Foto : Hensa
Ketika mendengar
kabar ada Reuni Akbar SMA, aku seperti ingin berteriak gembira. Bukan apa-apa,
jika benar Reuni itu terlaksana aku sangat berharap bertemu dengan Intan
Permatasari. Tiga Puluh Sembilan tahun yang lalu aku lulus dari SMA sebuah Kota
kecil di lereng Gunung Ciremai. Tidak terasa hampir empat dasa warsa sudah aku
meninggalkan kota kelahiranku. Selama itu hanya pada saat Hari Lebaran saja aku
menyempatkan berkunjung ke sana untuk bersilaturahmi dengan para kerabat dari
Ibuku. Pada saat Lebaran itu kadang-kadang aku sempat bertemu dengan teman dan
sahabat lama baik saat SMP maupun SMA. Namun selama itu pula aku belum pernah
berjumpa lagi dengan Intan Permatasari. Sempat suatu hari saat mudik Lebaran tiga
tahun yang lalu aku mendengar kabar tentang Intan saat aku bertemu dengan Diana
teman sebangkunya saat SMA dulu.
“Hensa bagaimana kabarmu?”, suara Diana.
“Alhamdulillah baik. Kamu juga kelihatan tetap cantik!”,
kataku. Diana hanya tertawa mendengar pujianku.
“Hensa tahun lalu aku bertemu dengan Intan lho!”, kata
Diana.
“Oh iya. Bagaimana dia kabarnya, dimana sekarang
tinggalnya, anaknya sudah berapa?” tanyaku bertubi-tubi. Diana kembali tertawa
mendengar pertanyaan beruntunku yang heboh itu.
“Sabar pertanyaannya satu-satu nanti aku jawab okey
Bos!”, kata Diana kalem.
“Oke Bos!”, kataku.
“Saat itu Intan juga tanya kamu. Aku bilang Hensa
sekarang tinggal di Jawa Timur sana. Sudah punya dua putra. Intan juga bilang
ingin ketemu kamu!”, kata Diana. Mendengar ini aku merasakan rasa haru berarti Intan
masih ingat padaku.
“Kukira dia sudah lupa padaku”, kataku bergumam.
“Hensa mana mungkin dia melupakanmu. Kamu kan cowok
pertama yang berani mengutarakan cinta padanya!”, kata Diana.
“Ya tapi sampai sekarang Intan belum pernah mengucapkan
balasan apapun terhadap perasaanku sampai akhirnya kami berpisah kota untuk
melanjutkan studi masing-masing!”, kataku. Diana sebagai teman dekat Intan
pasti tahu betul rahasia perasaan Intan dan semua yang menyangkut aku dan Intan.
“Hensa tahu tidak sampai saat ini Intan belum menikah”
suara Dina memecahkan suasana. Aku sangat terkejut mendengar berita ini.
“Diana kenapa begitu ya?”.
“Aku juga tidak tahu. Sebagai wanita yang karirnya sukses
mungkin Intan sudah agak sulit menemukan pergaulan yang setara dengannya.” kata
Diana. Intan Permatasari bekerja di sebuah Perusahaan Ekspor-Impor di Jakarta.
Dia memegang jabatan yang sangat penting dalam perusahaannya, demikian Diana
menceritakan karir Intan saat ini.
“Hensa saat ini Intan masih cantik seperti dulu. Kabar
baik lainnya dia kirim salam untukmu dan keluarga”, kata Diana.
“Terima kasih Diana”, kataku.
Itulah kabar terakhir tentang Intan Permatasari. Ah aku
jadi ingat saat aku mengutarakan cintaku padanya. Intan bagiku adalah sahabat
di Sekolah maupun di luar Sekolah. Dia teman grup belajarku. Setiap ada PR
Matematika, Goniometri, Ilmu Ukur Ruang,Ilmu Pesawat Mekanika, Kimia, Fisika,
Biolgi Intan adalah jagoanya. Gadis ini juara di Kelasku. Aku bersyukur bisa
bersahabat dengannya. Akupun bersyukur diantara teman prianya, Intan lebih
percaya padaku. Mungkin karena aku ini orangnya polos dan agak sedikit religius
entahlah. Jika pada saat ada acara Sekolah yang diselenggarakan malam hari maka
aku selalu diminta untuk menemaninya. Begitupula Ibunya nampak sekali suka
padaku walaupun kepada siapapun tetap ramah. Sejak kelas tiga SMP kami memang
sudah bersahabat. Banyak teman pria yang lain berusaha untuk mendekati Intan
namun selalu dengan halus Intan menghindarinya. Setiap ada teman pria yang
mendekatinya maka Intan selalu bercerita kepadaku. Hingga pada suatu kesimpulan
inilah saatnya aku maju. Saat kelas tiga SMA itulah aku memutuskan untuk
mengutarakan cintaku kepada Intan.
Saat itu baru saja kami menerima pengumuman kelulusan
Ujian Akhir SMA dan Alhamdulillah aku dan Intan lulus dengan nilai yang sangat
memuaskan. Kami keluar dari Ruangan Aula setelah Pengumuman itu. Berjalan
menuju sebuah tempat yang bernama Samoja Opat yang ada di seberang jalan depan
Sekolahku. Tempat ini penuh dengan rindang pepohonan. Aku dan Intan sering
datang ke tempat ini hanya untuk sekedar ngobrol santai. Siang itu kamipun
menuju ke sana hanya sekedar ingin mengukir nama-nama kami pada sebuah pohon di
situ. Intan + Hensa, demikian dua nama itu terukir di batang sebuah pohon besar.
Lalu kami duduk di atas sebuah batu menghadap ke arah Sekolahku.
“Intan tahun depan kita sudah meninggalkan SMA tercinta
kita ini. Kamu mau kuliah dimana?” tanyaku.
“Hen rencanya aku ingin kuliah di Yogya. Di sana ada Om
Budi, adik Ibu. Kalau Hensa rencana kuliah dimana?”, tanya Intan.
“Aku mungkin kuliah di Bogor. Aku suka pelajaran kimia.
Di sana ada Perguruan Tinggi Kimia mungkin aku kuliah di sana”, kataku.
“Hensa, nanti kita berjauhan ya. Aku di Yogya dan kamu di
Bogor”, suara Intan pelan. Aku melihat wajah gadis ini kelihatan murung sama
seperti halnya perasaanku. Aku merasakan suasana kesedihan tergambar dalam
wajah Intan.
“Aku kalau kangen gimana?”, suara Intan. Aku tertegun
tidak bisa bicara.
“Kita bisa berkirim surat atau telepon ya Hen!”, kembali
suara Intan.
“Intan saat saat seperti ini aku merasakan kesedihan.
Yang aku takutkan selama ini ternyata akan terjadi. Kita nanti akan berpisah”.
“Iya Hensa. Walaupun nanti kita jauh tapi hati kita tetap
dekat”, kata Intan.
“Intan!. Maukan kau mendengarkan apa yang selama ini aku
rasakan?”, akhirnya aku mulai membuka kata untuk curahan hati ini. Mendengar
ini Intan Hanya menatapku tajam. Aku juga memandang gadis cantik ini. Mata
indahnya dan wajah cantiknya dengan rambut hitam panjang sebatas bahu
benar-benar memukauku. Maha Besar Allah Sang Pencipta gadis cantik ini. Kami
saling berpandangan.
“Intan selama ini ternyata aku sangat mencintaimu!”,
kataku tegas. Aku lihat Intan hanya tertunduk. Beberapa saat kami terdiam. Tidak
ada jawaban dari bibir mungil gadis ini. Aku melihat Intan mulai terisak. Titik
air matanya mulai membasahi pipinya. Siang itu begitu hening. Hanya angin
semilir menerpa dedaunan rindang di Samoja Opat itu. Peristiwa itu begitu
berkesan bagiku walaupun hingga saat ini aku tidak pernah mendengar sepatah
katapun jawaban dari Intan.
Sejak lulus kuliah dari Bogor, sudah 30 tahun ini aku
menghabiskan kehidupanku di sebuah Kota Pesisir Jawa Timur. Kota ini sudah
seperti kota kelahiran keduaku, kota tempat aku menggapai semua masa depanku.
Intan Permatasari walaupun tidak bisa begitu saja dilupakan namun di kota ini
aku merasa lebih realistis menjalani kehidupanku. Kabar tentang Reuni Akbar
Lintas Angkatan mulai tahun 1961 sampai tahun terakhir benar-benar acara yang
sangat aku nantikan hanya dengan satu harapan yaitu bertemu dengan Intan
Permatasari. Reuni Akbar ini seakan membuka kembali lembaran-lembaran lama. Aku
sungguh sungguh ingin menghadiri acara reuni ini maka segera saja mengatur
jadwal kerjaku agar pada hari H Reuni tersebut benar-benar tidak
berbenturan dengan tugas-tugas
kantor.
Hari yang ditunggu itu akhirnya datang juga. Kegiatan
Reuni dimulai dengan acara jalan sehat Sabtu pagi dilanjutkan dengan Bazar
serta pertandingan Final Basket antar SMA/SMK. Aku sendiri tidak bisa mengikuti
acara-acara tersebut. Aku baru bisa hadir pada malam Minggunya yaitu acara
Malam Temu Kangen. Malam itu aku melangkah dengan penuh harapan ingin ketemu
dengan Intan Permatasari. Memasuki Gerbang Sekolah sudah banyak para alumni.
Mereka mungkin angkatan yang muda-muda karena tidak ada yang mengenaliku.
Ketika tiba-tiba seseorang memanggilku. Ternyata disana sudah berdiri Diana
sambil melambaikan tangannya. Aku segera menghampiri Diana. Kami saling
bersalaman.
“Hensa baru datang ya. Tadi pagi tidak ikut jalan
sehat?”, tanya Diana.
“Iya. Oh ya teman-teman yang lain mana?”. Tiba-tiba
muncul berbarengan Dony, Kadir, Agus, Neni, Eli, Bunga namun tidak ada Intan
Permatasari. Kemanakah kamu Intan. Setelah ngobrol-ngobrol kangen akhirnya
mereka, teman-temanku itu pamit padaku karena kebetulan mereka adalah Panitia
pada acara ini. Aku berjalan menuju Panggung yang megah di tengah-tengah antara
Aula dan lapangan terbuka. Udara malam itu sangat sejuk dan langit cerah penuh
Bintang. Berjalan sendiri melintasi koridor melewati kelas-kelas yang dulu
pernah menjadi tempatku belajar. Lalu aku kembali lagi menuju arah panggung
dimana acara puncak Temu Kangen dilangsungkan. Belum sampai sisi Panggung aku
melihat seorang wanita duduk sendirian kebetulan disebelahnya juga ada kursi
kosong. Aku seperti mengenal betul siapa wanita itu. Menggunakan gaun berwarna
hitam rambut panjang sebatas bahu dengan perawakan semampai. Ya Allah tidak
salah lagi, dia Intan Permatasari. Aku menghampirinya setengah berlari.
“Intan!”, kataku menyapa. Wanita itu menoleh dan
menatapku sambil tersenyum.
“Hensa!”, katanya membalas sapaanku. Aku duduk
disampingnya. Intan masih cantik seperti dulu. Masih terbayang saat dia
mengenakan seragam putih abu-abu. Ya wanita di depanku ini Intan Permatasari.
“Aku sengaja datang ke reuni ini semata-mata hanya karena
ingin bertemu denganmu!”, kata Intan. Mendengar ini aku tersenyum.
“Kamu sudah punya putra berapa?”, tanya Intan lagi.
“Putraku dua sekarang mereka sudah bekerja mungkin sebentar
lagi aku mau menikahkan putra pertamaku.”
“Berbahagialah Hensa. Sementara aku hingga saat ini masih
sendiri!”, suara Intan seperti tersendat dikerongkongan. Aku melihat wajahnya
penuh kesedihan. Wajah Intan masih cantik seperti dulu pada saat itu aku mengutarakan
cintaku kepadanya. Saat ini seakan aku sedang mengalami adegan ulang 39 tahun
yang lalu. Aku lihat tiba-tiba Intan menangis tersedu lalu dia berkata dalam
tangisnya.
“Hensa sebenarnya aku juga mencintaimu. Maaf sangat
terlambat menjawab kata cintamu!”, kata Intan sambil masih menangis. Sementara
itu di Panggung Temu Kangen baru saja disampaikan oleh MC bahwa lagu jadul
berikutnya adalah Andaikan Kau Datang. Sementara lagu itu mengalun, Intan masih
terisak. Suasana yang mengharukan diringi alunan lagu Koes Puls itu. Kemudian
dia menatapku tajam seakan-akan tatapan ini adalah yang terkhir kalinya.
“Maafkan Hensa, aku tidak bisa memberikan kebahagiaan
untukmu”, katanya pelan.
“Aku sekarang lega karena sudah bertemu denganmu dan aku
berharap kamu sudah tahu isi hatiku juga mau mmemaafkanku”,kembali kata Intan
sambil berdiri menatapku.
“Hensa aku pamit dulu ya”, kata Intan sambil berlalu
meninggalkanku dengan isak tangisnya. Saat itu aku benar-benar terpaku tidak
bisa berbuat apa-apa setelah beberapa lama baru aku tersadar kalau Intan sudah
pergi dariku. Aku berlari mengejarnya sampai Pintu Gerbang Sekolah. Tidak ada.
Mungkin masih di Tempat Parkir. Tidak ada satupun kendaraan yang keluar dari
tempat parkir. Intan telah pergi. Aku telah membiarkan dia pergi, Kenapa aku
tidak menahannya. Malam itu sampai acara usaipun aku benar-benar tidak bisa
menikmati kemeriahan Temu Kangen ini.
“Hai Hensa kenapa kamu kelihatan murung?”, suara Diana
menyadarkanku dari kegundahan hati karena ditinggal Intan.
“Aku tadi bersama Intan Permatasari tapi dia pergi
meninggalkanku!”,kataku menjelaskan.
“Intan Permatasari katamu Hensa?”.
“Iya aku tadi berbincang, bernostalgia. Lalu Intan
menyatakan cintanya kepadaku sambil minta maaf kalau cintaku baru terbalas
sekarang!”. Aku lihat Diana terbengong seperti orang yang benar-benar tidak
percaya pada ceritaku ini.
“Intan menangis tersedu dan berpamitan padaku. Aku tidak
bisa mencegahnya pergi”, kataku pelan penuh kegundahan. Kembali aku melihat
Diana menarik nafas dalam-dalam.
“Hensa. Aku lupa memberitahumu!”, kata Diana.
“Memberi tahu tentang apa Diana?”, tanyaku penasaran.
“Memberitahu tentang Intan”, kata Diana datar.
“Ada apa dengan Intan ?”.
“Intan sudah tiada setahun yang lalu karena menderita
kanker kista ovarium”, kata Diana kali ini kulihat matanya berkaca-kaca.
Mendengar ini aku hanya tertegun dan tidak percaya jika tadi aku memang
benar-benar bertemu dengan Intan Permatasari. Aku merasakan ada tepukan lembut
dipunggungku. Ya tepukan dari Diana agar aku bisa tabah. Aku masih tertunduk
sambil membayangkan saat tadi Intan mengatakan cintanya padaku. Intan
Permatasari almarhumah hadir dalam Reuni ini untuk menyatakan cintanya padaku.
Ya ALLAH semoga Intan selalu mendapat perlindungan dan kedamaian di sisiMU.
Bandung 23 Oktober 2014