Foto : Anggrek16/hensa
EPISODE 15
KITA MULAI
MELANGKAH
Minggu sore itu aku sudah
berada ditengah-tengah kesibukan Bandara Juanda untuk menjemput Bunga. Saat itu
aku berdiri di depan Pintu Kedatangan Dalam Negeri yang penuh dengan lalu
lalang orang-orang yang baru saja tiba di Surabaya. Mataku kini tertuju kepada
seorang gadis semampai yang sedang menarik tas dengan langkah tegap dan pasti.
Ya Bunga dari jauh sudah kelihatan memasuki pintu keluar. Gadis ini cantik
sekali wajah yang tegas tapi lembut dengan pandangan matanya yang tajam serta
cara berfikirnya yang cerdas. Sungguh dia seorang gadis yang sempurna, cantik
dan pintar. Kudengar ketika namaku dipanggil Bunga maka aku menoleh ke arahnya.
Dari jauh Bunga melambaikan tangannya kemudian segera kubalas.
“Herman bagaimana kabar?”.
“Alhamdulillah baik-baik. Kamu
sendiri?”.
“Baik dong karena sudah
melepas kangen sama Papa dan Mama he he he!”, kata Bunga sambil tertawa. Kami
berjalan beriringan menuju Tempat Parkir. Udara cerah Surabaya sore itu
benar-benar sangat mengesankan. Keluar dari Bandara lalu lintas agak sedikit
macet karena volume kendaraan yang mau keluar harus antrian di Pintu pembayaran
parkir namun setelah memasuki Tol Bandara menuju Waru semua berjalan lancar.
“Selama liburan aku selalu
menerima kabar gembira dari Mutiara!”, kata Bunga. Aku hanya tersenyum dan ini
sudah aku duga sebelumnya antara Bunga dan Mutiara memang tidak bisa
dipisahkan. Mereka selalu berhubungan melalui hand phone.
“Iya Bunga. Sabtu kemarin
bahkan aku sudah menemui Ibu dan Bapak di Pasuruan!”.
“Tadi malam Mutiarapun
bercerita seperti itu. Herman aku bias rasakan betapa saat ini Mutiara sangat
bahagia!”, kata Bunga.
“Alhamdulillah Bunga. Ibu
sudah merestui demikian juga Bapak namun ada syarat yang harus kupenuhi!”.
“Apa syarat dari Bapak?”, tanya
Bunga.
“Beliau sebenarnya tidak
menyampaikan secara tersurat namun hanya tersirat dan aku sudah tahu maksud
Bapak!”.
“Maksud Bapak bagaimana
Her!”, tanya Bunga.
“Kata beliau bahwa aku
harus mampu menghadapi tantangan demi tantangan yang ada di depan nanti!”.
“Ya Herman aku juga mengerti
betapa banyak risiko yang harus kau hadapi nanti. Namun aku tetap kagum
kepadamu betapa cintamu tulus kepada Mutiara!”, suara Bunga.
Aku juga kagum kepada
Bunga. Gadis ini sungguh berjiwa besar. Bunga selalu mendukungku memberikan
semangat dan nasihat. Semakin lama justru aku semakin merasakan keterbukaan
hati Bunga. Semakin terbuka hatinya maka semakin aku kagum kepadanya.
Aku sengaja dari Bandara
mengambil rute pulang lebih dulu ke tempat kost kemudian mobil baru aku
serahkan kepada Bunga.
“Herman terima kasih sudah
menjemputku di Bandara!”, kata Bunga kemudian membuka pintu dan duduk di
belakang kemudi. Aku hanya mengangguk.
“Oh ya Herman besok sore
pulang dari Rumah Sakit, kamu bisa ke rumah ?”, kata Bunga.
“Ada hal penting nih!?”,
tanyaku.
“Tentu saja sangat
penting!”.
“Insya Allah, besok sore
aku langsung ke sana!”, kataku.
“Assalaamualaikum!”, kata
Bunga memberi salam untuk berpamitan.
“Wa alaikum salaam!”,
kataku membalas salam Bunga dan mobil sedan Jepang itupun meluncur
meninggalkanku.
Senin pagi kesibukan rutin
Rumah Sakit sebenarnya biasa saja namun bagiku rasanya begitu banyak yang harus
aku lakukan. Setelah jam istirahat ada jadwal menemani operasi di Ruang Operasi
bersama dokter Wijaya spesialis penyakit dalam. Entah mengapa menghadapi
pekerjaan hari ini aku benar-benar dalam kondisi yang kurang fokus. Pada saat
makan siang itu aku mencoba menelpon Mutiara.
“Hallo Mas Herman!”, suara
Mutiara di ujung sana.
“Tiara sudah makan
siang?”.
“Belum Mas. Ini tanggung
sekali masih ada dua sampel yang harus segera aku selesaikan!”, kata Mutiara.
“Baiklah Tiara, jangan
lupa makan siang. Rasa pusingnya sudah hilang?”.
“Lumayan Mas hanya badanku
ini masih demam sejak kemarin!”.
“Kalau masih demam
sebaiknya Tiara izin pulang awal saja!”, kataku.
“Semoga saja tidak perlu
pulang awal karena pekerjaan Laboratorium masih banyak!”.
“Okey Tiara kalau begitu
jaga kesehatan ya!”.
“Ya Mas Herman terima
kasih!”, suara Mutiara lembut sekali.
Setelah kontak dengan
Mutiara ada perasaan semangat untuk mulai lagi bekerja. Setelah istirahat ini
aku harus menemani jadwal operasi bersama dokter Wijaya spesialis penyakit
dalam. Sungguh Mutiara sudah menjadi spirit yang sangat manjur dalam diriku.
Begitu cinta aku kepadanya. Maka saat di
Ruang operasi itu aku begitu semangat penuh dengan dedikasi membantu kelancaran
operasi Pasiennya dokter Wijaya. Selama 4 jam operasi akhirnya selesai dengan
baik. Alhamdulillah. Satu tugas lagi sudah kutunaikan. Aku benar-benar merasa
lega bisa menyelesaikan tugas-tugas hari ini.
Pulang dari Rumah sakit
aku langsung meluncur menuju Rumah Tantenya Bunga di Kertajaya. Bunga rupanya
sudah menungguku di teras samping rumah. Aku bisa melihat Bunga dari sisi kiri
jalan komplek Perumahan itu.
“Herman pintu gerbang
tidak di kunci masuk saja!”, suara Bunga. Akupun memarkir sepeda motor di dalam
pagar lalu menghampiri Bunga yang sudah duduk menunggu.
“Bagaimana acaramu hari
ini?. Sukses?”.
“Alhamdulillah tadi ada
jadwal menemani operasi pasien!”, kataku.
“Wah pantesan kamu
kelihatan masih tegang dan kelelahan !”, kata Bunga sambil tersenyum.
“Iya dong aku tadi sangat
fokus menyelesaikan tugas dengan baik !”.
“Okey Herman sekarang
saatnya santai. Sebentar lagi secangkir kopi kesayanganmu akan disajikan Si
Mbok agar kamu kembali segar!”, kata Bunga sambil tertawa. Memang tidak lama
kemudian Si Mbok sudah membawa hidangan minum sore lengkap beserta kue basah
yang sangat lezat.
“Bunga ada berita penting
apa nih?”.
“Tentang Mutiara tentu
saja!”.
“Ada apa dengan Mutiara?”.
“Malam Minggu itu Tiara
benar-benar menumpahkan isi hatinya tentang kejadian di Plaza itu!”.
“Malam itu aku sudah
menghiburnya agar melupakan peristiwa itu!”, kataku.
“Herman ada hal yang
serius yang harus kau perhatikan baik-baik!”, kata Bunga.
“Apa itu Bunga?”, tanyaku
penasaran.
“Mutiara berkata kepadaku
bahwa dia merasa tidak pantas untukmu. Mutiara ingin berpisah denganmu!”.
“Dia mengatakan begitu?”.
“Iya. Tiara tidak mau
beban masa lalunya harus kamu tanggung pula!. Mutiara ingin agar Hermansyah
bisa melupakannya!”, kata Bunga. Kemudian Bunga juga menceritakan bahwa dalam
dialog telepon tersebut Mutiara berkata sambil terisak. Bunga tidak bisa
berbuat apa-apa, dia hanya bisa menghibur Mutiara.
Mendengar ini aku hanya
terdiam. Benar kata Bapak hal ini adalah tantangan bagiku. Aku baru saja mulai
mau melangkah namun di depan sudah menghadang semak penuh dengan duri dan onak.
Apakah aku harus mundur?. Pada saat aku sedang kebingungan memikirkan Mutiara
tiba-tiba terdengar seseorang membunyikan klakson mobilnya. Di depan aku lihat
sebuah Mobil Jeep parkir lalu seorang Pria tampan melambaikan tangannya ke arah
Bunga. Aku lihat Bunga tidak bereaksi sedikitpun. Pria itu masuk melalui pintu
gerbang menuju meja tempat kami.
“Sore Bunga!”, sapa Pria
tersebut.
“Sore Arman. Oh ya
kenalkan ini dokter Hermansyah Al-Buchari !”, kata Bunga sambil tangannya
menunjuk kea rahku. Kami berjabat tangan sambil menyebut nama masing-masing.
Aku kaget juga ketika Bunga menyebut namaku lengkap dengan atribut profesi.
Seharusnya tidak seperti itu. Lalu aku jadi bertanya-tanya Arman ini siapanya
Bunga?.
“Herman lupa aku belum
memberitahu bahwa Arman ini teman kuliahku di Pasca Sarjana !”, kata Bunga
seakan tahu apa yang menjadi pertanyaan dalam hatiku.
“Oh begitu. Okey mari Mas
Arman kita gabung bincang di sini !”, ajakku kepada Arman. Pria bernama Arman
ini hanya bilang terima kasih. Lalu aku lihat Arman mengajak Bunga ingin
membicarakan sesuatu, dia minta maaf kepadaku. Maka aku hanya mengangguk. Aku
lihat di sudut teras yang lain itulah Arman dan Bunga berbincang serius. Aku
hanya bisa melihat mereka dari jauh. Ah entahlah apa yang mereka bicarakan, aku
sendiri saat ini sedang berfikir tentang Mutiara. Tidak lama rupanya Arman
segera berpamitan kepada Bunga. Aku lihat Bunga mengantar Arman sampai gerbang
depan itu. Aku mulai berfikir apakah Arman adalah calon kekasih Bunga?. Ataukah
memang sudah kekasihnya?. Oh Tuhan andaikata Arman memang kekasih Bunga lalu
mengapa aku harus kecewa seperti ini?. Rasa kecewa ini seperti sebuah firasat
bahwa aku akan kehilangan Mutiara sekaligus juga kehilangan Bunga?. Benarkah
demikian?. Padahal kita baru saja mulai melangkah.
BERSAMBUNG
1 comment:
Mas Reza Kurniawan salam kenal juga thanks sudah singgah. Salam.
Post a Comment