Foto : Anggrek15/hensa
EPISODE 16
PELUKAN
MUTIARA
Selama dua Minggu ini
kesibukanku semakin menyita waktuku. Senin sampai Sabtu demikian cepat berpacu.
Namun demikian aku masih tetap berhubungan via telpon seluler dengan Mutiara
dan paling tidak satu kali kunjungan pada malam Minggu. Sedangkan dengan Bunga
hanya sekali kontak itu juga saat dia menelponku menanyakan apakah ada rencana
pulang kampung ke Pasuruan?. Mungkin Bunga kangen dengan Bapa dan Ibuku
sekalian ingin mengajakku bareng. Aku mengatakan kepada Bunga jika saat ini aku
sedang sibuk mungkin baru bulan depan aku bisa pulang ke Pasuruan. Aku teringat
beberapa hari yang lalu Bunga bercerita tentang keinginan Mutiara untuk berpisah
saja denganku karena tidak mau beban masa lalunya menjadi bebanku juga. Ketika
hal ini aku tanyakan kepada Mutiara malam Minggu kemarin, Mutiara membenarkan.
“Iya Mas Herman, aku
cerita kepada mbak Bunga tapi dia selalu
mendukungku agar aku tetap tabah!”.
“Tiara, insya Allah jangan
ragukan cinta kita ini. Semua akan kita hadapi bersama-sama!”, kataku
menenteramkan hatinya.
“Mas Herman, aku sangat
terharu pada keteguhanmu namun andai nanti kita harus berpisah, harus kita
sikapi menjadi satu hal yang terbaik untuk kita!”.
“Tiara jangan berkata
seperti itu. Semuanya akan baik-baik saja!”.
Sebenarnya mendengar
perkataan Mutiara itu hatiku agak was was juga. Apakah aku sudah siap andai
suatu hari nanti aku harus berpisah dengan Mutiara?. Ya andaikata Allah
berkehendak untuk memisahkan Mutiara dariku maka tidak ada kekuatan manapun yang
bisa mencegahNya. Ya Allah apakah aku sudah siap?.
Pulang dari tugas Rumah
Sakit aku langsung mandi kemudian sholat Magrib dan segera meluncur ke sebuah
Rumah Makan di kawasan jalan Sulawesi. Ya Om Franky mengajakku untuk bertemu di
sana. Pertemuanku dengan Om Franky kali ini adalah yang kedua. Pertama kali
diperkenalkan oleh Mutiara dulu saat bertemu di tempat kost Jalan Bali itu. Om
Franky adalah adik kandung dari Mamanya Mutiara, orangnya ramah dan baik. Saat
ini sebenarnya aku merasakan ada hal yang menunjukkan firasat tidak enak,
karena tiba-tiba saja Om Franky memintaku untuk bertemu. Malam itu kami baru
saja menyelesaikan makan malam.
“Herman bagaimana kalau
kita mulai membicarakan hal-hal yang sangat penting ini !”, kata Om Franky.
“Ya baik Om!”.
“Banyak hal yang terjadi
dalam sebulan terakhir ini. Kabar penting pertama adalah Mamanya Mutiara
sekarang sudah berpisah dengan suaminya atau Papa tirinya Mutiara!”, kata Om
Franky sambil menarik nafas panjang.
“Bagaimanapun juga aku
harus membuka cerita pilu ini kepada Mamanya Mutiara agar beban Mutiara menjadi
ringan!”, kembali suara Om Franky.
“Bagaimana reaksi Mamanya
saat beliau mendengar kisah menyedihkan itu!”, tanyaku.
“Mamanya menangis sambil
memanggil manggil Mutiara. Dia sudah lama merindukan ingin bertemu dengan
Mutiara. Dia sangat sedih anaknya diperlakukan seperti itu oleh Ayah tirinya
sendiri. Sangat biadab !”, kata Om Franky.
Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana hancur hati Mamanya Mutiara mendengar kenyataan cerita
pilu anak gadisnya waktu itu. Sungguh aku tidak bisa membayangkan. Sangat wajar
jika Mamanya Mutiara menceraikan suaminya. Kabar penting berikutnya menurut Om
Franky adalah Mutiara akan segera bertemu dengan Mamanya. Hal ini berarti
Mutiara akan pulang ke Manado.
“Rencana minggu depan kami
akan ke Manado!”, kata Om Franky.
“Om ternyata Mutiara belum
cerita kepada saya tentang rencananya ke Manado itu !”.
“Tentu saja Herman,
rencana ini dia belum tahu. Jadi kamu yang tahu lebih dulu!”.
Rupanya Om Franky yang
mengatur pertemuan Mutiara dengan Mamanya dan rencana ini baru aku yang
diberitahukannya. Aku hanya ikut berbahagia karena kini Mutiara sudah bisa
kembali berkumpul dengan keluarganya. Ada satu hal penting lagi informasi dari
Om Franky yaitu kasus hukumnya tentang Ricki ternyata Mutiara sudah memberikan
kesaksian sebagai korban pemerasan. Mutiara melaporkan Ricki kepada pihak yang
berwajib karena tindak pemerasan terhadapnya, bukan karena tindakan kekerasan
Ricki kepadaku tempo hari. Belakangan
juga terbukti bahwa Ricki juga dilaporkan oleh korban-korban lainnya yang
umumnya adalah para Mahasiswi yang pernah dinodainya.
“Itulah Herman begitu
banyak beban yang saat ini harus dipikul oleh Mutiara!”, kata Om Franky.
“Iya Om!. Saya juga ikut
prihatin namun saya yakin Mutiara adalah wanita yang tegar!”.
“Mutiara pernah bilang
yang membuat dia bertahan adalah kamu, Herman!”.
“Alhamdulillah. Dia
terlalu berlebihan Om. Mutiara sendiri yang tangguh menghadapi semua cobaan
hidupnya!”, kataku mengelak.
“Herman. Bagi Mutiara,
kamu itu ibarat Malaikat yang dikirim Tuhan untuk membuatnya merasa tenteram.
Setiap yang kau ucapkan selalu membuat hatinya tenang!”, kembali suara Om
Franky. Mendengar ini aku hanya terdiam namun dalam hati aku bersyukur kepada
kebesaranNya. Sungguh hanya DIA yang Maha Terpuji yang Maha Pemberi segala
ketenteraman.
Esok siangnya saat aku makan siang di Kantin
Rumah Sakit itu, aku menerima telpon dari Mutiara.
“Mas aku sangat bahagia
bisa kembali bertemu Mama. Namun aku juga sedih harus meninggalkan Mas
Herman!”, kata Mutiara diseberang sana mengabarkan rencana pulangnya ke Manado.
“Tiara kan nanti kembali
bertemu denganku di Surabaya!”, kataku.
“Ya Mas. Aku nanti harus
kerja kembali di Surabaya, tapi rasanya aku sangat sedih harus pergi
meninggalkan Mas Herman walaupun hanya sebentar!”, kata Mutiara lagi.
“Sudahlah Tiara hanya
beberapa hari saja kita tidak bertemu. Bersabarlah. Sekarang malah kamu bisa
melepaskan kerinduanmu terhadap Mama!”,kataku.
“Iya Mas Herman, aku sudah
ingin memeluk Mamaku, aku sangat rindu kepadanya!”, kata Mutiara kelihatan
riang.
“Oh ya besok Minggu
menggunakan penerbangan jam berapa Tiara?”, tanyaku.
“Pukul 8.00 Mas. Aku
dijemput Om Franky!”, kata Mutiara.
“Kalau begitu aku langsung
menuju Bandara saja nanti bersama Bunga!”, kataku.
“Iya Mas, tadi malam Mbak
Bunga juga sudah aku pamiti!”, kata Mutiara.
“Okey Tiara sampai nanti
ya!”, kataku.
Aku kadang-kadang heran
dengan perasaan wanita. Mutiara pulang ke Manado hanya beberapa hari saja tapi
dia begitu berat berpisah denganku. Akhir-akhir ini Mutiara memang sangat peka
sekali dengan perasaannya. Selain itu karena pikirannya penuh dengan beban yang
cukup berat juga kesehatannya agak menurun. Sering terkena demam dan gejala flu
namun hanya sehari sembuh kembali.
Minggu pagi itu aku
berjalan beriringan dengan Bunga menuju Pintu Keberangkatan Dalam Negeri
Bandara Juanda. Beberapa Penumpang sedang antrian untuk mengambil boarding pass.
Sementara aku melihat diantara para penumpang itu adalah Mutiara dan Om Franky.
“Tiara!”, aku memanggil
Mutiara.
“Mas Herman!”, pekik
Mutiara sambil menghampiriku. Kemudian Mutiara juga menoleh kepada Bunga.
“Kalian akhirnya datang
juga. Aku dari tadi menunggu!”, kata Mutiara.
“Om Franky bagaimana
kabar?”, aku menyapa Om Franky sementara Bunga hanya mengangguk hormat.
“Baik-baik Herman!”, kata
Om Franky. Sementara aku lihat Bunga dan Mutiara berbincang dengan serius dan
aku lihat Mutiara seperti menangis mungkin terharu saat harus berpisah dengan
Bunga.
“Mudah-mudah perjalanan
lancar, selamat sampai di Manado !”.
“Terima kasih Herman ya
semoga semua urusan menjadi beres. Aku lihat Mutiara sedih harus meninggalkan
Surabaya walaupun hanya beberapa hari !”.
“Tapi mudah-mudahan
Mutiara juga bahagia saat kembali bertemu dan berkumpul dengan Mamanya!”,
kataku.
“Ya Herman. Terima
kasih!”, kata Om Franky. Akhirnya kami berjabat tangan sambil aku ucapkan
selamat jalan kepada Om Franky. Lalu aku
lihat Mutiara memeluk Bunga sambil terisak dan Bunga menenangkan wanita ini.
Pada saat berpamitan kepadaku, air mata Mutiara masih tergenang di kedua
matanya.
“Mas Herman aku pergi
dulu!”, kata Mutiara sambil memandangku tak berkedip seolah ini adalah
perpisahan terakhirnya. Tiba-tiba aku merasakan rasa haru ketika tiba-tiba saja
Mutiara memelukku erat sekali seolah tidak mau melepaskan dirinya dariku. Aku
sengaja membiarkan Mutiara memelukku beberapa saat, lalu pelan-pelan Mutiara
melepaskan pelukannya.
“Mas Herman jaga dirimu
baik-baik!”,kata Mutiara masih dengan mata yang berkaca-kaca. Aku mengangguk
pelan sambil memandangnya. Mutiara berjalan menuju Pintu Masuk bersama Om
Franky. Aku dan Bunga hanya bisa memandangi punggungnya. Aku lihat rambutnya
yang indah terurai sampai di bawah bahunya. Masih juga terbayang kedua matanya
yang biasanya berseri seri kini harus berurai air mata. Serta pelukannya yang
erat seolah tidak mau melepaskanku. Mutiara mudah-mudahan kau baik-baik saja
dan cepatlah kembali kepadaku.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment