Saturday, March 22, 2014

Novel Hensa : BUNGA MUTIARA Episode 8

Foto : Hensa/koleksi pribadi


EPISODE 8
BUNGA DAN MUTIARA

Hari ini merupakan hari ketiga aku dirawat di Rumah Sakit. Seperti hari-hari sebelumnya, Mutiara selalu menemaniku dengan setia. Aku bisa memaklumi karena mungkin Mutiara merasa dialah penyebab yang membuat diriku menjadi seperti ini. Sementara itu Bunga diantara kesibukan kuliahnya masih sempat juga menjengukku kemarin, bersamaan dengan kehadiran Bapak dan Ibuku. Hanya sayang sekali saat itu Bunga tidak sempat bertemu dengan Mutiara.  Padahal aku ingin sekali kedua wanita yang kukagumi ini akhirnya saling berkenalan.
Pagi itu Mutiara baru saja memberiku sarapan dan segelas air minum, ketika tiba-tiba saja aku mendengar pintu diketuk dan ucapan salam. Mutiara bergegas membukakan pintu lalu aku melihat di sana Bunga berdiri menatap Mutiara dengan wajah terheran-heran.
“Bunga silahkan masuk!”, kataku. Bunga menengok ke arahku lalu kembali ke arah Mutiara. Aku melihat wajah Bunga seperti penuh dengan sejuta tanda tanya. Siapa gerangan wanita yang ada bersamaku ini. 
“Mari silahkan mbak!”, kata Mutiara juga mempersilah-kan Bunga agar masuk. Kemudian kulihat Bunga mengangguk sambil tersenyum kepada Mutiara. Mereka saling berkenalan sambil menyebut nama masing-masing.
“Bunga!”.
“Mutiara!”.
Selanjutnya suasana kembali cair dan mengalir dalam kesejukkan hati dan keceriaan wajah-wajah cantik kedua wanita itu. Mereka berbincang dan masing-masing saling membuka identitas. Bunga bercerita bahwa aku adalah teman sejak SMP dulu, sedang Mutiara bercerita bahwa aku adalah teman sebagai kakak kelas di Kampus walaupun beda Fakultas.
“Mbak Bunga benar-benar setia bersama Mas Herman bertahun-tahun tidak berjumpa tapi masih saling bersilaturahmi!”, kata Mutiara. Bunga memang berusia lebih tua dari Mutiara karena itu Mutiara memanggilnya ‘mbak’.
“Oh ya aku memanggilmu Tia atau Tiara atau Mutia atau Mutiara?”, tanya Bunga.
“Terserah mbak. Semua panggilan itu baik bagiku!”, kata Mutiara tersenyum.
“Tiara sudah semester berapa sekarang!”, tanya Bunga.
“Semester delapan!”, kata Mutiara.
“Wah udah mau lulus dan wisuda!”.
“Iya mbak kemarin baru saja ujian skripsi mudah-mudahan bisa ikut wisuda bulan depann ini!”, kata Mutiara dengan wajah berbinar bahagia. Aku sangat terharu melihat wajah Mutiara begitu bahagia karena sebentar lagi akan mengikuti Hari Wisuda.
“Oh ya mbak Bunga juga sudah selesai kuliah seperti Mas Herman ini!”, tanya Mutiara.
“Tiara!. Mbak Bunga ini sekarang sedang mengambil Pascasarjana Teknik!”, kataku menengahi ketika aku lihat Bunga hanya tersenyum mendengar pertanyaan Mutiara.
“Jarang lho ada cewek menyukai bidang Teknik apalagi aku lihat mbak Bunga ini penampilannya anggun seperti ini. Mahasiswi teknik biasanya tomboy-tomboy!”, kata Mutiara. Aku dan Bunga tertawa mendengar komentarnya.
Tidak terasa haripun beranjak siang dan Mutiara sepertinya akan berpamitan terlebih dulu.
“Mas Herman. Aku pamit dulu ya  kan ada mbak Bunga yang menemani. Mbak Bunga aku tinggal ya lain kali kita bisa ngobrol lebih seru!”, kata Mutiara.
“Baik Tiara sampai nanti ya!”, kata Bunga.
Mutiara meninggalkan ruangan tempat dimana aku dirawat. Kini hanya tinggal Bunga sendirian  menemaniku.
“Herman. Kamu kok tidak bilang-bilang kalau sudah punya pacar!”, kata Bunga sambil menatapku sedikit agak sewot.
“Pacarku siapa?”, kataku sambil tertawa.
“Mutiara!”, kata Bunga cemberut tapi tetap bagiku dia malah tambah cantik. Mendengar ini aku tertawa kecil. Aku lihat Bunga tambah cemberut. Lalu Bunga kembali berkata:
“Herman. Dia gadis cantik, cerdas, ramah. Kelihatan-nya apa yang kamu suka ada padanya!. Kesan pertama saja aku sudah menyukainya!”.
“Bunga!, itu adalah pendapatmu yang sangat jujur. Aku salut padamu. Belum pernah ada wanita mau menilai kelebihan wanita yang lain!”, kataku. Mendengar ini aku melihat Bunga tersenyum.
“Okey Herman. Sekali lagi aku senang kamu sudah punya calon teman hidup!”, suara Bunga seperti tersekat dalam keharuan dan agak sedikit sendu. Aku jadi berfikir apakah Bunga cemburu?. Apakah benar Bunga mencintai-ku?. Aku tidak berani untuk menjawab pertanyaan ini.
“Nanti dulu Bunga. Aku harus jelaskan!”, kataku.
“Sudahlah Herman. Tidak perlu penjelasan aku sudah melihatnya sendiri. Mutiara begitu sungguh sungguh menemanimu dan merawatmu. Dia gadis yang baik aku bisa rasakan dari tutur kata saat dia bercakap-cakap!”, kata Bunga.
“Ngomong-ngomong kesehatanmu sudah semakin membaik Her. Besok lusa mudah-mudahan sudah bisa pulang!”, kata Bunga mengalihkan pembicaraan. Aku hanya terdiam dan melongo. Akhirnya akupun tidak bisa berkutik menghadapi Bunga. Dulu waktu SMP kalau Bunga sudah ngambek memang aku tidak berdaya menghadapi gadis ini. Rupanya sekarangpun aku masih tetap tidak berdaya menghadapinya. Biarlah nanti pada saat yang tepat aku harus bercerita kepada Bunga siapa sebenarnya Mutiara. Setelah itu bagaimana reaksi Bunga apakah masih ada rasa hormat kepada Mutiara?.
“Hei Herman kondisi medical record mu terakhir bagaimana?”, kata Bunga mengulang pertanyaannya.
“Hasil cek medis terakhir, foto dan laboratorium Alhamdulillah semua baik-baik saja. Besok mungkin aku sudah boleh pulang!”, kataku.
“Alhamdulillah. Herman aku jemput besok dan baiknya kamu istirahat dulu di Pasuruan. Nanti aku akan telpon Ibu biar tidak perlu menjemputmu ke Surabaya!”, kata Bunga.
“Tidak usah Bunga. Kegiatan kuliahmu bagaimana!?”, kataku.
“Jangan kuatir besok hanya ada kuliah pagi!”, kata bunga. Kembali aku tidak bisa menolak pada keinginan Bunga. Aku sendiri heran Bunga selalu ingin berbuat yang terbaik untukku. Apakah dia melakukannya hanya sebatas sebagai seorang sahabat ataukah diam-diam memang Bunga mencintaiku?. Jika tadi reaksi Bunga begitu terlihat nyata saat bertemu dengan Mutiara maka aku merasakan bahwa reaksi itu semacam rasa cemburu. Benarkah?.
Kamis siang itu aku bersyukur akhirnya sudah bisa meninggalkan Rumah Sakit setelah menyelesaikan pembayaran dan urusan administrasi. Ada yang istimewa saat aku pulang dari Rumah Sakit yaitu selain dijemput oleh Bunga ternyata juga Mutiara mau menerima ajakan Bunga untuk menemaninya ke Pasuruan. Kami bertiga dengan city car merk Jepang milik Bunga itu sudah meluncur ke tengah-tengah kemacetan kota Surabaya. Kemudian langsung menuju Tol Surabaya – Porong untuk menuju Pasuruan. Bunga duduk dibelakang kemudi didampingi Mutiara sementara aku duduk sendiri dibelakang. Selama perjalanan itu kulihat Bunga dan Mutiara, dua wanita cantik itu, begitu akrab berbincang sekali-sekali mereka tertawa lepas. Aku sengaja selama perjalanan itu pura-pura tidur sehingga mereka bisa bebas berdialog. Entah mengapa mereka begitu cepat akrab padahal saling berkenalan baru dua hari ini. Mungkin chemistry diantara mereka memang sudah cocok. Atau juga sesama wanita cantik tidak boleh saling mendahului. He he he he kok jadi seperti Bus Kota.
“Aku dulu waktu SMA di Manado mbak!”, kata Mutiara.
“Ceritanya bagaimana bisa terdampar di Surabaya?”, tanya Bunga.
“Cita-citaku memang kuliah Kimia di Surabaya ini dan aku sangat bersyukur cita-cita yang kuimpikan selama ini akhirnya bisa ku gapai!”, suara Mutiara penuh rasa haru. Aku lihat ada air mata menitik dimatanya. Rupanya Bungapun memperhatikan pula.
“Tiara kenapa kau menangis?”.
“Ah enggak apa apa mbak, mungkin aku terharu saja dan saking bahagianya!”, kata Mutiara.
“Iya Tiara aku juga turut bahagia atas kesuksesan kuliahmu!”,kata Bunga.
“Aku juga terharu mbak karena ternyata perjalanan hidup ini tidak selalu lurus. Ada kalanya harus berbelok atau bahkan bisa saja tersesat tidak tahu jalan. Saat mencari arah yang hilang itu hanya Tuhan yang akan memberi Petunjuk!”, kata Mutiara sangat filosofis sekali.
“Tiara. Aku suka kata-katamu itu!”, kata Bunga.
“Mbak itu bukan kata-kataku tapi kata-kata Mas Herman yang sangat berkesan sekali!”, kata Mutiara. Aku lihat Bunga sejenak menengok kebelakang dan aku masih pura-pura tidur.
“Orangnya masih tidur nyenyak Tiara. Biarlah mungkin Herman butuh istirahat!”, kata Bunga dan Mutiarapun menengokku ke belakang.
“Iya mbak biar saja Mas Herman tidur. Nanti saja kita bangunkan saat kita sudah tiba!”, kata Mutiara.
Dalam hati aku tertawa. Rupanya mahluk-mahluk cantik ini mudah saja dibohongi mahluk ganteng sepertiku ini. Hi hi hi sombong. Aku begitu menikmati perjalanan Surabaya – Pasuruan. Nikmatnya adalah mendengarkan dialog-dialog dua mahluk cantik ciptaan Allah ini, Bunga dan Mutiara. Senang sekali rasanya melihat dua wanita cantik ini berbincang akrab. Mereka memiliki perawakan yang sama-sama tinggi semampai. Rambut hitam terurai. Senyum ramah selalu menghiasi bibir manisnya. Tutur kata merdu yang santun. Lembut penampilan dengan aura kecantikan yang hanya bisa dirasakan dengan hati. Sungguh jika aku disuruh memilih apakah Bunga atau Mutiara?. Maka aku akan sulit untuk menentukan pilihanku. Jika ada yang menyarankan pilih saja keduanya. He he he terlalu berat bagiku mengikuti sunah Nabi Muhammad, yang satu ini.

BERSAMBUNG

No comments: