Foto : Hensa/Koleksi Pribadi
EPISODE 7
DENGARLAH KATA HATIMU
Dalam dua pekan ini aku
sangat padat dengan kesibukan tugas-tugasku namun waktu bersama Mutiara selalu
saja ada. Sejak Mutiara mencurahkan
cerita pilunya kepadaku, hubungan kami semakin erat dan akrab. Komunikasi
setiap saat selalu ada paling tidak melalui handphone baik sms maupun telephone
langsung. Kini Mutiara sudah menjadi hari-hariku. Padahal Bunga awal bulan ini
sudah mulai mengikuti kegiatan kuliahnya tapi entahlah saat ini aku seakan
disibukkan oleh rasa terhadap Mutiara. Bunga memang pernah sekali bertemu
denganku di Rumah Tantenya. Saat itu aku melihat Bunga begitu gembira bisa
menempuh studi di Indonesia lagi. Bahkan kesanku saat ini Bunga terlihat sangat
bahagia karena bisa sering bersamaku lagi seperti saat saat masa SMP dulu.
Entahlah.
Saat ketika sore hari itu
aku menyempatkan diri mampir ke tempat Kost Mutiara di Jalan Bali, aku menerima
sambutan hangat Mutiara dengan keramahannya dan senyum manisnya. Kami mengobrol
di teras Paviliun itu.
“Mas baru dari Rumah sakit
ya!”.
“Iya langsung ke sini!”,kataku.
“Mas Herman kangen ya!”,
kata Mutiara bercanda tapi membuat hatiku berdebar dihembus angin syurga. Aku
hanya tertawa mendengar selorohnya Mutiara.
“Siapa yang nggak kangen.
Aku ini datang sengaja untuk yang ngangeni
aku!”, kataku juga berseloroh tidak kalah dengan Mutiara. Mendengar ini,
Mutiara tertawa merdu. Wajahnya terlihat berbinar bahagia. Ya Allah selama ini
aku belum pernah melihat wanita cantik ini menampakkan wajah berbinar seperti
sore ini. Saat dulu sering kutemui di Halte itu, hari-harinya selama ini adalah
wajah dingin, sendu, penuh misteri. Hanya karena dia cantik maka semua
kesedihannya ditutupi dengan keteduhan wajahnya. Mutiara semoga sudah kau
temukan lagi jati dirimu yang dulu pernah terkoyak walau mungkin sudah tidak
lagi utuh. Tak apalah karena tidak ada yang utuh dalam hidup ini kecuali
cintaNya.
“Mas Herman bisa saja.
Memang benar kok Tiara kangen!”, kata Mutiara tersenyum manis.
“Klop sudah orang kangen
ketemu orang kangen!”, kataku.
Begitulah gambaran
hari-hari bersama Mutiara. Semakin lama semakin akrab. Walaupun begitu aku
sendiri masih belum mengutarakan rasa cintaku. Bisa dikatakan mungkin
pergaulanku dengannya seperti model
persahabatan. Tentu saja bukan model “pacaran” seperti anak muda pada umumnya.
Aku memang anak muda yang boleh dibilang kuper
alias kolot dalam bidang dunia pergaulan anak muda sekarang. Namun aku bangga
bisa menjaga prinsipku yang sesuai dengan agama yang aku anut. Oleh karenanya
aku tetap selalu menjaga jarak terhadap Mutiara. Teringat saat Mutiara
memelukku ketika dia mengekspresikan kegembiraannya karena lulus ujian skripsi.
Sungguh aku terkejut. Jujur saja itu pertama kali aku dipeluk oleh wanita.
Jujur juga aku merasakan kenyamanan sebagai seorang lelaki. Darah lelakiku
bergelora memanas, namun sekali lagi aku bersyukur saat itu prinsip nalarku tetap
bekerja dengan baik sehingga semua masih terkendali hingga saat ini. Mutiara
bukan muhrimku. Setiap teman priaku selalu mencemooh bahwa aku seorang lelaki
dengan prinsip yang kuno. Mereka heran masih ada lelaki semacamku dizaman yang
serba terbuka ini. Zaman yang serba buka-bukaan. Anehnya ketika Mutiara tahu
aku ini lelaki seperti itu, dia malah bersyukur bisa bertemu denganku.
“Mas Herman. Kepada Tuhan
aku bersyukur bisa berteman dengan lelaki yang sangat hormat kepada
wanita!”,kata Mutiara suatu hari ketika kami berbincang di koridor Kampus.
“Mas Herman, kau telah
memperlakukanku secara terhormat dan itu telah membuatku menjadi seorang wanita
sesungguhnya!”,kembali suara Mutiara lagi.
“Jangan berlebihan Tiara.
Jika aku memiliki rasa hormat kepadamu bahkan kepada siapapun sesungguhnya aku
juga sebenarnya sedang menghormati Sang Pencipta!”, kataku.
“Iya Mas. Saat ini aku
semakin yakin bahwa Tuhan itu Maha Baik!”, kata Mutiara.
Hari-hari bersama Mutiara
kelihatannya akan berjalan baik dan semakin baik. Semoga saja harapanku agar
Mutiara menemukan kembali jati dirinya semakin terwujud.
Malam itu aku baru saja
selesai tugas jaga dan baru bisa pulang ke tempat kost sudah hampir tengah
malam. Saat itu aku baru saja memasuki halaman rumah kostku tiba-tiba ada tiga
orang lelaki berbadan tegar menghadangku. Aku tidak mengenal mereka namun salah
satunya aku seperti mengenalnya. Ya benar dia Ricki. Oh Tuhan ini yang pernah
aku kuatirkan tempo hari. Pasti Ricki menganggap akulah biang keladinya
sehingga dia kehilangan tambang emasnya. Rupanya tanpa basa basi lagi Ricki
memberi kode kepada dua temannya agar segera saja menghabisiku. Satu, dua, tiga
gerakan aku masih bisa berkelit dan memberikan perlawanan. Tapi apalah daya
jurus-jurus silatku menjadi tidak berarti ketika sepasang tangan berotot kekar
itu berhasil memeluk tubuhku lalu aku benar-benar terkunci. Entah sudah berapa
pukulan Ricki yang melayang bertubi-tubi ke tubuh dan mukaku. Saat itu kepalaku
terasa berat dan rasa sakit serta darah yang mengucur di wajahku semakin
membuatku tak berdaya. Aku seakan melayang
di tempat yang gelap dengan rasa sakit yang luar biasa. Setelah itu aku sudah
tidak lagi merasakan apa-apa.
Entah berapa lama aku tak
sadarkan diri. Mataku mulai terbuka walau masih terasa berat. Ternyata aku
sudah terbaring di Ruang IGD. Kepalaku masih terasa sakit. Aku baru sadar
disampingku ada genggaman tangan lembut Mutiara yang saat itu masih terisak
memandangku. Aku hanya melihat bibirnya memanggil namaku. Aku memandang ke arah
Mutiara.
“Mas Herman syukurlah
sudah siuman!”, kata Mutiara. Aku hanya tersenyum lemah. Tiba-tiba kulihat
dokter dan seorang Perawat menghampiriku. Dari keterangan dokter ternyata aku
harus bersyukur karena tidak terjadi hal-hal yang mengerikan dengan luka-luka
di kepalaku. Memang ada benturan namun tidak sampai mengakibatkan gegar otak.
Luka-luka bekas pukulan dipelipis mataku hanya luka robek dan bengkak tidak
sampai merusak bagian mata. Alhamdulillah rasa syukur ini kepadamu aku
haturkan.
Selama dirawat di Rumah
Sakit, Mutiara hampir setiap hari selalu menemani. Pada hari kedua Ibu dan
Ayahku datang menjenguk. Mereka berkenalan dengan Mutiara yang saat itu juga
bersamaan menjengukku. Ayah dan Ibu merasa prihatin melihat keadaanku. Ketika
ditanya tentang kejadian malam itu, aku hanya bercerita bahwa aku memang
dikeroyok Preman-preman yang mau memerasku. Ayah dan Ibu kelihatan sangat
khawatir dengan keadaanku.
“Herman apakah Bunga belum
tahu kalau kamu dirawat di sini?”, suara Ibuku.
“Belum Bu!”, kataku. Ibuku
mengambil HP nya lalu kulihat dia menelpon Bunga.
“Herman! Sebentar lagi
Bunga mau menjengukmu!”.
“Iya Bu terima kasih!”.
“Oh ya Nak Tiara ini juga
kuliah di Kedokteran?”, tanya Ibuku kepada Mutiara.
“Saya kuliah di Kimia
Bu!”, jawab Mutiara ramah.
“Sudah semester berapa
sekarang?”, tanya Ibuku menyelidik. Ibu memang suka begitu kalau melihat ada
calon mantu yang cantik he he he. Aku masih bisa bergurau ya walaupun saat ini
kepalaku dan wajah memarku menyiksaku.
“Bu!”, kataku menyela
obrolan mereka. “Mutiara itu sudah ujian skripsi dan sudah lulus sebentar lagi
mau di wisuda!”, kataku menjelaskan.
“Wah hebat Nak Tiara.
Selamat ya!”, kata Ibuku.
“Terima kasih Bu!”,kata
Mutiara. Tiba-tiba HP Mutiara berdering. Mutiara menerima panggilan tetap di
ruang itu.
“Iya Pak, bisa sekarang
saya segera menemui Bapak!”, kata Mutiara lalu menutup pembicaraan.
“Mas Herman. Aku harus ke
Kampus mau ketemu Pembimbingku. Aku pamit dulu ya Mas. Segera sembuh!”, kata
Mutiara dengan suara pelan. Mutiarapun berpamitan kepada Ayah dan Ibuku
kemudian bergegas meninggalkan kami. Tak lama setelah Mutiara pergi kulihat Bunga
masuk ke ruangan di mana aku dirawat. Aku melihat wajah Bunga begitu cemas.
“Herman apa yang terjadi.
Ya Allah!”, suara Bunga ketika melihat keadaanku yang memang mengalami babak
belur ini. Ayah menjelaskan kepada Bunga apa yang terjadi dengan diriku. Betapa
aku merasakan kecemasan Bunga dengan keadaanku sama dengan kecemasan seorang
Mutiara.
“Herman. Ayahku punya
kolega di Polda kalau perlu bisa dicari preman-preman itu. Kamu bisa laporkan
atas tindakan kekerasan mereka terhadapmu!”, kata Bunga. Tentu saja Ayah Bunga
adalah seorang Petinggi Militer di Jakarta. Beliau bisa saja tinggal telpon ke
koleganya di Polda, tapi aku tidak mau memperpanjang masalah.
“Terima kasih Bunga!.
Biarlah aku tidak akan memperpanjang perkara ini. Aku sudah merasa bersyukur
masih diberikan kesempatan hidup oleh Allah!”, kataku. Bunga hanya terdiam. Gadis anggun ini saat
diam seperti ini menambah aura indah di wajahnya. Ada keteduhan dan kedamaian
saat memandangi wajah anggun itu. Bunga dan Mutiara memang dua wanita yang
diberi anugerah kecantikan sejati seorang wanita. Banyak persamaan diantara
mereka. Hanya nasib saja yang membedakan mereka. Mutiara yang bernasib Malang
sedang Bunga adalah kesempurnaan seorang wanita ideal, cerdas dan cantik. Aku
tiba-tiba saja membayangkan bagaimana kalau mereka bertemu dan berkenalan oh
alangkah menariknya momen tersebut dapat aku nikmati. Dua wanita cantik yang
sama-sama sangat aku kagumi. Namun jika saatnya tiba aku harus memilih maka aku benar-benar tidak
tahu harus berbuat apa. Ada bisikan halus yang tiba-tiba saja singgah
mengatakan bahwa aku harus mendengar kata hatiku.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment