Foto : Hensa/Anggrek12
EPISODE 12
MENAPAK
DINDING TERJAL
Tidak seperti biasanya
pada libur semester singkat ini dipergunakan oleh Bunga untuk pulang ke
Jakarta. Padahal sebelumnya saat libur panjangpun, Bunga lebih betah tetap
tinggal di Surabaya atau Pasuruan. Apakah ini ada hubungannya karena aku saat
terakhir ini selalu bersama dengan Mutiara?. Memang akhir-akhir ini aku lebih
sering bersama Mutiara dan sangat jarang bertemu Bunga. Telepon atau sms pun
sudah jarang hanya tadi malam saja aku dikejutkan oleh telpon Bunga bahwa dia
mau liburan di Jakarta.
“Kapan ke Jakarta Bunga?”,
tanyaku saat itu.
“Minggu pagi!”.
Aku tidak berani bertanya lebih
jauh tentang liburan singkat kok harus pulang ke Jakarta.
“Oh ya Herman maukah kau
mengantarku ke Bandara Juanda?. Nanti pake mobilku sekalian kamu bawa saja
mobil selama aku liburan di Jakarta!”, kata Bunga.
“Ok Bos. Siap!”, kataku
biar ada kesan bercanda padahal hati ini sebanarnya masih bertanya-tanya karena
seolah sekarang ini Bunga selalu mau menghindar dariku.
“Thanks Herman!”, kata
Bunga.
Pagi itu suasana Bandara
Juanda sudah penuh dengan hiruk pikuk. Sepagi ini denyut Bandara ini sudah
berpacu dengan waktu. Mungkin juga karena hari Minggu akhir pekan terutama saat
liburan sekolah, banyak para Mahasiswa atau Pelajar yang mau bepergian sekedar
wisata mengisi liburan mereka. Masih ada waktu satu jam bagi Bunga sebelum check in, kami habiskan di Corner café sambil menikmati minuman
hangat dan kue ringan.
“Herman. Semakin lama aku
semakin kagum padamu. Bertahun-tahun mengenalmu. Aku tahu luar dalammu dan yang
paling membuat takjub ketika kamu mencintai Mutiara!”, kata Bunga. Aku
merasakan kata-kata Bunga begitu datar dan wajar tidak ada sedikitpun nada
sumbang rasa cemburu.
“Maksudmu kagum
bagaimana?”.
“Kamu tahu Her. Semua Pria
selalu menginginkan keperawanan seorang gadis. Ya walaupun cukup wajar di
Negara kita yang selalu menjunjung tinggi kaidah kesucian seorang gadis dilihat
dari keperawanannya!”, kata Bunga.
“Bunga. Aku sendiri heran
kenapa aku mencintai Mutiara. Namun yang jelas untuk dicintai, Mutiara tidak
perlu harus perawan. Mutiara memiliki ketulusan yang utuh. Cintanya begitu
sederhana namun banyak maknanya!”, kataku.
“Mungkin ini yang membuat
dokter Hermansyah menjadi seorang luar biasa!”, kata Bunga kali ini ada senyum
tersungging di bibir manisnya. Lama rasanya aku tidak melihat senyum manis
Bunga seperti ini lagi.
“Alhamdulillah!”, kataku
pendek sambil membalas senyumnya.
“Okey Herman terima kasih
sudah mengantarku. Aku harus segera check
in !”, kata Bunga sambil berdiri dan menyalami tanganku. Bunga berbalik
memunggungiku bergegas menuju Pintu Keberangkatan lalu hilang berbaur dengan
para penumpang lainnya. Akupun bersiap menuju tempat parkir sambil pikiranku
terus menerawang terutama memikirkan bagaimana sikap Ibu kepada Mutiara setelah
tahu siapa sebenarnya wanita itu. Dalam perjalanan pulang dari Bandara Juanda
itu tiba-tiba saja aku memutuskan untuk ke Pasuruan menemui Ibu dan Bapak. Ya
biar aku saja dulu yang bicara tidak perlu Mutiara. Hal ini untuk menjaga andai
ada sesuatu yang tidak diharapkan sudah bisa dihindari dari awal. Akhirnya
mobil ini mengarah ke Tol Waru – Gempol menuju Pasuruan. Kulihat saat ini baru
pukul 9.20 insya Allah sebelum Dhuhur aku sudah tiba di Rumah. Lalu lintas
selama perjalanan cukup padat terutama yang menuju arah Kota Malang karena pada
hari Minggu biasanya banyak keluarga yang pergi keluar kota hanya untuk mencari
suasana segar disekitar Malang. Walaupun lalu lintas cukup ramai namun akhirnya
aku sampai juga di kota Pasuruan kemudian menuju ke Desaku arah Selatan dari
kota Pasuruan. Hanya 30 menit dari kota Pasuruan sampailah aku di depan Pintu
gerbang Pesantren. Mobil aku parkir di halaman Selatan Mesjid persis di depan
Rumah kediaman Bapak-Ibu. Aku disambut Ibu di teras depan itu. Aku menghampiri
dan mencium tangan Ibu.
“Lho kok kamu sendirian?”,
tanya Ibuku.
“Maksud Ibu mestinya sama
siapa?”, tanyaku.
“Ya Mutiara lah!”.
“Kok Ibu enggak tanya
Bunga padahal Ibu tahu ini mobil yang kupakai punya Bunga?”.
“Ibu kan sudah di kabari
Bunga tadi malam, hari ini dia pulang ke Jakarta!”, kata Ibu. Aku hanya
garuk-garuk kepala. Rupanya antara Ibu dan Bunga memiliki komunikasi yang baik.
Sangat istimewanya Bunga di mata Ibu. Andai saja Mutiara bisa seistimewa itu?. Bahkan
aku sendiri hampir saja lupa menelpon Mutiara untuk memberi kabar bahwa hari
ini aku ada di Pasuruan. Saat aku menelpon aku pun menjelaskan strategi menghadapi Ibu lalu Mutiara
menyetujui langkahku.
Sholat Dhuhur dan makan
siangpun usai sudah namun kami rupanya masih duduk di Ruang makan itu. Ibu
begitu serius mendengar penjelasanku tentang Mutiara sementara Bapak hanya
sesekali saja menyela minta penjelasan. Sungguh saat itu aku benar-benar
seperti seorang Mahasiswa yang sedang menghadapi Ujian skripsi dengan para
Penguji yang kritis dan cerdas.
“Mutiara, sungguh malang
nasibmu nak!”, kata Ibu dengan suara pelan menyerupai bisikan. Ibu sangat
menaruh simpati atas kejadian yang menimpa Mutiara. Hal ini yang sangat diluar
dugaanku. Ibu tidak berubah sikap terhadap Mutiara. Sebenarnya aku merasa lega
namun belum tuntas karena Bapak masih belum memberikan komentar sama sekali.
“Herman, cerita yang
sangat tragis. Apakah sekarang Mutiara sudah kembali berhubungan dengan kedua
orang tuanya?”, tanya Ibu.
“Belum Bu. Namun sekarang
di Surabaya ini Mutiara sudah bertemu dengan Om Franky, adik laki-laki dari Mamanya!”,
kataku.
Mutiara pernah bercerita
dua minggu yang lalu bahwa dia memutuskan untuk menemui Om Franky. Keputusannya
untuk bertemu Om Franky ini ditempuh Mutiara dengan pertimbangan karena kini
dia sudah lulus kuliah dan sekaligus juga keluar dari dunia hitam itu, namun demikian
Mutiara masih belum siap untuk menemui Mama dan Papa tirinya. Pertemuan mereka
sangat dramatis saat itu. Om Franky sebenarnya sudah diminta untuk mencari
Mutiara, namun Mutiara demikian pandai bersembunyi dalam setahun terakhir ini. Maka
ketika akhirnya mereka bertemu semuanya berakhir dengan haru dan bahagia.
“Mas Herman, akhirnya
aku harus cerita juga kepada Om Franky
tentang peristiwa itu. Tentu sambil berpesan jangan sampai Mamaku tahu!”, kata
Mutiara saat itu menjelaskan padaku. Bagiku, keputusan Mutiara ini sangat
melegakan karena dia telah kembali ada ditengah-tengah keluarganya. Paling
tidak andai nanti aku melamar Mutiara bisa dilakukan melalui Omnya sebagai
wakil keluarga.
“Saat itu Om Franky sangat
marah dan dengan penuh emosi ingin agar Mamaku bercerai saja dengan Papa tiriku
itu!”, kata Mutiara saat itu. Namun untung saja Mutiara bisa membujuk Om Franky
agar bersabar untuk kebaikan dirinya.
“Herman!”, kembali suara
Ibu memecah keheningan dan membuyarkan lamunanku saat di Ruang makan itu.
“Ya Bu!”.
“Kamu sisihkan waktu untuk
mengajak Mutiara ke sini biarlah Ibu dan Bapak bisa berbincang dengan Mutiara
lebih akrab lagi!”, kata Ibu.
“Herman!”, kali ini suara
Bapak penuh wibawa. Aku terkejut sangat dalam mendengar namaku dipanggil
beliau.
“Ya Pa!”, kataku pendek
sambil memperhatikan apa yang akan dikatakan beliau pasti hal yang sangat
penting sekali.
“Hermansyah Al-Buchari sudah
tahu apa yang harus dilakukan untuk menentukan jodohnya. Ilmu agamamu sudah aku
anggap cukup untuk bisa menentukan jodohmu sendiri!”, kembali suara Bapakku, KH
Muslim Al-Buchari dengan kewibawaannya
sebagai seorang yang disegani di Pesantren ini.
Petuah beliau ini adalah
tantangan tersendiri bagiku. Aku harus kembali mengingat isi hadist atau ayat
dari Kitab Suciku serta penafsirannya yang benar. “Dunia adalah perhiasan, dan
sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah (wanita yang baik)”. Apakah
Mutiara wanita yang baik?. Bagaimana dengan Bunga mana yang lebih baik?. Apakah
aku berhak untuk membandingkan kedua wanita ini?. Apakah aku adil menyandingkan
Mutiara dan Bunga lalu memilih mana diantara mereka yang terbaik?. Sungguh
sangat sulit sekali untuk mendapatkan perhiasan dunia ini karena sebaik-baik
perhiasan adalah wanita yang baik.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment