekarang ini aku hanya ingin menunggu takdir Allah yang lain!”, kataku mulai serius. Aku masih melihat Kinanti memandangi foto Diana Faria tidak berkedip.
”Hidup ini begitu penuh dengan misteri!”, kata Kinanti sambil matanya masih memandang foto itu. Kelihatan mata Kinanti mulai berkaca-kaca. Entah apa yang dirasakan Kinanti saat ini. Kinanti mulai hanyut dalam perasaannya sendiri.
”Alan aku juga sedang menunggu takdir Allah yang lain untukku!”, kata Kinanti.
”Kinan yakinlah takdir Allah itu pasti yang terbaik untuk hambaNya!”, kataku. Kinanti masih memandang foto Diana Faria.
”Aku seakan bisa merasakan cinta Diana Faria yang sangat tulus kepadamu Alan sama seperti cintanya Daisy Listya!”, kata Kinanti lagi.
”Andai aku juga mencintaimu Alan namun tidak seperti cintanya Diana Faria dan Daisy Listya!”, kata Kinanti mulai terisak. Mendengar ini aku terkejut. Perlahan aku pegang kedua tangannya sambil aku tatap tajam wajah Kinanti.
”Kinan cinta seorang hamba Allah tidak bisa disetarakan satu sama lain karena cinta itu hanya milikNya!”, kataku.
”Aku hanya tidak pantas untukmu Alan!”, kata Kinanti.
”Kinanti pandanglah aku!”, Kinanti memandangku dengan mata yang berkaca-kaca.
”Aku sungguh mencintaimu dan beritikad untuk menjadikanmu istriku, teman hidupku. Apakah kau bersedia?”, kataku.
”Alan setelah Diana tiada, cintamu itu ada dalam diri Daisy Listya. Dua wanita ini seperti hidup dalam zaman yang berbeda. Aku masih belum pantas!”, suara Kinanti lirih. Aku memegang tangannya lebih erat lagi.
”Dengar Kinan, mereka sudah menjadi masa laluku. Masa depanku adalah Kinanti Puspitasari. Aku akan menunggumu sampai kau menganggukkan kepala untuk menerima cintaku!”, kataku.
”Alan benarkah kau mencintaiku?”, tanya Kinanti seolah ragu dengan apa yang aku ucapkan.
”Sudahlah Kinanti berhentilah menangis. Aku yakin kau sudah bisa merasakan betapa aku selalu mengharapkanmu menjadi istriku. Kinanti Puspitasari adalah takdirku dariNya!”, kataku sambil menghapus air mata dipipinya.
”Kinanti tersenyumlah!”, pintaku sambil aku memandang wajah cantiknya. Kinanti mulai tersenyum dan aku merasa lega satu himpitan di dadanya sudah lepas. Aku juga sudah merasakan kelegaan suasana hatinya.
”Aku sudah mendapat izin dari Daisy Listya tentu saja juga harus mendapat izin dari Diana Faria!”, kata Kinanti.
”Kalau begitu sapalah Diana Faria yang ada dalam pangkuanmu. Mintalah izin padanya agar Alan Erlangga diizinkan menjadi suamimu!”, kataku. Mendengar ini Kinanti tersenyum lalu kembali memandang foto yang ada dalam pangkuannya.
”Alan bantulah aku untuk menghilangkan rasa ragu ini bahwa aku mencintaimu!”, kata kinanti.
”Inshaa Allah Kinanti. Jangan ada lagi keraguan bahwa kau adalah TakdirNya untukku!”, kataku memberikan keyakinan kepada Kinanti.
Ruangan itupun sekarang penuh dengan senyum dan kebahagiaan.  Sungguh hanya kebesaran Allah semata jika saat ini semua relung di hatiku penuh dengan keluasan untuk menerima tulusnya sebuah cinta. Suara Adzan dari Masjid Al-Akbar pun adalah ungkapan kebesaranNya. Suara Adzan itupun memanggilku untuk bersimpuh kepadaNya. Aku dan Kinanti bergegas menuju Rumah Allah untuk bersimpuh di sana mensyukuri pemberian TakdirNya. SubhanAllah.
Seusai sholat Magrib itu aku mengantar pulang Kinanti kembali ke tempat kediaman Pamannya di Jl.Sulawesi. Hanya sebentar berbincang dengan Paman dan Tantenya aku segera berpamitan sehingga aku tiba di rumah belum terlalu malam. Hari yang melelahkan namun begitu indah terasa. Alhamdulillah akhirnya Kinanti telah membuka isi hatinya. Alhamdulillah ya Allah aku mohon keridhoanMu agar Kinanti menjadi istriku. Malam itu terasa panjang karena aku memang tidak bisa memejamkan mata. Minggu sore besok Kinanti sudah kembali ke Bandung. Tentu selanjutnya aku semakin merindukannya untuk setiap hari hari yang aku lewati.
Subuh itu aku bersyukur masih bisa bangun pagi dan sholat berjamaah seperti biasanya di Masjid Al-Akbar. Pulang dari Masjid masih sempat pula ber olah raga ringan. Rencana hari Minggu ini aku dan Kinanti hanya ingin menghabiskan waktu di Surabaya. Ketika baru saja selesai sarapan Kinanti menelponku.
”Alan ada kabar duka. Rizal meninggal dunia pagi Subuh tadi. Aku baru saja menerima kabar dari Listya!”, kata Kinanti. Inna lillaahi wa inna ilaihi roo jiuun. Ya Allah semoga Rizal Anugerah diterima semua amal ibadahnya dan keluarga yang ditinggalkan mendapat ketabahan terutama Listya. Mendengar berita duka ini aku hanya bisa termenung. Pagi itu aku dan Kinanti segera meluncur ke Malang menuju rumah duka. Dalam perjalanan menuju Malang aku melihat Kinanti banyak diam. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
”Kinan sedang melamunkan siapa?”, aku mencoba bertanya.
”Sedang merasakan dukanya Listya!”, kata Kinanti.
”Duka Listya adalah duka kita juga!”, kataku.
”Aku teringat Listya sering mencurahkan isi hatinya tentang hambarnya sebuah perkawinan. Apakah ini jawaban Allah atas doaku agar Listya suatu hari akan mendapatkan harapannya selama ini!”, kata Kinanti.
”Kinanti biarlah Listya mendapatkan keikhlasan dengan takdirnya. Kita hanya bisa berdoa agar Listya selalu mendapat kekuatan dari Allah!”, kataku.
”Ya Alan. Semoga!”, kata Kinanti pendek.
Sesampainya di Rumah duka aku dan Kinanti menemui Listya dan menyampaikan rasa duka yang mendalam. Rizal Anugerah setelah seminggu mengalami koma akhirnya menghembuskan nafas terkhir. Semoga ini jalan terbaik untuknya setelah mengalami penderitaan yang panjang. Demikian pula untuk Listya semoga ketabahan selalu ada dalam hatinya.
”Listya tabahkan hati ya ikhlaskan Mas Rizal. Ini adalah jalan yang terbaik dari Allah!”, kataku menghibur.
”Terima kasih pak Alan!”, kata Listya disela isak tangisnya. Kemudian Listya menghampiri Kinanti.
”Bu Kinan!”, Listya menangis dipelukkan Kinanti. Aku hanya bisa memandang dua wanita cantik ini berpelukan. Mereka adalah dua wanita berbeda usia. Keduanya sangat dekat dengan hatiku. Keduanya adalah orang-orang yang sangat berarti dalam hidupku.
”Tabahkan hatimu Listya. Allah selalu memberi kita yang terbaik. Takdir Allah itu pasti terbaik untuk kita. Listya harus mengikhlaskan Mas Rizal..!”, kata Kinanti menghibur sambil memeluk Listya yang masih terisak. Dukamu Listya adalah dukaku juga. Aku merasakan kesedihanmu dari tatap sendu matamu. Dulu aku merasakan duka seperti ini ketika kehilangan Diana Faria. Duka Listya telah membuka lagi duka masa lalu. Semakin lama semakin sadar ternyata hanya Allah Yang Maha Memiliki. Suara Adzan Dhuhur di Masjid itu berkumandang seolah mengingatkan bahwa Allah lah Yang Maha Besar, Maha Berkuasa atas segala sesuatu. KerajaanNya meliputi langit dan bumi dan diantara keduanya. Suara Adzan itu membuka hati ini agar lebih sabar dan ikhlas menerima semua ketentuan dan keputusanNya. Kesabaran hati adalah awal dari kemuliaan.

 (BERSAMBUNG)



No comments: