Foto : Hensa/Anggrek 11
EPISODE 11
HATI YANG RESAH
Sebenarnya aku sudah tidak
perlu menunggu jawaban karena Mutiara memang mencintaiku. Aku sekarang sudah
bisa merasakan cintanya. Ya tidak perlu ucapan cinta dari seorang wanita cukup
rasakan dari setiap sikap, ucapan dan
perhatiannya kepadaku. Pertama kali dalam hidupku mengutarakan cinta kepada
wanita yaitu kepada Mutiara. Walaupun aku jatuh cinta untuk pertama kali kepada
Bunga namun aku saat itu bahkan sampai sekarangpun belum pernah seberani ini mengutarakan perasaanku.
Entah kenapa pada saat aku berhadapan dengan Bunga seolah selalu saja ada
tembok tebal yang menyurutkan keberanianku.
Kini setiap sore saat
pulang dari Rumah Sakit aku selalu mampir ke Paviliun tempat kost Mutiara di
Jalan Bali. Seperti sore itu kami menikmati suasana Surabaya dengan senja yang
cerah. Aku juga melihat begitu cerahnya wajah Mutiara. Memancarkan keceriaan
yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Mutiara beberapa hari ini memang
kelihatan bahagia.
“Tiara ceria sekali hari
ini!”, kataku sambil memandang Mutiara yang duduk di depanku sambil tersenyum.
Matanya yang indah itu berbinar seperti bercahaya.
“Ya Mas saat ini aku
sedang berbahagia!”.
“Boleh dong berbagi
bahagia!”.
“Tentu boleh Mas Herman!”,
kata Mutiara tersenyum.
“Tiara mulailah ceritake
bahagianmu!”.
“Mas Herman. Aku bahagia
karena aku sudah me-nemukan orang yang kudambakan selama ini walaupun aku juga
sedih karena tidak mungkin bisa memilikinya!”, kata Mutiara pelan. Sebentar
wanita cantik ini terdiam. Aku juga sengaja diam untuk memberi kesempatan
Mutiara melanjutkan perkataannya.
“Kebahagiaan yang lain
adalah aku mendapat tawaran pekerjaan di sebuah Laboratorium Medis!”, kata
Mutiara.
“Aku turut bergembira,
Tiara!. Namun kenapa kamu selalu berfikir tidak mungkin memiliki orang yang kau
dambakan selama ini ?”.
“Mas Herman, maafkan aku. Banyak rintangan yang
ada di depan kita. Aku membayangkan apa yang terjadi saat Bapak dan Ibumu tahu
siapa aku sebenarnya!”, kata Mutiara.
“Tiara, percayalah aku
akan menjelaskan kepada Ibu dan Bapak. Aku yakin beliau akan menerimamu apa
adanya!”, kataku.
“Aku ragu Mas. Orang tua
dimanapun selalu men-dambakan seorang menantu yang sempurna!”,kata Mutiara.
Mendengar ini aku merasakan betapa pedihnya perasaan Mutiara dan tiba-tiba saja
aku juga merasa ragu seperti halnya Mutiara. Bagi Bapakku mungkin masih bisa
me-nerima Mutiara apa adanya namun Ibu?. Beliau selalu ingin agar aku
mendapatkan calon istri yang terbaik. Apakah Mutiara adalah calon istri yang
terbaik menurut versi Ibuku?. Aku ragu Ibu mau menerima Mutiara apa adanya,
saat Ibu tahu siapa Mutiara dimasa lalu.
“Sudahlah Tiara. Sebaiknya
kita jalani saja seperti air mengalir. Jika Tuhan menghendaki tidak ada yang
tidak mungkin!”, kataku membesarkan hatinya.
“Iya Mas. Saat ini biarlah
aku merasakan kebahagiaan atas anugerah Tuhan mengirim seorang pahlawan
hatiku!”, kata Mutiara sambil tersenyum kepadaku. Aku juga tersenyum sambil kucubit pipinya
mesra.
Maka hari-hari selanjutnya
tiada hari bagiku tanpa Mutiara. Aku benar-benar merasakan betapa Mutiara
begitu bahagia atas kehadiranku dalam hatinya. Walaupun aku dan Mutiara selalu
berdua hingga saat hari-hari berlalu namun aku masih tetap memegang prinsip
pergaulan yang sangat terhormat.
Pergaulan yang bukan “pacaran model anak muda masa kini”. Prinsip muhrim
dan bukan muhrim selalu aku pertahankan dalam pergaulanku dengan Mutiara.
Beberapa temanku bahkan menilai aku adalah cowok yang sangat kolot, ketinggalan zaman. Konon kata
mereka aku ini bukan cowok modern. Entahlah. Aku tidak peduli apa yang dikatakan
mereka tapi yang jelas ada yang lebih penting yaitu Mutiara menyukai prinsipku.
Aku pernah mendengar ketika Mutiara berkata bahwa kebanyakan lelaki hanya
menuntut cinta pertama dari seorang wanita. Tidak ada lelaki yang begitu saja
mau menerima cinta terakhir dari seorang wanita. Benarkah demikian?. Ya bisa
juga benar. Seorang lelaki selalu menuntut sempurnanya seorang wanita tanpa
berfikir betapa banyak ketidak sempurnaan dalam dirinya. Ibarat sebuah gelas
kaca, wanita selalu dituntut utuh tanpa cacat atau retak apalagi pecah. Ya
gelas kaca yang harus dijaga baik-baik. Demikianlah fakta yang terjadi yang
justru sudah menempatkan wanita menjadi mahluk yang harus dilindungi kaum
lelaki. Lalu lucunya aku malah mau menerima Mutiara apa adanya dengan segala
masa lalunya. Mengapa bukan Bunga yang aku pilih untuk teman hidupku?. Bukankah
Bunga sempurna sebagai wanita dengan masa lalu yang bersih tanpa noda?. Andai
ada yang bertanya padaku seperti itu, aku pasti tidak akan bisa menjawabnya
dengan baik.
Hampir dua Minggu ini aku
benar-benar tidak pernah kontak dengan Bunga. Aku mungkin terlalu sibuk
menyelesaikan program internship di Poliklinik dan Rumah Sakit dan juga sibuk
menemani Mutiara. Bunga pun sudah selama dua pekan ini tidak pernah kontak walaupun
hanya kirim sms apalagi telephone. Mungkin Bunga sibuk juga
menyelesaikan kuliah S2 nya. Tiba-tiba saja aku ingin bertemu dengan Bunga. Aku
seperti merasa berdosa padanya setelah aku mengutarakan perasaanku kepada
Mutiara. Bagaimanapun juga Bunga bagiku adalah gadis yang pertama kali
membuatku merasakan yang namanya jatuh cinta. Saat aku menelpon Bunga ternyata
dia sedang dalam perjalanan pulang dari Kampus.
“Ya Herman. Begini saja
aku jemput kamu di Halte depan Rumah Sakit itu. Sekarang posisiku sudah masuk
Kertajaya tinggal belok ke Dharmawangsa!”, kata Bunga.
“Baik Bunga aku tunggu di
Halte itu ya!”, kataku. Segera aku bergegas menuju Halte dimana dulu aku sering
bertemu dengan Mutiara. Tidak sampai setengah jam Bunga sudah merapat di
samping Halte itu lalu kami meluncur menuju sebuah tempat makan siang di pojok
jalan Airlangga arah Karang Menjangan. Ya di sana ada sebuah Rumah Makan yang
masakannya sangat disukai oleh Bunga. Siang itu Rumah Makan itu kelihatan ramai
pengunjung. Dapat dilihat dari penuhnya halaman parkir, namun beruntung ternyata
masih dapat tempat untuk memarkir mobil. Beruntung pula masih dapat meja di
pojok sendiri.
“Bunga lama tidak jumpa.
Kamu sibuk kuliah ya?”, kataku membuka pembicaraan.
“Tidak juga. Hanya hari
ini saja ada kuliah. Aku lebih banyak di rumah mempersiapkan thesis!”, kata
Bunga.
“Oh ya Herman!. Mutiara tempo
hari menelponku memberitahukan katanya kamu sudah nembak dia ?”, kembali suara Bunga.
“Ya Bunga!. Akhirnya aku
memberanikan diri mengutarakan perasaanku padanya namun dia tidak berani
menerimaku karena merasa tidak layak!”, kataku.
“Malam itu Mutiara juga
mencurahkan isi hatinya padaku. Dia merasa tidak pantas mendampingimu. Aku
katakan padanya bahwa cinta dr Hermansyah
sangat tulus jadi jangan ragu!”, kata Bunga dengan ekspresi yang datar. Ketika
mengatakan kalimat itu, aku lihat Bunga begitu tegar dan sangat pandai
menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya.
“Akupun berjanji membantunya untuk menjelaskan
kepada orang tuamu terutama Ibumu tentang latar belakang Mutiara !”, kata Bunga
lagi melanjutkan.
“Ya Bunga terima kasih.
Kau selalu ada saat aku sedang seperti apapun. Aku sangat bersyukur kepada
Allah bisa mengenalmu!”, kataku pelan. Aku lihat Bunga tertunduk terdiam.
Wajahnya terlihat tenang.
“Herman!. Bagiku adalah
kebahagian tersendiri saat melihatmu bahagia bersama orang yang menjadi
pilihan untuk teman hidupmu!”, kata
Bunga sambil menatapku.
“Aku juga bangga karena
kau adalah seorang lelaki yang memilki cinta yang tulus kepada Mutiara,seorang
wanita yang memiliki masa lalu kelam penuh noda!”, kembali suara Bunga.
Aku sangat terpukau dengan
kalimat Bunga ini. Gadis cantik di depanku saat ini sedang merasakan kehilangan
seseorang. Aku yakin Bunga mencintaiku. Pada saat seperti ini aku kembali
menjadi pria yang tidak berdaya meng-hadapi ketulusan seorang gadis seperti
Bunga.
“Bunga sampai kapanpun aku
selalu merasakan bahwa kau yang terbaik dalam hidupku!”, kataku sambil aku
tatap Bunga.
“Terima kasih Herman!”,
kata Bunga pendek.
Pertemuan yang singkat dengan
Bunga dalam suasana makan siang itu begitu sangat berarti bagiku. Bagaimana
tidak, saat itu aku semakin yakin bahwa Bunga begitu tulus merelakanku memilih
Mutiara. Akupun semakin yakin ternyata selama ini Bunga mencintaiku. Artinya
selama ini yang bego itu adalah aku. Rasa minder
yang berlebihan telah membelenggu keberanianku untuk mengungkap perasaanku
terhadap Bunga. Ya Allah aku yakin suatu hari nanti Bunga akan mendapat teman
hidup yang jauh lebih baik dariku. Bunga akan mendapat pendamping yang setara
dengannya.
Setelah pertemuan dengan
Bunga itu aku merasakan kelegaan karena aku seolah-olah sudah mendapat restu
dari Bunga untuk mencintai Mutiara. Maka malam itu aku menelpon Ibu mengabarkan
berita gembira kepada beliau.
“Alhamdulillah Herman!. Akhirnya
kamu sudah memilih Mutiara. Lalu Bunga sudah tahu berita ini?”, kata Ibu.
“Sudah Bu!”.
“Ya Syukurlah bukan
apa-apa Bunga itu sudah seperti keluarga sendiri jadi dia harus tahu!”, kata
Ibu.
Bunga memang sosok yang
istimewa bukan saja bagi diriku tapi bagi keluargaku terutama Ibu. Aku bisa
melihat sikap Ibu terhadap Bunga sudah seperti kepada anak sendiri. Sejak saat
kami sekolah SMP dulu, Ibu seperti sudah memiliki perasaan istimewa terhadap
Bunga.
“Herman!”, terdengar
kembali suara Ibu di handphone.
“Ya Bu!”.
“Kapan kita melamar
Mutiara!”.
“Waduh Ibu iki yo opo. Jangan buru buru gitu. Aku
saja belum selesai sekolah!”, kataku gusar.
“Ya Herman jangan
tunda-tunda lagi secepatnya saja. Apalagi Mutiara sudah mau wisuda, tunggu apa
lagi!”.
“Tapi Bu sebaiknya biarlah
aku lulus terlebih dulu agar semuanya tuntas dan beres!”, kataku masih galau mendengar permintaan Ibu.
“Ya sudah. Kamu secepatnya
ajak Mutiara ke Pasuruan. Ibu sudah pingin ketemu calon mantu !”, kata Ibu
lagi.
“Iya Ibu!’, kataku.
Aku sebenarnya agak resah
pada saat nanti Ibu tahu latar belakang Mutiara. Lambat laun Ibu harus tahu
siapa Mutiara. Selama ini Ibu hanya mengenal Mutiara sepintas saat bertemu Mutiara
di Rumah sakit itu dan saat Mutiara bersama Bunga mengantarku pulang ke
Pasuruan. Hanya itu. Ibu belum pernah tahu banyak tentang Mutiara. Aku tidak
bisa membayangkan saat Mutiara bercerita banyak tentang masa lalunya. Aku tahu
Mutiara akan membuka semua tentang dirinya karena Mutiara pernah berkata bahwa
dia tidak mau menutupi semua kenyataan siapa dirinya. Mutiara ingin semua
tentang dirinya adalah fakta yang harus terwujud apa adanya. Oh betapa resahnya
hatiku andaikan nanti Ibu tidak merestui hubunganku dengan Mutiara.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment