Foto : Hensa/Anggrek13
EPISODE 13
TANGISAN DI
PELUKAN IBU
Aku masih ingat petuah
Bapak saat terakhir bertemu di Pasuruan.
“Hermansyah Al-Buchari sudah tahu
apa yang harus dilakukan untuk menentukan jodohnya. Ilmu agamamu sudah aku
anggap cukup untuk bisa menentukan jodohmu sendiri!”, itulah kalimat Beliau
yang selalu menjadi tantanganku. Terus terang setelah bertemu Ibu-Bapa di Pasuruan itu, aku merasa seperti anak sekolah
yang punya PR (‘home work’) pelajaran kimia, fisika atau matematik atau
kalkulus yang perhitungannya rumit super njelimet,
ruwet seperti benang kusut yang tanpa ujung tanpa pangkal. Terus berusaha
untuk memahami petuah Bapa namun semakin berusaha malah justru semakin mumet. Bukan karena aku tidak paham
ilmunya tapi begitu sulitnya disaat harus aku terapkan pada realita kehidupan.
“Wanita
dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan
karena agamanya dan pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.”
Ilmunya seperti itu semua
pasti sudah mengerti namun belum tentu tahu bagaimana cara membawa ilmu itu
dalam kehidupan sehari-hari. Aku mencintai Mutiara karena aku ingin mengajaknya
dari tempat gelap menuju tempat yang penuh dengan cahayaNya. Cara mencintai
yang sangat sederhana namun harus ditempuh melalui jalan yang sangat rumit.
Ketika bertemu Mutiara
maka akupun bercerita tentang Ibu. Aku katakan kepadanya bahwa Ibu sangat
simpati terhadap kisah kelam dan masa lalu Mutiara. Ibupun ingin segera bertemu
langsung dengan Mutiara.
“Benarkah demikian Mas
Herman?”, tanya Mutiara seolah tidak percaya dengan semua yang kuceritakan.
“Ya tentu saja benar
Tiara. Dalam waktu dekat aku ingin mengajakmu bertemu dengan Ibu!”, kataku.
“Iya Mas, aku juga sudah
ingin bertemu dengan Ibu!”, kata Mutiara dengan mata yang berkaca-kaca karena
terharu. Aku sudah merasa cukup lega melihat ada rasa bahagia dalam diri
Mutiara. Akhirnya kami berencana bertemu Ibu pada hari Sabtu ini adalah waktu
yang paling memungkinkan. Hari Senin – Jumat tentu saja hari kerjaku di Rumah
Sakit. Apalagi sekarang Mutiara juga sudah mulai bekerja di Laboratorium Medis
di sekitar kawasan Jalan Mayjen Sungkono. Sabtu itu hari libur untuk Mutiara
sedangkan bagiku malam Sabtu dinas jaga malam sehingga Sabtunya adalah libur.
Kamis sore ini pulang dari
Rumah Sakit aku sempatkan mampir ke Rumah kost Mutiara. Sudah dua hari Mutiara
menderita demam sehingga dua hari itu pula dia tidak masuk kerja.
“Tiara kelihatan pucat
sekali bagaimana demamnya?”, tanyaku saat berbincang di ruang tamu.
“Sudah lumayan Mas. Besok
mungkin aku sudah bisa masuk kerja!”, kata Mutiara.
“Syukurlah kalau sudah
sehat!”, kataku.
“Harus sehat dong Mas.
Hari Sabtu kan mau ketemu Ibu!”, kata Mutiara dengan mata berbinar. Aku
tersenyum memandang wanita cantik di depanku ini dan Mutiarapun membalasku
dengan senyumnya yang menenteramkan hati.
“Ya Tiara namun harus
tetap beristirahat yang cukup jangan sepelekan penyakit flu sekalipun!”, kataku
sedikit serius.
“Ya Pak dokter!”, kata
Mutiara menggoda.
“Tadi siang sudah minum
obat belum?”.
“Sudah Pak dokter…!”, kata
Mutiara sambil tertawa.
“Okey bagus!”, kataku
sambil mengusap kepalanya seperti seorang Ayah kepada anaknya. Kami tertawa
bersama-sama. Alhamdulillah Mutiara hanya flu ringan dan aku lihat sekarang
sudah kelihatan segar kembali.
Jumat sore itu aku kembali berkunjung ke
tempat Mutiara. Kebetulan sore itu dia juga baru saja tiba dari tempatnya
bekerja di Laboratorium Medis.
“Kita minum teh sore
bersama sambil menikmati Mentari senja berwarna jingga!”, kata Mutiara agak sedikit
berpuisi romantis. Disitu memang sudah tersedia dua cangkir teh panas manis
dengan aroma yang wangi dan tersaji pula pisang goreng keju yang masih hangat.
Sungguh nikmat sekali.
“Mas tadi malam, Mbak
Bunga telpon aku menanyakan kesehatanku. Mas Herman cerita kepadanya ya?”.
“Oh iya aku cerita kalau
Tiara sakit dan sudah dua hari tidak masuk kerja!”, kataku menjelaskan saat aku
menelpon Bunga malam itu.
“Aku terharu mbak Bunga
begitu baik selalu memperhatikanku!”, kata Mutiara. Mutiara begitu mengagumi
Bunga sebagai sosok yang ingin dijadikannya panutan. Karena memang Bunga adalah
gadis yang cerdas, cantik, bijak dan dewasa serta mandiri. Sosok seperti ini
yang sangat disukai oleh Mutiara dari Bunga. Disisi lain Bungapun sangat kagum
kepada Mutiara karena wanita iniadalah seorang wanita yang tangguh memiliki
semangat dan pendirian tidak kenal menyerah. Oh Tuhan sesungguhnya dua wanita
ini adalah sosok sosok yang menjadi impian dalam kehidupanku.
“Bagaimana pekerjaanmu
hari ini Tiara!?”, tanyaku sengaja mengalihkan pembicaraan.
“Baru saja datang
instrument laboratorium yang baru datang dari Jerman Mass spectrophotometer yang harus aku uji kinerjanya!”, kata
Mutiara. Alat tersebut adalah alat laboratorium untuk mendeteksi komponen
tertentu dari sampel-sampel biologis yang akan diuji.
“Baik Tiara yang penting
sekarang aku lihat sudah semakin sehat. Walaupun baru pulang kerja tapi
senyumnya masih manis dan segar, tidak kelihatan capek!”, kataku mulai
menggoda.
“Rayuan dokter Hermansyah
mulai menjebak!”, kata Mutiara sambil tertawa. Mendengar ini aku juga turut
tertawa. Sore itu benar-benar kami nikmati bersama penuh keceriaan dan
kebahagiaan. Terutama Mutiara kelihatan sekali menunjukkan rasa bahagianya
mungkin karena akan bertemu Ibu. Tentu saja pertemuan ini adalah momen yang
sangat penting baginya, bukan pertemuan biasa tapi pertemuan yang akan menjadi
simbol restu dari Ibuku untuknya.
“Mas Herman. Sungguh aku
sudah tidak sabar ingin segera bertemu Ibu. Rasanya tidak percaya kalau Ibu mau
bersimpati kepadaku yang penuh dengan dosa ini!”,kata Mutiara sambil tertunduk.
“Besok kita akan ke
Pasuruan ketemu Ibu dan juga Bapak, aku sudah memberi kabar kepada beliau.
Memang betul Ibu juga ingin segera bertemu denganmu Tiara!”, kataku. Mutiara
memandangku dengan tatapan sejuta arti.
“Hei kenapa Tiara
memandangku seperti ini ?”.
“Aku seperti mimpi Mas!”,
katanya lalu melanjutkan kalimatnya : “Bertemu denganmu adalah anugerah terbaik
dalam hidupku. Bertemu dengan mbak Bunga yang selalu mendukungku. Aku seperti
sedang bermimpi!”.
“Sudahlah Tiara. Saat ini
tidak sedang bermimpi!.kalau tidak percaya biar aku cubit pipimu!”, kataku
sambil tanganku pura-pura mau mencubit.
“Eit jangan Mas!”, kata
Mutiara menghindari tanganku sambil tertawa. Tawa kami adalah tawa kebahagiaan
semoga menjadikan tawa yang penuh dengan barokahNya.
Sabtu pagi itu aku sudah
menjemput Mutiara di Jalan Bali. Lalu lintas Surabaya sepagi ini sudah mulai
sibuk dengan aktivitas rutin. Menggunakan mobil city car nya milik Bunga aku
meluncur dari jalan Bali berbelok menuju arah Kertajaya lurus menuju jalan
Sulawesi arah Dr Sutomo melewati perempatan jalan Raya Darmo. Sengaja aku
mengambil Tol dalam kota lewat Jalan Mayjen Sungkono. Relatif lancar mungkin
karena hari masih pagi sehingga tidak begitu lama akhirnya kami sudah masuk
jalan Tol Surabaya – Gempol. Selama dalam perjalanan kulihat Mutiara lebih
banyak diam. Aku hanya sesekali saja menegurnya.
“Tiara sedang melamun
apa?”.
“Mas, Saat nanti ketemu
Ibu rasanya tidak ter-bayangkan betapa malu aku bertemu dengan Beliau!”, kata
Mutiara.
“Tidak perlu seperti itu.
Ibu sangat sayang padamu Tiara!”, kataku.
“Benarkah Mas?”, tanya
Mutiara sambil menatapku. Aku lihat ada air mata di sudut matanya. Aku
memaklumi betapa terharunya Mutiara untuk bertemu Ibu kali ini karena baginya
ini pertemuan yang sangat istimewa. Rasa haru Mutiara semoga saja merupakan
kebahagiaan yang penuh dengan harapannya selama ini.
Alhamdulillah akhirnya aku
sudah melihat Gerbang depan Pesantren dan sebentar lagi kami sampailah di
Rumah. Aku langsung memarkir mobil seperti biasa di sebelah Selatan Masjid
tepat di depan Rumah. Aku lihat Ibu dan Bapak sudah menanti di Teras Rumah.
Kamipun turun dari mobil lalu aku menghampiri Bapak dan Ibu sambil mencium
tangan beliau. Aku lihat pula Mutiara mencium tangan Bapak dan Ibu kemudian
kulihat Ibu memeluk Mutiara dengan erat sekali. Mutiara menangis dalam pelukan
Ibu. Tangisan haru yang juga mungkin tangisan kepedihan masa lalu namun bisa
juga tangisan harapan kebahagiaan masa depan. Mutiara dalam pelukan Ibu
merasakan rasa tenteram yang sesungguhnya yang selama ini ia dambakan. Semoga.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment