Sunday, March 2, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 7

Foto : Hensa/Koleksi Pribadi


EPISODE 7
DENGARLAH KATA HATIMU

Dalam dua pekan ini aku sangat padat dengan kesibukan tugas-tugasku namun waktu bersama Mutiara selalu saja ada.  Sejak Mutiara mencurahkan cerita pilunya kepadaku, hubungan kami semakin erat dan akrab. Komunikasi setiap saat selalu ada paling tidak melalui handphone baik sms maupun telephone langsung. Kini Mutiara sudah menjadi hari-hariku. Padahal Bunga awal bulan ini sudah mulai mengikuti kegiatan kuliahnya tapi entahlah saat ini aku seakan disibukkan oleh rasa terhadap Mutiara. Bunga memang pernah sekali bertemu denganku di Rumah Tantenya. Saat itu aku melihat Bunga begitu gembira bisa menempuh studi di Indonesia lagi. Bahkan kesanku saat ini Bunga terlihat sangat bahagia karena bisa sering bersamaku lagi seperti saat saat masa SMP dulu. Entahlah.
Saat ketika sore hari itu aku menyempatkan diri mampir ke tempat Kost Mutiara di Jalan Bali, aku menerima sambutan hangat Mutiara dengan keramahannya dan senyum manisnya. Kami mengobrol di teras Paviliun itu.
“Mas baru dari Rumah sakit ya!”.
“Iya langsung ke sini!”,kataku.
“Mas Herman kangen ya!”, kata Mutiara bercanda tapi membuat hatiku berdebar dihembus angin syurga. Aku hanya tertawa mendengar selorohnya Mutiara.
“Siapa yang nggak kangen. Aku ini datang sengaja untuk yang ngangeni aku!”, kataku juga berseloroh tidak kalah dengan Mutiara. Mendengar ini, Mutiara tertawa merdu. Wajahnya terlihat berbinar bahagia. Ya Allah selama ini aku belum pernah melihat wanita cantik ini menampakkan wajah berbinar seperti sore ini. Saat dulu sering kutemui di Halte itu, hari-harinya selama ini adalah wajah dingin, sendu, penuh misteri. Hanya karena dia cantik maka semua kesedihannya ditutupi dengan keteduhan wajahnya. Mutiara semoga sudah kau temukan lagi jati dirimu yang dulu pernah terkoyak walau mungkin sudah tidak lagi utuh. Tak apalah karena tidak ada yang utuh dalam hidup ini kecuali cintaNya.
“Mas Herman bisa saja. Memang benar kok Tiara kangen!”, kata Mutiara tersenyum manis. 
“Klop sudah orang kangen ketemu orang kangen!”, kataku.
Begitulah gambaran hari-hari bersama Mutiara. Semakin lama semakin akrab. Walaupun begitu aku sendiri masih belum mengutarakan rasa cintaku. Bisa dikatakan mungkin pergaulanku dengannya seperti  model persahabatan. Tentu saja bukan model “pacaran” seperti anak muda pada umumnya. Aku memang anak muda yang boleh dibilang kuper alias kolot dalam bidang dunia pergaulan anak muda sekarang. Namun aku bangga bisa menjaga prinsipku yang sesuai dengan agama yang aku anut. Oleh karenanya aku tetap selalu menjaga jarak terhadap Mutiara. Teringat saat Mutiara memelukku ketika dia mengekspresikan kegembiraannya karena lulus ujian skripsi. Sungguh aku terkejut. Jujur saja itu pertama kali aku dipeluk oleh wanita. Jujur juga aku merasakan kenyamanan sebagai seorang lelaki. Darah lelakiku bergelora memanas, namun sekali lagi aku bersyukur saat itu prinsip nalarku tetap bekerja dengan baik sehingga semua masih terkendali hingga saat ini. Mutiara bukan muhrimku. Setiap teman priaku selalu mencemooh bahwa aku seorang lelaki dengan prinsip yang kuno. Mereka heran masih ada lelaki semacamku dizaman yang serba terbuka ini. Zaman yang serba buka-bukaan. Anehnya ketika Mutiara tahu aku ini lelaki seperti itu, dia malah bersyukur bisa bertemu denganku.
“Mas Herman. Kepada Tuhan aku bersyukur bisa berteman dengan lelaki yang sangat hormat kepada wanita!”,kata Mutiara suatu hari ketika kami berbincang di koridor Kampus.
“Mas Herman, kau telah memperlakukanku secara terhormat dan itu telah membuatku menjadi seorang wanita sesungguhnya!”,kembali suara Mutiara lagi.
“Jangan berlebihan Tiara. Jika aku memiliki rasa hormat kepadamu bahkan kepada siapapun sesungguhnya aku juga sebenarnya sedang menghormati Sang Pencipta!”, kataku.
“Iya Mas. Saat ini aku semakin yakin bahwa Tuhan itu Maha Baik!”, kata Mutiara.
Hari-hari bersama Mutiara kelihatannya akan berjalan baik dan semakin baik. Semoga saja harapanku agar Mutiara menemukan kembali jati dirinya semakin terwujud.
Malam itu aku baru saja selesai tugas jaga dan baru bisa pulang ke tempat kost sudah hampir tengah malam. Saat itu aku baru saja memasuki halaman rumah kostku tiba-tiba ada tiga orang lelaki berbadan tegar menghadangku. Aku tidak mengenal mereka namun salah satunya aku seperti mengenalnya. Ya benar dia Ricki. Oh Tuhan ini yang pernah aku kuatirkan tempo hari. Pasti Ricki menganggap akulah biang keladinya sehingga dia kehilangan tambang emasnya. Rupanya tanpa basa basi lagi Ricki memberi kode kepada dua temannya agar segera saja menghabisiku. Satu, dua, tiga gerakan aku masih bisa berkelit dan memberikan perlawanan. Tapi apalah daya jurus-jurus silatku menjadi tidak berarti ketika sepasang tangan berotot kekar itu berhasil memeluk tubuhku lalu aku benar-benar terkunci. Entah sudah berapa pukulan Ricki yang melayang bertubi-tubi ke tubuh dan mukaku. Saat itu kepalaku terasa berat dan rasa sakit serta darah yang mengucur di wajahku semakin membuatku tak berdaya.  Aku seakan melayang di tempat yang gelap dengan rasa sakit yang luar biasa. Setelah itu aku sudah tidak lagi merasakan apa-apa.
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Mataku mulai terbuka walau masih terasa berat. Ternyata aku sudah terbaring di Ruang IGD. Kepalaku masih terasa sakit. Aku baru sadar disampingku ada genggaman tangan lembut Mutiara yang saat itu masih terisak memandangku. Aku hanya melihat bibirnya memanggil namaku. Aku memandang ke arah Mutiara.
“Mas Herman syukurlah sudah siuman!”, kata Mutiara. Aku hanya tersenyum lemah. Tiba-tiba kulihat dokter dan seorang Perawat menghampiriku. Dari keterangan dokter ternyata aku harus bersyukur karena tidak terjadi hal-hal yang mengerikan dengan luka-luka di kepalaku. Memang ada benturan namun tidak sampai mengakibatkan gegar otak. Luka-luka bekas pukulan dipelipis mataku hanya luka robek dan bengkak tidak sampai merusak bagian mata. Alhamdulillah rasa syukur ini kepadamu aku haturkan.
Selama dirawat di Rumah Sakit, Mutiara hampir setiap hari selalu menemani. Pada hari kedua Ibu dan Ayahku datang menjenguk. Mereka berkenalan dengan Mutiara yang saat itu juga bersamaan menjengukku. Ayah dan Ibu merasa prihatin melihat keadaanku. Ketika ditanya tentang kejadian malam itu, aku hanya bercerita bahwa aku memang dikeroyok Preman-preman yang mau memerasku. Ayah dan Ibu kelihatan sangat khawatir dengan keadaanku.
“Herman apakah Bunga belum tahu kalau kamu dirawat di sini?”, suara Ibuku.
“Belum Bu!”, kataku. Ibuku mengambil HP nya lalu kulihat dia menelpon Bunga.
“Herman! Sebentar lagi Bunga mau menjengukmu!”.
“Iya Bu terima kasih!”.
“Oh ya Nak Tiara ini juga kuliah di Kedokteran?”, tanya Ibuku kepada Mutiara.
“Saya kuliah di Kimia Bu!”, jawab Mutiara ramah.
“Sudah semester berapa sekarang?”, tanya Ibuku menyelidik. Ibu memang suka begitu kalau melihat ada calon mantu yang cantik he he he. Aku masih bisa bergurau ya walaupun saat ini kepalaku dan wajah memarku menyiksaku.
“Bu!”, kataku menyela obrolan mereka. “Mutiara itu sudah ujian skripsi dan sudah lulus sebentar lagi mau di wisuda!”, kataku menjelaskan.
“Wah hebat Nak Tiara. Selamat ya!”, kata Ibuku.
“Terima kasih Bu!”,kata Mutiara. Tiba-tiba HP Mutiara berdering. Mutiara menerima panggilan tetap di ruang itu.
“Iya Pak, bisa sekarang saya segera menemui Bapak!”, kata Mutiara lalu menutup pembicaraan.
“Mas Herman. Aku harus ke Kampus mau ketemu Pembimbingku. Aku pamit dulu ya Mas. Segera sembuh!”, kata Mutiara dengan suara pelan. Mutiarapun berpamitan kepada Ayah dan Ibuku kemudian bergegas meninggalkan kami. Tak lama setelah Mutiara pergi kulihat Bunga masuk ke ruangan di mana aku dirawat. Aku melihat wajah Bunga begitu cemas.
“Herman apa yang terjadi. Ya Allah!”, suara Bunga ketika melihat keadaanku yang memang mengalami babak belur ini. Ayah menjelaskan kepada Bunga apa yang terjadi dengan diriku. Betapa aku merasakan kecemasan Bunga dengan keadaanku sama dengan kecemasan seorang Mutiara.
“Herman. Ayahku punya kolega di Polda kalau perlu bisa dicari preman-preman itu. Kamu bisa laporkan atas tindakan kekerasan mereka terhadapmu!”, kata Bunga. Tentu saja Ayah Bunga adalah seorang Petinggi Militer di Jakarta. Beliau bisa saja tinggal telpon ke koleganya di Polda, tapi aku tidak mau memperpanjang masalah.

“Terima kasih Bunga!. Biarlah aku tidak akan memperpanjang perkara ini. Aku sudah merasa bersyukur masih diberikan kesempatan hidup oleh Allah!”, kataku.  Bunga hanya terdiam. Gadis anggun ini saat diam seperti ini menambah aura indah di wajahnya. Ada keteduhan dan kedamaian saat memandangi wajah anggun itu. Bunga dan Mutiara memang dua wanita yang diberi anugerah kecantikan sejati seorang wanita. Banyak persamaan diantara mereka. Hanya nasib saja yang membedakan mereka. Mutiara yang bernasib Malang sedang Bunga adalah kesempurnaan seorang wanita ideal, cerdas dan cantik. Aku tiba-tiba saja membayangkan bagaimana kalau mereka bertemu dan berkenalan oh alangkah menariknya momen tersebut dapat aku nikmati. Dua wanita cantik yang sama-sama sangat aku kagumi. Namun jika saatnya tiba  aku harus memilih maka aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ada bisikan halus yang tiba-tiba saja singgah mengatakan bahwa aku harus mendengar kata hatiku.  

BERSAMBUNG

No comments: