Tuesday, March 25, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 9


Foto : Hensa/koleksi Pribadi

EPISODE 9
SKETSA CINTA KITA
Aku bisa merasakan kebahagiaan Bapak dan Ibuku ketika akhirnya aku sembuh dan pulang kampung. Mereka juga kelihatan gembira menyambut dua orang wanita cantik yang mengantarkanku dari Surabaya ke Pasuruan.
“Bunga dan Mutiara sudah repot mengantarkan Herman pulang ke Pasuruan ini. Terima kasih sekali!”, kata Ibuku. Mereka begitu asyik mengobrol akrab di Ruang Tamu. Sesekali terdengar suara gelak tawa mereka.  Hari yang penuh dengan kebahagiaan. Seharusnya memang aku selalu bersyukur dan bersyukur kepada Tuhan begitu besar perhatian dan cinta mereka kepadaku. Saat hari menjelang siang Bunga dan Mutiara berpamitan untuk kembali ke Surabaya.
“Bunga terima kasih hati-hati di jalan ya. Tiara terima kasih!”, kataku saat mengantar mereka ke gerbang halaman depan.
“Oke Bos!”, kata Bunga sedangkan Mutiara hanya tersenyum manis. Aku membalas lambaian tangan mereka ketika mobil mereka meninggalkan halaman rumah.
Aku beristirahat di Rumah selama tiga hari ini. Tidak ada kegiatan apapun yang kulakukan kecuali membaca buku. Selama aku di rumah, ‘mbak yu’ ku yang di Malang sempat menjengukku sedangkan ‘mbak yu’ yang di Jakarta hanya sempat menelpon. Apapun yang sudah mereka lakukan kepadaku adalah bagian dari kebahagiaanku yang utuh. Mereka, kakak-kakak perempuanku adalah pahlawan hatiku dan tentu saja Ibu dan Bapakku adalah segalanya, yang sangat berpengaruh dalam kehidupanku. Terutama Bapak. Beliau adalah Ulama yang dihormati masyarakat karena ilmunya yang sangat bermanfaat bagi pembangunan karakter generasi muda negeri ini. Pesantren yang dikelola Beliau menerapkan pola pendidikan yang sangat fokus pada pengembangan pendidikan karakter. Dalam bahasa pesantren lebih popular disebut dengan istilah akhlakul karimah yang menjadi tujuan utama dari penyelenggaraan pendidikan di sana. Akhlakul karimah ini menjadi tujuan  terpenting dalam pola pendidikan yang dikembangkan pesantren. Peran Beliau selama ini sangat penting, bahkan seorang Kiyai seolah-olah menjadi semacam living curriculum yang selalu mengawasi perilaku anak asuhnya. Perannya sangat sentral dalam memantau perkembangan akhlak santri.
Aku bangga dan bersyukur ditakdirkan menjadi anak kandung beliau, KH Muslim Al-Buchari. Aku sangat hormat kepada beliau. Bukan hanya karena beliau adalah Bapakku tapi juga lebih kepada ilmu-ilmu beliau yang penuh dengan hikmah. Dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana beliau menerapkan budaya ikhlas, kesederhanaan, kemandirian, gotong royong. Mempertahankan kearifan budaya lokal. Menjalankan prinsip-prinsip ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwwah watoniyyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan sesama manusia). Bagaimana selama ini Bapakku selalu mengajarkanku prinsip dengan standar tinggi dengan mengedepankan budi pekerti mulia (akhlakul karimah), berpengetahuan luas, kemerdekaan berpikir. Juga mengajarkan nilai-nilai kebenaran universal berupa tasaamuh(toleransi), tawassuth (moderat) dan tawazun (berimbang). Sungguh ilmu yang sangat berat untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Aku adalah anak bungsunya yang harus menjaga amanah dan kehormatan keluarga dengan berperilaku yang mencerminkan ahlak yang mulia. Betapa beratnya memang harus memegang amanah tersebut namun jika didasari atas ibadah kepada Allah, semua menjadi ringan.  Insya Allah.
Malam itu Ibu kembali menanyakan siapa yang menjadi calon untuk pendamping hidupku kelak.
“Herman. Tidak boleh terlalu lama membujang. Bagimu saat ini pernikahan sudah wajib hukumnya!”, kata Ibu. Bapak yang duduk disebelahnya masih asyik membaca sebuah Kitab.
“Ya Bu. Aku tahu tapi tidak mudah untuk mencari teman hidup?”, kataku.
“Teman hidup itu tidak usah dicari Nak!. Kamu tinggal pilih!”, kata Ibu lagi.
Lho sopo Bu sing arep tak pilih ?”, kataku dengan bahasa khas Jawa Timuran yang artinya ‘siapa Bu yang mau aku pilih?’.
“Herman, kamu itu tinggal pilih saja Bunga, Mutiara atau Annisa. Nah tunggu apalagi?”, kata Ibu. Mendengar apa yang dikatakan Ibuku, aku hanya tersenyum.
Ono opo senyum-senyum?. Nih dengar nak, Bunga itu kurangnya apa?. Juga Annisa?, semua keluarga sudah tahu gadis ini sangat sholehah!. Mutiara?. Walaupun baru kenal tapi rasanya Ibu sangat familiar dengan tatakramanya. Tunggu apalagi Hermansyah?”, kata Ibuku.
“Apa Ibu yakin mereka itu memang suka sama aku?”, kataku balik bertanya.
“Herman tentu saja. Bagaimana Bunga selalu setia sejak SMP dulu. Annisa juga bisa dirasakan akrab dengan Ibu. Mutiara, sewaktu ketemu di Rumah Sakit itu, Ibu juga tahu dia sangat suka kepadamu!”, kata Ibu.
“Kok Ibu yakin sekali mereka menyukaiku?”.
“Herman. Ibu ini seorang wanita!”, kata Ibuku.
Aku hanya tertegun. Instink seorang wanita seperti Ibuku memang harus aku percaya.
“Wah Bu, aku harus istiqoroh!. Tidak bisa menentukan sekarang!”, kataku kebingungan.
“Ya sudahlah kamu sholat istiqoroh mohonlah kepada Allah dan pilihlah yang terbaik menurut PetunjukNya!”, kata Ibu.
“Herman memilih jodoh bukan hal yang mudah. Jangan lupa pilihlah berdasarkan kualitas agamanya dan yang seiman denganmu!”, tiba-tiba suara Bapak menambahkan dalam dialog hangat ini.
“Ya Pak insya Allah!”, kataku pendek. Benar Bapakku memilih jodoh bukan hal mudah. Harus selektif karena istriku nanti akan melahirkan anak-anakku. Ibarat bahan baku harus kualitas prima. Kualitas nomor satu sehingga keturunan yang dilahirkan adalah pribadi-pribadi dengan karakter nomor satu. Lho aku sendiri apakah sudah kualitas nomor satu?. Pusing juga memikirkannya karena masih banyak juga yang harus aku benahi. Memang sih aku anak seorang Ulama tapi yang Ulama kan Bapakku. Aku sendiri hanya seorang anak yang masih butuh bimbingan orang tua. Bapak dan Ibu adalah Panutan dalam hidupku dan aku sangat patuh kepada mereka. Ya memilih calon istri harus banyak pertimbangan.
Tidak terasa liburan di kampungku harus berakhir karena tugas-tugas sudah menunggu di Surabaya. Sepagi ini aku sudah menemani dokter Wili, seniorku dalam tugas operasi seorang Pasien yang mengalami patah tulang akibat kecelakaan di jalan raya. Selama hampir tiga jam itu aku fokus dalam tugas tersebut dan Alhamdulillah operasi tersebut berjalan lancar dan sukses. Siang itu saat istirahat aku meninggalkan Rumah sakit menuju Kantin fakultas untuk makan siang. Saat itu aku dikejutkan oleh kedatangan Mutiara di Kantin itu. Mutiara sudah tahu kalau setiap siang aku biasa makan di Kantin Fakultas.
“Mas Herman sudah mulai aktivitas di Rumah Sakit?”.
“Iya Tiara. Ayo kita makan siang sama-sama!”, ajakku dan Mutiara duduk satu meja bersamaku lalu dia memesan semangkok bakso dan segelas jus jambu.
“Mas ada kabar baik!”, kata Mutiara.
“Alhamdulillah kabar baik apa Tia?”, tanyaku.
“Revisi skripsiku sudah ditanda tangani Pembimbing dan Bulan depan aku sudah bisa Wisuda!”, kata Mutiara dengan suara gembira.
“Tiara selamat ya!”, kataku. Aku mengulurkan tanganku untuk menyalaminya.
“Terima kasih Mas Herman. Ada satu lagi kabar baik dan membahagiakan!”.
“Wah hari ini aku banyak menerima kabar baik dari Tiara nih!”, kataku. Mutiara hanya tersenyum.
“Ricki sudah tertangkap Polisi!”, kata Mutiara.
“Lho Tiara kok bisa?. Siapa yang lapor Polisi?”.
“Aku Mas. Saat itu aku juga akhirnya harus cerita kepada mbak Bunga. Semua sudah aku ceritakan kepadanya!”, kata Mutiara.
“Termasuk cerita kelam itu?”, tanyaku.
“Iya Mas. Tidak apa-apa kini aku semakin merasa banyak orang yang peduli kepadaku termasuk mbak Bunga. Dia gadis yang baik penuh perhatian. Saat dia mendengar ceritaku, mbak Bunga menangis!”, kata Mutiara.
Ya Allah betapa indah skenario yang Kau rancang. Aku tidak perlu menanggung beban dengan bercerita masa lalunya Mutiara kepada Bunga. Jauh lebih baik Mutiara sendiri yang bercerita kepada Bunga. Hal itu bisa terjadi hanya karena kasus penganiayaanku oleh Ricki. Hal yang membuat aku lega, Bunga ternyata menaruh simpati kepada Mutiara walaupun aku sudah menduga sebelumnya. Polisi pasti dengan mudah akan menangkap Ricki yang ruang lingkup operasinya hanya di sekitar Kampus-kampus Surabaya.
“Kalau mbak Bunga tidak mendukungku untuk lapor Polisi mungkin Ricki tidak akan tertangkap!”, kata Mutiara.
“Tiara biarlah semua kasus ini kita serahkan kepada yang berwajib!”, kataku.
“Iya Mas. Aku juga sangat terkesan dengan kebaikan mbak Bunga. Selalu memberiku semangat untuk bangkit!”, kata Mutiara.
“Mas Herman…..!”, kata Mutiara tapi kemudian terdiam tidak melanjutkan kalimat berikutnya.
“Ya Tia kenapa kok jadi diam!?”, tanyaku sambil menunggu kalimat apa yang akan diucapkan wanita yang kukagumi ini.
“Aku merasakan mbak Bunga itu mencintaimu Mas?”.
“Waduh masa sih, kok Tia bisa tahu?”, kataku terkejut. Aku betul-betul terkejut seperti disambar petir.
“Mbak Bunga banyak bercerita tentang kebaikan Mas Herman dan juga keakraban masa-masa sekolah dulu. Mbak Bunga sangat mengagumimu!”, kata Mutiara dengan suara pelan.
“Ah Tiara ada ada saja. Bunga itu juga terlalu lebay!”, kataku mencoba menetralisir dialog ini walaupun aku sebenarnya senang juga mendengar cerita yang belum pernah ku dengar sebelumnya. Apalagi tentang Bunga. Benar apa kata Ibu dan sekarang Mutiarapun mengatakan bahwa Bunga mencintaiku. Namun benarkah demikian?. Aku tidak berani memastikan jangan-jangan ini hanya kesan sepintas saja Mutiara terhadap Bunga. Sebagai seorang sahabat sejak SMP, Bunga tentu saja akan bercerita tentang apa saja yang berhubungan denganku. Hal yang wajar bukan?. Lalu kenapa Mutiara membuat kesimpulan kalau Bunga mencintaiku?. Apakah hal ini untuk menyembunyikan rasa cemburu Mutiara terhadap Bunga?.
Waduh jadi rumit begini ya. Sekarang apa sebenarnya yang sedang aku rasakan?. Aku ini sebenarnya mencintai siapa sih?. Ibarat sebuah lukisan mungkin saat ini aku sedang merancang sketsa-sketsa cinta untuk dirampungkan menjadi sebuah lukisan yang indah.

BERSAMBUNG

No comments: