Foto : Anggrek14/hensa
EPISODE 14
TATAPLAH KE
DEPAN
Suasana makan siang itu sangat
berbeda dengan suasana makan siang sebelumnya. Mutiara telah menjadi
pembedanya. Ibu kelihatan gembira hanya Bapak saja yang tetap tenang bak air
danau yang dalam namun airnya cukup bening sehingga dasar danau itu masih bisa
dilihat dari tepiannya. Aku mencoba menebak isi hati Bapak. Aku yakin beliau
merestui hubungan kami seperti halnya Ibu, namun ada satu hal yang selalu Bapak
tekankan kepadaku bahwa aku akan memiliki tugas yang berat bagaimana aku harus bisa
membawa Mutiara menuju pintu RidhoNya. Walaupun itu tidak mudah namun tak
mengapa biarlah paling tidak diawal perjalanan ini aku sudah memulai dengan
sesuatu yang baik.
Selesai makan siang, kami
mengobrol di Ruang keluarga. Ibu begitu riang menyambut Mutiara seolah-olah
sudah seperti menantunya saja. Bapak juga sesekali ikut nimbrung bercanda
dengan mereka. Sementara aku sendiri lebih banyak diam dan hanya tersenyum
diantara dialog-dialog mereka yang lucu. Ramah tamah itu ternyata harus di
akhiri dulu karena aku dan Mutiara harus segera kembali ke Surabaya. Kami
berpamitan kepada Bapak dan Ibu untuk kembali ke Surabaya.
“Hati-hati Herman, jangan
ngebut!”, pesan Bapak.
“Tia hati-hati di jalan
ya!”, kata Ibu dan Mutiara mengangguk sambil tersenyum. Pertemuan yang singkat
memang, namun penuh dengan arti, penuh dengan harapan. Sepanjang perjalanan
Pasuruan – Surabaya aku melihat betapa Mutiara merasakan kebahagiaan. Wajahnya
berseri penuh keceriaan. Aku merasakannya seolah Mutiara kini sudah menemukan
kembali kebahagiaannya yang dulu pernah hilang. Kini saat Mutiara tersenyum
maka senyum itu terasa lebih menampakkan aura wajahnya jauh lebih cantik.
Wajahnya yang teduh tidak lagi dirundung mendung. Alhamdulillah ya Allah, aku
selalu bersyukur kepadaMu.
Kami tiba di Surabaya
belum begitu sore. Setelah mengantar Mutiara ke Jalan Bali itu aku langsung
menuju tempat kost dan masih sempat sholat Ashar. Hari yang melelahkan namun
melegakan. Sore itu aku benar-benar bersantai di Kamarku sambil membuka netbook menelusuri dunia maya. Facebook,
Twitter, berita terbaru media online, semua
kujelajahi. Ada secangkir kopi panas dan makanan kecil dalam kemasan yang selalu
setia menemaniku. Di atas meja itupun sebenarnya sudah menumpuk kertas-kertas
yang berisi bahan untuk laporan kerja selama Jaga Malam tempo hari, namun belum
aku sentuh sama sekali. Biarlah hari ini untuk sementara aku ingin terbebas
dari rutinitas dan menikmati kebahagiaan. Apalagi nanti adalah malam Minggu
yang rencananya aku akan pergi bersama Mutiara.
Selesai sholat Magrib itu
aku sudah meluncur menuju kediaman Mutiara. Aku pijit bel di samping pintu
ruang tamu itu. Tidak lama kemudian Mutiara sudah berdiri membukakan pintu
ruang tamu itu. Aku memandang Mutiara tidak berkedip, hatiku berkata Maha Besar Allah Maha Pencipta mahluk cantik
ini. Aku memang terpukau melihat kecantikan Mutiara di depan mataku ini.
Gaun malam berwarna gelap dengan corak yang sopan, rambutnya yang hitam terurai
dengan wajah berseri dan sorot mata tajam serta senyum ramah penuh kebahagiaan.
“Mas Herman kenapa
memandangku seperti itu?. Aku jadi malu!”, suara Mutiara telah menyadarkanku
dari rasa terpesona.
“Eh iya enggak apa-apa.
Aku seperti sedang berhadapan dengan Bidadari cantik dari Surga!”, kataku
sekenanya saja.
“Mas Herman ah rayuan
gombal!”, kata Mutiara pura-pura cemberut
lalu mencubit lenganku. Aku hanya mengaduh sambil tertawa. Untuk pertama
kalinya dalam hidupku bermalam Minggu dengan seorang wanita adalah dengan
Mutiara. Dulu saat masih bersama Bunga memang sering bermalam Minggu namun saat
itu selalu rame-rame bersama teman-teman yang lainnya. Saat ini sungguh-sungguh
malam Minggu yang spesial bagiku karena hanya bersama Mutiara.
Kami habiskan malam ini di
food corner sebuah Plaza terbesar di
Surabaya yang ada di jalan Basuki Rahmat. Suasana Plaza yang begitu ramai
dengan para Pengunjung. Sambil menikmati santap makan malam kami mengobrol
ringan sesekali diselingi dengan tawa karena ada hal-hal yang lucu. Waktu sudah
menunjukkan pukul 21, namun suasana masih meriah seperti ini. Plaza terbesar di
Surabaya ini memang surganya orang-orang berduit. Tiba-tiba aku dikejutkan ada
seseorang menghampiri menuju meja, tempatku bersama Mutiara.
“Hai cantik rupanya ada di
sini. Lama tidak berjumpa!”, seorang lelaki menyapa Mutiara. Dia gagah dengan
dandanan perlente dari apa yang dikenakannya sudah bias memperlihatkan bahwa
dia adalah orang kaya. Seorang Pengusaha kelas kakap. Aku lihat Mutiara begitu
gugup bertemu dengan lelaki ini. Aku sebenarnya tersinggung dengan caranya
menyapa Mutiara dan hampir saja emosiku terpancing andai tidak dicegah Mutiara.
“Kok tidak bersama Ricki. Boleh
aku gabung cantik ?”, kembali suara Lelaki itu dengan pandangan nakal.
“Maaf saya tidak punya
waktu!”, kata Mutiara sambil menarik tanganku untuk segera berlalu meninggalkan
lelaki itu yang kelihatan terbengong-bengong. Mutiara akhirnya mengajakku untuk
pulang saja. Sepanjang perjalanan itu
Mutiara lebih banyak diam dan aku tidak berani lebih jauh mengusiknya. Namun
akhirnya tangis itupun terjadi juga di saat kami sudah tiba di Rumah.
“Sudahlah Tiara. Lupakan
saja kejadian tadi!”, kataku menenangkannya. Mutiara masih terisak. Aku hanya
membiarkan saja dia menangis agar bisa membuat hatinya menjadi lega.
“Mas Herman aku sebenarnya
tidak mau lagi membicarakan ini!”, kata Mutiara.
“Ya Tiara sudahlah lupakan
saja!. Saat ini sebaiknya tataplah ke depan”, kataku. Mendengar ini kulihat
Mutiara sudah bisa tenang.
“Aku selalu dibayangi
ketakutan masa laluku yang kotor dan nista!”, kata Mutiara.
“Masa lalu itu tidak akan
kembali. Jadi untuk apa ditakutkan. Sudah, sebaiknya Tiara tersenyumlah dunia
ini akan jauh lebih indah dengan senyummu!”, kataku sambil menatap wajah
Mutiara yang masih tertunduk. Kulihat
kemudian Mutiarapun memandangku.
“Ayo tersenyumlah untukku
Mutiara !”, kataku sambil tersenyum memandangnya. Mutiarapun akhirnya tersenyum
dan matanya kembali berbinar walaupun masih ada sisa airmata dipipinya.
“Nah begitu dong. Tiara kita
harus menatap ke depan. Masa lalu yang kelam buang saja karena sudah tidak
berguna. Di depan banyak harapan yang bisa kita raih!”.
“Mas Herman terima kasih.
Aku selalu merasa tenang mendengar kalimat-kalimat itu. Mas Aku sangat bahagia
bersamamu!”, kata Mutiara terharu.
“Ya kita wajib bersyukur
kepadaNya sebagai sumber semua kebahagiaan!”, kataku.
Aku bisa merasakan rasa galau Mutiara ketika dia harus
bertemu dengan salah satu mantan ‘pelanggannya’ tentunya mempertimbangkan apa
yang aku rasakan saat itu. Ketika aku mengajaknya untuk menatap masa depan
barulah aku lihat kegalauan Mutiara sirna begitu saja. Mutiara merasa lega dengan
sikapku. Sampai aku berpamitan untuk
pulang aku masih melihat senyum Mutiara terukir dengan manis mudah-mudahan itu
menandakan bahwa dia sudah mau menatap ke depan. Aku bisa membayangkan betapa
berat beban masa lalu yang harus dirasakan Mutiara disaat dia sudah mulai
mencintaiku. Tataplah ke depan. Kalimat yang begitu mudah diucapkan. Bagiku
sendiri kalimat ini adalah tantangan terberat dalam hidupku. Aku mempunyai
tugas suci membawa Mutiara menuju pintu RidhoNya.BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment