Foto : Hensa/koleksi pribadi
EPISODE 8
BUNGA DAN MUTIARA
Hari ini merupakan hari
ketiga aku dirawat di Rumah Sakit. Seperti hari-hari sebelumnya, Mutiara selalu
menemaniku dengan setia. Aku bisa memaklumi karena mungkin Mutiara merasa
dialah penyebab yang membuat diriku menjadi seperti ini. Sementara itu Bunga
diantara kesibukan kuliahnya masih sempat juga menjengukku kemarin, bersamaan
dengan kehadiran Bapak dan Ibuku. Hanya sayang sekali saat itu Bunga tidak
sempat bertemu dengan Mutiara. Padahal
aku ingin sekali kedua wanita yang kukagumi ini akhirnya saling berkenalan.
Pagi itu Mutiara baru saja
memberiku sarapan dan segelas air minum, ketika tiba-tiba saja aku mendengar
pintu diketuk dan ucapan salam. Mutiara bergegas membukakan pintu lalu aku
melihat di sana Bunga berdiri menatap Mutiara dengan wajah terheran-heran.
“Bunga silahkan masuk!”,
kataku. Bunga menengok ke arahku lalu kembali ke arah Mutiara. Aku melihat
wajah Bunga seperti penuh dengan sejuta tanda tanya. Siapa gerangan wanita yang
ada bersamaku ini.
“Mari silahkan mbak!”,
kata Mutiara juga mempersilah-kan Bunga agar masuk. Kemudian kulihat Bunga
mengangguk sambil tersenyum kepada Mutiara. Mereka saling berkenalan sambil
menyebut nama masing-masing.
“Bunga!”.
“Mutiara!”.
Selanjutnya suasana
kembali cair dan mengalir dalam kesejukkan hati dan keceriaan wajah-wajah
cantik kedua wanita itu. Mereka berbincang dan masing-masing saling membuka
identitas. Bunga bercerita bahwa aku adalah teman sejak SMP dulu, sedang
Mutiara bercerita bahwa aku adalah teman sebagai kakak kelas di Kampus walaupun
beda Fakultas.
“Mbak Bunga benar-benar
setia bersama Mas Herman bertahun-tahun tidak berjumpa tapi masih saling
bersilaturahmi!”, kata Mutiara. Bunga memang berusia lebih tua dari Mutiara
karena itu Mutiara memanggilnya ‘mbak’.
“Oh ya aku memanggilmu Tia
atau Tiara atau Mutia atau Mutiara?”, tanya Bunga.
“Terserah mbak. Semua
panggilan itu baik bagiku!”, kata Mutiara tersenyum.
“Tiara sudah semester
berapa sekarang!”, tanya Bunga.
“Semester delapan!”, kata
Mutiara.
“Wah udah mau lulus dan
wisuda!”.
“Iya mbak kemarin baru
saja ujian skripsi mudah-mudahan bisa ikut wisuda bulan depann ini!”, kata
Mutiara dengan wajah berbinar bahagia. Aku sangat terharu melihat wajah Mutiara
begitu bahagia karena sebentar lagi akan mengikuti Hari Wisuda.
“Oh ya mbak Bunga juga
sudah selesai kuliah seperti Mas Herman ini!”, tanya Mutiara.
“Tiara!. Mbak Bunga ini
sekarang sedang mengambil Pascasarjana Teknik!”, kataku menengahi ketika aku
lihat Bunga hanya tersenyum mendengar pertanyaan Mutiara.
“Jarang lho ada cewek
menyukai bidang Teknik apalagi aku lihat mbak Bunga ini penampilannya anggun
seperti ini. Mahasiswi teknik biasanya tomboy-tomboy!”, kata Mutiara. Aku dan
Bunga tertawa mendengar komentarnya.
Tidak terasa haripun
beranjak siang dan Mutiara sepertinya akan berpamitan terlebih dulu.
“Mas Herman. Aku pamit
dulu ya kan ada mbak Bunga yang menemani.
Mbak Bunga aku tinggal ya lain kali kita bisa ngobrol lebih seru!”, kata
Mutiara.
“Baik Tiara sampai nanti
ya!”, kata Bunga.
Mutiara meninggalkan
ruangan tempat dimana aku dirawat. Kini hanya tinggal Bunga sendirian menemaniku.
“Herman. Kamu kok tidak
bilang-bilang kalau sudah punya pacar!”, kata Bunga sambil menatapku sedikit
agak sewot.
“Pacarku siapa?”, kataku
sambil tertawa.
“Mutiara!”, kata Bunga cemberut
tapi tetap bagiku dia malah tambah cantik. Mendengar ini aku tertawa kecil. Aku
lihat Bunga tambah cemberut. Lalu Bunga kembali berkata:
“Herman. Dia gadis cantik,
cerdas, ramah. Kelihatan-nya apa yang kamu suka ada padanya!. Kesan pertama
saja aku sudah menyukainya!”.
“Bunga!, itu adalah
pendapatmu yang sangat jujur. Aku salut padamu. Belum pernah ada wanita mau
menilai kelebihan wanita yang lain!”, kataku. Mendengar ini aku melihat Bunga
tersenyum.
“Okey Herman. Sekali lagi
aku senang kamu sudah punya calon teman hidup!”, suara Bunga seperti tersekat
dalam keharuan dan agak sedikit sendu. Aku jadi berfikir apakah Bunga cemburu?.
Apakah benar Bunga mencintai-ku?. Aku tidak berani untuk menjawab pertanyaan
ini.
“Nanti dulu Bunga. Aku
harus jelaskan!”, kataku.
“Sudahlah Herman. Tidak
perlu penjelasan aku sudah melihatnya sendiri. Mutiara begitu sungguh sungguh
menemanimu dan merawatmu. Dia gadis yang baik aku bisa rasakan dari tutur kata
saat dia bercakap-cakap!”, kata Bunga.
“Ngomong-ngomong
kesehatanmu sudah semakin membaik Her. Besok lusa mudah-mudahan sudah bisa
pulang!”, kata Bunga mengalihkan pembicaraan. Aku hanya terdiam dan melongo.
Akhirnya akupun tidak bisa berkutik menghadapi Bunga. Dulu waktu SMP kalau
Bunga sudah ngambek memang aku tidak
berdaya menghadapi gadis ini. Rupanya sekarangpun aku masih tetap tidak berdaya
menghadapinya. Biarlah nanti pada saat yang tepat aku harus bercerita kepada
Bunga siapa sebenarnya Mutiara. Setelah itu bagaimana reaksi Bunga apakah masih
ada rasa hormat kepada Mutiara?.
“Hei Herman kondisi medical record mu terakhir bagaimana?”,
kata Bunga mengulang pertanyaannya.
“Hasil cek medis terakhir,
foto dan laboratorium Alhamdulillah semua baik-baik saja. Besok mungkin aku
sudah boleh pulang!”, kataku.
“Alhamdulillah. Herman aku
jemput besok dan baiknya kamu istirahat dulu di Pasuruan. Nanti aku akan telpon
Ibu biar tidak perlu menjemputmu ke Surabaya!”, kata Bunga.
“Tidak usah Bunga.
Kegiatan kuliahmu bagaimana!?”, kataku.
“Jangan kuatir besok hanya
ada kuliah pagi!”, kata bunga. Kembali aku tidak bisa menolak pada keinginan
Bunga. Aku sendiri heran Bunga selalu ingin berbuat yang terbaik untukku.
Apakah dia melakukannya hanya sebatas sebagai seorang sahabat ataukah diam-diam
memang Bunga mencintaiku?. Jika tadi reaksi Bunga begitu terlihat nyata saat
bertemu dengan Mutiara maka aku merasakan bahwa reaksi itu semacam rasa
cemburu. Benarkah?.
Kamis siang itu aku
bersyukur akhirnya sudah bisa meninggalkan Rumah Sakit setelah menyelesaikan
pembayaran dan urusan administrasi. Ada yang istimewa saat aku pulang dari
Rumah Sakit yaitu selain dijemput oleh Bunga ternyata juga Mutiara mau menerima
ajakan Bunga untuk menemaninya ke Pasuruan. Kami bertiga dengan city car merk Jepang milik Bunga itu
sudah meluncur ke tengah-tengah kemacetan kota Surabaya. Kemudian langsung
menuju Tol Surabaya – Porong untuk menuju Pasuruan. Bunga duduk dibelakang
kemudi didampingi Mutiara sementara aku duduk sendiri dibelakang. Selama
perjalanan itu kulihat Bunga dan Mutiara, dua wanita cantik itu, begitu akrab
berbincang sekali-sekali mereka tertawa lepas. Aku sengaja selama perjalanan
itu pura-pura tidur sehingga mereka bisa bebas berdialog. Entah mengapa mereka
begitu cepat akrab padahal saling berkenalan baru dua hari ini. Mungkin chemistry diantara mereka memang sudah
cocok. Atau juga sesama wanita cantik tidak boleh saling mendahului. He he he
he kok jadi seperti Bus Kota.
“Aku dulu waktu SMA di
Manado mbak!”, kata Mutiara.
“Ceritanya bagaimana bisa
terdampar di Surabaya?”, tanya Bunga.
“Cita-citaku memang kuliah
Kimia di Surabaya ini dan aku sangat bersyukur cita-cita yang kuimpikan selama
ini akhirnya bisa ku gapai!”, suara Mutiara penuh rasa haru. Aku lihat ada air
mata menitik dimatanya. Rupanya Bungapun memperhatikan pula.
“Tiara kenapa kau
menangis?”.
“Ah enggak apa apa mbak,
mungkin aku terharu saja dan saking bahagianya!”, kata Mutiara.
“Iya Tiara aku juga turut
bahagia atas kesuksesan kuliahmu!”,kata Bunga.
“Aku juga terharu mbak
karena ternyata perjalanan hidup ini tidak selalu lurus. Ada kalanya harus
berbelok atau bahkan bisa saja tersesat tidak tahu jalan. Saat mencari arah yang
hilang itu hanya Tuhan yang akan memberi Petunjuk!”, kata Mutiara sangat
filosofis sekali.
“Tiara. Aku suka
kata-katamu itu!”, kata Bunga.
“Mbak itu bukan
kata-kataku tapi kata-kata Mas Herman yang sangat berkesan sekali!”, kata
Mutiara. Aku lihat Bunga sejenak menengok kebelakang dan aku masih pura-pura
tidur.
“Orangnya masih tidur
nyenyak Tiara. Biarlah mungkin Herman butuh istirahat!”, kata Bunga dan
Mutiarapun menengokku ke belakang.
“Iya mbak biar saja Mas
Herman tidur. Nanti saja kita bangunkan saat kita sudah tiba!”, kata Mutiara.
Dalam hati aku tertawa. Rupanya mahluk-mahluk cantik
ini mudah saja dibohongi mahluk ganteng sepertiku ini. Hi hi hi sombong. Aku
begitu menikmati perjalanan Surabaya – Pasuruan. Nikmatnya adalah mendengarkan
dialog-dialog dua mahluk cantik ciptaan Allah ini, Bunga dan Mutiara. Senang
sekali rasanya melihat dua wanita cantik ini berbincang akrab. Mereka memiliki
perawakan yang sama-sama tinggi semampai. Rambut hitam terurai. Senyum ramah
selalu menghiasi bibir manisnya. Tutur kata merdu yang santun. Lembut
penampilan dengan aura kecantikan yang hanya bisa dirasakan dengan hati.
Sungguh jika aku disuruh memilih apakah Bunga atau Mutiara?. Maka aku akan
sulit untuk menentukan pilihanku. Jika ada yang menyarankan pilih saja keduanya.
He he he terlalu berat bagiku mengikuti sunah Nabi Muhammad, yang satu ini.BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment